You are on page 1of 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Untuk mencapai tujuan nasional diperlukan adanya pegawai negeri yang

penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 dan

Pemerintah serta yang bersatu padu, bermental baik, berwibawa, berdaya guna,

berhasil guna, bersih, berkualitas dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai

unsur Aparatur Negara, Abdi Negara dan Abdi Masyaarakat. Pegawai Negeri

bukan saja unsur Aparatur Negara, tetapi juga adalah abdi negara dan abdi

masyarakat yang hidup di tengah-tengah masyarakat dan bekerja untuk

kepentingan masyarakat, oleh sebab itu dalam pembinaan, Pegawai Negeri bukan

saja dilihat dan diperlakukan sebagai aparatur negara tapi juga sebagai warga

negara. Sebagai landasan untuk melaksanakan pembinaan Pegawai Negeri

diperlukan adanya Undang-Undang yang mengatur tentang kepegawaian antara

lain tentang kedudukan, kewajiban, hak dan pembinaan Pegawai Negeri. Dalam

melaksanakan peraturan perundang-undangan pada umumnya kepada Pegawai

Negeri diberikan tugas kedinasan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Sehubungan dengan itu, maka setiap

Pegawai Negeri wajib melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan

kepadanya dengan penuh tanggung jawab. Untuk terwujudnya kebutuhan

sumberdaya manusia yang berkualitas, pemerintah membentuk peraturan

perundang-undangan dibidang pendidikan, salah satunya adalah Peraturan

Menteri Pendidikan Nasional Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemberian


Tugas Belajar Bagi Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Departemen Pendidikan

Nasional

Hak dan kewajiban pemberian tugas belajar dicantumkan dalam bentuk

perjanjian sebagaimana yang tercantum dalam pasal 16 Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional Nomor 48 Tahun 2009 Peraturan Menteri Pendidikan

tentang Pedoman Pemberian Tugas Belajar Bagi Pegawai Negeri Sipil Di

Lingkungan Departemen Pendidikan Nasional. Pasal 4 ayat 2 Perjanjian tugas

belajar menegaskan bahwa pihak kedua selaku pelaksana tugas belajar

berkewajiban untuk

a) menyerahkan tugas sehari-hari kepada atasan langsung atau pejabat

lain yang ditunjuk

b) melaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara

tempat tugas belajar dilaksanakan

c) melaporkan alamat lembaga pendidikan dan tempat tinggal kepada

pimpinan unit kerja

d) melaporkan perubahan alamat tempat tinggal kepada pimpinan unit

kerja

e) melaporkan perkembangan pelaksanaan tugas belajar per-semester

kepada pimpinan unit kerja

f) melaporkan perkembangan pelaksanaan tugas belajar kepada

Perwakilan Republik Indonesia di negara tempat tugas belajar

sebagai bahan pertimbangan pejabat dalam pemberian DP3


g) kembali ke unit kerja asal pada kesempatan pertama setelah

berakhirnya masa tugas belajar

h) melapor secara tertulis kepada pimpinan unit kerja 1 (satu) bulan

setelah yang bersangkutan menyelesaikan tugas belajar atau

berakhir masa melaksanakan tugas belajar

i) menyerahkan 1 (satu) buah disertasi dan ijazah asli yang diperoleh

kepada PIHAK PERTAMA

j) melaksanakan ikatan dinas di unit kerja asal menurut lamanya

mengikuti tugas belajar

k) membayar sejumlah ganti rugi atas biaya pendidikan yang telah

dikeluarkan kepada negara apabila membatalkan secara sepihak

tugas belajar yang harus dilaksanakannya, membatalkan

perjalanannya ke tempat belajar, tidak mendapat hasil yang

sewajarnya dalam waktu yang teah ditetapkan karena kelalaiannya,

tidak melaksanakan ikatan dinas baik untuk seluruhnya maupun

untuk sebagian masa ikatan dinas yan telah ditentukan sesuai

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila ketentuan dalam pasal 4 ayat 2 perjanjian tersebut tidak terpenuhi

maka pihak kedua akan diberi sanksi sebagaimana yang tercantum dalam pasal 7

perjanjian yakni :

a) Hukuman disiplin berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku; dan


b) Mengembalikan / menyetor ke kas Negara sejumlah biaya yang

telah dikeluarkan selama tugas belajar ditambah 100%.

Namun kenyatannya, penerapan sanksi sebagaimana yang tercantum

dalam pasal 7 terkait pelanggaran ketentuan pasal 4 perjanjian tugas belajar

tersebut tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Hal ini dapat dilihat di beberapa

perguruan tinggi yang ada di provinsi riau seperti Universitas Negeri Riau,

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau dan Politeknik Negeri

Bengkalis

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik melakukan penelitian

tesis dengan judul “Penerapan Sanksi Terhadap Aparatur Sipil Negara Yang

Tidak Menyelesaikan Tugas Belajar Di Kota Pekanbaru”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Penerapan Sanksi Pelanggaran Perjanjian Tugas Belajar

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 48

Tahun 2009 Tentang Pedoman Pemberian Tugas Belajar Bagi Pegawai

Negeri Sipil Di Lingkungan Departemen Pendidikan Nasional ?

2. Bagaimanakah hambatan dalam Penerapan Sanksi Pelanggaran Perjanjian

Tugas Belajar Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Dan

Kebudayaan Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pemberian Tugas

Belajar Bagi Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Departemen Pendidikan

Nasional ?
3. Apa upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan Penerapan Sanksi

Pelanggaran Perjanjian Tugas Belajar Berdasarkan Peraturan Menteri

Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Pedoman

Pemberian Tugas Belajar Bagi Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan

Departemen Pendidikan Nasional ?

A. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu :

a) Untuk menganalisis bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja

dalam proses hubungan industrial pada sektor perkebunan di provinsi

riau.

b) Untuk menganalisis bagaimana efektifitas penerapan Perjanjian Kerja,

Perjanjian Kerja Bersama dan Peraturan Perusahaan dalam

mewujudkan perlindungan hukum terhadap pekerja dalam proses

hubungan industrial pada sektor perkebunan di provinsi riau ?

2. Kegunaan Penelitian

a) Untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan penulis berkaitan dengan

permasalahan yang diteliti

b) Untuk menjadi referensi bagi peneliti berikutnya dan memperkaya

khazanah ilmu pengetahuan dalam dunia akademik

c) Untuk memberi masukan bagi instansi terkait dalam mengambil

kebijakan yang berkaitan dengan permasalah yang menjadi objek

penelitian

B. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai “Perlindungan hukum terhadap pekerja dalam

proses hubungan industrial pada sektor perkebunan di provinsi riau.” Penulisan

ini merupakan hasil penelitian dan pemikiran penulisan denga didasari pada

hasil penelitian dan kajian kepustakaan. Sepanjang pengetahuan penulis melalui

bacaan pustaka, belum pernah ada penelitian yang sama sebelumnya.

Penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian dan karya-karya ilmiah telah

dilakukan, dan telah ditemukan berbagai hasil penelitian yang membahas

permasalahan serupa tetapi tidak ditemukan hasil penelitian lain yang secara

spesifik membahas tentang perlindungan hukum terhadap pekerja dalam proses

hubungan industrial pada sektor perkebunan di provinsi riau. Adapun

penelitian-penelitian yang pernah ada sebelumnya namun memiliki pembahasan

yang berbeda yaitu :

1. Penelitian dalam bentuk tesis yang dilakukan oleh R. Soedamoko. SH,

dengan judul “Perlindungan Pekerja/Buruh Dalam Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu (PKWT) Sejak Berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan”. Penelitian tersebut difokuskan pada

perbandingan keadaan pekerja/Buruh secara keseluruhan sebelum dan

sesudah lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Etika Kurniasih dengan judul “Peranan

mediator dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial antara

pekerja dan pengusaha”. Penelitian tersebut menekakan kepaa peran dan

fungsi mediator dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial


yang terjadi antara pekerja dan pengusaha serta tata cara penunjukan

mediatornya.

E. Kerangka Teori

1. Teori Kehendak ( Wilstheori )

Karena kehendak adalah proses batiniah yang tidak tampak, maka yang

dapat dijadikan penyebab terjadinya perjanjian adalah pernyataan bukan

kehendak. Jika terjadi ketidak sesuaian antara pernyataan dan kehendak, maka

perjanjian tetap terjadi. Dalam prakteknya teori ini sulit untuk diterapkan

karena kekeliruan tidak dapat dikoreksi. Untuk itu ada pendapat, bahwa sikap

untuk melindungi pihak lawan yang keliru tidak boleh didukung.

2. Teori Pernyataan

Karena kehendak adalah proses batiniah yang tidak tampak, maka yang

dapat dijadikan penyebab terjadinya perjanjian adalah pernyataan bukan

kehendak. Jika terjadi ketidak sesuaian antara pernyataan dan kehendak, maka

perjanjian tetap terjadi. Dalam prakteknya teori ini sulit untuk diterapkan

karena kekeliruan tidak dapat dikoreksi. Untuk itu ada pendapat, bahwa sikap

untuk melindungi pihak lawan yang keliru tidak boleh didukung.

3. Teori Perlindungan Hukum

Gagasan Roscoe Pound mengenai fungsi hukum bertolak dari

pengertiannya ten tang hukum. Bagi Pound, hukum bukan saja sekumpulan sistem

peraturan, doktrin, dan kaidah atau azas-azas, yang dibuat dan diumumkan oleh
badan yang berwenang, tetapi juga proses-proses yang mewujudkan hukum itu

secara nyata melalui penggunaan kekuasaan. Berdasarkan pengertian hukum

seperti itu, Pound mengemukakan gagasannya mengenai fungsi hukum sebagai

alat rekayasa sosial (social engineering).1

Hukum tidak lepas dari kehidupan manusaia. Maka untuk membicarakan

hukum kita tidak dapat lepas membicarakannya dari kehidupan manusaia. Setiap

Mausia mempunyai kepentingan. Kepentingan adalah sesuatu tuntutan perorangan

atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Setiap manusia adalah

pendukung atau penyandang kepentingan. Sejak dilahirkan manusia butuh,

makan, pakaian, tempat berteduh dan sebagainya. Menginjak dewasa

bertambahlah jumlah dan jenis kepentingannya seperti bermain, bersekolah,

berkeluarga, dan sebagainya. Dari sejak kecil beranjak dewasa serta menjelang

saat ia meninggal dunia kepentingannya berkembang.2

Manusia menginginkan agar kepentingan-kepentingannya terlindungi dari

bahaya yang mengancamnya. Untuk itu ia memerlukan bantuan manusia lain.

Dengan adanya kerjasama dengan manusia lain akan lebih mudahlah

keinginannya tercapai atau kepentingannya terlindungi.

Hidup dalam masyarakat yaitu salah satu kehidupan bersama yang

anggota-anggotanya mengadakan pola tingkah laku yang maknanya dimengerti

oleh sesama anggota. Masyarakat merupakan kehidupan bersama yang

1
Roscoe Pound. 1996. Pengantar Filsafat Hukum. Bhratara Niaga Media : Jakarta. hlm 11
2
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2005.

Hlm 19
terorganisir untuk mencapai dan merealisasikan tujuan bersama. Kalau disebuah

pulau hanya terdapat seorang manusia saja belumlah dapat dikatakan ada

masyarakat, tetapi kalau kemudian datangmanusia lain di pulau itu akan terjadilah

hubungan dan peraturan-peraturan. Apa yang mempertemukan atau mendekatkan

kedua manusia itu sama lain adalah pemenuhan kebutuhan atau kepentingan

mereka. Kehidupan bersama dalam masyarakat didasarkan pada adanya

kebersamaan tujuan. Masarakat itu mempunyai tatanan sosial psikologis. Adanya

sesama manusia itu di dalam suasan kesadaran individu mempengaruhi pikiran,

perasaan serta perbuatannya. Manusia akan berusaha dan akan merasa

bebahagiaapabila ia dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat. Manusia tidak

mungkin berdiri diluar atau tanpa masyarakat. Sebaliknya masyarakat tak

mungkin ada tanpa manusia.

Menurut Pasal 1 ayat (31) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, mengatur mengenai perlindungan kerja yaitu:“Kesejahteraan

pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang

bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja,

yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja

dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.”

Pekerja memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,

khususnya pembangunan ekonomi di Indonesia. Maka dari itu, kepada mereka

perlu diberikan perlindungan hukum, pemeliharaan, dan peningkatan

kesejahteraan. Menyadari akan pentingnya pekerja bagi pengusaha, pemerintah,

dan masyarakat, maka perlu diupayakan agar pekerja/buruh dapat menjaga


keselamatannya dalam menjalankan pekerjaan. Demikian pula perlu diusahakan

ketenangan dan kesehatan pekerja agar dapat meningkatkan produktivitas kerja.

Tujuan perlindungan tenaga kerja adalah untuk menjamin berlangsungnya

sistem hubungan kerja secara harmonis tanpa disertai adanya tekanan dari pihak

yang kuat kepada pihak yang lemah. Untuk itu pengusaha wajib melaksanakan

ketentuan perlindungan tenaga kerja tersebut sesuai peraturan perundang-

undangan yang berlaku3

Pada Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa:

(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan

atas:

a. Keselamatan dan kesehatan kerja;

b. Moral dan kesusilaan; dan

c. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta

nilai-nilai agama.

Perlindungan hukum tentang tenaga kerja di Indonesia diatur dalam

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara

yuridis memberikan perlindungan bahwa setiap tenaga kerja berhak dan

mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan

penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama dan

3
Abdul Khakim,, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung, Citra Aditya
Bakti,2009, hlm. 105
aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang

bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap penyandang cacat

Pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan mewajibkan kepada pengusaha untuk memberikan hak dan

kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, ras, agama, warna

kulit dan aliran politik4. Sedangkan pada Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan5, disebutkan juga bahwasetiap

pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga

kerja.6

Perlindungan kerja dapat dilakukan baik dengan jalan memberikan

tuntunan, santunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi

manusia, perlindungan fisik dan sosial ekonomi melalui norma yang berlaku

dalam perusahaan. Dengan demikian, secara teoritis dikenal ada tiga jenis

perlindungan kerja, yaitu sebagai berikut:

1. Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha

kemasyarakatan, yang tujuannya untuk memungkinkan pekerja/buruh

mengembangkan kehidupannya sebagaimana manusia pada umumnya, dan

khususnya sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga.

2. Perlindungan teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan

usaha-usaha untuk menjaga agar pekerja/buruh terhindar dari bahaya

kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau bahan yang

4
Pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
5
Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
dikerjakan. Perlindungan ini lebih sering disebut sebagai keselamatan

kerja.

3. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan

dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja/buruh suatu

penghasilan yang cukup berguna untuk memenuhi keperluan sehari

baginya dan keluarganya, termasuk dalam hal pekerja/buruh tidak mampu

bekerja karena sesuatu kejadian di luar kehendaknya. Perlindungan jenis

ini biasanya disebut jaminan sosial.7

Dalam Upaya melindungi pekerja, Serikat pekerja/serikat buruh bebas

dalam menentukan asas organisasinya tetapi tidak boleh menggunakan asas yang

bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dikarenakan

Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai

konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.8 Serikat pekerja/serikat buruh,

federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai sifat antara lain

1. Bebas ialah sebagai organisasi dalam melaksanakan hak dan kewajibannya,

serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat

7
Asyhadie Zaeni, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada,2007,hlm 37
8
Rachmat, Martoyo. 1991. Serikat pekerja, pengusaha, dan kesepakatan kerja bersama.

Jakarta: Fikahati Aneska, hlm 125


pekerja/serikat buruh tidak dibawah pengaruh ataupun tekanan dari pihak

manapun.

2. Terbuka ialah dalam menerima anggota ataupun dalam memperjuangkan

kepentingan pekerja/buruh tidak membedakan aliran politik, agama, suku

bangsa, dan jenis kelamin.

3. Mandiri ialah dalam mendirikan, menjalankan dan juga mengembangkan

organisasi ditentukan oleh kekuatan sendiri tidak dikendalikan oleh pihak

lain di luar organisasi.

4. Demokratis ialah dalam melakukan pembentukan organisasi, pemilihan

pengurus, memperjuangkan dan juga melaksanakan hak dan kewajiban

organisasi dilakukan sesuai dengan prinsip demokrasi.

5. Bertanggung jawab ialah untuk mencapai tujuan dan melaksanakan hak dan

kewajibannya, serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi

serikat pekerja/serikat buruh bertanggung jawab kepada anggota,

masyarakat, dan negara.9

Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial, penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

(PPHI) dapat dilakukan melalui 2 (dua) pilihan, yakni :

1. Pengadilan Hubungan Industrial yang berada dalam lingkungan Pengadilan

Negeri,

9
Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja (Jakarta: Djambatan,

2000), hlm. 74
2. Penyelesaian diluar Pengadilan yang terdiri dari 4 cara yang dapat dipilih oleh

para pihak yang berselisih. Melalui undang-undang PPHI penyelesaian

perkara Perselisihan Hubungan Industrial dapat dilakukan melalui proses

mediasi. Mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian perselisihan

hubungan industrial diluar pengadilan. Mediasi mempertemukan antara

pekerja/buruh yang berselisih dengan majikan/pengusaha dengan bantuan

mediator dari setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaa kabupaten/kota.

Dalam mediasi ini perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha

biasanya dapat selesai dan berakhir dengan damai, tapi kadang kala tidak dapat

selesaikan dengan adanya proses mediasi saja. Hal ini disebabkan karena salah

satu pihak tidak merasa puas dengan keputusan yang di hasilkan dalam proses

mediasi. Maka dengan adanya undang-undang baru inilah penulis merasa tertarik

untuk melakukan pengkajian yang lebih mendalam tentang proses penyelesaian

PHI secara mediasi. Dengan lahirnya Undang-undang. Nomor 2 Tahun 2004

tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) ini, diharapkan

dapat menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial yang semakin meningkat

dan kompleks yaitu dengan mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial yang sederhana, cepat, adil dan murah yang juga dilihat dari aspek

hukum acara perdata.

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Hubungan Industrial menyebutkan beberapa jenis perselisihan atau

sengketa tenaga kerja, yaitu :


1. Perselisihan hak;

2. Perselisihan kepentingan;

3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja;

4. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam Undang-undang Nomor

2 Tahun 2004 memungkinkan penyelesaian sengketa buruh atau tenaga kerja

diluar pengadilan, diantaranya: penyelesaian melalui Bipartit,10 merupakan

langkah pertama yang wajib dilaksanakan dalam penyelesaian sengeta tenaga

kerja oleh pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja adalah dengan melakukan

penyelesaian dengan musyawarah untuk mufakat, sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004, memberi jalan

penyelesaian sengketa Buruh dan Tenaga Kerja berdasarkan musyawarah mufakat

dengan mengadakan azas kekeluargaan antara buruh dan majikan. 11

Penyelesaian melalui Mediasi, ialah penyelesaian perselisihan hak,

perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja

atau serikat buruh dalam satu perusahaan, melalui musyawarah yang ditengahi

oleh seorang mediator yang netral, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 1

UUPPHI). Penyelesaian Melalui Konsiliasi, penyelesaian melalui Konsiliator

yaitu pejabat konsiliasi yang diangkat dan diberhentikan oleh menteri tenaga kerja

10
Sentanoe Kertonegoro, Hubungan Industrial, Hubungan Antara Pengusaha dan

Pekerja (Bipartid) dan Pemerintah (Tripartid), 2001, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta,

hlm 23
11
Pasal (6) dan pasal ( 7) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004
berdasarkan saran organisasi serikat pekerja atau serikat buruh. Penyelesaian

melalui Arbitrase, undang-undang dapat menyelesaikan sengeta melalui arbitrase

meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dan

majikan didalam suatu perusahaan.

Selain penyelesaian sengeta dilakukan diluar pengadilan, dapat juga

Penyelesaian sengketa tenaga kerja melalui pengadilan. Dalam UU PPHI,

disebutkan bahwa hakim yang bersidang terdiri dari 3 hakim, satu hakim karir dan

dua hakim ad hoc. Hakim ad hoc adalah anggota majelis hakim yang ditunjuk dari

organisasi pekerja dan organisasi pengusaha. Hakim ad hoc, dianggap orang yang

mengerti dan memahami hukum perburuhan saat ini dengan baik. Tujuannya,

karena hukum perburuhan ini mempunyai sifat yang spesifik, maka,dibutuhkan

orang-orang khusus yang mengerti permasalahan perburuhan.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang PPHI

menyebutkan bahwa Setiap perselisihan terjadi di suatu perusahaan, wajib

diselesaikan secara bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan atau

serikat pekerja/atau serikat buruh. Bila upaya penyelesaian secara bipartit tidak

berhasil, maka salah satu pihak yang berselesih mencatatkan kasus perselisihanya

pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan dilengkapi

dengan bukti-bukti upaya penyelesaian secara bipartit yang telah dilakukan.

Instasi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan, provinsi atau

kabupaten/kota, setelah meneliti berkas perselisihan, bila perselisihan berkaitan


dengn perselisihan hak maka perselisihan tersebut dilimpahkan pada mediator

untuk segera dilakukan mediasi:12

1. Adanya pekerjaan yang harus dilakukan

2. Adanya perintah (bekerja atas perintah atasan atau pengusaha)

3. Adanya upah.

Agar tertibnya kelangsungan dan suasana bekerja dalam hubungan industrial,

maka perlu adanya peraturan-peraturan yang mengatur hubungan kerja yang

harmonis dan kondusif. 13 Peraturan tersebut diharapkan mempunyai fungsi untuk

mempercepat pembudayaan sikap mental dan sikap sosial Hubungan Industrial. Oleh

karena itu setiap peraturan dalam hubungan kerja tersebut harus mencerminkan

dan dijiwai oleh nilai-nilai budaya dalam perusahaan, terutama dengan nilainilai

yang terdapat dalam Hubungan Industrial.

Dengan demikian maka kehidupan dalam hubungan industrial berjalan

sesuai dengan nilai-nilai budaya perusahaan tersebut.

Dengan adanya pengaturan mengenai hal-hal yang harus dilaksanakan

oleh pekerja dan pengusaha dalam melaksanakan hubungan industrial, maka

diharapkan terjadi hubungan yang harmonis dan kondusif. Untuk mewujudkan

hal tersebut diperlukan sarana sebagaimana dimaksud dalam pasal 103 uu

12
Sendjun Manulang, Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia (Jakarta:

Rineka Cipta, 2001), Hlm 67.


13
Indra Afrita, Hukum Ketenagakerjaan dan Penyelesaian Sengketa Hubungan

Industrial di Indonesia, Beran, Tirtonirmolo Kasihan Bantul Yogyakarta: Absolute Media, hlm.

28-29
ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 bahwa hubungan industrial dilaksanakan

melalui sarana sebagai berikut :

1) Lembaga kerja sama bipartit

2) Lembaga kerja sama tripartit

3) Organisasi pekerja atau serikat pekerja/buruh

4) Organisasi pengusaha

5) Lembaga keluh kesah & penyelesaian perselisihan hubungan industrial

6) Peraturan perusahaan

5. Perjanjian Kerja Bersama

Setiap pengusaha yang mempekerjakan 50 (limapuluh) orang pekerja atau

lebih dapat membentuk Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit dan anggota-anggota yang

terdiri dari unsure pengusaha dan pekerja yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan dan

keahlian.

LKS Bipartit bertugas dan berfungsi sebagai Forum komunikasi, konsultasi

dan musyawarah dalam memecahkan permasalahan-permasalahan

ketenagakerjaan pada perusahaan guna kepentingan pengusaha dan pekerja. Para

manager perusahaan diharapkan ikut mendorong berfungsinya Lembaga Kerjasama

Bipartit, khususnya dalam hal mengatasi masalah bersama, misalnya penyelesaian

perselisihan industrial.

LKS Bipartit bertujuan :

1) Terwujudnya ketenangan kerja, disiplin dan ketenangan usaha.


2) Peningkatan kesejahteraan Pekerja dan perkembangan serta kelangsungan

hidup perusahaan.

3) Mengembangkan motivasi dan partisipasi pekerja sebagai pengusaha di

perusahaan.

Kriteria LKS Bipartit :

1) Pengurus terdiri dari minimal 6 anggota yang ditunjuk (3 wakil

pengusaha, 3 wakil pekerja).

2) Proses penunjukkan anggota dilaksanakan secara musyawarah dan mufakat.

3) Kepengurusan bersifat kolektif dan kekeluargaan.

4) Struktur kepengurusan (Ket ua, Wakil Ketua, merangkap anggota

dari 2 anggota).

5) Masa kerja kepengurusan 2 tahun dan dapat ditunjuk kembali.

6) Azasnya adalah kekeluargaan dan gotong royong dan musyawarah

untuk mufakat.

Dalam hal konsultasi dengan pekerja, yang perlu diperhatikam adalah

sebagai berikut :

1) Jika Perusahaan sudah memiliki Lembaga Kerja Sama Bipartit, konsultasi

dapat dilakukan dengan lembaga tersebut, begitu pula jika ada Serikat Pekerja,

maka konsultasi dapat dilakukan dengan Serikat Pekerja yang telah disahkan.

2) Jika Lembaga Kerjasama Bipartit dan Serikat Pekerja tidak ada, maka

konsultasi dapat dilakukan dengan karyawan yang ada dalam perusahaan

tersebut.
Perundingan antara pengusaha dengan pekerja untuk menyelesaikan

perselisihan hubungan industrial. Pengurus Bipartit menetapkan jadwal acara dan

waktu untuk rapat perundingan. Penyelesaian melalui Bipartit :

1) Perselisihan hubungan industrial wajib diselesaikan secara

musyawarah untuk mufakat;

2) Diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya

perundingan;

3) Dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak,

sifatnya mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh

para pihak;

4) Wajib didaftarkan oleh para pihak kepada Pengadilan Hubungan

Industrial di Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan

Perjanjian bersama;

5) Diberikan Akta Pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian bersama;

6) Salah satu pihak atau pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan

eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan negeri

di wilayah Perjanjian Bersama didaftarkan.

7) Permohonan eksekusi dapat dilakukan melalui PHI di Pengadilan

Negeri di wilayah domisili pemohon untuk diteruskan ke PHI di

Pengadilan Negeri yang berkompeten melakukan eksekusi;

8) Perundingan dianggap gagal apabila salah satu pihak menolak perundingan

atau tidak tercapai kesepakatan;


9) Salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihan

kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat

dengan melampirkan bukti upaya penyelesaian melalui perundingan

bipartit telah dilakukan.

Risalah Perundingan Bipartit :

1) Nama lengkap dan alamat para pihak.

2) Tanggal dan tempat perundingan

3) Pokok masalah atau alasan perselisihan

4) Pendapat para pihak.

5) Kesimpulan atas hasil perundingan.

6) Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.

4. Teori Kepastian Hukum

Sudah umum bilamana kepastian sudah menjadi bagian dari suatu hukum,

hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai

kepastian akan kehilangan kati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat

digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya

merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak

perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu

memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan.

Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum,

karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan

menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan

yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo


kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus

dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya

pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang

berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis

yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu

peraturan yang harus ditaati.

Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law mengajukan 8 (delapan)

asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi, maka hukum

akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain harus terdapat

kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut :

1. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak

berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;

2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik

3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;

4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;

5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;

6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa

dilakukan;

7. Tidak boleh sering diubah-ubah;

8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.

Pendapat Lon Fuller di atas dapat dikatakan bahwa harus ada kepastian

antara peraturan dan pelaksanaannya, dengan demikian sudah memasuki ranah


aksi, perilaku, dan faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hukum positif

dijalankan.

F. Metode Penelitian

Adapun sistematika metode penelitian hukum sosiologis adalah sebagai

berikut:

1. Jenis dan pendekatan Penelitian

Sesuai dengan judul penulis, maka jenis penelitian adalah penelitian

hukum sosiologis. Penelitian hukum sosiologis adalah penelitian yang dilakukan

dengan cara mengadakan identifikasi hukum bagaimana efektivitas hukum itu

berlaku dalam masyarakat dalam hal ini terkait perlindungan hukum terhadap

pekerja dalam proses hubungan industrila pada sektor perkebunan di Provinsi

Riau. Metode pendekatan yuridis atau undand-undang empiris bertujuan untuk

menunjang keakuratan data dan mencari kejelasan mengenai peraturan yang

berkaitan dengan penelitian.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah Perusahaan yang bergerak pada sektor

Perkebunan di Provinsi Riau alasan ditetapkan lokasi ini karena di Provinsi riau

banyak terdapat perusahaan yang bergerak pada sektor perkebunan

3. Populasi dan Sampel/ Objek dan informan penelitian


Populasi adalah sekumpulan objek yang hendak diteliti berdasarkan lokasi

penelitian yang letaknya ditentukan sebelumnya. Yang dijadikan populasi dalam

penelitian ini adalah lansung kepada pihak terkait yaitu Perusahaan Perkebunan

di Provinsi Riau yang tergabung dalam Sinar Mas Group, Surya Dumai Group,

PTPN V ,bagian Personalia dan HRD, Pekerja, Serikat Pekerja, Instansi terkait

dan Organisasi Pengusaha.

Sampel adalah himpunan bagian dari populasi yang dapat mewakili

keselurahan objek penelitian, untuk mempermudah penelitian dalam hal

menentukan penelitian Sampel dalam penelitian ini adalah lansung kepada pihak

terkait.

Teknik yang penulis gunakan dalam pengambilan sampel adalah metode

sensus yaitu menetapkan sampel berdasarkan jumlah populasi yang ada secara

keseluruhan dan metode random yaitu menetapkan sejumlah sampel yang

mewakili jumlah populasi yang ada, yang kategori sampelnya itu telah ditetapkan.

4. Sumber data

a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari masyarakat yang

ditetapkan sebagai responden dalam penelitian.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan yang berkaitan

dengan penelitian dan bersifat mendukung data primer.

c. Data tertier, yaitu data yang diperoleh dari kamus, ensiklopedia dan

sejenisnya yang berfungsi untuk mendukung data primer dan skunder.

5. Teknik pengumpulan data


Untuk mendapatkan data primer dan data skunder, maka dalam

pengumpulan data penulis menggunakan alat pengumpulan data penulis

menggunakan alat pengumpulan data sebagai berikut :

1. Observasi atau pengamatan, yaitu penulis mengadakan pengamatan secara

lansung terhadap gejala-gejala (objek penelitian) yang kemudian dicatat

secara sistematis dan logis.

2. Kuisioner yaitu metode pengumpulan data dengan cara membuat daftar-

daftar pertanyaa yang memiliki korelasi dengan permasalahan yang diteliti

3. Wawancara yakni, dalam hal ini penulis mengumpulkan data dengan cara

tanya jawab dengan responden secara langsung. Guna mendapatkan

jawaban secara langsung dari responden atas pertanyaan penulis yang

berhubungan dengan masalah pokok penelitian. Dalam melakukan

wawancara, penulis menggunakan wawancara terstruktur, yaitu sebelum

melakukan wawancara dengan responden, terlebih dahulu penulis

mempersiapkan daftar pertanyaan yang berkaitan dengan masalah yang

akan diteliti

6. Analisis data

Setelah data sekunder dan data primer dikumpulkan dari penelitian maka

dari data tersebut penulis menganalisis dengan menggunakan metode analisis

kualitatif, yaitu uraian terhadap hasil penelitian dan data terkumpul dengan

menggunakan peraturan perundang-undangan, pendapat para pakar, termasuk


hasil observasi penulis yang didapatkan dilapangan. Dalam menarik kesimpulan

digunakan metode berfikir induktif, yakni cara berfikir yang menarik suatu

kesimpulan dari suatu pertanyaan yang bersifat khusus menjadi suatu pernyataan

yang bersifat umum.

7. Sistematika Penulisan

BAB I merupakan Proposal Penelitian yang berisikan Latar belakang serta

rumusan masalah yang menjadi objek Penelitian, jenis penelitian, lokasi penelitian

serta Populasi dan sampel.

BAB II merupakan kajian pustaka terkait orginilatias pebulisan serta

literatur yang terkait dengan penulisan

BAB III merupakan Landasan atau teori yang digunakan dalam membuat

penulisan

BAB IV merupakan Pembahasan hasil penelitian

BAB V merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

You might also like