You are on page 1of 4

KESADARAN SEBAGAI BANGSA MARITIM

Memeriksa kemaritiman Indonesia, semua pihak akan mudah jatuh dalam jebakan
kebingungan akut. Sebab, jika benar Indonesia merupakan negara kepulauan, mestinya laut dan
kelautan menjadi prioritas utama dalam proses pembangunan bangsa. Dengan kata lain, semakin
kita memahami posisi kemaritiman itu, negara bangsa malah memegang teguh agrarisme dan
menyingkirkan kemaritiman dalam batas-batas wacana dan praktik budaya.
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantaai terpanjang ketiga di dunia.
Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km2. Potensi ekonomi maritim cukup besar.
Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2 yg terdiri dari wilayah teritorial sebesar 3,2
juta km2 dan wilayah Zona Ekonomi Ekskusif (ZEE) 2,7 juta km2. Indonesia memliki 17.840 pulau
besar dan kecil. Dengan cakupan yang luas seperti itu tentu maritim Indonesia mengandum
keanekaragaman alam laut yang sangat potensial baik hayati maupun nonhayati.
Dalam posisi demikian, nusantara harus pula disebut dan dibahas di sini. Konsep negara
kepulauan (nusantara) memberikan pemahaman bahwa Indonesia merupakan sebuah negara
yang terletak di antara dua benua dan dua samudera. Posisi geografis seperti itu menempatkan
70% angkutan barang melalui laut dari Eropa, Timur Tengah dan Asia Selatan ke wilayah pasifik,
dan sebaliknya harus melalui perairan Indonesia.
Bayangan identitas fisik seperti itu ternyata belum dipraktikan secara komprehensif oleh
pengambil kebijakan bangsa ini. Keuntungan yang luar biasa di atas sebagai konsekuensi jati diri
bangsa nusantara tidak disertai dengan kapasitas yang sepadan. Bangsa indonesia masih
mengidap kerancuan identitas. Bangsa Indonesia terjebak antara dua pilihan; antara bangsa
agraris di satu pihak atau maritime di sisi yang lain.
Pertanyaannya, mengapa banyak pihak menyebut diri sebagai bangsa agraris padahal
laut menjadi ciri utama bangsa ini? Tulisan ini menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara
maritim dan bukan agraris. Alasannya adalah karena memang Indonesia merupakan negara
kepualuan yang memiliki wilayah laut lebih besar daripada daratan. Maka, tesis utama tulisan ini
adalah bahwa sejauh memahami laut dan kemaritiman maka kedaulatan berada dan terletak di
sana. Kedaulatan bangsa adalah sejauh memahami Indonesia sebagai bangsa maritim dan bukan
agraris.

Romantisme Sejarah
Sejak zaman dahulu, banyak bangsa di dunia yang mengenal Indonesia sebagai bangsa
kepulauan. Nenek moyang orang Indonesia telah berlayar ke hampir seluruh penjuru dunia.
Realitas itu tentu didukung oleh posisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki
wilayah laut lebih besar dari daratan.
Kejayaan maritime seperti itu perlahan-lahan hilang dan dimusnahkan karena banyak
sebab. Kolonialisme menjadi entitas pertama yang harus bertanggung jawab atas kemusnahan
bayangan maritim dari kepala dan pikiran rakyat dan masyarakat Indonesia. Kekuasaan
kolonialisme belajar dari kuatnya kerajaan-kerajaan di Indonesia kala itu. Untuk menyebut
beberapa, kita mengenal Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Mataram dan Demak. Beberapa kerajaan
itu memiliki armada laut yang luar biasa hebat dan diseagani oleh bangsa lain di dunia.
Kilasan sejarah itu memberi gambaran betapa kerajaan-kerajaan dulu mampu
menyatuhkan wilayah nusantara dan disegani bangsa lain karena kehebatan armadanya. Sejarah
telah mencatat dengan tinta emasnya bahwa Sriwajaya dan Majapahit pernah menjadi center of
excellence di bidang maritim, kebudayaan dan agama diseluru Asia Tenggara.
Saat ini, kejayaan itu tidak lagi dikenal. Kejayaan tersebut seakan ditutup oleh kemiskinan
yang melanda rakyat Indonesia. Sebagaimana dijelaskan di atas, hilangnya kejayaan Indonesia
sebagai bangsa maritim dan munculnya kemiskinan sebagai ciri utama bangsa dan negara ini
disebabkan karena pengambil kebijakan di level negara telah diajarkan untuk menempatkan
Indonesia sebagai negara agraris. Indonesia kemudian membayangi dirinya sebagai bangsa yang
mendapat ‘nasi’ dari piring daratan.
Wacana ‘lauk pauk’ harus dibaca dalam konteks seperti ini. Dalam bayangan seperti itu
pun, maka manusia Indonesia sering menyebut, tanpa lauk pun orang masih bisa bertahan hidup.
Nasi identik dengan darat dan lauk disamakan dengan laut. Dengan pemahaman seperti itu maka
laut bisa dikesampingkan dan daratan harus dikedepankan. Dengan kata lain, laut boleh disebut
tetapi darat menjadi pilihan utama.
Berkaitan dengan nasionalisme, nasionalisme Indonesia dengan demikian hanya dapat
dipahami sejauh ‘kuat di darat’ dan boleh melunak di laut. Pemikiran seperti ini perlahan-lahan
ditanam dan diinternalisasi oleh kolonial dan diteruskan oleh pengambil kebijakan bangsa ini.
Nasionalisme Indonesia seperti semakin dangkal. Rasa keberpihakan negara terhadap dunia
maritim pun semakin lemah.
Harus diakui bahwa baru beberapa tahun kemarin Indonesia menyadari kembali
posisinya itu. Negara membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Meskipun
demikian, pembentukan departemen setingkat menteri seperti itu belumlah cukup tanpa
penanaman kembali nilai-nilai kemaritiman yang telah hilang. DKP tidak hanya berperan
meningkatkan penerimaan negara dari aspek keluatan tetapi juga membangun kembali bayangan
masyarakat akan posisi laut dan keluatan.

Internalisasi dan Obyektivikasi: Upaya ke Depan


Pemaparan di atas mengajak kita untuk tidak hanya melakukan kerja internalisasi nilai
kemaritiman tetapi membuktikan dan membumikan nilai kelautan itu dalam praktik hidup
berbangsa dan bernegara. Dengan itu, kedaulatan bangsa akan terpenuhi di sana. Selain
melakukan internalisasi nilai dan budaya kemaritiman, upaya lainnya adalah memperdayakan
potensi ekonomi kalautan dan mentraformasikan sumber kekayaan laut menjadi sumber
kemajuan dan kemakmuran bangsa. Krisis multidimensi yang melanda bangsa ini bisa dilakukan
dengan cara demikian.
Merujuk Bakri, setidaknya ada 5 pilar yang harus dimiliki Indonesia agar menjadi poros
maritim yakni Budaya Maritim, pengelolahan Sumber Daya Laut, Pembangunan Infrastruktur/tol
laut, Diplomasi Maritim, dan Kekeuatan Pertahanan Maritim.
1. Budaya Maritim
Dalam orasi kebudayaan di Dewan Kesenian Jakarta, Farid (2014) menyebutkan fakta-fakta yang
tak terbantahkan tentang eksistensi kita sebagai negara maritime. Luas wilayah laut Indonesia
3,2 juta meter persegi sedangkan luas daratan kita hanya 1,9 juta meter persegi. Kita harus paham
bahwa Indonesia ini sebuah Archipelangie state. Kata Archipelangie state seharusnya diartikan
sebagai negara yang menempatkan laut sebagai pilihan utama atau laut yang ditaburi pulau.
Jika digarap dengan baik, sektor maritim membuka 40 juta lapangan kerja di Indonesia. Selama
ini kita belum mampu mewujudkan potensi itu menjadi kenyataan. Kita masih memfokuskan
kegiatan-kegiatan ekonomi kita di saat ini melalui pertanian, peternakan, perkebunan, kesehatan,
dan pertambangan. Bahkan indusrti justru merusak lingkungan di mana-mana,namun. Di sini kita
harus menyebut kesadaran kolektif bangsa. Kita kehilangan memori kolektif sebagai bangsa
maritim. Padahal kesadaran kolektif kita adalah manusia maritim dan oleh karenanya menjadi
samudera, laut, selat dan teluk sebagai ibu kota.
2. Mengelola Sumber Daya Laut
Dalam sebuah artikel, Kepala Puslitbang Geologi Kelautan, Subaktian Lubis menuliskan bahwa
pembangunan kelautan bukanlah sektor tunggal. Pembangunan kelautan merupakan multisektor
dan multifungsi. Dengan demikian, dalam pemanfaatannya, diperlukan sinergi antarpengelola
sumber kekayaan alam (SKA) di laut dan kordinasi lintas sektoral yang terkait dan berkompoten
dibidang kelautan. Ditinjau dari geopolitik dan geostrategi pengelola kelautan ini sangat logis bila
dijadikan tumpuan dalam pembangunan ekonomi nasional.
Sementara ini, pengelola SKA di laut telah memberikan kontribusi terhadap APBN 2014. Data
menunjukan bahwa sektor ini menyumbang Rp 0,6 triliun dan sektor perikanan Rp 1,6 Triliun
dari sumber daya mineral, Rp 28 Triliun dan subsekstor minyak bumi dan Rp 15,7 Triliun dari
gas Alam untuk APBN (Yusgiantoro, 2014). Kontribusi masing-masing masih berpeluang untuk
ditingkatkan terutama melalui sinergi antara pengelola dan penerapan tekonologi penerapan
yang tepat.
3. Pembangun Infrakstruktur / tol laut
Menteri Pekerja umum dan perumahan rakyat Mochammad Basuki Hadimoeljono mengatakan
akan menfokuskan membangun infrakstruktur pelabuhan laut untuk mendukung proyek tol laut
yang diusung oleh Presiden Joko Widodo. Ekonom Cryillus Harinowo memproyeksi proyek tol
laut dapat mengurangi biaya logistic barang dari pelabuhan tanjung priok, Jakarta ke Sorong,
papua 500%.
Di sini sangat jelas bahwa rencana yang ingin dijalankan oleh presiden Jokowi sangatlah besar
dan akan membuat perubahan pada negara kita. Kita akan mendapat banyak keuntungan dari
adanya pembuatan jalan tol laut tersebut. Juga akan memeratakan ekonomi di Negara kita
juga.dan dengan begitu segala kapal ekspor yang berlayar tidak akan sudah lagi.
Tapi masih ada banyak pihak yang tidak percaya pada program ini, banyak kritikan yang diterima
juga dalam pembangunan program ini. Banyak pihak yang merasa rencana ini tidak akan berhasil
dan bagitu banyak yang mengatakan lebih baik memperhatikan jalan darat yang masih jauh dari
harapan ketimbang menjalankan program yang begitu jauh dari keberhasilan.
4. Diplomasi Maritim
Dalam menjalankan diplomasi perbatasan maritim melalui enam metode dan platform. Pertama,
melalui negosiasi dengan Negara-negara tetangga. Tolak penyelesaian masalah perbatasan
melalui dialok dan perundingan yang terjadwal. Kedua, membentuk komite perbatasan bersama
dsn komite perbatasan umum, sebagai kerangka penyelesaian masalalh lintas perbatasan diaman
komite ini juga menfasilitasi aktifitas social ekonomi masyarakat di perbatasan. Ketiga,
memepercepat pembangunan social ekonomi di wilayah perbatasan melalui penguatan kordinasi
antar lembaga. Empat, meningkatkan kapasitas domestic dari aspek keselamatan navigasi. Lima,
berpartisdipasi dalam negosiasi multilateral, isu-isu maritime dan hokum laut. Enam, diplomasi
preventif menciptakan saling percaya dan menghindari konflik .
5. Kekuasaan Pertahanan Maritim
Sesuai dengan pidato Presiden Joko Widodo pada konferensi tingkat tinggi Asia Timur ke-9 sesi
paripurna Naypydaw, Myanmar 13 November 2014 di mana seluruh peserta KTT Asia Timur
diajak bersama-sama untuk menjadi poros maritim dunia. Untuk mencapai poros maritim dunia
maka tiap peserta dari KTT Asia Timur menggalang kekuatan pertahanan maritim. Sebagai
negara yang menjadi titik tumpuh dua samudera dan dua benua, menjaga kedaulatan dan
kekayaan maritim merupakan bentuk tanggung jawab dalam keselamatan pelayaaran dan
keamanan maritime.
Uraian di atas membawa kita pada satu muara. Bahwa untuk mencapai Indonesia sebagai poros
maritim bukanlah hal mudah, Penanaman dan internalisasi nilai-nilai kelautan harus terus
digalakan. Kerja ekstra keras harus dilakukan untuk mencapai Indonesia sebagai poros maritim
dunia. Semua pihak, (pemerintah dan masyarakat) harus bahu membahu dan sama-sama
mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara maritime. Bayangan kejayaan masa lampau
harus dibuktikan dan dikembalikan saat ini. Sriwiya dan Majapahit tidak cukup disebut dan
dihafal. Nilai Sriwijaya dan Majapahit harus dibumikan dalam setiap bentuk pengambilan
kebijakan pembangunan di negara dan bangsa ini.

You might also like