Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
KARTIKA APRIANI
10101012
Pembimbing :
Dr. Benny Chairuddin, Sp.An, M.Kes
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkah dan
pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul “Manajemen
Anastesi Spinal Pada Pasien Dengan Pre Eklamsia Berat” yang diajukan sebagai persyaratan
untuk mengikuti KKS Ilmu Anestesi. Terima kasih penulis ucapkan kepada dokter pembimbing
yaitu dr. Benny Chairuddin, Sp.An, M.Kes yang telah bersedia membimbing penulis, sehingga
laporan kasus ini dapat selesai pada waktunya.
Penulis memohon maaf jika dalam penulisan laporan kasus ini terdapat kesalahan, dan
penulis memohon kritik dan saran pembaca demi kesempurnaan laporan kasus ini. Atas
perhatian dan sarannya penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat
anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/ subaraknoid juga disebut sebagai
analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Anestesi spinal dimulai pertama kali oleh beberapa dokter Jerman. Pada tahun 1884, Dr.
Carl Kaler pertama kalinya mengaplikasikan kokain pada kornea dan konjunctiva untuk
menghasilkan anestesia topikal. Pada tahun 1897, dr. bedah Jerman, Dr. August Bier memakai
jarum spinal yang dikembangkan oleh seorang dokter dari Universitas Berlin, Dr. Iraneus
Quincke, untuk menginjeksikan kokain ke ruangan subarachroid. Pada awal eksperimen, Bier
dan asistennya saling menyuntikkan anastesi spinal ini satu sama lain. Setelah pulih dari blok
motorik dan sensoris, masing-masing peneliti melaporkan timbulnya postdural puncture
headache yang parah.
Anestesi spinal awalnya dihambat oleh nyeri kepala hebat, hipotensi, pilihan farmakologi
yang terbatas dan komplikasi infeksi. Saat ini masing-masing hal tersebut diatas sudah dapat
diatasi. Postdural puncture headache dapat berkurang hingga < 2,5 % dengan pemakaian
pencil point spinal needle dan blood patch telah dikembangkan untuk terapi yang efektif.
Hidrasi intravena dan pemakaian vasokonstriktor yang bijaksana merupakan terapi yang simpel
dan efektif untuk atasi masalah spinal anesthesia induced hypotensi.
Ada banyak pilihan farmakologi yang tersedia sehingga dapat disesuaikan dengan
kebutuhan ketinggian blok dan durasi kerja yang dibutuhkan sesuai dengan prosedur bedah
tertentu. Akhirnya, teknik yang aseptik dan kit spinal anestesia yang steril dan sekali pakai
akan mengurangi komplikasi infeksi.
I. ANASTESI SPINAL
A. Anatomi1.4
Ruangan subarachnoid spinal dimulai dari foramen magnum dan berlanjut dengan ruang
subarachnoid intrakranial. Ruang subarachonoid spinal tersebar sampai dengan kira-kira
setinggi sakral 2.
Kolumna vertebralis melindungi spinal cord dan nerve root proksimal dalam suatu
ruangan tulang yang protektif dan dibagi menjadi 7 servikal, 12 thoraks, 5 lumbal. Di caudal
dari Lumbal 5 terdapat sacrum dan koksigeal. Diantara sacrum dan koksigeal terdapat
posterior opening disebut sacral hiatus yang secara klinis dipakai untuk melakukan teknik
blok kaudal epidural.
Kolumna vertebralis memiliki beberapa kurve yang relevan secara klinis. Pada saat
pasien dengan posisi supinasi : Titik paling tinggi (paling anterior) pada kolumna vertebralis
adalah C5 dan L4-5. Titik paling posterior adalah T5 dan S2
Anatomi ini, bersama dengan barisitas dari anestesi yang disuntikkan dapat dipakai untuk
mengontrol level dermatom dari anestesia. Masing-masing vertebra dihubungkan olel rangkaian
ligament yang menjaga kestabilan saat pergerakan. Di anterior dari kanalis spinalis, korpus
vertebra dihubungkan oleh ligamentum longitudinal anterior dan posterior. Di posterior dari
kanalis spinalis, rangkaian dari 3 buah ligamen menghubungkan lamina dan processus spinosus
dari vertebra yang saling berdampingan. Ligamen flavum adalah yang paling kuat, dari
processus artikuler ke midline processus spinosus. Ligamentum interspinosus menghubungkan
dengan ligamentum flavum di bagian anterior dan di bagian posterior dengan ligamentum
supraspinosus. Di bagian superior dan posterior berhubungan dengan processus spinosus.
Ligamentum supraspinosus dari C7 – S1, menghubungkan apeks dari processus spinosus di
posterior.
Pada kanalis spinalis terdapat elemen saraf (spinal cord dan cauda equina), cairan
serebrospinal (CSF) dan pembuluh darah yang mensuplai spinal cord. Pertimbangan anatomi
yang penting adalah inferior terminus dari spinal cord, yaitu konus medularis. Spinal cord
tersebar hingga L 3 pada anak-anak dan L 1-2 pada orang dewasa.
Indikasi
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah, panggul,
dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah endoskopi,
urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetric, dan bedah anak.
Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi
umum.
Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi lumbal,
bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan tekanan intracranial.
Kontraindikasi relatf meliputi neuropati, prior spine surgery, nyeri punggung, penggunaan obat-
obatan preoperasi golongan AINS, heparin subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil,
serta a resistant surgeon.
Efek Kardiovaskuler
Respon kardiovaskular adalah akibat blok sistem saraf simpatis yang ditimbulkan oleh
lokal anestesi intratekal. Impuls simpatis dibawa oleh serat saraf A dan C yang sangat
mudah diblok oleh agen lokal anestesi. Sehingga, blok simpatis biasanya tersebar beberapa
dermatom lebih tinggi daripada blok sensoris selama anestesi spinal. Serat saraf simpatis,
keluar dari spinal cord mulai dari T1 – L2, sehingga blok simpatis total sangat mungkin
terjadi pada blok sensoris setinggi thorakal.
Membalik posisi trendelenburg memiliki efek yang dramatis pada preload jantung
dengan spinal anestesi tinggi. Karena afterload (sistemik vaskuler resistensi) menurun
selama anestesia spinal dan preload akan menjadi penentu utama dari curah jantung, maka
pemberian cairan intravena dan posisi pasien adalah penentu utama untuk mencegah
hipotensi selama anestesi spinal. Denyut jantung mungkin berkurang dalam hubungan
dengan spinal anestesia, terutama pada blok di tingkat thorak yang tinggi. Bradikardi
prinsipnya adalah akibat blok simpatis preganglionik pada serat kardioakselarator (T1 – T4).
Mekanisme bradikardi lainnya pada spinal anestesia tinggi adalah chronotropic stretch
receptor pada atrium kanan. Saat teregang, reseptor ini akan menimbulkan peningkatan
denyut jantung, tapi dengan spinal anestesia yang menginduksi venodilatasi, aktifasi dari
atrial stretch reseptor akan menghilang dan heart rate berkurang. Meskipun biasanya denyut
(LVEDP)
Spinal anesthesia merubah tiap-tiap parameter diatas. DBP biasanya berkurang 15-20%
yang cenderung menurunkan perfusi koroner. Penurunan preload dan afterload, keduanya
mengurangi LVEDP, yang akan menurunkan kebutuhan O2 miokard sehingga menutupi
penurunan DBP. Hasilnya hanya terjadi sedikit penurunan CPP (5-10%). Heart rate juga
penting, karena waktu diastolik secara tidak proporsional memendek (dibandingkan dengan
waktu sistolik) akibat peningkatan heart rate. Heart rate cenderung menjadi stabil / menurun
dengan spinal anestesia.
Kebutuhan O2 miokard juga dipengaruhi oleh heart rate, tegangan dinding ventrikel dan
keadaan inotropik. Denervesi (hambatan) simpatis kardiak akan menurunkan heart rate dan
inotropik kira-kira 15 – 20 %. Berkurangnya preload dan afterload akan mengurangi ukuran
ventrikel kiri sehingga akan menurunkan tegangan dindingnya. Kebutuhan O2 juga
menurunkan sejumlah yang kira-kira sama dengan suplai O2 ke miokard. Sehingga,
Pada pasien dengan hipertensi kronis, autoregulasi serebral berubah ke arah yang lebih
tinggi, biasanya pada kisaran 80 – 180 mmHg. Sehingga hanya sedikit hipotensi yang boleh
terjadi pada pasien hipertensi kronis dengan spinal anestesia. Pasien dengan aterosklerosis
serebravaskuler yang signifikan lebih sensitif dengan menurunkan MAP. Karena adanya
obstruksi yang menetap dan signifikan, vasodilatasi serebral sebagai respon hipotensi,
tampaknya tidak bisa mempertahankan cerebral blood flow. Pasien ini harus memiliki MAP
pada kisaran 20 % normal.
Perubahan Respirasi
Volume tidal resting, minute ventilasi dan arterial blood gases tidak berubah dengan
spinal anestesi thorak tinggi. Hal ini karena, kontrol inspirasi adalah oleh fungsi diafragma
(n.phrenicus), yang tidak dipengaruhi oleh spinal anestesia. Ekshalasi normal dikontrol oleh
elastic recoil pasif dari paru. Respirasi manuver yang memerlukan ekshalasi aktif akan
dihambat oleh anestesi spinal yang luasnya sampai ke dermatom thoraks.
Renal blood flow diautoregulasi pada kisaran 50-150 MAP. MAP < 50 mmHg
menimbulkan penurunan renal blood flow dan penurunan urine output. Apabila tidak ada
hipovelemia, fungsi ginjal biasanya dapat mempertahankan dengan baik, meskipun terjadi
penurunan tekanan darah yang signifikan.
Motilitas gaster biasanya meningkat dengan anestesi spinal. Inervasi simpatis pada usus
besar dan kecil adalah lewat spinal nerve root T5 – L1. Dengan blok simpatis, tidak ada
yang menghambat intervasi vagal sehingga peristaltik lebih aktif.
Komplikasi intraoperatif:
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi karena
vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola
sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang
akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan pemberian
cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin.
Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi
spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat
walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini, hipotensi atau
hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme
reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch. Bila terjadi spinal tinggi atau
high spinal (blok pada cardioaccelerator fiber di T1-T4), dapat menyebabkan bardikardi sampai
cardiac arrest.
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan perhitungan dosis
yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi,
henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti
jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah
vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal ini
menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang
cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor penting
yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat
kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic
interkostal. Aktivitas saraf phrenik biasanya dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke
serebral mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi
Komplikasi respirasi
Bila terjadi spinal tinggi atau high spinal (blok lebih dari dermatom T5) mengakibatkan
hipoperfusi dari pusat nafas di batang otak dan menyebabkan terjadinya respiratory arrest. Bisa
juga terjadi blok pada nervus phrenicus sehingga menmyebabkan gangguan gerakan diafragma
dan otot perut yg dibutuhkan untuk inspirasi dan ekspirasi.
Komplikasi postoperative:
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala. Nyeri kepala
ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada anestesi epidural. Insiden
terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum yang digunakan. Semakin
besar ukuran jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi
nyeri kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post
suntikan biasanya muncul dalam 6 – 48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang
berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke retro orbital, dan sering disertai
dengan tanda meningismus, diplopia, mual, dan muntah.
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari tusukan jarum
yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur ligament dengan atau tanpa
hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari trauma suntikan jarum dapat di obati
secara simptomatik dan akan menghilang dalam beberapa waktu yang singkat sahaja.
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah. Komplikasi
neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik. Sindrom ini muncul dalam waktu 24
jam setelah anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia. Meningitis
aseptic hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya akan menghilang dalam
beberapa hari.
Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat
menjadi permanen atau bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau bulan. Ia
ditandai dengan defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang
bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah.
Komplikasi neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini biasanya
terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan. Sindrom ini ditandai oleh
defisit sensoris dan kelemahan motorik pada tungkai yang progresif. Pada penyakit ini terdapat
reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi dari vasculature korda spinal.
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang berlaku karena
ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang subaraknoid. Hanya pembuluh
darah radikular lateral merupakan pembuluh darah besar di area lumbar yang menyebar ke ruang
subaraknoid dari akar saraf. Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari anesthesia adalah jarang.
Tanda utamanya adalah kelemahan motorik pada tungkai bawah karena iskemia pada 2/3
anterior bawah korda spinal. Kehilangan sensoris biasanya tidak merata dan adalah sekunder dari
nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukannya akibat dari kerusakan didalam korda itu
sendiri. Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom spinal-arteri : kekurangan bekalan darah ke
arteri spinal anterior karena terjadi gangguan bekalan darah dari arteri-arteri yang diganggu oleh
operasi, kekurangan aliran darah dari arteri karena hipotensi yang berlebihan, dan gangguan
aliran darah sama ada dari kongesti vena mahu pun obstruksi aliran.
Hipotensi yang kadang timbul setelah anestesi regional dapat menyebabkan kekurangan
aliran darah. Infeksi dari spinal adalah sangat jarang kecuali dari penyebaran bacteria secara
hematogen yang berasal dari fokal infeksi ditempat lain. Jika anestesi spinal diberikan kepada
pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat kemungkinan terjadi penyebaran ke bakteri ke
spinal. Oleh yang demikian, penggunaan anestesi spinal pada pasien dengan bakteremia
merupakan kontra indikasi relatif. Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan
menyebabkan araknoiditis. Tanda dan symptom yang paling prominen pada komplikasi ini
adalah nyeri punggung yang berat, nyeri lokal, demam, leukositosis, dan rigiditas nuchal. Oleh
itu, adalah tidak benar jika menggunakan anestesi regional pada pasien yang mengalami infeksi
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun regional. Fungsi
kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali paling akhir pada analgesia spinal,
umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf pemanen merupakan komplikasi yang
sangat jarang terjadi.
E. Tatalaksana komplikasi2.3.5.8
1. Tindakan Preventif
Pemberian preloading pada pasien yang akan dilakukan anestesi spinal dengan 1 – 2 liter
cairan intravena (kristaloid atau koloid) sudah secara luas dilakukan untuk mencegah hipotensi
pada anestesi spinal. Pemberian cairan tersebut secara rasional untuk meningkatkan volume
sirkulasi darah dalam rangka mengkompensasi penurunan resistensi perifer.
Hipotensi akibat efek kardiovaskuler dari anestesi spinal dapat diantisipasi dengan loading
10 – 20 ml/kg cairan intravena (kristaloid atau koloid) pada pasien sehat akan dapat
mengkompensasi terjadinya venous pooling. Pada beberapa penelitian yang lain dikatakan
bahwa preloading cairan intravena pada pasien yang akan dilakukan anestesi spinal adalah tidak
efektif. Coe et al. dalam penelitiannya mengatakan bahwa prehidrasi pada pasien yang akan
dilakukan anestesi spinal tidak mempunyai efek yang signifikan dalam mencegah terjadinya
hipotensi. Hal ini juga dibenarkan oleh Buggy et al. Berbeda dengan Arndt et al. dia mengatakan
bahwa prehidrasi dapat secara signifikan menurunkan insidensi terjadinya hipotensi, namun
hanya dalam waktu 15 menit pertama setelah dilakukan anestesi spinal.
Penurunan tekanan darah dapat dicegah dengan pemberian preloading cairan kristaloid.
Namun hal ini tergantung dari waktu pemberian cairan tersebut. Dia mengatakan pemberian 20
ml/kg ringer laktat (RL) sesaat setelah dilakukan anestesi spinal dapat secara efektif menurunkan
frekuensi terjadinya hipotensi, bila dibandingkan dengan preloading 20 menit atau lebih sebelum
dilakukan anestesi spinal.
Efek posisi trendelenburg, ringer laktat, dan HES 6% terhadap curah jantung setelah
anestesi spinal didapatkan bahwa ketiga cara diatas dapat mencegah terjadinya penurunan curah
jantung. Pemberian RL (kristaloid) maupun HES 6 % (koloid) pada saat anestesi spinal, ternyata
tidak hanya dapat mencegah penurunan curah jantung, tapi dapat meningkatkan curah jantung.
Namun saat efek kristaloid mulai berkurang terhadap curah jantung akibat cepatnya kristaloid
berdifusi ke ruang interstitial, koloid masih dapat bertahan di intravaskuler dan masih dapat
mempertahankan curah jantung. Namun dari segi ekonomis koloid lebih mahal dibandingkan
kristaloid, dan koloid dapat menyebabkan terjadinya anafilaksis walaupun sedikit angka
kejadiannya.
Pemberian ephedrine sebelum anestesi spinal juga dapat digunakan sebagai tindakan
preventif terjadinya hipotensi. Dalam penelitiannya dengan pemberian 5 mg ephedrine IV
(bolus) dapat mengurangi insidensi terjadinya hipotensi. Dalam penelitiannya yang lain,
dikatakan pemberian ephedrine intramuskuler masih dalam perdebatan, karena absorbsi sistemik
dan peak effect dari pemberian intramuskuler sulit diprediksi. Penggunaan infus vasopresor
terutama ephedrine sebagai profilaksis, secara signifikan dapat mengurangi insidensi terjadinya
2. Penatalaksanaan hipotensi
Derajat hipotensi yang membutuhkan terapi aktif masih dalam perdebatan, hal ini
disebabkan karena adanya data-data ilmiah yang menunjukkan bahwa hipotensi masih dapat
ditoleransi pada pasien yang sehat. Penatalaksanaan hipotensi pada anestesi spinal tergantung
pada penyebab dasarnya. Jika terjadi hipotensi secara mendadak yang kemudian diikuti dengan
bradikardia dan nausea, hal ini mungkin disebabkan akibat vasovagal syncope. Atropine dapat
diberikan pada keadaan ini, namun tidak se-efektif bila diberikan vasopresor.
Untuk mengatasi hipotensi secara efektif, penyebab utama dari hipotensi harus dikoreksi.
Penurunan curah jantung dan venous return harus diatasi, pemberian kristaloid sering kali
berguna untuk memperbaiki venous return. Dalam prakteknya pemberian preloading 500 – 1500
ml kristaloid dapat menurunkan terjadinya hipotensi, walaupun pada beberapa penelitian lain
tidak efektif. Pada pasien tanpa adanya gangguan pada target organ dan asimptomatik, dengan
penurunan tekanan darah mencapai 33 % belum perlu perlu dikoreksi.
Monitoring tekanan darah dan juga pemberian suplemen oksigen harus diperhatikan pada
anestesi spinal. Pemberian cairan juga harus dimonitor secara hati-hati, karena pemberian cairan
yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya congestive heart failure, oedem paru, ataupun
Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih, dilakukan loading cairan
kristaloid 500 – 1000 ml dengan mempertimbangkan diberikan vasopresor, bila laju nadi
sekitar 70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine 5 – 10 mg IV, dan bila laju nadi sekitar 80
kali/mnt dapat diberikan phenylephrine 50 – 100 mcg IV, pemberian vasopresor tersebut
dapat diulang setiap 2 – 3 mnt bila perlu sampai tekanan darah kembali normal. Perlu
dipertimbangkan juga untuk mengubah posisi menjadi trendelenburg.
Pada pasien dengan adanya penyakit jantung dan kardiovaskuler serta penyakit di susunan
saraf pusat
Dengan laju nadi 70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine 10 – 20 mg IV, jika tidak ada respon
sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan epinephrine 8 – 16 mg IV atau infus titrasi
epinephrine 0.15 – 0.3 mcg/kg/min.
Dengan laju nadi 80 kali/mnt dapat diberikan phenylephrine 100 – 200 mcg IV, jika tidak
ada respon sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan infus titrasi phenylephrine 0.15
– 0.75 mcg/kg/min atau infus titrasi norepinephrine 0.01 – 0.1 mcg/kg/min.
Ephedrine tidak menyebabkan penurunan uterine blood flow, sehingga dapat digunakan
sebagai vasopresor kasus-kasus obstetri. Ephedrine juga memiliki efek antiemetik. Pada dewasa,
dosis yang digunakan adalah 5 – 10 mg IV dengan durasi 5 – 10 menit atau 25 mg IM dengan
durasi yang lebih panjang. Dapat pula diberikan dalam infus, dengan dosis 25 – 30 mg ephedrine
dalam 1 liter ringer laktat. Dosis untuk anak-anak dapat diberikan dengan dosis 0.1 mg/kg.
Solusio Placenta
Keadaan dimana plasenta lepas lebih cepat dari korpus uteri sebelum janin lahir. seksio
sesarea dilakukan untuk mencegah kekurangan oksigen atau keracunan air ketuban pada janin.
Terlepasnya plasenta ditandai dengan perdarahan yang banyak, baik pervaginam maupun yang
menumpuk di dalam rahim.
Faktor Janin
- Janin besar
- Gawat janin
- Letak lintang
- Letak lintang
- Bayi Abnormal
- Bayi kembar (Gemelly)
Indikasi nonmedis
Indikasi social
Menurut penelitian yang dilakukan sebuah badan di Washington DC menunjukkan bahwa
setengah dari jumlah persalinan seksio sesarea, yang secara medis sebenarnya tidak
diperlukan. Artinya tidak ada kedaruratan persalinan untuk menyelamatkan ibu dan janin yang
dikandungnya. Indikasi sosial timbul oleh karena permintaan pasien walaupun tidak ada
masalah atau kesulitan dalam persalinan normal. Hal ini didukung oleh adanya mitos-mitos yang
berkembang di masyarakat.
A. Definisi preeklampsia8
Preeklampsia merupakan suatu penyakit hipertensi yang terjadi setelah umur kehamilan
20 minggu disertai dengan proteinuria.4 Dahulu, preeklampsia didefinisikan sebagai penyakit
dengan 3 tanda yaitu: hipertensi, edema dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit
ini terjadi pada triwulan ke-3 kehamilan tetapi dapat juga terjadi sebelumnya, misalnya pada
mola hidatidosa.3
B. Etiologi dan patofisiologi
Hingga saat ini penyebab preeklampsia belum diketahui dengan pasti. Beberapa teori
telah dikemukakan tentang hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori tersebut
yang dianggap mutlak benar. Adapun teori-teori yang saat ini banyak diterima adalah sebagi
berikut:3
a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Terjadinya kegagalan remodelling arteri spiralis yang karena tidak terjadinya invasi
tropoblas pada arteri spiralis dan jaringan matriks di sekitarnya sehingga lumen arteri spiralis
tidak mengalami distensi dan vasodilatasi Hal ini menyebabkan aliran darah uteroplasenta
menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
b. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Iskemia plasenta akan menyebabkan terbentuknya radikal bebas atau oksidan yang beredar
dalam sirkulasi sehingga disebut toxaemia. Radikal bebas akan mengikat asam lemak tak jenuh
menjadi peroksida lemak yang akan merusak endotel pembuluh darah. Kerusakan endotel
pembuluh darah menyebabkan disfungsi endotel dan berakibat sebagai berikut:
- Tekanan sistole 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastole 110 mmHg atau
lebih dan tidak turun walaupun sudah menjalani perawatan di RS dan tirah
baring
- Proteinuria 5 gr atau lebih per jumlah urin selama 24 jam atau +4 dipstik
- Oliguria, air kencing kurang dari 500 cc dalam 24 jam.
- Kenaikan kreatinin serum
- Gangguan visus dan serebral; penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, dan
pandangan kabur
- Nyeri di daerah epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen karena
teregangnya kapsula Glisson
- Terjadi edema paru-paru dan sianosis
KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 35
- Hemolisis mikroangiopatik
- Terjadi gangguan fungsi hepar peningkatan SGOT dan SGPT
- Pertumbuhan janin terhambat
- Trombositopenia berat (< 100.000 sel/mm3) atau penurunan trombosit dengan
cepat
- Sindroma HELLP.
Pembagian preeklampsia berat:
- Preeklampsia berat dengan impending eklampsia
Menurut Organization Gestosis, impending eklampsia adalah gejala-gejala
edema, protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan obyektif. Gejala
subyektif antara lain : nyeri kepala, gangguan visual dan nyeri epigastrium.
Sedangkan gejala obyektif antara lain hiperreflexia, eksitasi motorik dan
sianosis.3
- Preeklampsia berat tanpa impending eklampsia
Syarat pemberian SM :
F. Komplikasi Preeklampsia/eklamsia8
Nyeri epigastrium menunjukkan telah terjadinya kerusakan pada liver dalam
bentuk kemungkinan:3
Perdarahan subkapsular
Perdarahan periportal sistem dan infark liver.
Edema parenkim liver.
Peningkatan pengeluaran enzim liver.
Tekanan darah dapat meningkat sehingga menimbulkan kegagalan dari kemampuan
sistem otonom aliran darah sistem saraf pusat (ke otak) dan menimbulkan berbagai bentuk
kelainan patologis sebagai berikut:3
Komplikasi dibawah ini yang biasa terjadi pada preeklampsia berat dan eklamsia :
a. Solusio plasenta. Komplikasi ini terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan
lebih sering terjadi pada preeklampsia.
b. Hipofibrinogenemia. Biasanya terjadi pada preeklampsia berat. Oleh karena itu
dianjurkan untuk pemeriksaan kadar fibrinogen secara berkala.
c. Hemolisis. Penderita dengan preeklampsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala
klinik hemolisis yang dikenal dengan ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah
ini merupakan kerusakkan sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal
hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklamsia dapat menerangkan
ikterus tersebut.
d. Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal
penderita eklamsia.
e. Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai
seminggu dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina. Hal ini
merupakan tanda gawat akan terjadi apopleksia serebri.
f. Edema paru-paru. Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan perubahan
karena bronkopneumonia sebagai akibat aspirasi. Kadang-kadang ditemukan abses
paru-paru.
g. Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada preeklampsia/eklamsia merupakan akibat
vasospasme arteriole umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklamsia, tetapi ternyata
juga dapat ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui
dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.
h. Sindroma HELLP yaitu haemolysis, elevated liver enzymes dan low platelet
merupakan sindrom kumpulan gejala klinis berupa gangguan fungsi hati,
hepatoseluler (peningkatan enzim hati [SGPT,SGOT], gejala subjektif [cepat lelah,
mual, muntah, nyeriepigastrium], hemolisis akibat kerusakan membran eritrosit oleh
radikal bebas asam lemak jenuh dan tak jenuh. Trombositopenia (<150.000/cc),
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
Umur : 29 tahun
Berat badan : 65 Kg
Tinggi badan : 150 cm
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Dayun
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Tanggal masuk RS : 13/10/2015. Jam 14.55 Wib
No. RM : 155606
II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Tekanan darah tinggi
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan rujukan Puskesmas Dayun G1P0A0H0 Gravid 40 minggu +
Hipertensi dalam kehamilan, Janin tunggal Hidup intra uteri.
Keluhan tekanan darah tinggi dirasakan sejak satu minggu sebelum masuk RS.
Keluhan disertai dengan nyeri pinggang dan perut mules-mules. Pasien juga
mengeluhkan keluar air-air bercampur darah, mual dan muntah muntah. Keluhan
nyeri kepala, pandangan terasa kabur, dan kejang disangkal. Periksa kehamilan rutin
satu bulan sekali dengan bidan atau dokter puskesmas, tidak ada dikatakan adanya
tekanan darah tinggi. pemeriksaan USG sebanyak 2 kali dan dikatakann janin dalam
keadaan sehat.
- HPHT : 05-01-2015
b. Status Obstetri
Inpeksi : perut tampak membesar sesuai usia kehamilan, striae gravidarum
(+), linea nigra (+)
Palpasi
Leopold I : TFU 3 jari di bawah proc.xypoideus, fundus teraba massa lunak
Urine rutin
Protein urin : Positif (+)
V. DIAGNOSIS KLINIS
Diagnosis pre operasi: G1P0A0 gravid aterm + Pre Eklamsia Berat
VII. TINDAKAN
Dilakukan : seksio sesarea
Tanggal : 13 Oktober 2015
b. Penatalaksanaan Anestesi
Jenis anestesi : Spinal Anastesi
Premedikasi :
- Ondansetron IV 4 mg
- Ketorolak IV 30 mg
Medikasi intra operatif:
- Buvacain 12,5 mg
- Fentanyl 25 mg
Medikasi post operatif:
- Fentanyl 100 mg, ondansetron 8 mg, oksitosin 10 iu : dalalm 5000 cc RL 20
tpm.
Teknik anestesi :
Pada pasien ini dilakukan jenis anestesi spinal yang mulai dilakukan dengan
posisi pasien duduk tegak dan kepala menunduk hingga prossesus spinosus mudah
teraba, lalu ditentukan tempat tusukan pada garis tengah. Kemudian disterilkan
tempat tusukan dengan alkohol dan betadin. Jarum spinal nomor 26-Quincke
ditusukkan dengan arah paramedian, barbutase positif dengan keluarnya LCS (jernih)
kemudian dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan dimasukkan secara perlahan-
lahan.5
A. PRE OPERATIF
seksio sesarea pada pasien ini termasuk kedalam operasi cito, meskipun demikian
persiapan anestesi dan pembedahan harus selengkap mungkin karena dalam pemberian
anestesi dan operasi selalu ada risiko. Persiapan yang dilakukan meliputi persiapan alat,
penilaian dan persiapan pasien, dan persiapan obat anestesi yang diperlukan. Penilaian
dan persiapan penderita diantaranya meliputi :
- informasi penyakit
- anamnesis/alloanamnesis kejadian penyakit
- riwayat imunisasi, riwayat alergi, riwayat sesak napas dan asma, diabetes melitus,
riwayat trauma, dan riwayat operasi sebelumnya.
- riwayat keluarga (penyakit dan komplikasi anestesi)
- makan minum terakhir (mencegah aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau
muntah pada saat anestesi)
- Persiapan operasi yang tidak kalah penting yaitu informed consent, suatu persetujuan
medis untuk mendapatkan ijin dari pasien sendiri dan keluarga pasien untuk
melakukan tindakan anestesi dan operasi, sebelumnya pasien dan keluarga pasien
diberikan penjelasan mengenai risiko yang mungkin terjadi selama operasi dan post
operasi. Setelah dilakukan pemeriksaan pada pasien, maka pasien termasuk dalam
klasifikasi ASA III
B. INTRA OPERATIF
Teknik anestesi disesuaikan dengan keadaan umum pasien, jenis dan lamanya
pembedahan dan bidang kedaruratan. Metode anestesi sebaiknya seminimal mungkin
mendepresi janin, sifat analgesi cukup kuat, tidak menyebabkan trauma psikis
terhadap ibu dan bayi, toksisitas rendah, aman, nyaman, relaksasi otot tercapai tanpa
relaksasi rahim dan memungkinkan ahli obstetri bekerja optimal. Pada pasien ini
digunakan teknik spiall anestesi dengan mempertimbangkan kondisi ibu, janin dan
keadaan hipertensi dalam kehamilan yang telah memasuki kategori pre eklamsia.
G1P1A0H1 usia 29 tahun, gravid 40 minggu atas indikasi PEB, dengan keluhan
tekanan darah tinggi dalam kehamilan sejak 1 minggu yag lalu, dilakukan tindakan sectio
cesarea pada tanggal 13 Oktober 2015 di ruangan operasi RSUD Siak.
Teknik anestesi dengan spinal anestesi (subarachnoid blok) merupakan teknik
anestesi sederhana, cukup efektif. Anestesi dengan menggunakan Bupivacain spinal 12,5
mg untuk maintenance dengan oksigen 2-3 liter/menit. Untuk mengatasi nyeri digunakan
ketorolac sebanyak 30 mg. Perawatan post operatif dilakukan dibangsal dan dengan
diawasi vital sign, keadaan umum dan tanda-tanda perdarahan.