You are on page 1of 17

10

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Deskripsi Teori
1. Pengertian Belajar
Ada banyak pengertian belajar yang dirumuskan oleh para ahli psikologi dan
ahli pendidikan. Masing-masing rumusan berbeda sesuai dengan bidang keahlian
mereka masing-masing yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Belajar
merupakan kegiatan bagi setiap orang. Hudojo(1988:1) mengungkapkan bahawa
seseorang dikatakan belajar, bila dapat diasumsikan dalam diri orang itu menjadi
suatu proses kegiatan yang mengakibatkan suatu perubahan tingkah laku. Sedangkan
ahli lain menyatakan belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui
pengalaman (learning is defined as the modification or strengthening of behavior
through experiencing) (Hamalik, 2010:27). Menurut pengertian ini, belajar
merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar
bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu, yakni mengalami. Hasil
belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan melainkan pengubahan kelakuan.
Pengertian ini sangat berbeda dengan pengertian lama tentang belajar, yang
menyatakan bahwa belajar adalah memperoleh pengetahuan, bahwa belajar adalah
latihan-latihan pembentukan kebiasaan secara otomatis dan seterusnya. Menurut
Hamalik (2010:28) juga mengemukakan “belajar adalah suatu proses perubahan
tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan.” Berdasarkan pengertian-
pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari pengalaman melalui suatu latihan aktivitas.
Hamalik (1994:27) mengemukakan bahwa “belajar adalah proses perubahan
tingkah laku berkat interaksi dengan lingkungan.” Sedangkan Ali (1992:14)
menyatakan “ belajar diartikan sebagai suatu proses perubahan perilaku akibat
interaksi dengan lingkungan.” Kedua pendapat ini memiliki kesamaan pandangan
yakni sama-sama menekankan bahwa pengertian belajar meliputi tiga unsure pokok,
11

yaitu: (1) proses, yang berarti belajar itu merupakan suatu proses, (2) perubahan
tingkah laku, yang berarti belajar itu ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku
pada diri si pembelajar, (3) interaksi dengan lingkungan, yakni belajar akan terjadi
bila terjadi interaksi atau hubungan dengan lingkugan.
Menurut Morgan (dalam Yunus, 2011:5) menyatakan “belajar adalah
perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau
pengalaman.” Pendapat ini menekankan pada perubahan tingkah laku sebagai hasil
belajar meliputitiga domain, yaitu: (1) kognitif, peserta didik dituntut untuk
mengingat, memahami, mengklarifikasi dan menganalisis apa yang telah dipelajari,
(2) afektif, setelah melalui tahap belajar, diharapkan siswamampu menguasai tentang
sikap, minat serta nilai-nilai positif lainnnya, seperti belajar saling menghormati,
saling menghargai, dan lain sebagainya, (3) psikomotor, menekankan kepada tujuan
agar siswadi samping mengerti, memahami, tetapi juga harus mampu menguasai dan
melakukan kecakapan-kecakapan keterampilan, khususnya yang berkaitan dengan
gerak dan gerakan. Ini berarti bahwa perubahan tingkah laku merupakan akibat
adanya interaksi dengan lingkungan yang melibatkan jiwa raga meliputi aspek
kognitif, afektif dan psikomotor.
Dengan mencermati pendapat tersebut di atas, maka dapt dikemukakan bahwa
belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang relatif permanen berkat dan akibat
interaksi dengan lingkungan, belajar ditandai perubahan tingkah laku yang meliputi
ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Bentuk perubahan tingkah laku yang
dimaksud merupakan akibat dari proses kematangan penngalaman individu.
2. Proses Mengajar dan Belajar Matematika
a. Proses Belajar Matematika
Pola tingkah laku manusia yang tersusun menjadi suatu model sebagai
prinsip-prinsip belajar diaplikasikan ke dalam matematika. Prinsip belajar ini
haruslah dipilih sehingga cocok untuk mempelajari matematika. Matematika yang
berkenaan dengan ide-ide abstrak yang diberi simbul-simbul itu tersusun secara
12

hirarkis dan penalarannya deduktif, jelas belajar matematika itu merupakan kegiatan
mental yang tinggi.
Sebagai contoh, mempelajari konsep B yang mendasarkan kepada konsep a,
seseorang perlu memahami lebih dulu konsep A. Tanpa memahami konsep A, tidak
mungkin orang itu memahami konsep B. Ini berarti, mempelajari matematika
haruslah bertahap dan berurutan serta mendasarkan kepada pengalaman belajar yang
lalu.
Karena matematika merupakan ide-ide abstrak yang diberi simbul-simbul,
maka konsep-konsep matematia harus dipahami lebih dulu sebelum memanipulasi
simbul-simbul itu. Seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu
didasari kepada apa yang telah diketahui orang itu. Karena itu untuk mempelajari
suatu materi matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang itu
akan mempengaruhi terjadinya proses belajar materi matematika tersebut. Karena
kehirakisan matematika itu, maka belajar matematika yang terputus-putus akan
mengganggu terjadinya proses belajar. Ini berarti, proses belajar matematika akan
terjadi dengan lancar bila belajar itu sendiri dilakukan secara kontinyu. Di dalam
proses belajar matematika, terjadi juga proses berpikir, sebab seseorang dikatakan
berpikir bila orang itu melakukan kegiatan mental.
Seperti yang telah dikemukakan, belajar itu berkenaan dengan perubahan
tingkah laku, sedangkan perubahan tingkah laku seseorang dipelajari melalui
psikologi. Karena itu, belajar itu sendiri banyak disoroti dari sudut psikologi. Di
dalam psikologi, para ahli psikologi kognitif mengakui adanya penstrukturan
kognitif. Selanjutnya, menurut Bourbaki (dalam Hudojo, 1988:4) “struktur
matematika dasar adalah topologikal, yang menurut sejarah perkembangan
matematika dan yang dipelajari di sekolah adalah geometri Euclid”. Menurut
psikologi anak-anak lebih mudah memahami gambar-gambar topologis daripada
gambar-gambar geometri Euclid.
Dari uraian di atas, nampak bahwa hirarki belajar (psikologi) tidaklah selalu
seiring dan sejalan dengan matematika. Dalam mengahadapi situasi demikian,
13

pengajar matematika harus menentukan pilihannya. Pilihan yang mana yang dipilih
merupakan keputusan yang menentukan bagaimana bentuk kegiatan mengajarnya.
b. Pengertian Mengajar
Pada dasarnya apabila dikatakan mengajar, tentu ada subyek yang diberi
pelajaran, yaitu peserta didik dan ada subyek yang mengajar yaitu pengajar. Pengajar
di sini dapat saja tidak langsung berhadapan muka dengan yang diberi pelajaran,
misalnya melalui media seperti buku teks, modul dan lain-lain. Dari uraian ini tersirat
bahwa mengajar itu adalah suatu kegiatan di mana pengajar menyampaikan
pengetahuan/pengalaman yang dimiliki kepada peserta didik. Tujuan mengajar adalah
agar pengetahuan yang disampaikan itu dapat dipahami peserta didik. Karena itu,
mengajar yang baik itu hanya jika prestasi belajar peserta didik baik.
Apabila terjadinya proses belajar matematika itu baik, dapat diharapkan
prestasi belajar peserta didik baik pula. Dengan proses belajar matematika yang baik,
subyek yang belajar akan dapat memahami matematika dengan baik pula dan ia
dengan mudah mempelajari matematika selanjutnya serta dengan mudah pula
mengaplikasikannya ke situasi baru, yaitu dapat menyelesaikan masalh dengan baik
dalam matematika itu sendiri maupun ilmu lainnya atau dalam kehidupan sehari-hari.
Pengajar matematika hendaklah berpedoman bagaimana mengajar matematika
itu sehingga peserta didik belajar matematika. Lebih cocok dikatakan “ mengajar
belajar matematika” daripada “belajar mengajar matematika”. Yang pertama orientasi
mengajar adalah peserta didik agar ia beljar matematika sedangkan yang kedua yang
dipelajari adalah mengajar matematika.
Dari uraian tersebut di atas, terlihat pula bahwa mengajar itu suatu kegiatan
yang melibatkan pengajar dan peserta didik. Peserta didik diharapkan belajar karena
adanya intervensi pengajar. Dengan intervensi ini, diharapkan peserta didik menjadi
terbiasa belajar sehingga ia mempunyai kebiasaan belajar. Serta pengajar matematika
hendaknya selalu berpedoman pada bagaimana mengajar matematika itu sehinngga
apa yang menjadi tujuan dalam pengajaran itu tercapai.
14

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Proses Mengajar dan Belajar


Matematika
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, mengajar itu harus diarahkan
agar peristiwa belajar terjadi. Belajar matematika akan berhasil bila proses belajarnya
baik yang melibatkan intelektual peserta didik secara optimal. Peristiwa belajar yang
kita kehendaki bias tercapai bila faktor-faktor berikut ini dapat kita kelola dengan
baik.
1) Peserta Didik
Kegagalan atau keberhasilan belajar sangat tergantung kepada peserta didik.
Misalnya saja, bagaimana kemampuan dan kesiapan peserta didik untuk mengikuti
kegiatan belajar matematika. Di samping itu juga bagaimana kondisi peserta didik,
misalnya kondisi fisiologisnya, dimana orang yang dalam keadaan segar jasmaninya
akan lebih baik belajarnya dari pada orang yang dalam keadaan lelah. Kondisi
psikologisnya seperti, perhatian, pengamatan, ingatan dan sebagainya juga
berpengaruh terhadap kegiatan belajar seseorang. Intelegensi peserta didik juga
berpengaruh terhadap kelancaran belajarnya.
2) Pengajar
Pengajar melaksanakan kegiatan mengajar sehingga proses belajar diharapkan
dapat berlangsung efektif. Kemampuan pengajar dalam menyampaikan matematika
dan sekaligus menguasai materi yang diajarkan sangat mempengaruhi terjadinya
proses belajar. Kepribadian, pengalaman dan motivasi pengajar dalam mengajar
matematika juga berpengaruh terhadap efektivitasnya proses belajar.
3) Pra Sarana dan Sarana
Pra sarana yang mapan seperti ruangan yang sejuk dan bersih dengan tempat
duduk yang nyaman biasanya lebih mepelancar terjadinya proses belajar. Demikian
pula sarana yang lengkap seperti adanya buku teks dan alat bantu belajar yang
merupakan fasilitas belajar yang penting. Penyediaaan sumber belajar yang lain
seperti majalah tentang pengajaran matematika, laboratorium, media pembelajaran
15

matematika yang menyenangkan, dan lain-lain yang mampu meningkatkan kualitas


belajar peserta didik.
4) Penilaian
Penilaian dipergunakan di samping untuk melihat bagaimana hasil belajarnya,
tetapi juga untuk melihat bagaimana berlangsungnya interaksi antara pengajar dan
peserta didik. Fungsi penilaian dapat meningkatkan kegiatan belajar sehingga dapat
diharapkan memperbaiki hasil belajar. Di samping itu, penilaian juga mengacu ke
proses belajarnya. Yang dinilai dalam proses belajar itu adalah bagaimana langkah-
langkah berpikir peserta didik dalam menyelesaikan masalah matematika. Apabila
langkah berpikir peserta didik dalam menyelesaikan masalah benar, proses belajar
baik. Dengan demikian, apabila hasil penilaian menunjukkan proses belajarnya baik,
maka hasil belajarpun baik, walaupun misalnya pada langkah terakhir dalam
menyelesaikan masalah hasil terakhirnya salah.
Keempat faktor yang dikemukakan diatas kesemuanya mempengaruhi terjadinya
proses mengajar dan belajar matematika yang dapat digambarkan seperti Gambar 1
berikut.
16

Gambar 01. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Proses Mengajar


dan Belajar
(diadopsi dari Hudojo, 1988:8)

Peserta didik :
- Kemampuan
- Kesiapan
- Sikap
- Minat
- Inteligensi

Pra sarana & sarana : Proses mengajar


- Ruangan belajar matematika

- Alat bantu belajar Peserta didik Hasil belajar


matematika
- Buku teks dan
sumber belajar
Pengajar
lainnya

Pengajar :
- Pengalaman
- Kepribadian
- Kemampuan
terhadap matematika
Penilaian
- Motivasi

3. Psikologi Kognitif
Para ahli psikologi kognitif merasa tidak puas atas penjelasan proses belajar
melalui stimulus, respon dan penguatan. Asumsi dasar para ahli ini adalah bahwa
17

tingkah laku seseorang selalu didasarkan kepada kognisi suatu kegiatan untuk
mengetahui atau berpikir tentang situasi mengapa suatu tingkah laku terjadi. Sebagai
hasilnya, para ahli ini asyik dengan organisasi pengetahuan, proses informasi dan
tingkah laku merupakan aspek-aspek aliran psikologi kognitif.
Teori belajar yang berkembang dari psikologi kognitif ini mendasarkan
kepada hukum-hukum yang berlaku dari segi pengamatan. Hukum-hukum itu jjuga
berlaku dalam belajar dan berpikir. Apa yang dipikirkan dan dipelajari itu berasal dari
apa yang dikenal melalui pengammatan. Belajar dan berpikir pada dasarnya adalah
melakukan pengubahan struktur kognitif.
Salah seorang ahli psikologi kognitif, misalnya Lewin (dalam Hudojo:
1988:45), berpendapat bahwa “suatu obyek yang secara fisik dekat dengan
seseorrang, bukan merupakan bagian dari kehidupannya bila orang itu tidak sadar dan
tidak dipengaruhi oleh obyek itu.” Tetapi, suatu obyek yang bukan suatu fakta fisik
dapat menjadi ada dalam diri kehidupan seseorang, jika mempengaruhi tingkah
lakunya. (Dembo dalam Hudojo, 1988:45).
Teori belajar kognitif menyatakan bahwa tingkah laku dari hasil belajar itu
merupakan penstrukturan kembali pengalaman yang lampau. Pada dasarnya,
psikologi kognitif mengemukakan bahwa manusia melakukan pengamatan, mula-
mula secara keseluruhan, kemudian manusia itu menganalisis apa yang diamati untuk
selanjutnya disintesiskan kembali.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan teori psikologi kognitif ini
menganggap pengertian merupakan inti belajar. Belajar yang sebenarnya selalu
tentang pengertian (insight learning). Mengerti hal yang dipelajari merupakan sumber
utama.
4. Aktivitas dan Prestasi Belajar
a. Pengertian Aktivitas Belajar
Banyak ahli pendidikan yang mengemukakan tentang pengertian aktivitas
belajar. Hali ini disebabkan karena perbedaan latar belakang yang dimiliki oleh para
ahli yang bersangkutan. Dengan demikian pengertian atau definisi yang dikemukakan
18

oleh para ahli berbeda-beda walaupun tetap mempunyai inti yang sama dalam
pengertiannya. Aktivitas belajar itu sendiri terdiri dari dua kata, yaitu aktivitas dan
belajar yang mempunyai artinya masing-masing. Menurut Depdikbud (1988:17)
aktivitas adalah keaktifan, kegiatan, dan kesibukan. Sedangkan, Menurut Gagne
(dalam Dimyati dan Mudjiono, 2009:10) mengemukakan bahwa “belajar merupakan
kegiatan yang kompleks.” Jadi aktivitas belajar dapat dikatakan sebagai segala
kegiatan yang dilaksanakan secara kompleks dengan melihat, mengamati dan
memahami sesuatu.
Aktivitas itu sendiri tidak dapat lepas dari pengaruh minat dimana minat
adalah suatu kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu, yang berpengaruh
pada motivasi untuk melakukan hal yang diminati atau tidak diminatinya. Menurut
Hamalik (2010:158-159) mengemukakan bahwa “Motivasi adalah perubahan energi
dalam diri (pribadi) seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi
untuk mencapai tujuan.” Sedangkan menurut Koeswara (dalam Dimyati dan
Mudjiono, 2009: 80) menyatakan bahwa “dalam motivasi terkandung adanya
keinginan yang mengaktifkan, menggerakkan, menyalurkan dan mengarahkan sikap
dan perilaku individu belajar.” Selain itu ada tiga komponen utama dalam motivasi,
yaitu: (1) kebutuhan, (2) dorongan dan (3) tujuan, (Dimyati dan Mudjiono, 2009: 80).
Dengan mencermati pendapat yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
dikatakan bahwa aktivitas belajar adalah segala kegiatan yang dilaksanakan secara
kompleks dengan melihat, mengamati dan memahami sesuatu. Aktivitas belajar juga
tidak dapat dilepaskan dari minat dan motivasi yang saling terkait satu sama lain.
Dengan adanya motivasi, minat siswa dapat meningkat secara tidak langsung dan
berkesinambungan dan akan berpengaruh pada aktivitas belajar.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Belajar
Belajar itu dipandang bukanlah suatu aktivitas yang berdiri sendiri. ada unsur-
unsur lain yang ikut terlibat langsung di dalamnya, yaitu raw input, learning teaching
process, output, environment input dan instrumental input. (Nasution dalam Djamrah,
2002:141)
19

Oleh karena belajar sebagai suatu proses yang melibatkan sejumlah faktor,
maka faktor-faktor tersebut akan memberikan pengaruh terhadap aktivitas belajar
yang akan terjadi saat pembelajaran berlangsung. Menurut Purwanto (2004:107)
menyatakan bahwa secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas pada diri
seseorang terdiri ata dua bagian, yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam
(internal) terdiri dari: (1) aspek fisik (fisiologis) yang meliputi kondisi fisik secara
umum, (2) aspek pshikis (psikologi) yang sedikitnya ada delapan faktor psikologis
diantaranya: (a) perhatian, (b) pengammatan, (c) tanggapan, (d) fantasi, (e) ingatan,
(f) bakat, (g) berfikir, (h) motif. Sedangkan faktor luar (eksternal) terdiri dari: (1)
keadaan keluarga, (2) guru dan cara mengajar, (3) alat-alat pengajaran, (4) motivasi
sosial, (5) lingkungan serta kesempatan.
Selain faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas belajar, para ahli juga
mengadakan klasifikasi atas macam-macam aktivitas tersebut. Dierich (dalam
Hamalik, 2010:172-173) membagi kegiatan belajar dalam 8 kelompok, ialah: (1)
kegiatan-kegiatan visual, (2) kegiatan-kegiatan lisan (oral), (3) kegiatan-kegiatan
mendengarkan, (4) kegiatan-kegiatan menulis, (5) kegiatan-kegiatan menggambar,
(6) kegiatan-kegiatan metrik, (7) kegiatan-kegiatan mental, (8) kegiatan-kegiatan
emosional.
Berdasarkan pendapat di atas maka dpat dikatakan bahwa dalam aktivitas
belajar banyak faktor yang mempengaruhi aktivitas belajar meliputi faktor internal
dan faktor eksternal serta terdapat banyak kegiatan dalam aktivitas itu sendiri. selain
itu pembelajaran dengan open-ended merupakan salah satu pendekatan pembelajaran
yang member peluang untuk berkembangnya daya matematika melalui pemberian
keleluasaan berpikir siswa secara aktif dan kreatif dalam menyelesaikan suatu
permasalahan, dan diharapkan dapat berjalan dengan baik sejalan dengan
meningkatnya aktivitas belajar siswa.
c. Prestasi Belajar
Prestasi belajar terdiri dari dua kata, yakni pretasi dan belajar. Menurut
Poerwadarminta (dalam Djamrah, 1994:20) mengemukakan bahwa prestasi adalah
20

hasil yang telah dicapai, dilakukan atau dikerjakan. Menurut Djamrah (1994:19),
prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara
individual maupun kelompok. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
prestasi adalah hasi yang telah dicapai dari suatu kegiatan baik secara individu
maupun kelompok.
Belajar merupakan suatu usaha dari seseorang untuk memperoleh suatu
bentuk perubahan yang bersifat menetap. Proses pembelajaran yang terprogram dan
terkontrol disebut kegiatan pembelajaran atau kegiatan instruksional. Dari pengertian
prestasi dan belajar tersebut, maka dapat diambil suatu pengertian sederhana
mengenai prestasi belajar, yaitu hasi yang telah dicapai dari suatu kegiatan baik
secara individu maupun kelompok untuk memperoleh suatu bentuk perubahan yang
bersifat menetap.
5. Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended
Pendekatan open-ended dalam pembelajaran matematika mula-mula
dikembangkan di Jepang sejak tahun 70-an berdasarkan penelitian Shimada.
Pendekatan ini berkembang pesat di Eropa dan Amerika yang selanjutnya dikenal
secara umum dengan istilah “Open-Ended Problem Solving”. Di Eropa, terutama di
negara-negara seperti Jerman dan Belanda pendekatan pembelajaran ini mendapat
perhatian luas, seiring dengan terjadinya tuntutan pergeseran paradigma dalam
pendidikan matematika di sana. Belanda mengangkat paradigma baru dengan bendera
Reaslistic Mathematics (Freundenthal, 1973 dalam bukunya Mathematics as an
Educational Task dalam Sudiarta 2003a). Kata realistik diambil dari salah satu
diantara empat pendekatan dalam pembelajaran matematika menurut klasifikasi
Traffers seperti yang dikutip Gravemeijer (1994:11) yaitu: mekanistik, empiristik,
strukturalistik dan realistik.
Sementara Jerman dengan bendera Cognitive Mathematics. Kedua pendekatan
ini sama-sama mengklaim bahwa pembelajaran matematika merupakan human
activity, baik mental atau phisik berdasarkan real life, yang dapat dilakukan oleh
semua orang.
21

Pendekatan Cognitive Mathematics di Jerman memaknai real life dengan


mengadopsi landasan Konstruktivisme Radikal Modern (berdasarkan Biologi
Kognitivisme dan Neurophisiologi) oleh Maturana dan Varela, bahwa fenomena-
fenomena alam itu tidak dapat direduksi secara penuh menjadi klausa-klausa
deterministik, dengan struktur dan pola yang unik, tunggal dan dapat diprediksi
secara mudah. Melainkan real life adalah kompleks, dengan struktur dan pola yang
sering tak jelas, tak selalu teramalkan dengan mudah, multidimensi, dan
memungkinkan adanya banyak penafsiran dan sirkuler.
Silver dan Kilpatrick (dalam Khabibah, 2004:58) menamakan masalah open-
ended dalam penilaian pembelajaran sebagai “jika siswa menghasilkan dugaan-
dugaan (conjectures) berdasarkan sekumpulan data atau kondisi yang diberikan.”
Selanjutnya, Heddens dan Speer (dalam Khabibah, 2004:58) menyatakan sebagai
“terbuka atau ada banyak jawaban yang berbeda.” Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Biilstein (1998) bahwa “suatu masalah open-ended mempunyai banyak
penyelesaian dan banyak cara untuk mendapatkan suatu penyelesaian.” Jadi suatu
masalah open-ended memberikan kebebasan jawaban yang dibutuhkan. Jawaban dari
pertanyaan atau masalah tidak tunggal melainkan terdapat variasi jawaban yang benar
dan tepat.
Pendekatan open-ended adalah suatu penyajian materi pelajaran yang dimulai
dari suatu maslah konstektual yang tidak lengkap dipresentasikan pertama ketika
pelajaran dimulai. Dengan menggunakan berbagai jawaban yang benar dan tepat
untuk masalah yang diberikan, siswa diharapkan memperoleh pengalaman dalam
menemukan masalah baru dalam proses ini.
Pokok pikiran pembelajaran dengan open-ended yaitu pembelajaran yang
membangun kegiatan interkatif antara matematika dengan siswa sehingga
mengundang siswa untuk menjawab permasalahan dari segi yang berbeda-beda. Perlu
digaris bawahi bahwa kegiatan matematika dan kegiatan siswa disebut terbuka jika
memenuhi ketiga aspek berikut, yakni: (1) kegiatan siswa harus terbuka, (2) kegiatan
22

matematika adalah ragam berpikir, (3) kegiatan matematika dan kegiatan siswa
adalah merupakan satu kesatuan.
Di dalam situasi penilaian pembelajaran matematika, siswa diminta untuk
mengidentifikasi masalah-masalah dengan sruktur matematika yang sama dan
memilih model matematis yang dapat digunakan untuk menyajikan masalah-masalah
khusus. Siswa digarapkan untuk menghasilkan dugaan-dugaan. Untuk
mengelompokkan masalah-masalah yang sesuai dengan struktur atematika,
memberikan suatu penjelasan untuk struktur tersebut dan memilih model matematis.
6. Peranan Pendekatan Open-Ended dalam Pembelajaran
Pembelajaran dengan pendekatan open-ended biasanya dimulai dengan
memberikan problem terbuka kepada siswa. Kegiatan pembelajaran harus membawa
siswa dalam menjawab permasalahan dengan banyak cara dan mungking banyak
jawaban (yang benar dan tepat) sehingga mengundang potensi intelektual dan
pengalaman siswa dalam proses menemukan sesuatu yang baru. Menurut Khabibah
(2004:58) menyatakan bahwa “model pembelajaran open-ended adalah model
pembelajaran yang mengajukan/menyajikan masalah-masalah matematika yang
bersifat open-ended.” Khabibah juga menyebutkan fase-fase dalam model
pembelajaran open-ended, yaitu: (1) orientasi, (2) pembekalan atau penyajian
masalah, (3) pengerjaan masalah secara individu, (4) diskusi kelompok, (5)
presenntasi hasil diskusi kelompok, dan (6) penutup. Berbeda dengan pendekatan
pembelajaran matematika berorientasi pada permasalahan matematika tradisional
(closed problem) yang berisi pertanyaan yang terstruktur jelas, mulai dengan apa-apa
yang diketahui, apa yang dicari, dan metode apa yang digunakan, dan hanya memiliki
satu jawaban yang benar dan satu prosedur penyelesaian (solusi).
Dalam proses pembelajaran dengaan open-ended, biasanya lebih banyak
digunakan soal-soal open-ended sebagai instrumen dalam pembelajaran. Ada
beberapa peneliti yang mendefinisikan mengenai soal open-ended tersebut, antara
lain: Hancook (dalam Yaniawati, 2003:3) menyatakan “soal open-ended adalah soal
yang memiliki lebih dari satu penyelesaian yang benar.” Sejalan dengan definisi
23

tersebut Berenson (dalam Yaniawati, 2003:3) menyatakan masalah open-ended


sebagai “masalah yang mempunyai banyak penyelesaian dan banyak cara
penyelesaiannya.”
Menurut Shimada (dalam Herman, 2006), “dalam pembelajaran matematika,
rangkaian dari pengetahuan, keterampilan, konsep, prinsip, atau aturan yang
diberikan kepada siswa biasanya melalui langkah demi langkah.” Tentu saja
rangkaian ini diajarakan tidak sebagai hal yang terintegrasi dengan kemampuan dan
sikap dari setiap siswa, sehingga dalam pikirannya akan terjadi pengorganisasian
intelektual yang optimal.
Tujuan yang diharapkan dalam pembelajaran open-ended menurut Khabibah
(2004:58) adalah “siswa mampu mengkonstruksi pengetahuan sendiri … kondisi
semacam ini akan menumbuhkan kemandirian siswa dalam belajar.” Sedangkan
menurut Nohda (dalam Herman, 2006) adalah “untuk membantu mengembangkan
kegiatan kreatif dan pola pikir matematika siswa melalui problem solving secara
silmutan.” Dengan kata lain kegiatan kreatif dan pola pikir matematika siswa harus
dikembangkan dengan mengkonstruksi pengetahuan sendiri agar menumbuhkan
kemandirian pada diri siswa dalam belajar. Yang perlu diperhatika adalah perlunya
member kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara bebas dan luas sesuai dengan
minat dan kemampuannya. Minat yang tumbuh sendiri pada diri siswa dan aktivitas
pembelajaran di kelas yang penuh denngan ide-ide matematika ini pada gilirannya
akan memacu dan mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa.
Dari beberapa pemikiran di atas, pendekatan open-ended menjajikan suatu
kesempatan kepada siswa untuk menginvestigasi berbagai strategi dan cara
penyelesaian (solusi) yang diyakininya sesuai dengan kemampuan dalam
memecahkan permasalahan matematika. Tujuannya adalah agar kemampuan berpikir
matematika siswa dapat berkembang secara maksimal pada saat kegiatan-kegiatan
kreatif dari setiap siswa terkomunikasikan dalam pembelajaran secara bersamaan.
24

B. Hakekat Matematika
Ada yang berpendapat bahwa “matematika (dari bahasa Yunani:mathematika)
adalah studi besaran, struktur, ruang, dan perubahan.” (Wikipedia.2012) Dari definisi
tersebut dapat diketahui bahwa objek matematika bersifat abstrak. Sistem
pembelajaran matematika bersifat vertikal, maksudnya antara konsep satu dengan
konsep lainnya saling berhubungan dan tidak dapat dilepaskan. Belajar matematika
tidak bisa hanya mengandalkan kemampuan visual membaca dan kemampuan mental
dengan mengingat, melainkan pembelajarannya diikuti dengan pelatihan-pelatihan
terhadap permasalahan. Sehingga dalam proses belajar matematika berlangsung
hendaknya terjadi interaksi aktif antara siswa dan guru sehingga menghasilkan
perubahan pengetahuan dari kedua pihak.
Hudojo (dalam Dewi, 2011:11) mengatakan bahwa hakekat matematika
merupakan ide-ide abstrak yang diberi simbol-simbol itu tersusun secara hirarkis dan
penalarannya deduktif. Ada pendapat yang mengatakan bahwa “matematika
merupakan suatu ilmu yang berkembang cukup pesat, hal ini terbukti dengan semakin
banyaknya kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.” (Dewi, 2011:11).
Seseorang yang belajar matematika selalu dihadapkan pada manipulasi simbol,
terutama lambang bilangan dan logika. Pembelajaran dan buku-buku penalaran
matematika dijejeli dengan rumus-rumus, definisi, dan logaritma perhitungan.
Adapun tujuan pembelajaran matematika itu sendiri, antara lain: (1) melatih
penalaran dan cara perpikir terhadap permasalahan, (2) mengembangkan kreativitas
melalui aktivitas imajinatif terhadap objek abstrak, (3) meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah, dan (4) meningkatkan kemampuan menyalurkan informasi.

C. Kerangka Berfikir
Minat tidak bisa dilepaskan dari aktivitas seorang pembelajar. Sebab, minat
merupakan kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu, yang berpengaruh pada
motivasi untuk melakukan hal yang diminati atau tidak diminatinya. Dengan adanya
motivasi akan timbul minat tersendiri pada diri siswa dalam belajar. Sedangkan
25

belajar merupakan aktivitas aktif siswa dalam membangun makna atau pemahaman
yang disebabkan, aktivitas belajar perlu memberikan pengalaman nyata dalam
kehidupan sehari-hari yang terkait dengan penerapan konsep, kaidah dan prinsip ilmu
yang dipelajari, karena itu guru hendaknya melakukan proses pembelajaran yang
melibatkan siswa secara aktif sehingga siswa dapat mengetahui penerapan konsep,
memahami kaidah dan disiplin ilmu yang dipelajari.
Minat belajar sangat penting agar aktivitas belajar dapat berlangsung secara
optimal, karena minat sangat berpengaruh pada aktivitas belajar untuk meningkatkan
aktivitas belajar siswa. Jika aktivitas belajar siswa meningkat tentu juga akan
berdampak pada prestasi belajar siswa yang meningkat pula. Siswa yang memiliki
minat dalam pembelajaran matematika dapat dilihat dari antusiasme siswa dalam
mengikuti pembelajaran dan feedback selama kegiatan berlangsung.
Berdasarkan deskripsi teori yang teelah dikemukakan, maka kerangka berfikir
pada penelitian tindakan kelas ini dapat dirumuskan bahwa proses pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan open-ended memberikan peluang untuk
berkembangnya daya matematika siswa melalui pemberian keleluasaan berfikir
secara aktif dan kreatif dalam menyelesaikan suatu permasalahan dengan berbagai
strategi dan cara penyelesaian (solusi). Kondisi seperti ini memungkinkan: (1)
terjadinya multi interaksi, baik interaksi internal dalam diri siswa yang melibatkan
seluruh sense (cipta, rasa, karsa) siswa serta interaksi antara siswa dengan siswa,
siswa dengan guru, maupun interaksi siswa dengan sumber belajar yang lain, (2)
siswa untuk belajar menggunakan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari, (3)
membantu mengembangkan kegiatan kreatif dan pola fikir matematika siswa melalui
pemecahan masalah (problem solving) secara silmutan. Untuk menjawab
permasalahan dari berbagai segi sudut pandang yang berbeda. Kegiatan matematika
dan kegiatan siswa disebut memenuhi ketiga aspek berikut, yaitu: (1) kegiatan siswa
harus terbuka, (2) kegiatan matematika adalah ragam berpikir, (3) kegiatan siswa dan
kegiatan matematika adalah merupkan satu kesatuan.
26

Proses pembelajaran yang demikian mencerminkan kualitas proses


pembelajaran yang baik. Proses pembelajaran yang baik cenderung meningkatkan
aktivitas dan prestasi belajar siswa.

D. Hipotesis Tindakan
Bila pembelajaran matematika dengan pendekatan open-ended terlaksana
dengan baik, maka aktivitas dan prestasi belajar matematika siswa kelas IV A SD
Saraswati 2 Denpasar tahun pelajaran 2012/2013 akan meningkat.

You might also like