You are on page 1of 3

1.

Teuku Umar
Tokoh pejuang Aceh, Teuku Umar, memiliki nama lengkap Teuku Umar Johan Pahlawan. Ia lahir di kawasan Meulaboh
tahun 1854 dari nenek moyang Datuk Makudum Sati yang merupakan keturunan Minangkabau dan pernah berjasa besar
pada Sultan Aceh.
Kala Perang Aceh meletus pada 1873, Umar yang baru berusia 19 tahun, ikut bertempur. Setahun kemudian, ia menikah
dengan Nyak Sopiah, anak Ulebalang Glumpang. Ia kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, seorang putri
Panglima Sagoe XXV Mukim.
Sejak pernikahan itu, gelar Teuku bisa disandang oleh Umar, sedangkan nama Johan Pahlawan diberikan oleh Belanda
saat Teuku Umar pura-pura menyatakan kooperatif. Peristiwa yang sangat menggemparkan itu dikenal dengan nama
"Sandiwara Besar".
Berlangsung ketika Teuku Umar serta pasukannya pura-pura melakukan sumpah setia pada Belanda. Padahal itu
dilakukan sebagai taktik tipu daya untuk memperoleh logistik dan amunisi dari Belanda.
Begitu semua perlengakapan diperoleh, termasuk gelar Johan Pahlawan, Teuku Umar dan pengikutnya kembali
bergabung dengan pasukan Cut Nyak Dien. Akibat tipu daya itu, Gubernur Belanda di Aceh, Mayor Jenderal C
Deijkerkhof, dicopot dari jabatannya.
Ketika suami Cut Nyak Dien, Teuku Ibrahim, gugur, Teuku Umar datang ke acara penguburan. Dari sana, Cut Nyak Dien
berkenalan dengan Teuku Umar dan selanjutnya menikah. Bersama, mereka menjadi pasangan pemimpin yang tangguh.
Seiring berjalannya waktu, kekuatan pasukan pasangan ini menyurut. Pada Febrauari 1899, Belanda melancarkan
serangan besar-besaran di Meulaboh dan membuat Teuku Umar gugur. Jasadnya kemudian dikuburkan secara rahasia
di kawasan terpencil, Meugo.
Tujuannya agar Belanda tidak memanfaatkan gugurnya Teuku Umar untuk meruntuhkan moril tempur pejuang Aceh.
Kawasan makam Teuku Umar itu secara rutin dipakai sebagai tempat upacara memperingati Hari Pahwalan 10
November.
2. Pangeran Antasari
adalah salah satu Pahlawan Nasional dari Kalimantan Selatan yang turut berperang melawan penjajah Belanda untuk
membela wilayah Kalimantan Selatan. Pangeran Antasari lahir di Banjarmasin tahun 1809. Walau seorang ningrat, ia
sangat merakyat. Karenanya, ia sangat paham penderitaan rakyat di bawah jajahan Belanda.
Pangeran Antasari dibantu beberapa kepala daerah Hulu Sungai, Martapura, Barito, Pelaihari, Kahayan. Kapuas dan
lain-lain bertekad mengusir Belanda dari Kerajaan Banjar. Tak terelakan, perang pun terjadi pada 18 April 1859. Pada
Pertempuran itu Belanda mendapat kesulitan.
Pada Oktober 1862. ia merencanakan serangan besar-besaran ke benteng Belanda. Kekuatan sudah dikumpulkan.
Namun, saat itu wabah cacar menyerang. Pangeran Antasari pun terkena hingga merenggut nyawanya. Ia meninggal
dunia di Bayan Begak (Kalsel) pada 11 Oktober 1862 dan dimakamkan di Kelurahan Sungai Jingah Banjarmasin Utara.
Dan ditempat tersebut dibangun Komplek pemakaman Pahlawan Nasional dengan nama Komplek Makam Pangeran
Antasari, ditempat tersebut juga terdapat makam Ratu Antasari yang merupakan isteri Pangeran Antasari serta makam
Pahlawan lainnya seperti Panglima Batur yaitu panglima perang pengikut setia Pangeran Antasari, Hasanuddun HM (
Hasanuddin bin Haji Madjedi ) yaitu pahlawan Ampera didaerah ini seorang mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin yang wafat tahun 1966.
3. Tuanku Imam Bonjol
lahir di Bonjol, Pasaman 1772 dan wafat di Pineleng, Minahasa, 6 November 1864. Nama aslinya Muhammad Shahab,
dan adalah pemimpin Perang Padri melawan Belanda. Ia salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia kelahiran
Sumatra Barat. Ia wafat dan dimakamkan di Lotak, Minahasa sewaktu dalam pengasingannya.
Perang Padri meletus di Minangkabau antara sejak tahun 1821 hingga 1837. Kaum Paderi dipimpin Tuanku Imam
Bonjol melawan penjajah Hindia Belanda. Gerakan Padri menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di
masyarakat Minang, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau, sirih,
dll.
Perang ini dipicu oleh perpecahan antara kaum Paderi pimpinan Datuk Bandaro dan Kaum Adat pimpinan Datuk Sati.
Pihak Belanda kemudian membantu kaum adat menindas kaum Padri. Datuk Bandaro kemudian diganti Tuanku Imam
Bonjol melanjutkan untuk menjadi pemimpin Perang Padri.
Perang melawan Belanda baru berhenti tahun 1838 setelah seluruh bumi Minang ditawan oleh Belanda dan setahun
sebelumnya, 1837, Imam Bonjol ditangkap.
4. Sultan Hasanuddin
lahir di Makassar pada 11 januari 1631, dia merupakan putera dari Sultan Malik Asy-Said, Raja Gowa ke- 15. Nama
lengkap Hasanuddin adalah I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Gelar
Hasanuddin adalah Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan sultan Hasanuddin saja.
Sejak kecil Hasanuddin mendapatkan pendidikan agama yang baik. Sebab itu, ketika remaja dirinya melihat dan
mendengar aneka kedzaliman yang dilakukan oleh penjajah terhadap saudara-saudara seiman, sehingga hal ini
menumbuhkan kegeraman di dalam hatinya. Semangat jihad yang telah tertanam didalam jiwanya sejak masih kanak-
kanak kelak membuatnya menjadi pemimpin yang sangat berani, tegas dan mencintai kesyahidan. Hal ini terbukti saat
memimpin rakyatnya melawan penjajah VOC sehingga Belanda sendiri menyebut beliau sebagai De Haantjes van Het
Oosten, yang memiliki arti “Ayam Jantan Dari Timur”.
Sepeninggal ayahnya, Hasanuddin menjadi raja Gowa ke-16. Saat itu VOC tengah giat berusaha menguasai
perdagangan rempah-rempah. Upaya ini mendapat tentangan dari kerajaan-kerajaan di seluruh Nusantara, tak terkecuali
kerajaan Gowa yang juga menguasai jalur perdagangan di wilayah Timur Indonesia.
Tahun 1666, Laksamana Cornelis Speelman memimpin satu armada kapal perang untuk menundukan kerajaan-kerajaan
kecil di Sulawesi. Namun menundukan Gowa ternyata sangat sulit. Bahkan kerajaan Islam ini berusaha mempersatukan
kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawannya. Pertempuranpun tak bisa dihindarkan. VOC sempat
kewalahan dan meminta bantuan armada perang dari Batavia. Kekuatan pun menjadi tidak imbang. Akhirnya Gowa
terdesak dan melemah hingga pada 18 November 1667, Gowa bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya.
Perjanjian ini tidak bertahan lama disebabkan Belanda berkhianat. Hasanuddin mengobarkan api jihad kembali. VOC
kembali kewalahan menghadapi serbuan Mujahidin Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin. Batavia segera mengirim
kembali armada dan pasukan perang ke Sulawesi Selatan untuk membantu angkatan perang yang ada di sana.
Pertempuran berjalan dengan sengit.
Tak lama kemudian seiring dengan datangnya bantuan dari Batavia, VOC akhirnya mampu menerobos benteng
Sombaopu, benteng terkuat kerajaan Gowa pada 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin pun Gugur.
5. Ahmad Rifa'i
Dakwah kiai terkenal tegas, sehingga Belanda pun mengawasi gerak-geriknya. Belum lagi tulisan-tulisannya yang menyuarakan
kemerdekaan Tanah Air dari tangan penjajah.
Dengan sikap patriotik tersebut, kiai sering kali ditangkap penjajah, di penjara, bahkan diasingkan. Berkali-kali ia keluar masuk penjara
di Kendal dan Semarang. Ia juga pernah diasingkan di Desa Kalisalak Batang. Saat dipengasingan tersebut, kiai justru mendirikan
sebuah pondok pesantren. Dengan berdirinya ponpes tersebut, warga pun mulai melek terhadap pendidikan agama dan perjuangan
kemerdekaan.
Lelah keluar masuk penjara, kiai pun kemudian memutuskan pergi ke Tanah Suci. Saat itu, usianya sekitar 30 tahun. Kiai ingin
menambah ilmu agamanya langsung dari ulama Saudi. Di sana, ia pun berguru kepada para masyayikh, seperti Syekh Ahmad
Ustman, Syekh Is Al -Barawi dan Syekh Abdul Aziz Al Habisyi. Setelah menempa ilmu di Saudi sekitar delapan tahun, kiai melanjutkan
belajar ke Mesir.
Saat kembali ke Tanah Air, kiai makin mapan berdakwah. Ia pun kemudian bersama ulama-ulama Tanah Air yang belajar di Haramain,
mengadakan sebuah pertemuan. Mereka membahas kehidupan Muslimin Indonesia yang masih dekat dengan hal-hal mistis dan
kesyirikan. Sebuah gerakan pembaharuan pun muncul di benak ulama-ulama tersebut, termasuk kiai Rifa'i.
Dari gerakan pembaruan itulah Kiai Rifa'i kemudian membangun organisasi sosial kemasyarakatan yang disebut Rifa'iyyah. Organisasi
ini bergerak di ranah sosial agama dengan objek pembaruan masyarakat desa. Dalam perkembangannya, gerakan ini menjadi aksi
protes penjajahan belanda dan kaum tradisional.
Sebagai ulama, kiai banyak berdakwah serta menulis dan menerjemahkan buku. Di antara karyanya, yakni kitab terjemahan kitab
berbahasa Arab dari ulama terdahulu yang jumlahnya mencapai 62 judul. Ia menerjemahkannya bebas ke dalam bahasa Jawa,
sehingga dapat dimengerti masyarakat pedesaan. Karya-karya terjemah yang disebut Tarjumah inilah yang paling terkenal dari hasil
karyanya. Pasalnya, kitab-kitab itu sangat membantu masyarakat desa dalam memahami agama.
Sebagai pejuang, Kiai Rifa'i sangat vokal dalam menyerukan perlawanan terhadap Belanda. Ia berdakwah sembari menanamkan
semangat kemerdekaan kepada masyarakat. Alhasil, setiap geraknya selalu diawasi penjajah. Kiai sering kali diasingkan ke tempat
terpencil. Ia juga pernah dibuang ke Ambon dan Manado.
Di akhir hayatnya, kiai pun meninggal di pengasingan di Tanah Tondano, Minahasa, Manado, Sulawesi Utara. Bahkan, tanggal
kematiannya pun tak ada yang tahu pasti. Ada yang bilang, Kiai wafat pada Kamis 25 Rabiul Akhir 1286 H di usia 86 tahun. Sumber
lain menyebut kiai wafat pada 1292 H di usia 92 tahun. Jenazah kiai dimakamkan di kompleks makam pahlawan di Tindano.
6. Untung Suropati
Perlawanan Untung Suropati terhadap voc – Surapati melawan VOC terjadi pada tahun 1685 – 1706. Nama lengkapnya
adalah Untung Surapati atau Untung Suropati. Ia adalah bekas seorang budak yang berasal dari Bali. Setelah menjadi
orang bebas, ia masuk dinas militer VOC. Karena kecakapan dan kepribadiannya yang kuat, ia dapat mencapai pangkat
Letnan.
Kemudian ia mendapat tugas mengadakan operasi militer di daerah Banten dan Priangan. Dalam operasai itu, Surapati
berhasil menangkap Pangeran Purbaya. Siapakah Pangeran Purbaya?
Pangeran Purbaya menyerahkan kerisnya kepada Untung Suropati. Tetapi secara ksatria, Surapati mengembalikan keris
itu kepada Pangeran Purbaya. Wakil Surapati seorang pembantu Letnan bangsa Belanda bernama Kuffeler tidak
menyetujui kebijakan Surapati itu.
Dengan sombong ia menghina Surapati sebagai atasannya, karena Surapati seorang pribumi. Maka terjadilah
perselisihan antara keduanya. Dalam perselisihan itu, Kuffeler mati terbunuh. Sejak itulah Surapati keluar dari dinas
tentara VOC. Kemudian mengadakan perlawanan di daerah Priangan.
Ketika VOC mengirimkan pasukan untuk menangkapnya, ia telah menyingkir ke Kartasura. Kemudian VOC mengirimkan
pasukan ke Kartasura di bawah pimpinan Kapten Tack. Dalam pertempuran di Kartasura, Kapten Tack dengan sebagian
besar anak buahnya terbunuh oleh pasukan Surapati. Kemudian Surapati dan anak buahnya bergerak ke Jawa Timur,
dan kemudian mendirikan kerajaan kecil di Pasuruan.
Sementara itu, di Mataram terjadi pergantian tahta. Sunan Amangkurat II wafat pada tahun 1703. Ia digantikan oleh
putranya, Sunan Amangkurat III, yang juga terkenal dengan sebutan Sunan Mas.
Dari tindakan-tindakannya, tampaklah bahwa Sunan Mas memihak perjuangan Surapati. Oleh sebab itu VOC
mencalonkan Pangeran Puger sebagai raja baru. Dengan dukungan VOC, Pangeran Puger dapat menggeser kedudukan
Sunan Mas.
Setelah naik tahta Pangeran Puger bergelar Paku Buwono I. Namun ia harus menandatangani perjanjian dengan VOC
pada tahun 1705. Sementara itu setelah kedudukannya tergeser Sunan Mas menggabungkan diri dengan Untung
Surapati di Jawa Timur.
Pada tahun 1706 VOC mengirimkan tentara yang kuat ke Jawa Timur, untuk menyerang Surapati. Dengan gagah berani
Surapati memimpin perlawanan terhadap VOC. Namun ia gugur dalam pertempuran di Bangil.
Sunan Mas melanjutkan perlawannnya terhadap VOC. Tetapi setahun kemudian tertangkap, dan diasingkan ke Sri
Lanka. Sementara itu, pengikut-pengikut Surapati masih terus melakukan perlawanan hingga tahun 1719.

7. Perang Diponegoro
adalah perang yang terjadi selama lima tahun antara tahun 1825-1830. Perang ini disebut juga perang Jawa. Perang ini
dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Awal mula terjadinya perang Diponegoro adalah karena Belanda memasang patok
di tanah milik Pangeran Diponegoro di desa Tegalrejo.
Pada tahun 1827, Belanda menggunakan strategi benteng. Strategi yang digunakan oleh Belanda berhasil menangkap
Kyai Maja kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Ali Basya menyerahkan diri kepada
Belanda.
Pada tanggal 28 Maret 1830 Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Disana, Pangeran
Diponegoro menyatakan bahwa ia menyerahkan diri dengan syarat sisa pasukannya di lepaskan. Lalu Pangeran
Diponegoro ditangkap dan diasingkan di Manado kemudian di pindahkan di Makasar hingga wafatnya pada 8 Januari
1855. Perang pun dilanjutkan oleh puteranya yaitu Pangeran Joned, Ki Sudewo, Diponingrat, dan Diponegoro Anom.
Namun sayangnya usaha yang dilakukan puteranya bernasib tragis. Diponingrat dan Diponegoro Anom dibuang ke
Ambon dan Ki Sudewo dan Pangeran Joned terbunuh saat peperangan. Dengan demikian, berakhirlah perang
Diponegoro.
8. Nyi Ageng Serang
mewarisi jiwa dan sifat ayahandanya yang sangat benci kepada penjajahan Belanda (VOC) dan memiliki patriotisme yang tinggi.
Menyimpang dari adat kebiasaan yang masih kuat mengingat kaum wanita masa itu, Nyi Ageng Serang mengikuti latihan-latihan
kemiliteran dan siasat perang bersama-bersama dengan para prajurit pria. Keberaniannya sangat mengagumkan, dalam kehidupannya
sehari-hari beliau sangat berdisiplin dan pandai mengatur serta memanfaatkan waktu untuk kegiatan-kegatan yang bermanfaat.
Pandangannya sangat tajam dan menjangkau jauh ke depan. Menurut keyakinannya, selama ada penjajahan di bumi pertiwi, selama
itu pula rakyat harus siap tempur untuk melawan dan mengusir penjajah. Karena itu rakyat terutama pemudanya dilatih terus-menerus
dalam ha kemahiran berperang.
Hal itu rupanya dapat diketahui oleh penjajah Belanda. Karenanya pada suatu ketika mereka mengadakan penyerbuan secara
mendada terhadap kubu pertahanan Pangeran Natapraja bersama putra-putrinya itu, dengan kekuatan tentara yang besar. Karena
usianya sudah lanjut, pemimpin pertahanan Serang di serahkan kepada nyi Ageng Serang bersama putranya laki-laki. Walaupun
diserang dengan mendadak dan dengan jumlah dan kekuatan tentara besar, pasukan Serang tetap berjuang dengan gigih dan
melakukan perlawanan mati-matian. Dalam suatu pertempuran yang sangat sengit putra Penembahan Natapraja, saudara laki-laki nyi
Ageng Serang, gugur. Pimpinan dipegang langsung sendiri oleh Nyi Ageng Serang dan berjuang terus dengan gagah berani.
Namun demikian, karena jumlah dan kekuatan musuh memang jauh lebih besar, sedangkan rekan seperjuangannya yaitu Pangeran
Mangkubumi tidak membantu lagi karena mengadakan perdamaian dengan Belanda berdasarkan perjanjian Giyanti. (13 Februari
1755), maka akhirnya pasukan Serang terdesak, dan banyak yang gugur sehingga tidak mungkin melanjutkan perlawan lagi.
Walaupun Nyi Ageng Serang tidak mau menyerahkan diri, akhirnya tertangkap juga dan menjadi tawanan Belanda. Panembahan
Natapraja sudah makin lanjut usia dan menderita batin yang mendalam dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut. Akhirnya beliau
jatuh sakit dan wafat.
Kiai lahir di Desa Tempuran, Kendal, Jawa Tengah pada 9 Muharram 1200 hijriyyah, atau 1786 masehi. Ia telah menjadi yatim di usia
sangat belia. Sang ayah yang merupakam ulama Kendal, KH Muhammad Marhum Bin Abi Sujak, meninggal saat Kiai Rifa'i baru
berusia enam tahun. pun kemudian di bawah pengasuhan kakak perempuannya yang bersuamikan Kiai As'ari, pengurus ponpes di
Kaliwungu.
9. Raja Sisingamangaraj XII
Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat di pantai-pantai Aceh. Saat itu
Tanah Batak di mana Raja Si Singamangaraja XII berkuasa, masih belum dijajah Belanda.Tetapi ketika 3 tahun
kemudian, yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan “Regerings Besluit Tahun 1876″ yang menyatakan daerah
Silindung/Tarutung dan sekitarnya dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen Belanda
di Sibolga, Raja Si Singamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda.
Kalau Belanda mulai menguasai Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba,
Samosir, Dairi dan lain-lain. Raja Si Singamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah
konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige,
bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut:
1. Menyatakan perang terhadap Belanda
2. Zending Agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.
Pertahanan Raja Si Singamangaraja XII diserang dari tiga jurusan. Tetapi Raja Si Singamangaraja XII tidak bersedia
menyerah. Kaum wanita dan anak-anak diungsikan secara berkelompok-kelompok, namun kemudian mereka tertangkap
oleh Belanda. Tanggal 17 Juni 1907, di pinggir bukit Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di
perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah Raja Si Singamangaraja XII oleh
pasukan MarsoseBelanda pimpinan Kapten Christoffel.

10. Martha Christina Tiahahu


Sejak masih kecil Dia telah aktif dalam urusan militer. Bahkan Martha Christina Tiahahu bergabung dengan Pattimura
dalam perang melawan pemerintah colonial Belanda. Ketka Martha Christina Tiahahu berumur 17 tahun, Martha
Christina Tiahahu bertarung dalam beberapa pertempuran.
Setelah Martha Christina Tiahahu ditangkap pada bulan Oktober 1817, saat itu, Martha Christina Tiahahu bersama
pejuang lainnya melemparkan batu pada pasukan belanda karena pasukan yang bersamanya kehabisan amunisi.
Namun, kemudian Vermeulen Kringer mengambil alih militer Belanda di Maluku dan akhirnya Martha Christina Tiahahu,
ayahnya dan kapten Pattimura ditangkap oleh colonial Belanda namun Martha Christina Tiahahu dibebaskan karena
umurnya yang masih terlalu muda. Namun, Martha Christina Tiahahu melanjutkan untuk berjuang melawan Belanda.
Dalam sebuah penyapuan di bulan Desember 1817 Martha Christina Tiahahu dan beberapa pejuang lainnya ditangkap
kembali. tanggapan gerilya tersebut ditempatkan di Evetsen dan untuk kemudian Martha Christina Tiahahu dan pejuang
lainnya dikirim ke Jawa untuk dijadikan pekerja budak di perkebunan kopi, tetapi Martha Christina Tiahahu jatuh sakit
dalam perjalanan dan menolak untuk meminum obat sehingga meningga di sebuah kapal saat berada di laut Banda pada
tanggal 2 Januari 1818 dan Martha Christina Tiahahu dimakamkan di laut tersebut.
Segera setelah kemerdekaan Indonesia, Martha Christina Tiahahu diumumkan sebagai salah satu Pejuang Nasional
Indonesia. Tanggal 2 Januari dijadikan hari Martha Christina Tiahahu.
Pada hari tersebut, orang-orang di Maluku menyebarkan bunga di laut Banda dalam peringatan penghormatan
perjuangannya. Beberapa monument telah didedikasikan untuk Martha Christina Tiahahu.
Di Ambon yang merupakan ibu kota provinsi Maluku, sebuah patung Martha Christina Tiahahu setinggi 26 kaki
memegang sebuah tombak dibangun pada tahun 1977, patung tersebut masih berdiri di Karangpanjang mengarah ke
laut Banda. Di Abubu, sebuah patung Martha Christina Tiahahu memimpin tentara ketika memegang sebuah tombak juga
dibangun dan didedikasikan dalam memperingari 190 tahun kematiannya.
Martha Christina Tiahahu memiliki beberapa hal yang menggunakan namanya termasuk nama sebuah jalan di
Karangpanjang, Ambon dan kapal perang, KRI Martha Christina Tiahahu. Organisasi lain juga menggunakan namanya
sebagai sebuah symbol keberanian dan semangat perjuangan termasuk sebuah organisasi social orang-orang Maluku di
Jakarta dan sebuah majalah wanita di Ambon.

You might also like