Professional Documents
Culture Documents
PROPOSAL
PENYUSUNAN PERENCANAAN
PROGRAM BUMN MEMBANGUN DESA
I. PENDAHULUAN
1
pertumbuhan ekonomi semata. Terdapat batas kemampuan dari pertumbuhan
ekonomi untuk bisa “berefek menetes ke bawah” (trickle down effect) bagi
keluarnya rumah tangga miskin dari perangkap kemiskinannya. Karena itu,
diperlukan pendekatan selain pertumbuhan ekonomi tersebut, dalam hal ini
pemberdayaan masyarakat. Artinya, bila dorongan pertumbuhan ekonomi yang
telah diupayakan oleh Antam selama ini dikomplementasi dengan pemberdayaan
masyarakat, maka penanggulangan kemiskinan dan kemandirian desa diekspektasi
akan lebih efektif.
Dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, upaya penanggulangan
kemiskinan lebih difokuskan pada peningkatan kemampuan (capability building)
dan perbaikan penguatan kelembagaan (institutional strengthening) yang
memungkinkan orang miskin lebih dapat memanfaatkan potensi diri dan
lingkungannya dalam memecahkan masalah dan kebutuhannya. Fokus dari
pemberdayaan bukan hanya perubahan pada orang miskin tetapi juga perubahan
pada lingkungannya baik terkait sumberdaya maupun kelembagaan.
Sinergitas antara pemerintah – akademisi – swasta (private public
partnership) berdampak pada komunitas dan efek keberlanjutan karenanya
diperlukan pendekatan yang lebih menyeluruh dan menjadikan masyarakat
sebagai pelaku utama (subyek) dalam kerangka pemberdayaan partisipatoris yang
difasilitasi melalui pendekatan introduksi teknologi dan optimalisasi lingkungan.
Konsep ini diimplementasikan melalui pengelolaan dana CSR yang melibatkan
Unhas – KPDT – Antam dengan basis komunitas pada dua belas desa (12) area
ring satu. Pendekatan ini selain penekanannya pada introduksi teknologi juga
mendampingi masyarakat menjadi wirausahawan- wirausahawan (entrepreneur)
di tingkat lokalitas.
Lingkungan terkecil dari realitas kemiskinan adalah desa. Pada tingkat
desa realitas kemiskinan terkonstruksi unsur-unsur lokalitasnya, selanjutnya desa
tersebut berinterkoneksi dengan desa lainnya. Gambaran ini membawa
pemahaman bahwa sebuah daerah pada hakekatnya adalah jalinan interkoneksi
lokalitas-lokalitas desa, dan dibalik jalinan interkoneksi itulah kemiskinan
terwujudkan.
Pada wilayah area eksploitasi tambang Antam terdapat dua belas (12) desa
yang ada di area ring satu merupakan desa yang sangat dekat dan bersinggungan
langsung dengan aktifitas pertambangan. Karena itu, dalam program CSR,
pendekatannya tidak hanya meniscayakan pemberdayaan masyarakat, tetapi juga
pendekatan pemandirian desa. Dengan sinergi pemberdayaan masyarakat dan
pemandirian desa yang didalamnya berinterkoneksi unsur entitas manusia dalam
kelembagaan sosialnya dan sumberdaya/potensi ekonominya, dapat diekspektasi
terkembangkan dan terbentuknya penjelmaan teknostruktur lokalitas desa dalam
mengelola potensi lokalitasnya menghasilkan energi ekonomi kehidupannya.
1.2. Tujuan
Tujuan dari program ini adalah mengoptimalkan upaya penanggulangan
kemiskinan berbasis kemandirian desa melalui penemuan dan penciptaan Produk
Unggulan Desa (PruDes) dengan pendekatan introduksi teknologi berbasis potensi
1
desa, pendekatan partisipatoris dalam pemberdayaan, bantuan penanganan dan
pemenuhan kebutuhan dasar (pangan, kesehatan, dan pendidikan), dan penyadaran
kepedulian lingkungan (pemanfaatan, keberlanjutan, dan konservasi).
1.3. Sasaran
Sasaran yang hendak diwujudkan untuk mencapai tujuan tersebut adalah:
(1) Meningkatnya teknostruktur (teknologi dan kelembagaan) masyarakat desa
dalam merencanakan dan mengelola potensi desanya sesuai tuntutan
dinamika perkembangannya.
(2) Berkembangnya kelembagaan (organisasi dan aturan main) tingkat desa yang
memberi ruang bagi akses dan kontrol bagi orang miskin baik laki-laki
maupun perempuan dalam pengelolaan sumberdaya internal desa.
(3) Terbukanya peluang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam mengakses dan
menjadi pelaku utama pada proses introduksi dan alih teknologi,
pemberdayaan masyarakat, bantuan sosial, dan rehabilitasi lingkungan yang
dilakukan melalui pendekatan partisipatoris (participatory approach).
(4) Terbukanya jaringan kelembagaan desa dalam mengakses sumberdaya dan
memasarkan produk pada tingkat supra desa. Sehingga teridentifikasi potensi
produksi (production) pada tahun I, tercipta pasar (market) tahun II,
terbangun jaringan (networking/chanelling) di tahun III, dan terlaksana
proses posisi tawar (bargaining position) masyarakat dampingan pada tahun
IV, dan Tahun V terciptanya mekanisme pasar yang sehat, terbuka, dan
kompetitif.
Penanggulangan Kemiskinan
(Program CSR ANTAM)
Teknostruktur
(Teknologi & Kelembagaan)
Introduksi
Teknologi
Ring
Satu Pemberdayaan
2
1.4. Luaran
Luaran kegiatan yang diharapkan untuk mencapai sasaran-sasaran di atas adalah:
(1) Tersedianya dokumen perencanaan program yang lahir melalui pendekatan
partisipatoris dalam konsep pemberdayaan masyarakat sesuai karakteristik
program/kegiatan yang dikembangkan berdasarkan karakteristik dan potensi
desa.
(2) Dokumen perencanaan program yang terwarnai upaya pemberdayaan
masyarakat sesuai karakteristik program/kegiatan tersebut.
(3) Dokumen perencanaan fasilitasi desa-desa tidak berdaya berbasis
pembelajaran sosial untuk pemberdayaan masyarakat dilengkapi kerangka
sinerginya dengan program/kegiatan Antam dan SKPD tingkat kabupaten dan
provinsi yang berbasis rekayasa sosial untuk tahun 2012;
(4) Dokumen kerangka monitoring dan evaluasi program dan kegiatan untuk
tahun 2012 dan 2013.
3
II. KERANGKA KONSEPTUAL
Transformasi Sosial
Strategi intervensi yang bisa dilakukan agar masyarakat miskin segera
keluar dari ketidakberdayaannya adalah melalui proses akselarasi transformasi
sosial. Upaya transformasi sosial perlu dilakukan untuk menciptakan desa mandiri
sekaligus masyarakat yang mandiri. Transformasi sosial ini dilakukan melalui
tahapan-tahapan capaian, keseluruhan tahapan tersebut adalah proses transformasi
dari desa/masyarakat miskin (tidak berdaya) menuju desa/masyarakat mandiri
(berdaya) sampai masyarakat madani.Tahapan awal dari proses transformasi
tersebut adalah terciptanya kesadaran kritis masyarakat lokal. Terciptanya
4
kesadaran kritis ini dapat dilihat pada adanya kesadaran masyarakat terhadap
kondisi keterbelakangan yang disebabkan oleh ketidakberdayaan dan
menemukenali masalah yang ada.
Tahapan selanjutnya adalah upaya penguatan kelembagaan masyarakat
lokal (organisasi masyarakat desa). Kondisi ketidakberdayaan masyarakat lokal
adalah karena kurang maksimalnya fungsi organisasi masyarakat yang ada, oleh
karena itu diperlukan suatu upaya penguatan kelembagaan masyarakat. Dengan
penguatan organisasi masyarakat lokal yang ada, maka masyarakat dapat
melakukan perencanaan program-program pembangunan desa.
Tahapan berikutnya adalah upaya untuk meningkatkan kualitas
sumberdaya (R), Organisasi (O) dan Nilai-nilai atau aturan (N) dan interkoneksi
diantara ketiganya. Setiap desa memiliki karakteristik R-O-N masing-masing.
Dengan kualitas R-O-N yang baik maka kemitraan antara pihak Antam, Pemda,
dan Masyarakat dalam mengelola sumberdaya yang ada menjadi dasar utama
terciptanya Masyarakat dan Desa Mandiri.
Program
Pembangunan Chaneling
Desa Berbasis
Kemitraan Masyarakat
Peningkatan Antam,
Perencanaan Kualitas RON Pemda dan
Program Masyarakat
Penguatan
Kelembagaan
Penyadaran Masyarakat lokal
Kritis
Good Governance
Dengan bergulirnya otonomi daerah, diharapkan desa/kelurahan
menjalankan peran pembangunan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan
yang baik dan bersih (clean and good governance). Hal ini hanya dapat terjadi
apabila tiga pilar tata pemerintahan, menjalankan peran dan fungsinya masing-
masing. Ketiga pilar itu adalah pemerintah desa/kelurahan, warga masyarakat
(citizen) dan kalangan usaha/swasta (private sector).
Apabila salah satu pilar dari tata pemerintahan itu timpang, maka akan
sulit tercapai tata pemerintahan yang baik. Warga masyarakat perlu bersikap
mengkoreksi jalannya pemerintahan desa/kelurahan dan pembangunan sebagai
warga yang baik. Sebaliknya pemerintah desa/kelurahan menerima masukan
masyarakat sebagai bagian dari keterbukaan dan tanggung gugatnya. Sedangkan
kalangan usaha/swasta berkontribusi terhadap peningkatan ekonomi lokal dengan
membuka peluang kerja, menjalankan kewajiban seperti membayar pajak,
5
memperhatikan kelestarian lingkungan, dan menjalankan tanggung jawab sosial
lainnya.
Ketiga pilar tersebut harus berjalan bersama dengan kekuatan bersama
yang seimbang menuju visi yang sama, yaitu terciptanya masyarakat yang
sejahtera. Berjalan bersama mengandung arti bahwa masing-masing memiliki
peran dan orientasi yang berbeda, tetapi dengan tujuan yang sama yaitu
masyarakat yang sejahtera, atau masyarakat madani.
Peran pemerintah beriorientasi kepada pelayanan maksimum melalui
penciptaan kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang stabil, pemberlakuan
peraturan yang efektif dan berkeadilan, penyediaan pelayanan publik yang efektif
dan accountable, penegakan HAM, dan penyediaan standar kesehatan dan
keselamatan publik. Sedangkan, swasta beriorientasi pada keuntungan maksimum
untuk dapat menjalankan industri, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong
perkembangan ekonomi.
Selanjutnya, masyarakat beriorientasi kepada kegunaan maksimum dari
sumberdaya yang dimiliki dengan memberikan peluang yang sama kepada
anggota masyarakat agar hak-haknya terpenuhi, dan dapat melakukan kontrol
sosial dan check & balance pemerintah, mempengaruhi kebijakan publik dan
pengembangan sumberdaya manusia. Kekuatan bersama yang seimbang
bermakna bahwa ketiga pilar tersebut memiliki kesetaraan, sehingga jika misalnya
pemerintah terlalu berkuasa maka perlu ada power sharing di mana masyarakat
diberdayakan untuk ikut mengambil keputusan; tidak sepenuhnya ditentukan oleh
negara atau pemerintah.
1. PEMERINTAH
• Berperan mengarahkan dan memfasilitasi kegiatan
pembangunan
• Memberikan peluang lebih banyak kepada masyarakat
dan swasta dalam pelaksanaan pembangunan
• Sebagai Traffic Light agar kegiatan pembangunan yang
2. SWASTA dilakukan swasta dan masyarakat lebih optimal.
• Pelaku utama dalam pengembangan usaha
sektor non pertanian sebagai penggerak
pertumbuhan ekonomi wilayah
• Pelaku utama dalam penciptaan lapangan
kerja baru 3. MASYARAKAT
• Kontributor utama peningkatan penerimaan • Masyarakat sebagai pemeran utama (bukan
pemerintah dan daerah berpartisipasi) dalam proses pembangunan
• Perlu pengembangan dan penguatan kelembagaan agar
mampu mandiri dan membangun jaringan dengan para
pihak dalam melakukan fungsi produksi dan fungsi
konsumsinya
• Perlu pemberdayaan untuk meningkatkatkan efisiensi,
produktifitas, dan kualitas produknya
6
jasa murni individu atau privat, masyarakat menjadi pelaku utama, sedangkan
pemerintah ikut berpartisipasi.
Berdasarkan konsep tersebut di atas, maka dalam pelaksanaan
pembangunan, terutama pembangunan infrastruktur, mulai dari perencanaan,
pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaannya, masyarakat menjadi pelaku
utama. Agar pelaksanaan peran masyarakat tersebut berjalan dengan baik maka
perlu diakukan tindakan-tindakan berikut:
1. Pengembangan kelembagaan masyarakat dan pengorganisasian masyarakat.
Pengembagan kelembagaan masyarakat diperlukan agar peran tersebut tidak
dilakukan secara individu melainkan secara bersama sehingga efisien dan
efektif serta sistematis dan terstruktur, pada akhirnya maksimum utilities dapat
diwujudkan.
2. Peningkatan kekuatan masyarakat agar terwujud power sharing. Masyarakat
perlu mengetahui hak dan kewajibannya relatif terhadap hak dan kewajiban
kedua pilar pembangunan yang lain. Ini akan menghindari misalnya
munculnya over power dari pemerintah, atau penyalahgunaan hak oleh swasta,
dan melembaganya fungsi kontrol masyarakat
3. Pemberdayaan Masyarakat. Peran ini dilakukan oleh pemerintah dan swasta
agar kompetensi setiap anggota masyarakat dalam melaksanakan perannya
dalam kelompok kebersamaan meningkat. Pemberdayaan dilakukan sesuai
kebutuhan dan kondisi suatu masyarakat. Karena kondisi dan kebutuhan
masyarakat unik, maka tidak ada pedoman yang berlaku umum tentang
bagaimana pemberdayaan dilakukan, melainkan pedoman umum kepada
fasilitator pendamping tentang bagaimana mengenali kondisi masyarakat
bersama masyarakat untuk selanjutnya diputuskan secara bersama langkah-
langkah perumusan kebutuhan dan langkah-langkah pemberdayaannya.
7
ancangan; top down dan bottom up sehingga diperoleh ancangan ketiga yang
disebut “ancangan partisipatoris” yang mempertemukan gagasan makro yang
bersifat top down dengan gagasan mikro yang kontekstual dan bersifat bottom up.
Ancangan ini memungkinkan dilakukannya perencanaan program yang
dikembangkan dari bawah dengan masukan dari atas. Pola pembangunan dengan
"ancangan partisipatoris" disebut pembangunan partisipatoris, yang akan
menghasilkan pembangunan "mikro" yang tidak terlepas dari konteks "makro".
Peran pelaku eksternal (fasilitator) dalam pola pembangunan partisipatoris
bukan untuk mengambil alih pengambilan keputusan melainkan untuk
menunjukkan konsekuensi dari tiap keputusan yang diambil masyarakat sehingga
keputusan yang diambil akan rasional. Proses pengenalan persoalan, perumusan
kebutuhan, perencanaan dan pemrograman, pelaksanaan, pengoperasian dan
pemeliharaan merupakan kesepakatan bersama antar pelaku pembangunan yang
terlibat (pemerintah, swasta dan masyarakat), dimana seluruh proses
pembangunan sekaligus merupakan proses belajar bagi tiap pihak yang terlibat.
Pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai "katalis pembangunan" dan
masyarakat sebagai "klien" yang diberdayakan dan difasilitasi agar mampu
berperan sebagai "pelaku utama" untuk memecahkan persoalan mereka melalui
hasil kerja mereka sendiri.
8
partisipasi yang bersifat teknis/instrumental. Karena itu, partisipasi teknis tidak
dapat dihubungkan dengan pemberdayaan karena proses pemberdayaan jelas tidak
akan terjadi tanpa adanya agenda demokratisasi komunitas. Sebab, pengembangan
partisipasi bisa saja dijalankan tanpa pemberdayaan. Partisipasi juga tidak selalu
mendorong proses pemberdayaan. Sama seperti konsep partisipasi, konsep
pemberdayaan seringkali dikebiri pemaknaannya menjadi teknis. Pemberdayaan
seringkali diartikan sebagai peningkatan kemampuan (bahkan keterampilan)
masyarakat yang tidak dalam konteks perubahan komunitas dan demokratisasi.
Pemberdayaan adalah proses yang sangat politis, karena berhubungan
dengan upaya mengubah pola kekuasaan dan mereka yang bekerja dengan
kerangka pemberdayaan berarti menantang kelompok pro status quo yang
pastinya tidak begitu saja bersedia melakukan perubahan (dalam arti power
sharing). Proses pemberdayaan selalu memerlukan proses demokratisasi, atau
sebaliknya, proses demokratisasi selalu memerlukan proses pemberdayaan.
Pengembangan demokrasi hanya akan berhasil jika masyarakat berhasil
mengidentifikasi hal-hal yang tidak bersifat demokratis dan secara bertahap
melakukan perubahan terhadapnya agar menjadi lebih demokratis. Hal ini
membutuhkan kesadaran masyarakat mengenai adanya aktor-aktor yang sangat
berkuasa, di berbagai level yang berbeda, yang memiliki kepentingan dan
kemungkinan besar akan menolak usaha-usaha perubahan tersebut.
9
kepemerintahan yang baik memberikan kontribusi optimalnya dalam upaya
reduksi kemiskinan (Billah, 2000).
Terdapat tiga unsur yang bekerja dalam suatu sistem sosial desa didalam
desa tersebut berfungsi sebagai wadah pemenuhan kebutuhan dan pemecahan
masalah warga miskin. Pertama, unsur sumberdaya (resources/R), yakni segala
potensi pada diri orang miskin dan lingkungan komunitasnya, baik berupa
sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya finansial dan sumberdaya
fisik yang dapat dikelola dalam memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah
kemiskinan. Kedua, unsur organisasi (organizations/O), yakni entitas pelaku yang
mengelola sumberdaya tersebut, baik berupa individu rumah tangga,
kelompok/gabungan individu, organisasi sukarela/komunal, maupun organisasi
perusahaan. Ketiga, unsur norma (norms/N), yakni basis nilai serta prinsip/aturan
yang menjadi acuan bagi pelaku dalam menjalankan pengelolaan sumberdaya.
Efektivitas R-O-N dalam mendorong perubahan sangat ditentukan oleh
interkoneksinya satu sama lain (Ohama, 2006). R-O-N adalah tiga serangkai unsur
pembangunan yang perlu diperhatikan dalam memformulasi program/kegiatan
maupun dalam menganalisis potensi masyarakat yang akan menerima manfaat
program/kegiatan pembangunan.
Setiap entitas desa memiliki tiga unsur (R-O-N) tersebut, tetapi jumlah
dan pola interkoneksi diantara ketiganya bervariasi antar desa sesuai pengalaman
desa tersebut dalam menghadapi dinamika perubahan yang pada gilirannya
memanifestasikan kualitas teknostruktur masing-masing desa. Karena itu, proses
pemberdayaan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan meniscayakan
penghantaran tiga unsur untuk berkomplementasi dengan unsur yang sudah ada
dalam entitas desa, sedemikian rupa sehingga unsur yang dihantarkan dengan
unsur yang sudah ada berkomplementasi satu sama lain, dan dengan
komplementasi itulah karakteristik/identitas desa dalam menjalani perubahan tetap
terpelihara.
Secara metodologis, pemahaman atas komplementasi R-O-N
meniscayakan komplementasi pula dalam desain program/kegiatan pembangunan.
Sebuah program/kegiatan pembangunan yang bisa berefek pada keberdayaan
masyarakat seyogianya terdiri dari tiga proses yang berkomplementasi satu sama
lain (Ohama, 2006) yakni: (1) pendidikan penyadaran (conscientization) untuk
membenahi unsur N (berupa pendampingan pemahaman potensi lokal, pemetaan
swadaya, penyusunan dan implementasi rencana, monitoring dan evaluasi, dan
refleksi pengalaman); (2) pengorganisasian masyarakat (community organizing)
untuk membenahi unsur O (fasilitasi pembentukan kelompok, pengembangan
organisasi komunitas, pengembangan jaringan, pengembangan kolaborasi
multipihak); (3) penghantaran sumberdaya (resources delivery) untuk membenahi
unsur R (berupa pelatihan SDM, bantuan peralatan/teknologi, bantuan
modal/finansial, pembangunan sarana/prasaran fisik).
Dalam program BUMN Membangun Desa ini diasumsikan bahwa daerah
adalah suprastruktur desa yang dari sana saluran kebijakan bekerja untuk
menghantarkan unsur keberdayaan (R-O-N) bagi penanggulangan kemiskinan di
tingkat desa. Dengan demikian, pemberdayaan yang dilakukan pemerintah dan
perusahaan selama ini lebih bermakna mensinergikan unsur keberdayaan yang
10
dihantarkan program/kegiatan pemerintah dan perusahaan dengan unsur
keberdayaan yang sudah ada dalam mekanisme masyarakat.
Agar sinergi antara unsur keberdayaan yang dihantarkan pemerintah dan
perusahaan dengan unsur keberdayaan yang terdapat dalam desa dapat berjalan
optimal dan berkelanjutan, maka secara metodologis pilihan strategi perubahan
yang ditempuh adalah sinergi antara dorongan perubahan berbasis pembelajaran
sosial (social learning) dengan dorongan perubahan berbasis rekayasa sosial
(social enginering). Dorongan perubahan berbasis pembelajaran sosial lahir secara
bottom-up dari pendampingan pada masyarakat, dorongan perubahan berbasis
rekayasa sosial lahir secara top-down dari arahan teknokratik program/kegiatan
SKPD dan program CSR perusahaan.
Menurut Friedmann (1987), perencanaan pada domain publik memang
melibatkan dua jenis pengetahuan yang diaplikasikan dalam mendorong
perubahan yakni pengetahuan ilmiah (scientific based knowledge) untuk
perencanaan yang bersifat arahan sosial (social guidance planning) oleh
pemerintah dan pengetahuan berbasis pengalaman (experience based knowledge)
untuk perencanaan yang bersifat transformasi sosial oleh prakarsa/swadaya
masyarakat.
Perubahan melalui pembelajaran sosial diasumsikan berlangsung karena
adanya proses belajar berdasarkan pengalaman (experience based learning
process) yang terjadi pada warga miskin dan komunitasnya dalam memenuhi
kebutuhan dan memecahan masalah lokal. Warga miskin dan komunitasnya
difasilitasi untuk mengalami identifkasi masalah dan kebutuhan, merencanakan
tindakan dalam mengatasi masalah dan kebutuhan berdasarkan potensi lokal,
menjalankan implementasi rencana, memanfaatkan hasil-hasil dari implementasi
rencana, serta mengambil pelajaran dari rangkai siklus pengalaman tersebut.
Melalui rangkaian mengalami itulah kesadaran ditumbuhkan, nilai dan norma
diapresiasi dan dibangun bersama, wadah kelembagaan diperkuat, pengetahuan
dan teknologi dikembangkan dan sumberdaya lokal dikelola dan dipelihara.
Perubahan melalui rekayasa sosial diasumsikan berlangsung karena
adanya arahan program/kegiatan yang disusun secara teknokratik oleh perusahaan
dan pemerintah dalam perwujudan visi. Perusahaan dan Pemerintah menggunakan
teori dan model ilmiah didalam mengidentifikasi dan memprioritisasi masalah/isu
strategis terkait visi dan arahan kebijakan untuk mencapai visi tersebut. Melalui
implementasi program/kegiatan tersebut sumberdaya dihantarkan kedalam entitas
desa serta pengetahuan, sikap dan keterampilan warga desa diubah dalam
kerangka untuk mensukseskan program/kegiatan tersebut.
Sinergi antara rekayasa sosial dengan pembelajaran sosial dalam program
BUMN Membangun Desa ini merupakan konsep utama yang melatari setiap
upaya dorongan perubahan bagi penanggulangan kemiskinan berbasis
pemberdayaan masyarakat dan pemandirian desa. Melalui rangkaian fasilitasi
untuk pembelajaran sosial, warga miskin dan komunitasnya diharapkan dapat
eksis sebagai pelaku atas perubahan yang didorong bukan sekedar penerima
manfaat, sehingga akses dan kontrol terhadap R-O-N internal semakin terkuatkan
serta jaringan untuk akses terhadap R-O-N eksternal semakin berjalan.
11
Sementara itu, melalui rangkaian arahan rekayasa sosial, pihak perusahaan
dan pemerintah daerah diharapkan semakin efektif-efisien dalam menghantarkan
R-O-N bagi warga miskin dan komunitasnya pada setiap desa. Pertemuan sinergis
antara R-O-N berbasis pembelajaran sosial dengan R-O-N berbasis rekayasa
sosial inilah yang diharapkan mendorong kemandirian desa dan keberdayaan
masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan tanpa teralienasi dari eksistensi
entitas supra strukturnya yakni pemerintah provinsi dan kabupaten.
Siklus pelaksanaan kegiatan tingkat komunitas secara umum terbagi enam (6)
tahapan seperti terlihat pada gambar berikut ini:
1
Pewarnaan
Persiapan & Program CSR 2012 di
Penguatan
Fasilitator 12 Desa (Produk
Unggulan)
Monitoring
Evaluasi 2
Pelaksanaan
Program
3
Pengorganisasian
Kelompok
4
Perencanaan
Partisipatif (RPJM
Desa)
Pada saat yang sama di tahun 2012 sudah mulai ada penyiapan
implementasi produk unggulan di 12 Desa sasaran sebagai kegiatan pilot berupa
empat produk: Pertanian (gula-tebu, coklat) Peternakan (Ternak dan Unggas), dan
Perikanan (penyiapan alat tangkap set net ‘Jappa’)
12
1. Persiapan dan Penguatan Fasilitator
13
khusus dengan berbagai elemen komunitas termasuk tokoh-tokoh dan kelompok
strategis yang telah diidentifikasi.
Output dari pemetaan sosial dan pemetaan potensi R-O-N ini akan
diperoleh gambaran utuh tentang profil lingkungan, informasi tentang pola
hubungan sosial dan jaringan komunikasi dalam masyarakat desa. Peta kekuatan-
kekuatan sosial yang dominan dalam masyarakat dan informasi tentang faktor-
faktor strategis yang menggerakkan tindakan masyarakat.
Di samping itu, dalam pemetaan ini juga akan ditemukan alternatif media
komunikasi/informasi yang akan dipergunakan sebagai alat sosialisasi dan
diseminasi di tingkatan masyarakat, simpul-simpul kultural yang dianggap
berpengaruh di dalam perubahan-perubahan sosial, pengalaman dan pandangan
masyarakat terhadap intervensi sosial, khususnya program-program
penanggulangan kemiskinan dan informasi tentang kebiasaan masyarakat, adat
istiadat yang mempunyai potensi untuk mendukung keberhasilan program. Hal
yang tidak kalah pentingnya adalah informasi khusus mengenai keterlibatan
perempuan, dan nilai-nilai serta pola pikir masyarakat terhadap peran perempuan
dalam pembangunan baik di sektor domestik maupun sektor publik dan pola
komunikasi warga masyarakat. Semua hasil pemetaan sosial dan identifikasi
potensi R-O-N itu sekaligus menjadi ancangan bagi analisis masalah dan
kebutuhan masyarakat dampingan.
Proses pemotretan kondisi sosial dan lingkungan komunitas diharapkan
akan melahirkan kesadaran diri dan kesadaran lingkungan. Kesadaran diri akan
tercermin dari pemahaman dan sikap yang menempatkan bahwa dirinya adalah
bagian terpenting dalam pembentukan masyarakat. Kesadaran lingkungan
merupakan pemahaman dan keyakinan yang mendalam baik individu maupun
komunitas untuk menjaga, menyelamatkan dan melestarikan lingkungan yang
terwujud dalam pemikiran, sikap, dan tingkah lakunya. Kesadaran ini akan
menjauhkan dari sikap eksploitatif dan keserakahan di dalam berinteraksi dan
memperlakukan lingkungan. Kesadaran lingkungan pada pengelolaan teknologi
akan meningkatkan efisiensi dan penghematan pemakaian sumberdaya alam
dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Dengan kesadaran diri dan lingkungan yang menjadi acuan berperilaku
maka sebagai bagian dari komunitas, setiap individu seharusnya mereka tidak
menjadi bagian yang menambah persoalan, tetapi merupakan bagian dari
pemecahan masalah dengan cara berkehendak untuk memelihara dan menghargai
lingkungan. Selanjutnya akan tumbuh kesadaran untuk melakukan upaya
perbaikan, yang dimulai dari diri sendiri. Setiap anggota masyarakat akan mampu
untuk memberikan sumbangan (baik tenaga, waktu, pikiran, ruang bagi kelompok
lain untuk berpartisipasi, dan berdemokrasi) untuk bersama-sama saling peduli,
menjaga dan memelihara lingkungan agar kehidupan bersama tetap harmonis.
Secara teknis, proses pemetaan ini dilakukan secara partisipatif. Melalui
aktivitas pemetaan, warga dalam komunitas saling berbagi informasi dalam
mengenali lingkungannya masing-masing. Tujuannya antara lain agar komunitas
memahami kondisi nyata diri dan lingkungan. Dalam kegiatan ini masyarakat
melakukan rangkaian kegiatan yang sekaligus sebagai proses belajar menggali dan
menemukan informasi kondisi nyata dari masalah, tantangan, dan potensi sosial,
14
ekonomi, budaya dan lingkungan. Berbagai masalah itu harus didukung oleh data
dan fakta, sehingga diperlukan proses pendalaman untuk mengumpulkan
informasi yang diperlukan.
Informasi dan fakta yang sudah didapatkan dianalisa dan dikaji bersama.
Proses ini merupakan analisa kritis terhadap berbagai kondisi yang ada
berdasarkan informasi dan fakta tadi untuk dicari sebab akibatnya termasuk
kelompok yang terkena dampak dari masalah yang ada (kelompok sasaran). Setiap
informasi yang muncul dianalisa apakah hal tersebut merupakan masalah yang
sebenarnya atau hanya merupakan gejala saja.
Tahap selanjutnya adalah merumuskan masalah yang sudah ditemukan dan
disepakati bersama dikelompokkan (pengorganisasian masalah), kemudian
dianalisa hubungan sebab akibatnya dengan kembali membuat pohon masalah
untuk menemukan akar masalah. Selama proses ini berlangsung, terjadi proses
refleksi dan analisa kritis terhadap setiap tantangan yang ditemukan.
3. Pengorganisasian Kelompok
15
merupakan bagian dari proses membangun potensi dan kapasitas suatu kelompok
masyarakat (empowerment) agar mereka mampu secara aktif berpartisipasi dalam
pembangunan sehingga pada gilirannya akan mampu melakukan manajemen
komunitas (community management) terhadap lingkungan dan hidupnya.
16
Perencanaan kegiatan merupakan proses mengembangkan rencana kerja
berdasarkan penjajakan kebutuhan yang telah dilakukan. Hasil kajian masalah dan
potensi masyarakat dijadikan bahan untuk menyusun rencana kegiatan yang
sederhana, jelas dan realistis. Artinya bentuk perencanaan ini benar–benar dapat
dilaksanakan oleh masyarakat.
Hasil rumusan masalah dan potensi-potensi, dijabarkan menjadi empat.
Pertama, penetapan prioritas masalah berdasarkan kriteria masyarakat. Kedua,
alternatif alternatif pemecahan untuk setiap masalah. Ketiga, Alternatif-alternatif
kegiatan yang bisa dilakukan sesuai dengan ketersediaan sumber daya baik lokal
maupun dari luar. Keempat, penentuan para pelaksana, penanggung jawab dan
pendamping kegiatan.
Rencana kegiatan yang dikembangkan perlu mencantumkan dengan jelas
apa, bagaimana, siapa, untuk apa, untuk siapa dan kapan akan dilaksanakan
kegiatan tersebut. Semakin konkrit dan jelas rencana yang dihasilkan semakin
besar kemungkinan rencana kegiatan dilakukan berdasarkan hasil keputusan
masyarakat. Pelaksanaan kegiatan sebaiknya diorganisir dan dipimpin oleh
anggota masyarakat sendiri, sedangkan petugas lembaga program hanya
mendampingi. Penyusunan rencana kegiatan ini juga dimaksudkan untuk
mendorong agar terjadi proses pembelajaran di dalam proses penyusunan rencana
atau kebutuhan menjadi kegiatan yang disertai dengan sumber pembiayaannya
serta tersusunnya perencanaan yang logis dan sistematis . Dalam tahapan kegiatan
ini juga diharapkan terjadi proses cek and re-ceck data dan informasi serta
konsistensi kebutuhan dan rencana kegiatan. Hal tersebut di atas merupakan
beberapa unsur perencanaan yang tercantum dalam dokumen RPJM Desa.
RPJM Desa merupakan dokumen rencana desa yang disusun untuk jangka
waktu 5 tahun. Dokumen ini harus diacu dalam pembahasan usulan kegiatan di
musrenbang sehingga sebaiknya rancangan awal RKP Desa disusun berdasarkan
dokumen ini, dipaparkan di musrenbang dan diperbandingkan dengan hasil kajian
kondisi dan persoalan desa terkini, sehingga kemudian terjadi penyesuaian
kembali. Mengapa harus menyusun RPJM Desa? Berdasarkan hasil kajian,
rencana pembangunan jangka pendek (tahunan) yang terputus-putus ternyata tidak
berdampak perubahan yang berarti. Agar rencana program berkesinambungan
diperlukan kerangka program jangka menengah untuk menjadi rujukan
penyusunan rencana kerja tahunan.
5. Pelaksanaan Program
Pelaksanaan program merupakan wujud dari implementasi kegiatan yang
tertuang dalam dokumen RPJM Desa pada tahun selanjutnya. Di samping itu, ada
pula pelaksanaan kegiatan paralel dengan perencanaan reguler yang dilakukan di
setiap desa. Pelaksanaan kegiatan paralel dimaksud mengacu pada hasil
identifikasi produk unggulan yang berpotensi dikembangkan pada 12 desa di area
ring satu Antam.
Produk unggulan dimaksud diinisiasi oleh masing-masing pendamping
masyarakat yang bersinergi dengan masyarakat setempat secara partisipatif. Para
pendamping ini memiliki kemampuan teknis dan kemampuan community
17
development. Potensi-potensi produk unggulan yang teridentifikasi dapat segera
dilaksanakan pada tahun 2012 ini.
18
masyarakat dengan adanya kegiatan, dilakukan setelah statu jangka waktu tertentu
(misal : per tahun).
Evaluasi akhir program, dilakukan antara lain untuk melihat/mengkaji
apakah tujuan program tercapai, apa saja yang sudah tercapai dan yang belum dan
mencari penyebabnya dan yang kedua adalah mengkaji pengaruh program
terhadap kesejahteraan masyarakat secara komprehensif. Pelaksanaaan evaluasi
program dilakukan sendiri oleh komunitas sebagai perencana, pelaksana dan
penerima manfaat dari setiap kegiatan secara partisipatif.
IV. PEMBIAYAAN
Mengacu pada anggaran program unggulan dari sektor pertanian, perkebunan, dan
perikanan.
19
Kecamatan Pomalaa
Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Pomalaa di Kota/Kabupaten Kolaka,
Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) :
- Kelurahan/Desa Dawi-Dawi (Kodepos : 93562)
- Kelurahan/Desa Hakatutobu (Kodepos : 93562)
- Kelurahan/Desa Huko Huko (Kodepos : 93562)
- Kelurahan/Desa Kumoro (Kodepos : 93562)
- Kelurahan/Desa Oko Oko (Kodepos : 93562)
- Kelurahan/Desa Pelambua (Kodepos : 93562)
- Kelurahan/Desa Pesouha (Kodepos : 93562)
- Kelurahan/Desa Pomalaa (Kodepos : 93562)
- Kelurahan/Desa Sopura (Kodepos : 93562)
- Kelurahan/Desa Tambea (Kodepos : 93562)
- Kelurahan/Desa Tonggoni (Kodepos : 93562)
- Kelurahan/Desa Totobo (Kodepos : 93562)
20