You are on page 1of 59

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)

DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK


RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
URTIKARIA Kode ICD : L.50
DEPARTEMEN
IKA No Dokumen No.Revisi Halaman :
RSMH 1 1 1–5
PALEMBANG

Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Alergi Immunologi
Klinis Juli 2016

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K)


Definisi Urtikaria (kaligata, gidu, biduran, sumimikang, karumba dll) adalah
erupsi kulit yang menimbul, bengkak (wheal), berbatas tegas, berwarna
merah, bagian tengah pucat, memucat bila ditekan, disertai rasa gatal,
dapat berlangsung akut, khronik atau berulang.
Angioedema (giant urticaria, angioneurotic edema, quinckes edema) =
urtikaria  lesi jaringan subkutan, submukosa tidak berbatas tegas,
tidak gatal, sering dengan rasa nyeri dan terbakar.
Urtikaria ( U) dan Angioedema (A) kronik dapat mengganggu kualitas
hidup penderita.

Etiologi Mekanisme imun

Mekanisme imun dapat diperantarai melalui reaksi hipersensitivitas


tipe I, II & III.

Mekanisme nonimun (antifilaktoid)

a. Angiodema herediter
b. Aspirin
c. Liberator histamin, yaitu zat yang dapat menyebabkan pelepasan
histamin seperti obattiate, obat pelemas otot, obat vasoaktif &
makanan (putih telur, tomat, lobster).

Fisik

a. Dermatografia (writing on the skin)


b. Urtikaria dingin
c. Urtikaria kolinergik
d. Urtikaria panas
e. Urtikaria solar
f. Urtikaria & angioedema tekanan
g. Angioedema getar
h. Urtikaria akuagenik
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Miscellaneous

a. Urtikaria Papular
 Etiologi : gigitan serangga (nyamuk, lebah, dll)
 Pruritus bifasik : papular wheal
 Reaksi hipersensitivitas tipe I & IV
b. Urtikaria pigmentosa
c. Mastositosis sistemik
d. Infeksi disertai urtikaria
e. Urtikaria dengan penyakit sistemik yang mendasarinya
 Penyakit vaskuler kolagen
 Keganasan
 Ketidakseimbangan sistem endokrin
f. Faktor psikogenik
g. Urtikaria & angioedema idiopatik

Patogenesis Patogenesis:

 Sel mediator  mediator2 (histamin) :


- Dilatasi pembuluh darah  eritema
-  permeabilitas kapiler  edema (eksudasi cairan & sel) 
saraf perifer kulit  gatal
- Pembuluh darah subkutan
 Degramulasi sel mediator
 Degranulasi sel mast kutan / sub kutan
- Dilatasi kapiler eritema
- pe permeabilitas kapiler  ekstravasasi cairan & sel
(eosinofil) udema lokal, gatal
- Vaskuler subkutan  angioedema (periorbita & perioral)
 Histologis : degranulasi sel mast kutan / subkutan  pelepasan
mediator2 (histamin, lekotrin)  dilatasi pembuluh darah dermal /
subdermal dgn infiltasi sel-sel perivaskular terutama eosinofil
 Histamin  reseptor H pd organ sasaran (H1, H2, H3& H4)

Bentuk Klinis Bentuk Klinis (Klasifikasi)


(Klasifikasi)
Urtikaria akut > sering pada bayi / anak

 Ukuran, jumlah bervariasi


 Papul udematous, datar, merah muda/terang, 2-5 mm  papul atau
plak batas tegas, datar  bbrp lesi berkonfluensi  plak dgn tepi
polisiklik
 Gatal selalu ada
 Bayi :
- Gatal tidak terlalu berat
- Urtikaria  purpurik (urtikaria hemorhagik)  bayi & anak
kecil  DD : vaskulitis
Angioedema:
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
 Udema subkutan & atau submukosa
 Ekstremitas, bibir, palpebra, genitalia, saluran cerna (abdomen) &
faring
 5-10 % bayi & anak + urtikaria
 Menghilang < 2-3 hari, jarang disertai gatal
 A berulang tanpa U  HAE atau AAE
 Lesi A + U
- Sementara dari waktu ke waktu
- Beberapa lesi menghilang, dapat timbul lesi baru  khronik
- Bayi & anak  lesi menghilang dalam beberapa hari
 Anafilaktik idiopatik
- U / A akut, luas, Wheezing, hipotensi, mual, muntah, tanda-tanda
aritmia jantung

o Onset: berulang/lamanya durasi, lokasi


Anamnesis o Ditanya mengenai faktor pencetus
 Makanan, Obat-obatan, Zat aditif, Hobi
 Inhalasi, Penyakit infeksi akut/kronis
 Faktor2 eksaserbasi serangan
o Riwayat atopi, dan penyakit penyerta lain

Pemeriksaan fisik gambaran yang khas, bentuk lesi  tipe urtikari Linier (
dermografism), Urtika kecil dikelilingi daerah eritem (U. kolinergik),
pada ekstremitas inferior (U. vaskulitis, papular U), terbatas pada
daerah paparan (U dingin/ solar)

Kriteria Diagnosis Anamnesia


Pemeriksaan Fisik
Diffrential Urtikaria Anak :
diagnosis
 Eritema multiforme
 Urtikaria pigmentosa
 Gigitan serangga
 Eritema Anulare
 Infantile Acute Hemoragic edema
 Purpura Henoch Schonlein, pitriasis rosea

Angioedema

 Selulitis
 Erisipelas
 Dermatitis kontak
 SLE
 Kasus bedah abdomen
 Reaksi anafilaktik Laring
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Diagnosis Kerja Urtikaria

Pemeriksaan Pemeriksaan Penunjang Laboratorium


Penunujang
Pemeriksaan dasar Tes berdasarkan kondisi
tertentu:
Darah perifer lengkap Jika dicurigai vaskulitis :
Antinuclear antibody

LED Biopsi kulit

Urinalisis CH50

Fungsi hati Jika fungsi hati tidak normal:


Pemeriksaan serologis untuk
hepatitis virus
Fungsi tiroid dan autoantibodi

Anti-FceR autoantibody
(bila ada)

Riwayat U. fisik  test yang sesuai

Kondisi Test

Urticaria kolinergik Latihan , mecholyl challenge


Dermografisme Menggosok atau menggaruk
kulit
Solar urticaria Paparan ke sinar matahari
terkontrol
Cold urticaria Ice challenge

HAE (hereditary angioneurotic edema) periksa kadar C4, C1 INH


(antigenik & fungsional)
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Pada penderita dengan pengalaman serangan akut saluran napas atas
Tatalaksana sering dilengkapi dengan epinefrin injeksi

 Eliminasi  kenali faktor pencetus dan faktor-faktor yang


mengeksaserbasi serangan
 Tabir surya  urtikaria solar (panjang gelombang 285-320 nm)
 U. dingin  hindari mandi/ berenang di air dingin
 HAE : Hindari faktor eksaserbasi: panas, aktivitas, aspirin, alkohol
 Antihistamin  diberikan antihistamin penghambat reseptor
histamine H1
 Adregenik  mula-mula diberikan larutan adrenalin (1:1000)
dengan dosis 0,01 ml/kgBB/kali subkutan (maksimum 0,3 ml)
dilanjutkan dengan pemberian antihistamin penghambat reseptor
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
histamine H1
 Kortikosteroid  diberikan bila tidak memberikan respon yang baik
dengan obat-obat lain,
Edukasi Meyakinkan penderita/keluarga:

 U/A  remisi spontan ( hari, bulan, tahun)


 U/A tidak menyebabkan cacat
 U/A dapat dikontrol dengan satu atau kombinasi obat-obatan

Komplikasi
Komplikasi dan
Prognosis Urtikaria merupakan bentuk kutan anafilaksis sistemik, dapat saja
terjadi obstruksi jalan nafas karena edema laring dan sekitarnya, atau
anafilaksis yang dapat mengancam jiwa.

Prognosis

Baik, dapat sembuh spontan atau dengan obat

1. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak.


Daftar Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.
kepustakaan 2. Behrman,N, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy
Principles and Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.
Lain-lain
(Algaritma,
Protokol,
Prosedur,
Standing Order)
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
SINDROM STEVENS-JOHNSON Kode ICD : L51.1
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
2 1 1–4
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Alergi Immunologi
Klinis Juli 2016

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K)


Definisi Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) adalah suatu reaksi mukokutaneus
akut yang ditandai makula eritema yang cepat meluas. Biasanya
berbentuk target lesion dan kelainan pada lebih dari satu mukosa
(mulut, konjungtiva, dan anogenital). Sering ditandai gejala
konstitusional dan dapat mengancam kehidupan.

Etiologi Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan
oleh berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering dikaitkan
dengan respons imun terhadap obat. Ada yang beranggapan bahwa
sindrom ini merupakan eritema multiforme yang berat dan disebut
eritema multiforme mayor. Beberapa faktor yang sering disebut
sebagai penyebab SSJ di antaranya dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Faktor Penyebab timbulnya sindrom Stevens-Johnson

Infeksi
Virus Herpes simplex, Mycoplasma
pneumoniae, vaksinia
Jamur Koksidioidomikosis, Histoplasma
Bakteri Streptokokus, Staphylococcus,
Haemolyticus, Mycobacterium
tuberculosis, Salmonela
Parasit Malaria

Obat Salisilat, Sulfa, Penisilin, Etambutol,


Tegretol, Tetrasiklin, Digitalis,
Kontraseptif
Makanan Coklat
Fisik Udara dingin, sinar matahari, sinar X
Lain-lain Penyakit kolagen, keganasan,
kehamilan
Patogenesis Patogenesis

Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas, walaupun sering


dihubungkan dengan reaksi hipersensitifitas tipe III dan IV. Pada
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
biopsi kulit beberapa kasus dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3
dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.

Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang


dapat merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk
kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa
faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya)
atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut
(struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi,
inflamasi atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat
mengendap di daerah kulit dan mukosa serta menimbulkan
kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi
yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas
sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang
terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula
disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk
inflamasi lainnya.

Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang


Bentuk Klinis berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai
(Klasifikasi)
koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal
berupa demam, malaise, batuk, koriza, sakit menelan, nyeri dada,
muntah, pegal otot dan atralgia. Setelah itu akan timbul lesi kulit,
mukosa dan mata yang dapat diikuti kelainan viseral.

Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:

a. Kelainan kulit
Kelainan kulit dapat berupa eritema, papul, vesikel atau bula
secara simetris, berupa lesi kecil satu-satu atau kelainan luas
pada hampir seluruh tubuh. Sering timbul perdarahan pada lesi
menimbulkan gejala fokal berbentuk target, iris atau mata sapi.
Predileksi pada area ekstensor tangan dan kaki serta muka yang
meluas ke seluruh tubuh sampai kulit kepala. Pada keadaan
lanjut terjadi erosi, ulserasi, kulit mengelupas dan pada kasus
berat pengelupasan kulit dapat terjadi pada seluruh tubuh
disertai paronikia dan pelepasan kuku.

b. Kelainan mukosa
Kelainan mukosa yang tersering adalah pada mukosa mulut
(100%), kemudian disusul oleh kelainan di alat genital (50%),
sedangkan di hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan
4%). Pada selaput mukosa dapat ditemukan vesikel, bula, erosi,
ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna merah. Kelainan di
mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
bagian atas dan esofagus. Pada faring dapat terbentuk
pseudomembran berwarna putih atau keabuan yang
menimbulkan kesukaran menelan.

c. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang
tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat
berupa blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata
biasanya edema dan sulit dibuka. Pada kasus berat dapat terjadi
erosi dan perforasi kornea.

Kelainan klinis SSJ biasanya timbul cepat dan menakutkan dengan


keadaan umum yang berat, disertai demam, dehidrasi, gangguan
pernapasan, muntah, diare, melena, pembesaran kelenjar getah
bening dan hepatosplenomegali sampai pada penurunan kesadaran
dan kejang.

Perjalanan penyakit tergantung dari derajat berat penyakitnya, dapat


berlangsung beberapa hari sampai 6 minggu. Berbagai komplikasi
dapat terjadi seperti ulkus kornea, simblefaron, miositis, mielitis,
bronkopneumonia, nefritis, poliartritis atau septikemia.

Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisik ditujukan terhadap
kelainan yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata serta
hubungannya dengan faktor penyebab. Secara klinis terdapat lesi
berbentuk target, iris, atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam
dan hasil biopsi yang sesuai dengan SSJ.

Diffrential diagnosis 1. Nekrolisis epidermal toksik (NET)


Pada NET kelainan kulit yang utama adalah epidermis terlepas dari
dasarnya (epidermolisis) yang menyeluruh. Tanda Nikolsky positif
pada kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser,
maka kulit akan terkelupas. Selain itu terbentuk eritema, vesikel,
bula, erosi dan purpura seperti SSJ. Kelainan pada mata dan
sekitar orifisium tidak selalu menyertai. Perbedaan lain ialah
keadaan umumnya lebih buruk.

2. Staphylococcus scalded skin syndrome


Biasanya timbul pada anak-anak pada lokalisasi tertentu. Berupa
bula numular di leher, ketiak dan wajah. Juga terdapat
epidermolisis, tetapi selaput lendir jarang dikenai.
Diagnosis Kerja Sindrom Stevens-Johnson

Pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungannya


Penunujang dengan faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum.
Pemeriksaan yang rutin dilakukan diantaranya adalah :

1. Pemeriksaan darah tepi (leukosit, hitung jenis, hitung eosinofil


PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
total, LED). Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi,
dan pada hitung jenis eosinofil meningkat.
2. Biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi.
3. Histopatologik biopsi kulit. Biasanya tidak diperlukan, bila
diragukan gambaran klinisnya dapat dilakukann biopsi dan
pemeriksaan histopatologik untuk membedakan. Pada
pemeriksan histopatologik dapat ditemukan gambaran nekrosis
epidermis sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di daerah
epidermis, pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar
dari pembuluh darah dermis superfisial. Pemeriksaan
imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3
dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen
yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru
yang berumur kurang dari 24 jam.

o Rawat di PICU
Tatalaksana o Hentikan faktor penyebab
o Antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi. Dipilih
antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas,
bakterisidal dan tidak ada kontrainidkasi seperti: gentamisin
5mg/kgBB/hari dalam dua dosis, netromisin 4-6 mg/kgBB/hari.
o Topikal :
- Kulit : kompres NaCl 0,9%
- Mulut : kumur-kumur antiseptik
- Mata : lubrikasi dengan air mata buatan
salep mata yang mengandung antibiotika

o Infus/transfusi. Bila terdapat vesikel dan bula yang luas → infus


darrow glukosa. Bila terdapat purpura → bila perlu transfusi
darah
o Konsultasi dengan bagian lain sesuai kebutuhan /keadaan
penderita (Mata, THT)
Edukasi  Harus dicegah kontak ulang dengan faktor penyebab.

Pada kasus yang tidak berat prognosanya baik dan penyembuhan


Komplikasi dan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Pada kasus berat dengan berbagai
Prognosis komplikasi atau dengan pengobatan terlambat dan tidak memadai,
angka kematian berkisar antara 5-15%. Prognosis lebih buruk bila
terdapat purpura yang luas. Kematian biasanya disebabkan oleh
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia,
serta sepsis.
1. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi
Daftar kepustakaan anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.
2. Behrman,N, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy
Principles and Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.
Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
PURPURA HENOCH-SCHONLEIN Kode ICD : D69.0
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
3 1 1–3
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Alergi Immunologi
Klinis Juli 2016

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K)


Definisi Purpura Henoch Schonlein adalah sindroma klinis yang disebabkan
oleh vaskulitis pembuluh darah kecil sistemik, yang ditandai dengan
lesi kulit spesifik yang berupa purpura nontrombositopenik, artritis
atau artralgia, nyeri abdomen atau perdarahan gastrointestinal dan
kadang-kadang dengan nefritis. Nama lain : purpura anafilaktoid,
purpura alergik atau vaskulitis alergik.

Etiologi  Penyebab penyakit ini belum diketahui.


 Faktor-faktor yang diduga berperanan: infeksi traktus
respiratorius bagian atas, obat-obatan, makanan dan imunisasi.

Patogenesis Deposit kompleks imun yang mengandung IgA dan aktivasi


komplemen jalur alternatif mengakibatkan inflamasi pada
pembuluh darah kecil di kulit, ginjal, sendi, dan abdomen sehingga
terjadi purpura dikulit, nefritis, artritis, dan perdarahan
gastrointestinalis. Secara histologis tampak vaskulitis
leukositoklatik.

Manifestasi klinis yang khas adalah pada kulit, berupa : ruam


Bentuk Klinis makuloeritematosa, berlanjut menjadi purpura, tanpa adanya
(Klasifikasi)
trombositopenia, terutama pada kulit bokong dan ekstremitas bagian
bawah (pada 100% kasus)  purpura lambat laun berubah menjadi
ungu, kemudian coklat kekuning-kuningan, lalu menghilang, tetapi
dapat rekuren. Gejala ini dapat disertai :

 Angioedema pada muka (kelopak mata, bibir) pada 20% kasus,


dan ekstremitas (punggung, tangan, kaki) pada 40 kasus,
 Artralgria atau artritis migran mengenai sendi besar ekstremitas
bawah, tidak menimbulkan deformitas yang menetap.
 Nyeri abdomen dapat berupa kolik abdomen yang berat dan
perdarahan gastrointestinalis pada 35-85% kasus, kadang-kadang
dapat perforasi usus dan intususepsi ileoileal atau ileokolonal
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
pada 2-3% kasus.
 Hematuria atau nefritis (pada 20-50% kasus)

Kriteria Diagnosis Gejala klinis yang spesifik yaitu ruam purpurik pada kulit, terutama
di bokong dan ekstremitas bawah dengan satu atau lebih gejala
berikut : nyeri obdema, atau perdarahan gastrointestinalis, artralgia
atau artritis dan hematuria atau nefritis.

Langkah Diagnosis :
1. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Lakukan pemeriksaan laboratorium dan penunjang untuk
mendukung atau menyingkirkan diagnosis. Hasil pemeriksaan
laboratorium pada PHS tidak spesifik, jumlah trombosit normal
atau meningkat, LED dapat meningkat, kadar komplemen
normal, kadar IgA dalam darah limfosit yang mengandung IgA
mungkin meningkat. Urin dan tinja dapat mengandung darah.
Biopsi lesi kulit ada vaskulitis leukositoklastik. Imunofloresensi
pada dinding pembuluh darah, pada deposit IgA dan komplemen.
3. Tegakkan diagnosis, identifikasi luasnya manifestasi klinis dan
telusuri komplikasi.

Pemeriksaan Pada pemeriksaan laboratorium trombosit bisa normal atau


Penunujang meningkat, membedakan purpura yang disebabkan trombositopenia,
biasanya juga eosinofilia. LED dapat meningkat, Kadar komplemen
seperti C1q, C3, C4 dapat normal. Pemeriksaan kadar IgA dalam
darah mungkin meningkat, demikian pula limfosit yang
mengandung IgA. Analisa urin dapat menunjukkan hematuria,
proteinuria maupun penurunan kreatinin klirens demikian pula pada
feses dapat ditemukan darah

Diagnosis Banding Penyakit Kawasaki


Lupus eritematosus sistemik
Polyarteritis Nodosa
Urticarial vasculitis
ITP
Diagnosis Kerja Purpura Henoch-Schonlein
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Tatalaksana Suportif dan simptomatis
 Kontrol nyeri dapat dengan analgesik seperti
asetaminofen atau ibuprofen.
 Artritis ringan dan demam: ibuprofen atau parasetamol
 Nyeri perut: makanan lunak
1. Kortikosteroid
 diberikan jika ditemukan nyeri perut yang hebat,
perdarahan saluran cerna, purpura yang persisten, adanya
gangguan ginjal progresif (sindroma nefrotik, kerusakan
glomerulus), edema jaringan lunak yang hebat, gangguan
SSP, dan perdarahan paru, dengan protokol :
- induksi dengan metilprednisolon 10-30mg/kgbb/hari
(IV) diberikan dalam D5% 100cc dalam 2 jam,
selama 3hari hari + siklofosfamid 100-200 mg/hari
(oral)
Tatalaksana - maintenance predinson 1-2 mg/kgBB/hari (oral)
selang sehari, siklosfosfamid 100-200 mg selama 30-
75 hari
- Dilakukan tappering off
 Nyeri perut berat dan pencegahan terjadinya nefritis:
kortikosteroid oral jangka pendek dosis 1-2 mg/kg/hari
terbagi 3 dosis selama 5-7 hari kemudian diturunkan
perlahan-lahan selama 2-3 minggu.
 Nyeri perut berat dengan mual dan muntah: 1-2
mg/kg/hari
2. Gagal ginjal ditanggulangi sesuai SP.
3. Jika akut abdomen  konsul bedah.
4. Monitoring:
 Tekanan darah
 Nyeri perut, perdarahan saluran cerna
 Purpura/lesi kulit baru yang timbul
 Laboratorium: leukosit, LED, urinalisis dan feses

Komplikasi dan  Saluran cerna : perdarahan, intususepsi, infark usus.


Prognosis  Ginjal : gagal ginjal akut/kronis.
 SSP : defisit neurologik, kejang dan penurunan kesadaran.
Prognosis baik, dapat sembuh spontan beberapa hari atau beberapa
minggu. 50% kasus dapat rekuren.

Nefritis kronis dapat terjadi pada 1% kasus.


PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Daftar kepustakaan 1. Matondang CS, Roma J. Purpura Henoch-Schonlein. Dalam:
Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi
anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.
2. Miller ML, Pachman LM. . Vasculitis Syndromes. Chapter
166. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton
BF. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia
WB Saunders Co 2008.
3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy
Principles and Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.
4. Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric
Rheumatology. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2010
Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
ARTRITIS REUMATOID JUVENIL Kode ICD : M08.0
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
4 1 1–5
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Alergi Immunologi
Klinis Juli 2016

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K)


Definisi Artritis Reumatoid Juvenil (ARJ) adalah salah satu bentuk penyakit
reumatik yang termasuk dalam kelompok penyakit jaringan ikat.

Etiologi Penyebab pasti ARJ masih belum diketahui. Beberapa faktor


etiologi berperan dalam munculnya ARJ, antara lain faktor : infeksi,
autoimun, trauma, stres dan faktor imunogenetik.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Patogenesis Patogenesis ARJ sering dikaitkan dengan imunopatogenesis
penyakit kompleks imun dari penyakit autoimun: autoantigen
(agregat IgG dan antigen sinovia)  pengaruh beberapa rangsangan
(faktor imunogenetik, kalainan makanisme sel T supresor, reaksi
silang antigen dan berbagai penyebab lain seperti virus)  akan
memproduksi autoantibodi

 Kelainan tahap awal


Belum jelas, telah diidentifikasi kerusakan mikrovaskuler dan
proliferasi sel sinovia  edema sinovium dan proliferasi sel
sinovia  mengisi rongga sendi, tahap awal predominan sel
PMN  didominasi sel limfosit, makrofag dan sel plasma 
produksi IgG, sedikit IgM (IgM anti IgG = Faktor reumatoid).
Reaksi autoantigen-antibodi  kompleks imun  aktivitas
sistem komplemen  terjadi pelepasan biologik aktif  terjadi
reaksi inflamasi. Aktivitas sistem imun selular  aktivitas
mediator limfokin  reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi 
disertai proliferasi dan kerusakan jaringan sinovia.

 Tahap lanjut
Fase kronis, mekanisme kerusakan jaringan lebih menonjol
disebabkan respons imun selular  karakteristik artritis rematoid
kronik, adanya kerusakan tulang rawan, ligamen, tendo dan
kemudian tulang. Kerusakan ini disebabkan oleh produk enzim
dan pembentukan jaringan granulasi akibat aktivitas sistem imun
selular. Sel limfosit, makrofag dan sinovia dapat mengeluarkan
berbagai macam sitokin seperti kolagenase, prostaglandin serta
plasminogen yang akan mengaktifkan sistem kalikrein dan kinin-
bradikinin. Produk-produk ini akan menimbulkan reaksi
inflamasi dan kerusakan jaringan.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
 Tipe onset poliartritis : gejala artritis terjadi pada lebih 4 sendi,
Bentuk Klinis terbanyak pada sendi jari, biasanya simetris, dapat juga pada
(Klasifikasi) sendi lutut, pergelangan kaki dan siku.
 Tipe onset oligoartritis : mengenai 4 sendi atau kurang (biasanya
mengenai sendi besar) terutama didaerah tungkai.
 Tipe onset sistemik : didapatkan demam intermiten dengan
puncak tunggal atau ganda > 39 0 C selama 2 minggu atau lebih
 muncul artritis. Biasanya disertai kelainan sistemik berupa
ruam reumatoid serta kelainan viseral (hepatosplenomegali,
serositis, limpadenopati).

Kriteria Diagnosis Sendi yang terkena artritis terasa hangat dan biasanya tidak terlihat
eritem. Secara klinis ditentukan dengan menemukan paling sedikit 2
gejala inflamasi: gerakan sendi yang terbatas, nyeri atau sakit pada
pergerakan dan panas. Pada anak kecil yang lebih menonjol adalah
kekakuan sendi pada pergerakan terutama pagi hari.

Dipakai kriteria diagnosis menurut American Challenge of


Rheumatology Association (ACR),yaitu
 Usia penderita kurang dari 16 tahun
 Artritis (bengkak atau efusi; adanya dua atau lebih tanda :
keterbatasan gerak, nyeri sendi, dan panas pada sendi) pada satu
sendi atau lebih
 Lama sakit lebih dari 6 minggu
 Tipe onset penyakit (dalam waktu 6 bulan)
- Poliartritis (≥5 sendi)
- Oligoartritis (< 4 sendi)
- Sistemik dan artritis dengan demam minimal 2 minggu,
mungkin terdapat ruam atau keterlibatan ekstrartikuler, seperti
limadeopati, hepatosplenomegali, dan perikarditis.
 Kemungkinan penyakit artritis lain dapat disingkirkan.

Gejala klinis yang menyokong kecurigaan ARJ : kaku sendi pada


pagi hari, ruam reumatoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis
kronik, spondilitis servikal, nodul reumatoid, tenosinovitis. Pada
pemeriksaan laboratorium ditemukan antibodi antinuklear(ANA),
faktor reumatoid (RF), serta peningkatan titer komplemen C3 dan
C4.

Langkah Diagnosis :

 Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis ARJ


semata-mata berdasarkan klinis.
 Pemeriksaan laboratorium/ penunjang untuk mendukung/
menyingkirkan diagnosis.
 Tegakkan diagnosis dan identifikasi luasnya manifestasi klinis
Diagnosis Banding - Demam rematik akut
- Lupus eritematosusu sistemik
- Keganasan
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Diagnosis Kerja Artritis Reumatoid Juvenil
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Dasar pengobatan suportif bukan kuratif. Pengobatan secara terpadu
Tatalaksana untuk mengontrol manifestasi klinis dan mencegah deformitas
dengan melibatkan dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja,
praktek sosial, bila perlu konsultasi pada ahli bedah dan psikiatri.
Medikamentosa :

 Obat anti inflamasi non steroid (AINS)


1. Naproksen 10-15 mg/ kgBB/hari dibagi 2 dosis.
2. Asam Astil Salisat (AAS) dosis 75-90 mg/kgBB/hari peroral,
dibagi3-4 dosis, diberikan bersama makanan, selama 1-2 tahun
setelah gejala klinis menghilang.
3. AINS lain : sebagian besar tidak boleh diberikan pada anak.
Pemberiannya hanya untuk mengontrol nyeri, kekakuan dan
inflamasi pada anak tertentu yang tidak responsif terhadap
AAS atau sebagai pengobatan inisial, misalnya :
 Tolmetin : dosis inisial 20 mg/kgbb/hari, kemudian 15-30
mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis, diberi bersama makanan
atau antasid.
 Analgesik lain : Asetaminofen dosis 10-15 mg/kgBB/kali, setiap
4-6 jam sesuai kebutuhan, jangan diberikan lebih 5 kali perhari
 untuk mengontrol nyeri atau demam terutama pada penyakit
sistemik (pemberian > 10 hari memerlukan pengawasan yang
ketat, tidak boleh diberikan untuk waktu lama karena dapat
menimbulkan kelainan ginjal.
 Obat anti rematik kerja lambat = Slow Acting Anti Rheumatic
Drugs (SAARDs)  hanya diberikan pada poliartristik progresif
yang tidak menunjukkan perbaikan dengan AINS, contoh :
Hidroksi klorokuin, garam emas (gold salt), Penisilamin dan
sulfa salazin.
- Hidroksi klorokuin (dapat dipakai sebagai obat tambahan
AINS), dosis 6-7 mg/kgBB/hari, setelah 8 minggu turunkan
jadi 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, jika setelah terapi 6 bulan
tidak ada perbaikan  obat dihentikan
- Garam emas bisa dipakai jika penderita tidak
responsif terhadap pengobatan AAS/AINS lain setelah 6
bulan. Pengobatan dengan AAS/AINS lain diteruskan
selama pemakaian garam emas. Preparat yang diapaki Gold
sodium
thiomalate dan auro thioglucose. Dipakai dosis awal 5 mg IM
dan kemudian dosis ditingkatkan sampai 0,75-1
mg/kgBB/minggu (< 50mg). Jika remisi telah tercapai dalam 6
bulan diteruskan dengan dosis yang sama dengan injeksi tiap-
tiap 2 minggu selama 3 bulan, kemudian setiap 3 minggu
setelah 3 bulan, lalu setiap 4 minggu, diteruskan sampai
beberapa tahun remisi. Preparat oral garam emas dipakai
Auranofin : dosis dimulai 0,1-0,2 mg/kgBB/hari (maksimal 9
mg/hari), kemudian ditingkatkan 1 mg/kgBB/hari setiap 3
bulan sampai mencapai dosis maksimal 6 mg. Lama
pengobatan dapat sampai beberapa tahun remisi.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
- Penisilamin diberikan inisial 3 mg/kgBB/hari(< 250 mg/hari)
selama 3 bulan, kemudian 6 mg/kgBB/hari (< 500 mg/hari)
dalam 2 dosis selama 3 bulan, sampai maksimum10
mg/kgBB/hari, dalam 3-4 dosis terbagi selama 3 bulan. Dosis
rumatan diteruskan selama 1-3 tahun.
- Sulfasalazin : dosis 30-50mg/kgBB/hari, dibagi 4-6 dosis,
diberi bersama makan, jangan diberikan bersama antasid.
Setelah tidak ada keluhan dosis diturunkan perlahan-lahan
sampai 25 mg/kgBB/hari. Dapat digunakan beberapa tahun.
 Kortikosteroid : jika gejala penyakit sistemik, uveitis kronis dan
untuk pemberian obat secara parenteral termasuk intra artikuler.
Penyakit sistemik yang tidak terkontrol : prednison 0,25-1
mg/kgBB/hari dosis tunggal, jika keadaan lebih berat dosis
terbagi jika terjadi perbaikan klinis dosis diturunkan pelan-pelan,
kemudian stop.
 Imunosupresan : pada keadaan berat yang mengancam kehidupan
dipakai metotreksat dosis inisial 5 mg/m2/minggu, jika respons
tidak adekuat setelah 8 minggu pemberian, dapat dinaikan
menjadi 10 mg/m2/minggu. Lama pengobatan adekuat 6 bulan.
 Obat lain yang bisa dipergunakan adalah azatioprin,
siklofosfamid dan klorambusil.
Edukasi  Evaluasi luas manifestasi klinis, periksa mata, terutama pada ARJ
tipe oligoartritis dengan ANA (+) dan penderita yang mendapat
terapi hidroksi klorokuin.
 Untuk mempertahankan fungsi dan mencegah deformitas tulang
dan sendi dilakukan fisio terapi di bagian URM.
 Konsultasi kebagian bedah tulang untuk memperbaiki deformitas,
memperbaiki pergerakan sendi.

Indikasi Pulang Klinis inaktif, komplikasi terdeteksi dan telah ditanggulangi

 Gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat penutupan


Komplikasi epifisis dini.
 Komplikasi akibat pengobatan steroid
 Vaskulitis, ensefalitis, amiloidosis ginjal sekunder
 Kelainan tulang dan sendi yang lain seperti angkilosis, luksasi
atau fraktur.

Prognosis  70-90% sembuh tanpa kecacatan, 10% dapat terjadi cacat sampai
dewasa.
 Sebagian kecil sekali menjadi bentuk artritis reumatoid dewasa.
 Prognosis kurang baik pada tipe onset sistemik atau poliartritis,
atau disertai uveitis kronik, erosi sendi, fase aktif yang
berlangsung lama, nodul reumatoid dan faktor reumatoid positif.
Angka kematian sangat rendah (2-4%), sering dihubungkan dengan
gagal ginjal akibat amilodosis serta infeksi.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
1. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi
Daftar kepustakaan imunologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2.
2008.
2. Behrm, N, Kliegman, Jenson. 2008. Nelson Textbook of
Pediatrics 18th edition. Pennsylvania: Saunders
3. Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric
Rheumatology. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2010.
Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK Kode ICD : L93.0
DEPARTEMEN IKA (LES)
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
5 1 1–4
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Alergi Immunologi
Klinis Juli 2016

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K)


Definisi Lupus eritematosus sistemik adalah penyakit sistemik evolutif yang
mengenai satu atau lebih organ tubuh, ditandai oleh inflamasi luas
pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik yang
diselingi oleh periode remisi.

Etiologi Merupakan penyakit autoimun dengan berbagai faktor penyebab


yang saling berkaitan : faktor genetik, faktor endokrin, faktor obat
dan faktor infeksi. Jika salah satu faktor tidak ada, maka penyakit
Lupus tidak akan muncul secara klinis.

Patogenesis Autoantibodi berikatan dengan autoantigen membentuk kompleks


imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan  terjadi
antivasi komplemen, terjadi reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi
di tempat tersebut.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Bentuk Klinis LES dapat menyerang semua organ, yang dapat muncul sendiri-
(Klasifikasi) sendiri atau bersama-sama. Manifestasi klinis pada masing-masing
organ ini yang lazim adalah :

 Demam dan astenia merupakan gejala tersering.


 Kelainan kulit, berupa :
- Ruam berbentuk sayap kupu-kupu, (Butterfly rash) terdapat
didaerah muka (eritema malar) dapat berupa eritema simpel,
atau erupsi makulopapular dengan squamasi halus berwarna
kemerahan, erupsi dapat juga mengenai cuping hidung,
pangkal hidung, daerah leher atau bahu yang terbuka,
periorbita, frontal atau darah telinga luar.
- Lupus diskoid
- Lesi vaskulitis (berupa eritem pada tangan, edema periungual,
makuloeritematosa kulit dan pulpa jari jemari).
- Erupsi populoeritematosa disseminata non spesifik
terutama dianggota gerak, kulit fotosensitif, alopesia, non
sikatrik, sindroma Raynaud.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
 Kelainan selaput mukosa : berupa ulserasi nasal dan oral.
Bentuk Klinis  Kelainan sendi, tulang dan otot dapat berupa artritis, deformitas,
(Klasifikasi) tenosinovitis, artralgia, mialgia miositis lupus, serta osteonekrosis
aseptik.
Kelainan ginjal : ditandai dengan proteinuria, hematuria, sindrom
nefrotik, gagal ginjal. Klasifikasi lupus nefritis: lupus nefritis
mesangial, glomerulonefritis proliferatif fokal, glomerulonefritis
proliferatif difus, glomerulonefritis membranosa.
 Manifestasi neuropsikiatrik : psikosis, disorientasi delirium, atau
dapat berhubungan dengan kelainan organik serebral.
 Manifestasi hematologik : limfadenopati superfisial atau lebih
dalam (mediatinum, intra abdomen), dapat juga terjadi
splenomegali. Anemia: normokrom normositik dengan kapasitas
pengikatan zat besi rendah dapat disertai skizositosis dan
trombositopenia, leukopenia dan gangguan hemostatis.
 Kelainan kardiovaskuler : perikarditis, miokarditis, hipertensi.
 Kelainan saluran nafas : efusi pleura, dapat juga terjadi
perdarahan alveolar masif.
 Manifestasi gineko-obstetrik : amenore pada anak besar.
 Kelainan sistem pencernaan :  terjadi akibat vaskulitis seperti :
perdarahan intestinal, prankreatitis, perforasi usus atau ulserasi
hemoragis. Dapat terjadi diare karena infeksi saluran cerna.
Perdarahan digestif karena pemberian obat (anti inflamasi),
hepatitis dan dapat terjadi asites.
  Ganguan pada mata : dapat mengenai semua struktur dan jalur
saraf optik. Pada retina terdapat eksudat seperti kapas disertai
perdarahan (Cotton Wool Spots), papilitis dan oklusi arteri
sentralis (paling jarang), scotoma, gangguan penglihatan
unilateral dan keratitis.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Kriteria Diagnosis Dasar Diagnosis:
Ditegakkan secara klinis dan laboratoris. Kriteria diagnosis yang
paling bayak dianut adalah menurut American Rheumathism
Association (ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling
sedikit 4 dari 11 kriteria ARA tersebut. 4 kriteria positif
menunjukkan 90% sensitivitas dan 96% spesifisitas. Salah satu butir
pernyataan cukup untuk memenuhi kriteria. Kriteria ARA ini terdiri
dari :
 Eritema malar (Butterfly rash)
 Lupus diskoid
 Fotosensitivitas
 Ulcerasi mukokutaneus oral dan nasal
 Artritis
 Nefritis:, proteinuria > 0,5 g/24 jam, slinder dalam urine
 Ensefalopati, konfulsi, psikosis
 Pleuritis atau perikarditis
 Sitopenia
 Imunoserlogi positif : antibodi antidouble stranded DNA
(anti dsDNA),
 Antibodi antinuklear Sm, sel LE, serologi sifilis (positif palsu)
 Antibodi Antinuklear positif (ANA) .
Langkah Diagnosis
1. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk dapat
mengidentifikasi manifestasi klinis dan butir-butir kriteria ACR.
2. Lakukan pemeriksaan laboratorium/ penunjang lain.
Anjuran pemeriksaan laboratorium/ penunjang untuk LES :
Analisis darah tepi lengkap (darah besar dan LED)
 Sel LE
 antibodi Antinuklear (ANA)
 Anti ds DNA (anti DNA natif)
 Autoantibodi lain (anti SM, RF, antifosfolid, antihiston, dll)
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

 Titer komplemen C3, C4 dan CH5O


 Titer IgM, IgG dan IgA
 Krioglobulin
 Masa pembekuan
 Uji coombs
 Elekroforesis protein
 Kreatin dan ureum darah
 Protein urine (total protein dalam 24 jam)
 Biakan kuman, terutama dalam urine
 Foto rontgen dada.
3. Tegakkan diagnosis berdasarkan kriteria ACR dan identifikasi
luasnya manifestasi klinis.
4. Telusuri komplikasi.
Diagnosis Banding Tergantung gejala klinis yang pertama muncul:
ARJ
Demam tifoid
AIHA
Demam rematik
Diagnosis Kerja Lupus Eritematosus Sistemik
Tatalaksana A. Obat-obatan sistemik (pilihan obat-obatan dibawah tergantung
indikasi dan ketersedian obat):
1. Anti inflamasi non steroid
Indikasi: manifestasi ke kulit, sendi. Pilihan:
a. Salisilat:
 75-90 mg/kg/hari peroral terbagi 3-4 dosis
 Diberi bersamaan makanan
 Meningkatkan SGOT & SGPT
 Kontraindikasi: trombositopenia, gangguan
hemostasis
b. Naproksen: 10-20 mg/kg/hari terbagi 2-3 dosis
c. Sodium tolmetin: 20-30 mg/kg/hari dibagi 3-4 kali/
hari, dilanjutkan 15-30 mg/kg/hari dibagi 3-4
kali/hari
d. Natrium diklofenak 2-3 mg/kg/hari
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Tatalaksana 2. Kortikosteroid
Steroid merupakan obat pilihan utama pada penderita LES
dengan keterlibatan organ mayor

a. Prednison oral dosis rendah (0,5 mg/kg/hari)


 Diberikan 2/3 dosis pagi, 1/3 dosis siang interval 8
jam
 Untuk gejala konstitusional berat, demam
berkepanjangan, kelainan kulit, pleuritis, atau
bersamaan dengan metil prednisolon dosis tinggi
b. Prednison oral dosis tinggi (1-2 mg/kg/hari, max 68-80
mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis selama 4-8 minggu,
dilanjutkan tappering off selama 1-2 minggu)
 Untuk lupus fulminan akut, lupus nefritis akut
yang berat, trombositopenia (<50.000/mm3) tanpa
perdarahan dan gangguan koagulasi, lupus
eritematosus kutan berat sebagai bagian terapi
inisial lupus diskoid
c. Metilprednisolon pulse
 Dosis 20-30 mg/kg/pulse (maksimal 1 gr) selama
3 hari berturut-turut. Diulang setiap bulan selama
6 bulan.
 Digunakan untuk LES anak sedang sampai berat,
lupus nefritis sedang berat (WHO kelas III-V),
lupus serebral, penyakit akut yang tidak terkontrol
steroid dosis tinggi oral, rekurensi aktif yang berat,
anemia hemolitik berat, trombositopenia berat
(<50.000/mm3) dan mengancam kehidupan.
3. DMARDs (Disease Modifying Drugs)
a. Metotreksat
 DMARDs yang juga sitostatika.
 Dosis 10-20 mg/m2 peroral sekali seminggu
diberikan bersama asam folat 1 mg/hari.
 Diberikan pada trombositopenia (trombosit
<50.000/mm3) jangka panjang setelah tercapai
inisial metilprednisolon dosis tinggi, poliartritis
berat bila dosis rumatan kortikosteroid> 10
mg/hari, LE kutan berat.

b. Hidroksiklorokuin
 Untuk dominan kelainan kulit/mukosa dengan atau
tanpa artritis dan gejala konstitusional
 Dosis 6-7 mg/kg/hari terbagi 1-2 dosis selama 2
bulan dilanjutkan 5 mg/kg/hari (maksimal 300
mg/hari)
 Efek toksik ke retina (reversibel)  kontrol
oftalmologi setiap 6 bulan
c. Azathioprin
 Indikasi : zat penghemat steroid
 Dosis anak : 1-3 mg/kg/hari
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Tatalaksana 4. Imunosupresan
a. Siklofosfamid:
 Oral 1-3 mg/kg/hari
 Parenteral: awal 500-750 mg/m2LPT maksimum 1
g/m2/hari
 Pilih dosis terendah untuk leukopenia ,
trombositopenia, kreatinin >2 g/dl) maksimum
1 g/m2/hari.
 Cara pemberian: bolus perinfus 150 ml larutan
D5% dalam NaCl 0,225% (D5 ¼ NS) selama 1
jam bersama hidrasi 2L/m2/hari perinfus selam
24 jam dimulai 12 jam sebelum infus
siklofosfamid.
 Pemberian parenteral diulangi setiap bulan
dengan peningkatan 250 mg/m2/bulan sesuai
dengan toleransi selama 6 bulan selanjutnya
tiap 3 bulan sampai 36 bulan total pengobatan.
 Siklofosfamid biasanya digunakan bersamaan
dengan metilprednisolon pulse
b. Siklosporin A
 Indikasi : LES anak berat yang tidak respon
terhadap imunosupresif lain
 Dosis yang digunakan 2-4 mg/kg/hari.
c. Mycophenolate mofetil (MMF)
 Untuk induksi dan pemeliharaan remisi, khususnya
pada penderita lupus nefritis
 Dosis 600 mg/m2 peroral per 12 jam, tidak lebih
dari 2 gram/hari.

5. IVIG ( intravenous immunoglobulin)


 Indikasi : LES dengan defisiensi imun disertai infeksi
berat, lupus nefritis berat yang refrakter terhadap steroid
dan imunosupresan
 Dosis : 2 gr/kgbb (dosis tinggi) boleh dibagi dalam
beberapa dosis.
B. Topikal
Diberikan bila ada kelainan kulit. Diberikan:
 betametason 0,05% atau
 flusinosid 0,05% selama 2 minggu selanjutnya
hidrokortison

C. Fisioterapi
Diindikasikan bila ada artritis
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
.
D. Supportif
1. Diet: setiap pemberian kortikosteroid terutama jangka
panjang harus disertai suplemen Ca dan vitamin D
2. Dosis kalsium :
 <6 bulan: 360 mg/hari
 6-12 bulan: 540 mg/hari
 1-10 tahun: 800 mg/hari
 11-18 tahun: 1200 mg/hari
3. Dosis vitamin D aktif (hidroksikolkalsoferol)
 BB<30 kg: 20 mcg peroral 3 kali/minggu
 BB>30 kg: 50 mcg peroral 3 kali/minggu

E. Pencegahan
1. Pencegahan terhadapa paparan sinar matahari
 Hindari paparan sinar matahari dengan tingkat UV
tertinggi: jam 09.00/10.00-15.00/16.00
 Pakai lengan panjang, celana panjang, kerudung,
topi, kacamata hitam
 Pakai tabir surya/sunblock minimal SPF 24
2. Osteoporosis selama terapi steroid dosis tinggi
 Diet tinggi Ca
 Vitamin D adekuat
 Olahraga
Komplikasi dan Komplikasi
Prognosis  Infeksi banyak terjadi pada stadium evolusi. Disamping akibat
defisiensiimun, juga berhubungan dengan pemakaian
kortikosteroid dan imunosupresan.
 Penggunaan kortikosteroid menimbulkan efek samping antara
lain atrofi kulit, gangguan hormon, gangguan proses tumbuh
kembang, katarak, hiperglikemia dan lain-lain.
 Akibat kerterlibatan visera : gagal ginjal, hipertensi maligna,
ensefalopati, perikarditis, sitopenia autoimun, dsb.

Prognosis
 Prognosis penyakit lupus telah membaik dengan angka
survival untuk masa 10 tahun sebesar 80%.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Referensi  Akib AAP, Soepriadi M, Setiabudiawan B. Lupus
Eritematosus Sistemik. Dalam: Akib AAP, Munazir Z,
Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter
Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008. Hal: 345-72.
 Klein-Gitelman MS. Miller ML. Systemic lupus
erithematosus. Chapter 157. Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
 Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric
Rheumatology. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2010
 Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra
EP,Harmoniati ED, Yuliarti K (ed). Pedoman Pelayanan Medis
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid II. Jakarta. Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesi. 2011. Hal: 175-83.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
ALERGI MAKANAN Kode ICD : T78.1
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
6 1 1–4
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Alergi Immunologi
Klinis Juli 2016

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K)


Definisi Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang melibatkan
banyak organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi
terhadap bahan makanan. Merupakan reaksi imunologik yang
menyimpang, yang merupakan kombinasi keempat tipe reaksi
hipersensitivitas menurut Gell dan Comb’s.

Etiologi Terdapat 3 faktor penyebab alergi makanan, yaitu:

 Faktor genetik
Anak yang salah satu orang tuanya atopi, kemungkinan
terjadinya alergi 17-29%. Bila kedua orang tuanya atopi
kemungkinan alergi 53-58%, jika kedua orang tua dengan alergi
yang sama maka kemungkinan alergi pada anak 60-80%. Anak
dengan HLA-BB cenderung mendapat alergi.

 Faktor Imaturitas usus


- Secara mekanik integritas mukosa usus dan peristaltik
merupakan pelindung masuknya alergen kedalam tubuh.
- Secara kimiawi, asam lambung dan enzim pencernaan
menyebabkan denaturasi alergen.
- Secara imunologik SIgA pada permukaan mukosa dan
limposit pada lamina propia dapat menangkal alergen masuk
kedalam tubuh.
 Pajanan alergen
- Dapat terjadi sejak bayi dalam kandungan
- Pemberian PASI pada bayi cenderung meningkatkan angka
kejadian alergi
- Eleminasi telur, susu dan ikan pada ibu menyusui selama 3
bulan pertama mengurangi sensitivitas selam 3 bulan
berikutnya dan menurunkan dermatitis atopik 6 bulan
berikutnya.
- Pajanan alergen tergantung juga pada kebiasaan dan norma
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
kehidupan setempat
- Faktor pencetus bukan penyebab serangan alergi, tetapi
menyulut terjadinya gejala alergi, dapat berupa faktor fisik,
faktor psikis atau beban latihan.
Patogenesis Makanan merupakan pajanan alergen  gangguan integritas
mukosa usus  absorpsi molekul alergen (protein: glikoprotein atau
polipeptida dengan berat molekul > 18.000 dalton, tahan panas,
tahan enzim proteolitik)  pada orang yang sensitif  reaksi alergi
yang muncul dapat berupa satu atau lebih reaksi.

Reaksi cepat terjadi berdasarkan reaksi hipersensitivitas tipe 1 fase


cepat.

Reaksi lambat terdapat 4 kemungkinan, yaitu :

1. Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat


2. Reaksi hipersensitivitas tipe II
3. Reaksi hipersensitivitas tipe III
4. Reaksi hipersensitivitas tipe IV

Bervariasi berdasarkan target organ:


Bentuk Klinis
(Klasifikasi) o Pada saluran cerna dapat berupa gatal pada bibir, mulut, faring,
sembab tenggorokkan, muntah-muntah, nyeri perut, kembung,
mencret, perdarahan usus dan protein- losing enteropathy.
o Pada saluran nafas dapat berupa rinitis, asma bronkial atau batuk
kronik berulang.
o Pada kulit dapat berupa urtikaria, angiodema atau dermatitis
atopik.
o Pada kardiovaskular dapat menimbulkan reaksi anafilaksis,
berupa:
- Anafilaksis yang diinduksi makanan.
- Anafilaksis yang diinduksi latihan dan tergantung makanan
(food dependentexercise inducedanaphylaxis) gejala
anafilaksis timbul setelah makan suatu alergen dan kemudian
diikuti latihan fisik.
Bervariasi berdasarkan target organ:

o Pada saluran cerna dapat berupa gatal pada bibir, mulut, faring,
sembab tenggorokkan, muntah-muntah, nyeri perut, kembung,
mencret, perdarahan usus dan protein- losing enteropathy.
o Pada saluran nafas dapat berupa rinitis, asma bronkial atau batuk
kronik berulang.
o Pada kulit dapat berupa urtikaria, angiodema atau dermatitis
atopik.
o Pada kardiovaskular dapat menimbulkan reaksi anafilaksis,
berupa:
- Anafilaksis yang diinduksi makanan.
- Anafilaksis yang diinduksi latihan dan tergantung makanan
(food dependentexercise inducedanaphylaxis) gejala
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
anafilaksis timbul setelah makan suatu alergen dan kemudian
diikuti latihan fisik.
-
Kriteria Diagnosis Dasar diagnosis

o Diagnosis alergi makanan adalah diagnosis klinis yang


dibuktikan dengan eleminasi dan provokasi makanan.
o Makanan tersangka dieleminasi selama 2-3 minggu→jika gejala
hilang atau berkurang, dilakukan provokasi makanan yang
dicurigai:
- Jika makanan berupa cairan/makanan lunak dapat diberikan
bersama dengan cairan juice (seperti air jeruk) atau
disembunyikan dalam bubur.
- Jika anak usia > 6 tahun, maka bahan makanan dihaluskan
jadi bubur→ masukkan dalam kapsul (dosis kecil 50 mg,
dinaikkan tiap-tiap 30 menit, jika tidak ada gejala setelah
dosis 8 gram berarti makanan tersebut bukan alergen
penyebab. Provokasi tidak dilakukan jika gejala yang timbul
anafilaksis dan edema laring.
o Diagnosis dapat didukung melalui pemeriksaan:
- Uji kulit dapat dilakukan uji gores (scratch test), uji suntik
intra dermal (intra dermal test), dan uji tusuk (prick test).
- Darah tepi: eosinofil >5% atau >500/ml, cenderung alergi.
Jika leukosit < 5000/ml disertai neutropenia <30%, sering
ditemukan pada alergi makanan.
- Hemoglobin dan hematokrit yang rendah sering ditemui pada
susu sapi.
- Pemeriksaan IgE spesifik (RAST) hanya dikerjakan atas
indikasi saja.
Langkah diagnosis

 Anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik,


 Eliminasi dan provokasi makanan yang dicurigai.
 Pemeriksaan Penunjang

Diffrential diagnosis - Penyakit Infeksi pada organ yang sama


- Penyakit Alergi karena penyebab lain.

Diagnosis Kerja Alergi Makanan


Tatalaksana Menghentikan makanan penyebab dan memberikan makanan
pengganti. Pada bayi/anak yang masih mendapat ASI, ibunya
jangan mengkonsumsi makanan yang alergenik.

 Pengobatan simptomatis  ditujukan pada manifestasi klinisnya


(urtikaria, diare, rinitis, asma, angiodema, anafilaksis, dll)

- Urtikaria, pruritus, eritema dan rinitis diberikan antihistamin


peroral, dipakai hidroksizin dosis 1 mg/kgbb/kali, 2 kali
sehari, atau dipenhidramin 1 mg/kgbb/kali, 4 kali sehari.
- Jika kelainannya cukup luas dan timbulnya cepat seperti
angioedema , mula-mula diberikan HCI epinefrin (adrenalin)
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
larutan 1:1000 dengan dosis 0,01 cc/kgBB subkutan (max. 0,3
cc). Jika perlu diulang sampai 2 kali selang 15 menit,
kemudian dilanjutkan antihistamin peroral.
- Jika terjadi sitopenia atau vaskulitis diberikan kortikosteroid,
dosis 1-2 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis. Jika klinis telah
membaik ditapering secara sepat, biasanya 3 hari.
- Jika terjadi asma bronkial, diberikan bronkodilator (seperti
teofilin, salbutamol)  SP asma bronkial.
- Anafilaksis :
 Penatalaksanaan penderita anafilaksis :
- Penderita dibaringkan terlentang, kepala dalam posisi ekstensi
, jika perlu oksigen. Beri adrenalin 1:1000, dosis 0,01
cc/kgBB/kali IM
- Jika terjadi obstruksi jalan nafas dipasang alat nafas buatan
(Gudel) atau trakeostomi. Tanda-tanda vital dimonitor terus
(TD, Nadi, RR).
- Jika tidak ada perbaikan tanda-tanda vital (TD masih rendah)
pasang IVFD dengan Ringer laktat atau NaCl 0,9% atau
glukosa 5%, dikocor
- Bronkospasme dihilangkan dengan memberi aminofilin 3-4
mg/kgBB IV (pelan-pelan, diencerkan dulu).
- Untuk menekan reaksi hipersensitifitas tipe I fase lambat
diberi hodrokortison 7-10 mg/kgBB I.V, dilanjutkan 5
mg/kgBB (tiap 6 jam I.V).
- Pengobatan selanjutnya ditujukan pada komplikasi yang
terjadi  jika perlu dirawat di ICU.
Edukasi  Hindari makanan penyebab alergi
 Pada alergi makanan tertentu seperti susu sapi dan telur boleh
dicoba kembali setelah eliminasi 6 bulan – 1 tahun, karena
dapat terjadi grow out dengan bertambahnya usia.

Komplikasi o Failure to thrive


o Penyakit atopi kronis seperti asma bronkial dan dermatitis atopik

Prognosis o Pada prinsipnya alergi tidak dapat disembuhkan


o Dermatitis atopik akan berkurang pada usia 12 tahun, 50-80%
organ sasaran akan berpindah, manifestasi alergi berubah
menjadi rinitis alergika dan asma
o Alergi makanan yang mulai timbul pada usia 3 tahun
prognosisnya lebih baik, 40% mengalami grow-out.
o Anak yang mengalami alergi pada usia 15 tahun keatas
cenderung untuk menetap.
Daftar kepustakaan 1. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi
anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.
2. Behrman,N, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy
Principles and Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Lain-lain (Algaritma, Menghindari makanan penyebab
Protokol, Prosedur,
Standing Order)  Pada anak yang mendapat alergi makanan sebaiknya dicobakan
lagi, karena kemungkinan mengalami grow out dengan
bertambahnya usia.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
ALERGI SUSU SAPI Kode ICD : T78
DEPARTEMEN
IKA No Dokumen No.Revisi Halaman :
RSMH 7 1 1–4
PALEMBANG

Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Alergi Immunologi
Klinis Juli 2016

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K)


Definisi Alergi susu sapi (ASS) merupakan suatu penyakit yang timbul
berdasarkan reaksi imunologis abnormal terhadap protein susu sapi.
Reaksi ini biasanya dikaitkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe I
yang diperantarai IgE , dapat juga tidak diperantarai IgE atau
gabungan keduanya

Etiologi Protein Susu Sapi

Jumlah
residu
Berat
Protein Konsentrasi asam
Molekul
(Konsentrasi % protein susu) (g/dl) amino
(kDa)
per
molekul
Whey β-laktoglobulin 3–4 18,3 162
(20%) (~ α-laktalbumin 1 – 1,5 14,2 123
5g/dl) Immunoglobulin 0,6 – 1,0 150 -
Casein albumin serum
(80%) bovin 0,1 – 0,4 66,3 582
(~30g/dl) laktoferin 0,09 76,1 703
αS1- αS2- 12 – 15 23,6 199
β- 3–4 25,2 207
κ- 9 – 11 24.0 209
3–4 19.0 169

Patogenesis 1. Mekanisme pertahanan spesifik dan nonspesifik saluran cerna bayi


belum sempurna  terjadi kegagalan dalam pembentukan toleransi
oral.
2. Berdasarkan klasifikasi hipersensitivitas Gell dan Combs:
a. Tipe I yang diperankan Ig.E
b. Tipe II disebut reaksi sitotoksik
c. Tipe III dimediasi kompleks Ag-Ab.
d. Tipe IV yang dimediasi sel L.T.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Bentuk Klinis Kulit: Urtikaria/angioedema, kemerahan kulit, pruritus dan dermatitis
(Klasifikasi) atopi.
Saluran cerna: muntah, kolik, konstipasi, diare, buang air besar
berdarah
Saluran napas: hidung tersumbat, rhinitis, batuk berulang, asma atau
rinokonjungtivitis
Sistemik: Anafilaksis / syok
Kriteria Diagnosis Anamnesis

 Mengetahui jangka waktu timbulnya gejala setelah minum susu sapi


atau makanan yang mengandung susu sapi.
 Harus diketahui riwayat pemberian makanan lainnya, termasuk diet
ibu saat pemberian ASI.
 Harus diketahui juga riwayat atopi pada keluarga atau penderita
sendiri.
 Adanya gejala klinis pada kulit, saluran napas dan saluran cerna.
 Jumlah susu sapi yang diminum / makan yang mengandung susu
sapi.
 Penyakit atopi seperti asma, rinitis alergi, dermatitis atopi, urtikaria,
alergi makanan dan alergi obat pada keluarga dan penderita sendiri.

Pemeriksaan FIsik Pemeriksaan fisik yang mungkin didapatkan: pada kulit tampak
kekeringan kulit, urtikaria, dermatitis atopik, siemen crease, geographic
tongue, mukosa hidung pucat dan wheezing (mengi).

Diffrential Tipe Reaksi Gejala yang Diagnosa Banding yang


diagnosis muncul dipikirkan
IgE mediated
Sistem Respirasi Rinokonjungtivitis Masalah pernapasan primer
Asma
Edema laring

Kulit Dermatitis atopik Alergi makanan Alergi


Urtikaria lingkungan Penyakit
Angioedema atopik primer

Gastrointestinal Sindrom alergi Alergi lingkungan atau


oral makan, Infeksi, gangguan
Mual dan muntah pengosongan lambung,
Kolik , Diare malrotasi, celiac disease,
cystic fibrosis

Tipe Reaksi Gejala yang Diagnosa Banding yang


muncul dipikirkan
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
NonIgE Mediated
Pernapasan Pulmonary -
hemosiderosis
(Heiner Syndrome)

Kulit Dermatitis kontak Alergi makanan atau


lingkungan
Dermatitis atopik Atopi primer
Gastrointestinal Refluks Refluks fisiologis,
gastroesofageal pengosongan lambung
Enteropati tansien terlambat, celiac disease,
Protein-losing cystic fibrosis, fissura anal,
enteropathy hiperkalsemia, Hirschprung
Sindrom disease, hipotiroid, gangguan
enterokolitis fungsi gastrointestinal
Kolitis
Konstipasi
Failure to thrive

Pemeriksaan  Darah tepi: hitung jenis eosinofil >3%, atau jumlah eosinofil total
Penunujang >300/ml.
 Kadar IgE total/spesifik susu sapi meninggi.
 Uji kulit alergi (uji tusuk=Prick skin test, intradermal, gores)
 Eliminasi dan provokasi susu sapi dapat dengan: baku emas adalah
Double Blind Placebo Controle Food Challenge = DBPCFC, atau
dengan modifikasi Double Blind, placebo controled cow’s milk
challenge (DBPCCMC).
 Pemeriksaan Darah pada tinja

 Tatalaksana Nutrisi:
Tatalaksana - Penghindaran susu sapi harus ketat supaya toleransi dapat cepat
tercapai, tetapi harus memberikan nutrisi yang seimbang dan
sesuai untuk tumbuh kembang anak.
- Diberikan susu hipoalergenik: susu terhidrolisat ekstensif dan
susu formula asam amino. Jika tidak tersedia / kendala biaya
maka bayi > 6 bulan dapat diberi formula kedele (jelaskan pada
orang tua kemungkinan reaksi silang).
 Tatalaksana Medikamentosa:
- Reaksi kulit ringan: antihistamin peroral ( hidroksin 1 mg/kg
bb/kali, 2 kali sehari, atau difenhidramin 1 mg/kg bb/kali 4 kali
sehari, atau golongan alkilamin seperti chlortrimeton 0,35 mg/kg
bb/hari dibagi 3 dosis. Angioedema: HCl epinefrin (adrenalin)
larutan 1:1000 :0,01 cc /kg bb (maksimal 0,3 cc) subkutan, jika
perlu diulang 2 kali selang 15 menit  dilanjutkan peroral.
- Vaskulitis: prednison, 1-2mg/kg BB/hari. Klinis membaik 
kemudian ditapering off secara cepat, biasanya 3 hari
- Asmabronkial: bronkodilator (salbutamol 0,2/mg/kg bb/hari
dibagi 3 dosis peroral atau intravena)
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Edukasi Hindari susu sapi penyebab alergi. Jika makan makanan jadi baca label
komposisinya

Komplikasi o Failure to thrive


o Penyakit atopi kronis seperti asma bronkial dan dermatitis atopik

Prognosis  Baik
 Setelah usia 2-3 tahun, biasanya imaturitas saluran cerna akan
membaik. Sehingga gangguan saluran cerna akan ikut berkurang
 Angka remisi: 45 - 55% pada tahun pertama, 60-75% pada tahun
kedua, 80-90% pada tahun ketiga.
1. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak.
Daftar Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.
kepustakaan 2. Behrman,N, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy
Principles and Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.
Lain-lain
(Algaritma,
Protokol,
Prosedur,
Standing Order)
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

ALERGI OBAT Kode ICD : Z88.0


DEPARTEMEN
IKA No Dokumen No.Revisi Halaman :
RSMH 8 1 1–3
PALEMBANG

Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Alergi Immunologi
Klinis Juli 2016

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K)


Definisi Alergi obat merupakan bagian dari reaksi terhadap penggunaan obat,
seperti reaksi toksisitas, efek samping, intoleransi, dan idiosinkrasi.
Efek samping obat merupakan reaksi toksik dan reaksi interaksi obat
timbul karena sifat farmakologik obat. Alergi obat adalah respons
abnormal terhadap bahan obat dan metabolitnya melalui reaksi
imunologik (reaksi hipersensitivitas).

Etiologi Pada umumnya, berdasarkan laporan, obat tersering sabagai penyebab


alergi adalah golongan penisilin, sulfat, salisilat dan pirazolon. Obat
lain yang juga sering dilaporkan adalah analgetik (asam mefenamat),
sedatif (terutama luminal), trankuilizer (fenotiazin, fenergan,
klorpromazin, meprobamat) dan antikonvulsan (dilantin, mesantoin,
tridion).
Reaksi Mekanisme Klinis Waktu Reaksi
Patogenesis Imun
Tipe I Kompleks IgE-obat Urtikaria, Menit sampai
(diperantara berikatandgn sel angioedema, jam setelah
i IgE) mast melepaskan bronkospasme, paparan
histamine dan muntah, diare,
mediator lain anafilaksis
Tipe II Antibodi IgM atau Anemia Variasi
(sitotoksik) IgG spesifik hemolitik,
terhadap sel hapten- neutropenia,
obat trombositopenia
Tipe III Deposit jaringan Serum sickness, 1-3 minggu
(kompleks dari kompleks demam, ruam, setelah paparan
imun) antibodi-obat artralgia,
dengan aktivasi limfadenopati,
komplemen vaskulitis,
urtikaria

Tipe IV Presentasi molekul Dermatitis 2-7 hari setelah


(lambat, obat oleh MHC kontak alergi paparan
diperantarai kepada sel T dgn
oleh seluler) pelepasan sitokin
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Bentuk Klinis Anafilaksis Edema laring, hipotensi, bronkospasme


(Klasifikasi) Erupsi kulit Urtikaria/angioedema, pruritus, ruam
makulopapular morbiliformis, erupsi obat fikstum,
dermatitis kontak, vaskulitis, eritema nodusom,
eritema multiformis, sindrom steven-jhonson,
nekrolisis epidermal toksik, dermatitis eksfoliatif
dan reaksi fotosensitivitas
Kelainan Anemia hemolitik, neutropenia, trombositopenia
hematologic
Kelaianan Pneumonitis interstisialis/alveolar, edema paru,
pulmonal fibrosis paru
Kelainan hepatic Reaksi kolestasis, destruksi hepatoseluler
Kelainan renal Nefritis interstisialis, glomerulonefritis,
sindrom nefrotik
Vaskulitis sistemik
Limfadenopati

Kriteria Diagnosis Anamnesis :

 Riwayat terapi obat sebelumnya


 Infeksi yang menyertai
 Daftar semua terapi yang pernah diberikan termasuk dosis, indikasi,
tanggal pemberian, dan lamanya terapi

Pemeriksaan FIsik  Gambaran lesi kulit, dideskripsikan secara akurat mengenai


penampilan, dan distribusinya
- Erupsi morbiliform, eksantem merupakan ruam obat klasik,
- Urtikaria
- Purpura dan ptekiae
- Lesi makulopapular di jari tangan dan kaki atau distribusi
serpiginosa di lateral telapak kaki
- Lesi target yang terdiri dari papulaeritematosa di sentral dengan
cincin di perifer yang edema dan eritematosa menunjukkan
eritema pigmentosa
- Variasi lesi papul eritematosa atau area pigmentosa sampai lesi
papulovesikuler bulosa atau urtikaria dapat menunjukkan erupsi
obat fikstum
- Lesi papulovesikuler dan berskuama dengan adanya riwayat obat
topikal dapat menunjukkan dermatitis kontak
- Ruam ekzema pada area yang terpapar matahari lebih mengarah
pada reaksi fotoalergik
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Diffrential Alergi karena penyebab lain
diagnosis
Diagnosis Alergi Obat
Kerja
Pemeriksaan  Uji in vivo
Penunujang - uji tusuk kulit
- uji provokasi

 Uji in vitro
 Uji diagnostik pada hipersensitivitas obat

Reaksi imun Uji laboratorium Terapi


Tipe I Uji kulit, RAST, serum Penghentian obat, epinefrin,
triaptase antihistamin, kortikosteroid
sistemik, bronkodilator,
rawat RS bila berat
Tipe II Uji Coombs direk dan Penghentian obat,
indirek kortikosteroid sistemik,
transfusi bila berat
Tipe III Laju endap darah, C- Penghentian obat,
reactive protein, antiinflamasi non-steroid,
kompleks imun, antihistamin, atau
komplemen, kortikosteroid sistemik atau
autoantibodi, biopsi plasmafaresis bila berat
jaringan,
imunofluoresens
Tipe IV Patch testing, Penghentian obat,
pemeriksaan proliferasi kortikosteroid topikal,
limfosit antihistamin atau
kortikosteroid topikal bila
berat

Tatalaksana Penghentian pemakaian obat yang dicurigai menyebabkan alergi, lalu


mengatasi gejala klinis yang timbul.

Edukasi Beritahukan kepada pasien untuk selalu mengingat nama obat yang
menyebabkan alergi sehingga sedapat mungkin menghindari pemakaian
obat tersebut.

Komplikasi Dapat terjadi perlekatan kulit, kontraktur, simblefaron, atau


kebutaan bila tindakan pencegahan terlambat dilakukan
Prognosis Baik, meskipun penghentian obat telah dilakukan, namun erupsi obat
masih dapat muncul secara lambat, serta dapat memburuk.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
1. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak.
Daftar Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.
kepustakaan 2. Behrman,N, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi
ke 18. Philadelpgia WB Saunders Co, 2008.
3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy
Principles and Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.

INFEKSI HIV DAN AIDS PADA ANAK Kode ICD : B20.7


DEPARTEMEN
IKA No Dokumen No.Revisi Halaman :
RSMH 9 1 1 –4
PALEMBANG

Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Alergi Immunologi
Klinis Juli 2016

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K)


Definisi Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV): adalah penyakit
yang disebabkan oleh virus HIV, yang menyerang sel imun tubuh,
sehingga terjadi gangguan sistem imun tubuh. Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah penyakit yang
menunjukkan adanya sindrom defisiensiimun seluler sebagai akibat
infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV).

Etiologi HIV yaitu virus yang tergolong dalam keluarga retrovirus sub kelompok
lentivirus. Ada 2 tipe yaitu HIV1 & HIV 2, yang walaupun
strukturnya berbeda tapi gejala klinis yang ditimbulkannya sulit
dibedakan. Antibodi yang terbentuk dari kedua virus ini dapat
bereaksi silang.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
HIV  masuk sel melalui molekul CD4 pada permukaan sel seperti sel
Patogenesis TCD4 dan sel makrofag  terjadi penurunan jumlah dan gangguan
fungsi sel TCD4 melalui efek sitopatik langsung dan efek sitopatik
tidak langsung.

 Efek sitopatik langsung :


- Lisis dan kematian sel TCD4 yang terjadi karena proses replikasi
virus dalam sel TCD4
- Penimbunan DNA virus yang tidak terintegrasi ke genom host
- Interaksi antara molekul Gp 120 HIV dan molekul CD4 intra sel
- Hambatan maturasi sel prekursor TCD4 di dalam timus sehingga
sel tersebut berkembang menjadi matur, sehingga sel TCD4
perifer menurun
 Efek sitopatik tidak langsung :
- Pembentukan sel sinsitia
- Apoptosis sel T reaktif
- Destruksi autoimun yang diinduksi HIV
- Perubahan produksi sitokin sehingga menginduksi hambatan
maturasi sel prekursor TCD4 sehingga jumlah sel TCD4 perifer
berkurang.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Cara penularan
Pada bayi dan anak, penularan HIV melalui ibu hamil yang mengidap
HIV, dapat juga terjadi intrapartum dan melalui ASI, transfusi darah
yang mengandung HIV atau produk darah yang berasal dari donor yang
mengandung HIV, jarum suntik yang tercemar HIV dan hubungan
seksual dengan pengidap HIV.
Faktor risiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak adalah :

- Bayi dari ibu dengan pasangan biseksual


- Bayi dari ibu dengan pasangan berganti-ganti
- Bayi dari ibu atau pasangannya penyalah guna obat intravena
- Bayi atau anak yang mendapat tranfusi darah atau produk darah
berulang-ulang
- Bayi atau anak yang terpapar denagn alat suntik/ tusuk bekas yang
tidak steril
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Bentuk Klinis Bervariasi sesuai tahapan penyakit :
(Klasifikasi)
a. Klasifikasi Menurut CDC
- kategori N : asimptomatik
- kategori A : simptomatik ringan
- kategori B : simptomatik sedang
- kategori C : simptomatik berat atau AIDS
b. Klasifikasi menurut WHO:
 1: asimptomatik
 2: ringan
 3: sedang
 4: berat
Klasifikasi Imunologis:

a. Berdasarkan CD4+
Imunodefisi CD4+ menurut umur
ensi
<11 bln 12-35 bln 36-59 bln >5
(%) (%) (%) th(sel/mm3)
Tidak ada >35 >30 >25 >500
Ringan 30-35 25-30 20-25 350-499
Sedang 25-30 20-25 15-20 200-349
Berat <25 <20 <15 <200
atau<15%

b. Berdasarkan hitung limfosit total (TLC= total lymphocyte count)


Nilai TLC berdasarkan umur
<11 bln 12-35 bln 36-59 bln ≥ 5 th
(sel/mm3) (sel/mm3) (sel/mm3) (sel/mm3)
TLC <4000 <3000 <2500 <2000
CD4+ <1500 <750 <350 <200
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Kriteria Diagnosis a. Diagnosis presumptif (dicurigai) HIV pada anak < 18 bulan:
- Bila ada 1 kriteria berikut:
 Pneumonia P jirovecii, mengitis kriptokokus, kandidiasis
esofagus.
 Toksoplasmosis
 Malnutrisi berat yang tidak membaik dengan pengobatan
standar
ATAU
- Minimal 2 gejala berikut:
 Oral thrush
 Pneumonia berat
 Sepsis berat
 Kematian ibu yang berkaitan dengan HIV atau penyakit
HIV yang lanjut pada ibu
 CD4+ <20%
b. Dasar diagnosis
- anamnesis adanya faktor risiko tertular HIV
- gambaran klinis menunjukkan penurunan kekebalan
adanya antibodi IgG spesifik HIV
Diagnosis Banding Imunodefisiensi primer

Diagnosis Kerja HIV AIDS (Human Immunodefisiensi Virus)

Pemeriksaan  Penegakan diagnosis:


Penunjang  usia <18 bulan:
- bila tersedia: PCR RNA (DNA)
- antibodi anti HIV dapat dilakukan untuk melihat
apakah anak terpapar HIV dari ibu diulang setelah
anak berusia 18 bulan
 usia >18 bulan:
- antibodi HIV
- konfirmasi : westernblot atau PCR RNA/DNA (bila
ada)
- pemeriksaan CD4+ untuk melihat status imunosupresi
 pemeriksaan darah tepi lengkap, SGOT, SGPT sesuai indikasi 
untuk melihat efek samping obat
 pemeriksaan infeksi oportunistik yang sering terjadi bersamaan
dengan infeksi HIV (TBC, hepatitis B dan C)
 pemeriksaan lain (laboratorium, pencitraan dll) dan konsultasi ke
ahli terkait disesuaikan dengan infeksi oportunistik.
Indikasi Rawat Penderita HIV atau AIDS dengan infeksi berat dan keganasan, untuk
mengatasi infeksi atau gejala simtomatis.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
 Penilaian:
Tatalaksana a. Nilai status nutrisi, pertumbuhan dan kebutuhan intervensinya
b. Nilai status imunisasi dan berikan imunisasi yang sesuai
c. Nilai tanda dan gejala infeksi oportunistik (IO) dan pajanan TB.
Bila dicurigai terdapat IO, lakukan diagnosis dan pengobatan
sebelum mulai ART
d. Lakukan penilaian stadium HIV
e. Identifikasi obat-obatan lain termasuk obat tradisional karena
mungkin dapat beinteraksi dengan obat ARV
f. Lakukan penilaian stadium imunologis, bila CD4+ tidak tersedia
dapat dipakai TLC
g. Nilai apakah anak memenuhi kriteria pemberian ART. Indikasi
pemberian ART (menurut WHO 2010)
usia Stadium klinis Imunologis /CD4+
<24 bulan Semua diterapi
>24 bulan Stadium 3 dan 4 Semua diterapi
(tangani dulu IO)
Stadium 1 dan 2 CD4+ <25%: terapi
h. Nilai situasi keluarga :
 Identifikasi orang yang mengasuh anak dan kesediannya untuk
mematuhi pengobatan dan pemantauan pada anak terutama
ART
 Nilai pemahaman keluarga mengenai infeksi HIV dan
pengobatannya serta informasi mengenai status infeksi HIV
dalam keluarga
2. Rekomendasi ART:
Regimen lini pertama yang direkomendasikan 2 Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor (NRTI) ditambah 1 Non-Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor:
a. Anak usia < 3 th:
 Zidovudine (AZT)+Lamivudine (3TC)+ nevirapine (NVP) atau
 Stavudine (D4T)+lamivudine (3TC) + nevirapine (NVP)
b. Anak usia ≥ 3 th:
 Zidovudine (AZT)+Lamivudine (3TC)+ nevirapine (NVP) atau
efavirenz (EFV)
 Stavudine (D4T)+lamivudine (3TC) + nevirapine (NVP) atau
efavirenz (EFV)
Nama obat Dosis
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
Zidovudine (AZT) Usia <4 minggu: 4 mg/kg/dosis 2 kali sehari
(tab 300 mg) Usia 4 minggu-13 tahun: 180-240 mg/m2/
dosis 2x sehari
Max 300 mg/dosis 2x sehari ATAU
6-7 mg/kgBB/ dosis tiap 12 jam = 160
mg/m2/dosis
Lamivudine (3TC) <30 hari: 2 mg/kg/dosis 2x/hari
(tab 150 mg) >30 hari atau < 60 kg: 4 mg/kg/dosis 2x hari
Max 150 mg/kg/dosis 2 x hari
Stavudine (d4T) BB <30 kg: 1 mg/kg/dosis 2x sehari
Cap: 15 mg, 20 mg, BB> 30 kg: 2 mg/kg/dosis 2x sehari
30 mg, 40 mg
Syr 200 cc: 1 mg/ml
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Non Nucleoside Reverse Transcriptase (NNRTI)
Nevirapin (NVP) 2 mgg I: 5 mg/kgBB sekali sehari (max 200
mg)
Tab 200 mg 2 mgg II: 5 mg/kgBB/ dosis (2x sehari)
Selanjutnya: 7 mg/kgBB/dosis (2x sehari)
untuk anak < 8 th
Untuk anak >8 th: =dewasa
Efavirenz (EFV) 10-15 kg: 200 mg 1x sehari
Cap: 50mg, 15-<20 kg: 250 mg 1x sehari
100 mg, 200 mg 20-<25 kg: 300 mg 1x sehari
600 mg 25-<32,5 kg: 350 mg 1x sehari
32,5-<40 kg: 400 mg 1x sehari
Profilaksis Pneumonia P. jirovecii: cotrimoxazole 5 mg/kgBB/hari sekali sehari;
terapi PneumoniaP. jirovecii 15 mg/kg/hari terbagi 3 dosis selama 21 hari
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Pemantauan Pemantauan
 Pemantauan anak terinfeksi HIV yang belum terindikasi pemberian ARV
Item dasar Bula Bula Bula Bula Tiap
n1 n2 n3 n6 6
bln
Evaluasi klinis X X X X X X
BB&TB X X X X X X
Status nutrisi & X X X X X X
kebutuhannya
Kebutuhan CTX & X X X X X X
kepatuhan berobat
Konseling mencegah X X X
pemakaian narkoba,
penularan PMS &
kehamilan
Pencegahan IO dan X X X X X X
pengobatan
Laboratorium
Hb dan leukosit X X
SGPT X
CD4+% atau absolut X X
 Pemantauan anak terinfeksi HIV telah mendapat ARV
Item das Bula Bula Bula Bula Tiap 2- Bila
ar n1 n2 n3 n 4 3 bulan ada
gejala
Evaluasi klinis X X X X X X X
BB &TB X X X X X X
Perhitungan X X X X X X
dosis ART
Obat lain X X X X X X
bersamaan
Kepatuhan X X X X X
minum obat
Laboratorium
Hb dan X X
leukosit
Kimia darah X
lengkap
Tes kehamilan X X
pada remaja
CD4+% X X X
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Edukasi Pencegahan :
 Menghindari tingkah laku seksual yang menyimpang pada anak
remaja
 Mencegah kehamilan ibu yang sudah terinveksi HIV
 Tidak menyuntik anak dengan jarum yang tercemar
 Selektif terhadap donor darah, mereka yang berprilaku resiko tinggi
tertular HIV tidak dijadikan donor.
Edukasi pada orang tua/ wali/ keluarga di rumah:
 Kegagalan pengobatan seringkali disebabkan karena
ketidakpatuhan dalam pemberian ARV sehingga penting sekali
bagi orangtua untuk memastikan ARV dimakan setiap hari sesuai
jadwal
 Pentingnya datang kontrol untuk pemantauan gejala klinis
 Mencegah terjadinya infeksi (makan obat profilaksis secara teratur,
menghindari orang yang terkena infeksi)
 Pemberian nutrisi yang cukup
 Imunisasi

Komplikasi  Komplikasi pada organ spesifik : Lymphocytic Interstitial


pneumonitis (LIP), gangguan susunan saraf pusat, gangguan
pertumbuhan dan endokrinologi, gangguan gastrointestinal dan
nutrisi, manifestasi hematologis dan keganasan.
 Infeksi : infeksi bakteri berulang, infeksi mikobakteria, virus
protozoa, jamur dan infeksi pneumonitis karnii.

Prognosis Penyakit infeksi HIV berakibat fatal, 75% meninggal dalam 3 tahun
sejak diagnosis AIDS ditegakkan.

1. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak.


Daftar Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.
kepustakaan 2. Behrman,N, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
ANAFILAKSIS Kode ICD : T78.2
DEPARTEMEN
IKA No Dokumen No.Revisi Halaman :
RSMH 10 1 1–4
PALEMBANG

Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Alergi Immunologi
Klinis Juli 2016

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K)


Definisi Reaksi alergi sistemik berat terhadap stimulus apapun, dengan onset
mendadak dan biasanya berlangsung < 24 jam, terdiri dari bentol,
kemerahan, gatal, angioedema, stridor, wheezing, nafas pendek, muntah,
diare atau syok yang mengancam kehidupan.

Etiologi Makanan (tersering), Sengatan lebah atau serangga,Obat-obatan,Karet


lateks

 Makanan yang sering menyebabkan anafilaksis:


Kacang tanah, Ikan laut/ sea food, Kerang, Telur, Susu sapi, Biji-
bijian

 Obat-obatan yang dapat menyebabkan reaksi anafilaksis atau


anafilaktoid:
Antibiotik (khususnya penisilin), Obat anestesi intravena, Aspirin,
NSAID, Kontras media intravena, Analgetik opioid
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Individu terpapar kembali dengan antigen yang pernah kontak
Patogenesis sebelumnya membentuk IgE gE spesifik, antigen tersebut berikatan
silang dengan molekul IgE spesifik yang terikat pada sel mast dan
basofil sel mast dan basofil teraktifasi dan mengalami degranulasi
mediator yang terkandung dilepaskan pada saat degranulasi, seperti
histamin dan triptase, dan membentuk mediator baru seperti
prostaglandin dan Leukotrin mediator ini beraksi pada reseptor
menyebabkan produksi mukus, pruritus, peningkatan permeabilitas
vaskuler, konstriksi otot polos dan lain-lain menyebabkan gejala
anafilaksis

Reaksi anafilaktoid

Reaksi sama seperti anafilaksis di mana terjadi pelepasan mediator dan


reaksi yang sama, namun tidak diperantarai IgE

misal : - Aspirin dan NSAID  reaksi terjadi karena inhibisi

siklooksigenase

- Kontras radiologi  menyebabkan pelepasan

mediator secara langsung


PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Individu terpapar kembali dengan antigen yang pernah kontak
sebelumnya membentuk IgE gE spesifik, antigen tersebut berikatan
silang dengan molekul IgE spesifik yang terikat pada sel mast dan
basofil sel mast dan basofil teraktifasi dan mengalami degranulasi
mediator yang terkandung dilepaskan pada saat degranulasi, seperti
histamin dan triptase, dan membentuk mediator baru seperti
prostaglandin dan Leukotrin mediator ini beraksi pada reseptor
menyebabkan produksi mukus, pruritus, peningkatan permeabilitas
vaskuler, konstriksi otot polos dan lain-lain menyebabkan gejala
anafilaksis

Reaksi anafilaktoid

Reaksi sama seperti anafilaksis di mana terjadi pelepasan mediator dan


reaksi yang sama, namun tidak diperantarai IgE

misal : - Aspirin dan NSAID  reaksi terjadi karena inhibisi


siklooksigenase

- Kontras radiologi  menyebabkan pelepasan


mediator secara langsung

Bentuk Klinis Tergantung organ dan derajat beratnya serangan, penderita harus
(Klasifikasi) dimonitor status respirasi dan kardiovaskuler

Kulit
 Flushing, pruritus, urtikaria, angioedema, ruam morbiliformis, pilor
erecti
 Reaksi lokal

Oral
 Pruritus pada bibir, lidah, palatum, edema pada bibir dan lidah,
rasa seperti logam di mulut
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Saluran Nafas (organ syok utama)


 Laring: pruritus dan rasa sesak pada tenggorokan, disfagia,
disfonia, serak, batuk kering, gatal pada saluran telinga luar
 Paru: nafas pendek, dispnu, dada sesak, batuk dalam, wheezing
 Hidung: gatal, bengkak, rinore, bersin
 Apabila lidah dan orofaring terkena bisa terjadi sumbatan saluran
nafas atas
 Stridor bila saluran atas terkena
Obstruksi total saluran nafas merupakan penyebab kematian terbanyak

Kardiovaskuler
 Pingsan/sinkop, nyeri dada, disritmia, hipotensi
 Takikardia kompensata karena penurunan tonus pembuluh darah
 Kebocoran kapiler dapat menyebabkan kehilangan volume
intravaskuler dan hipotensi

Gastrointestinal
Mual, kolik, muntah, diare

Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan secara klinis, perlu dicari riwayat penggunaan
obat, makanan, gigitan binatang, atau transfusi. Pada beberapa keadaan
dapat timbul keraguan terhadap penyebab lain sehingga perlu
dipikirkan diagnosis banding.
Langkah diagnosis  anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik

Diffrential Pada reaksi sistemik ringan dan sedang: urtikaria dan angioedema
diagnosis
Pada reaksi sitemik berat, harus dipertimbangkan semua penyebab
distres pernapasan, kolaps kardiovaskular, dan hilangnya kesadaran
antara lain adalah reaksi vasovagal, dan serangan sinkop, infark
miokard, reaksi insulin, dan reaksi histeria.

 Evaluasi segera keadaan jalan nafas dan jantung, bila pasien


Tatalaksana mengalami henti jantung-paru, harus dilakukan resusitasi
kardiopulmoner.
 Adrenalin (epinefrin)
 Intubasi dan trakeostomi: bila terdapat sumbatan jalan nafas bagian
atas oleh edema
 Torniket: kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstremitas
atau sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang torniket
proksimal di daerah suntikan atau tempat gigtan tersebut
 Oksigen: diberikan pada penderita yang mengalami sianosis, sesak
atau penderita dengan mengi.
 Difenhidramin: untuk mencegah reaksi berulang
 Cairan intravena: untuk mengatasi syok pada anak
 Aminofilin
 Vasopresor
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
 Kortikosteroid, walaupun kortikosteroid tidak menolong pada
penatalaksanaan akut reaksi anafilaksis, kortikosteroid berguna
untuk mencegah gejala berulang
 Pengobatan suportif

Edukasi  Jelaskan pada anak agar menghindari faktor penyebab, misalnya


makanan, obat-obatan dan lain-lain.
 Jelaskan pada guru-teman, pengasuh pada anak menderita reaksi
anafilaksis terhadap makanan, obat-obatan dan lain-lain.
 Persiapan obat adrenalin pada anak besar, dan dijelaskan dulu
tentang cara pemakaiannya
Prognosis Bonam

1. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak.


Daftar Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.
kepustakaan 2. Behrman,N, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.
3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy
Principles and Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK
RSUP.Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

You might also like