You are on page 1of 20

MAKALAH ETIKA

PELANGGARAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DI INDONESIA

NAMA KELOMPOK :
1. Win Ardi Abbas 4312210077
2. Dimas Agung Budiyawan 4314210042
3. Farhan Wartiansyah 4314210051
4. Marthin Petrus 4314210081
5. Rizky Muflih 4314210114

UNIVERSITAS PANCASILA
FAKULTAS TEKNIK JURUSAN MESIN
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas segala rahmat dan
karunianya sehingga saya sebagai penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah
matakuliah Etika Hukum dan Engineering mengenai HKI. Makalah ini disusun guna
memenuhi tugas, sebagai syarat mendapatkan nilai dalam matakuliah Etika Hukum dan
Engineering.
Terimakasih kepada Dosen yang senantiasa mengajarkan dan memberi materi tentang
HKI . Serta telah meluangkan waktunya untuk mengajarkan saya untuk memahami tentang
Hak Kekayaan Intelektual.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saya
mengharapkan kritik dan saran yang sangat membangun. Besar harapan saya juga sebagai
penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya maupun semua pembaca makalah ini,
terutama mahasiswa Universitas Pancasila.

Jakarta, 5 JUNI 2018

Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Hak kekayaan intelektual disebut sebagai Intelectual Property Rights (IPR) dalam
bahasa Inggris memiliki makna segala hasil produksi kecerdasan daya pikir dalam
berbagai bidang yang berguna bagi manusia. (wikipedia.org) Pelanggaran terhadap hak
milik intelektual ini telah banyak terjadi dari dulu maupun pada masa sekarang sehingga
berdirilah sebuah organisasi yang mengatur dan mengontrol agar tidak terjadinya
pelanggaran hak kekayaan intelektual. Organisasi ini bernama World Intellectual
Property Organization (WIPO). (http://www.wipo.int/ )
Indonesia telah menjadi anggota dari organisasi internasional WTO (World Trade
Organization) yang mana mengatur berbagai macam peraturan maupun prosedur akan
perdagangan dunia dan memiliki visi yang selaras dengan WIPO. Salah satu perjanjian
yang turut disetujui oleh Indonesia sebagai anggota WTO adalah perjanjian Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) yang mengatur hukum akan Hak
Kekayaan Intelektual. Indonesia sebagai negara berkembang telah diberikan sedikit
perkecualian akan persetujuan TRIPS (yang kemudian dituangkan pada Undang –
Undang Nomor 19 Tahun 2002 ) dimana impelementasi perjanjiannya dapat
diperpanjang hingga 2005.
Namun, WHO melihat bahwa belum ada perubahan signifikan pada beberapa
negara berkembang termasuk di antaranya Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan pada
bab sebelumnya akan bentuk-bentuk pelanggaran hak kekayaan intelektual termasuk
pencurian maupun pembajakan, tampaknya masyarakat Indonesia belum menyadari
bahwa beberapa tindakan mereka termasuk kategori kriminalitas.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
mendefinisikan bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak
untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu
dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. (pasal 1 ayat 1).
Namun, hingga saat ini masih banyak sekali terjadi pelanggaran hak kekayaan
intelektual yang terjadi di dunia bisnis baik di luar negeri maupun di Indonesia. Beberapa
contoh pelanggaran hak kekayaan intelektual tersebut terjadi dalam bentuk pencurian ide
ataupun plagiat pada suatu produk maupun merk terntetu. Sebagai contoh adalah
makanan yang sering kita jumpai di Indonesia yaitu ayam goreng. Ayam goreng atau
fried chicken yang paling terkenal di seluruh penjuru dunia dengan model ayam crispy
dan bumbu rahasianya adalah KFC. Namun saat ini kita dapat dengan mudah membeli
ayam crispy yang serupa di pinggir-pinggir jalan dengan nama yang berbeda-beda serta
kualitas yang berbeda pula. Beberapa di antaranya yang sering kita temui adalah CFC,
RFC, Miami Chicken, C’Best Fried Chicken, dll. Harga yang ditawarkan oleh merk-merk
lain ini lebih terjangkau dan memiliki rasa yang tidak kalah enak meskipun belum dapat
menyaingi rasa dari merk aslinya. Tetapi hal ini tetap memberikan dampak yang cukup
besar bagi perkembangan merk asli agar tidak dapat disaingi dengan mudah oleh merk-
merk yang melakukan tindakan yang dapat kita sebut dengan plagiat ini.
Maka dari itu makalah ini akan membahas mengenai tindakan pelanggaran hak
kekayaan intelektual yang terjadi di Indonesia. Apakah tindakan itu dibenarkan atau
disalahkan berdasarkan sudut pandang hukum, masyarakat dan pelaku bisnis. Selain itu
akan dibahas pula dampak-dampak yang timbul dari tindakan pelanggaran ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana etika pelanggaran hak kekayaan intelektual dari sudut pandang hukum
Republik Indonesia?
2. Bagaimana etika pelanggaran hak kekayaan intelektual dari sudut pandang
masyarakat Indonesia?
3. Bagaimana etika pelanggaran hak kekayaan intelektual dari sudut pandang
konsumen?
4. Apa saja dampak dari pelanggaran hak kekayaan intelektual bagi pelaku bisnis?
5. Apa saja dampak dari pelanggaran hak kekayaan intelektual bagi masyarakat di
Indonesia?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui bagaimana etika pelanggaran hak kekayaan intelektual dari sudut
pandang hukum negara Indonesia.
2. Mengetahui bagaimana etika pelanggaran hak kekayaan intelektual dari sudut
pandang masyarakat Indonesia.
3. Mengetahui bagaimana etika pelanggaran hak kekayaan intelektual dari sudut
pandang konsumen.
4. Mengetahui dampak dari pelanggaran hak kekayaan intelektual bagi pelaku bisnis.
5. Mengetahui dampak dari pelanggaran hak kekayaan intelektual bagi masyarakat di
Indonesia.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Etika Profesi Bisnis


Etika jika ditilik dari asal usul katanya, etika berasal dari bahasa Yunani ‘ethos’
yang berarti adat istiadat/ kebiasaan yang baik . Lebih lanjut etika adalah studi tentang
kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda,
yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya disebut juga
filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang praxis (tindakan) manusia.
Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana
manusia harus bertindak.
Etika bisnis adalah suatu cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang meliputi
berbagai aspek perorangan atau individu, perusahaan sampai masyarakat luas. Etika
Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan tata krama perilaku
pekerja serta pimpinan dalam membangun komunikasi yang adil dan sehat dengan
pelanggan/mitra kerja, pemegang saham, masyarakat.
Suatu Instansi meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni
bisnis dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan mematuhi
nilai-nilai yang tercantum pada etika tersebut agar selaras dengan hukum dan peraturan
yang berlaku.
Didalam dunia bisnis sendiri etika bisnis dapat digunakan sebagai pedoman dan
tuntunan bagi seluruh karyawan termasuk staf divisi manajemen dan menjadikannya
sebagai pedoman untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan dilandasi moral yang
luhur, jujur, transparan dan sikap yang profesional.
Tiga pendekatan dasar dalam perumusan tingkah laku etika bisnis, antara lain :
Utilitarian Approach : setiap perilaku didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena
itu, dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi
manfaat berarti pada masyarakat, dengan asumsi tidak membahayakan dan biaya
seminim mungkin.
Individual Rights Approach : setiap orang dan kelakuan memiliki hak dasar yang harus
dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut diharuskan untuk dihindari
apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang dam, dan
gerinda adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan
ataupun secara kelompok.
Di negara Indonesia, setelah mencermati sumber yang didapat sepertinya etika
berbisnis di negara ini belum berjalan dengan baik. Banyak dari kasus-kasus yang terjadi
di negara ini yang mungkin bisa dipaparkan dan mencerminkan lemahnya etika dalam
dunia bisnis di Indonesia. Masih ingat anda dengan kasus Iklan provider telekomunikasi
Telkomsel dan XL. Ya kedua iklan tersebut menggunakan satu bintang iklan yang sama
‘SULE’ . Pertama XL mengkomersilkan iklannya dengan produk terbarunya yang
dibintangi aktor tersebut, dan tak selang lama waktu Telkomsel dengan kau perdananya
AS membalas dengan fitur terbaru dari kartu perdana mereka Dengan mengiklankan
produk mereka dengan menggunakan bintang iklan SULE. Padahal pada kenyataanya
tidak ada bintang iklan yang pindah ke produk kompetitor selama jangka waktu kurang
dari 6 bulan, pada intinya di sini terdapat suatu pesan yang tersirat bajak membajak model
dan materi iklan.
Dari kasus tersebut menunjukkan bahwa sanksi yang diterapkan belum sepenuhnya
dimengerti oleh masyarakat, dan ketegasan dalam pengambilan langkah hukum bagi para
pelakunya dinilai belum terlalu tegas. Kurang tanggapnya pemerintah terhadap fenomena
ini membuktikan minimnya pergerakkan nyata dari pemerintah, mengingat pemerintah
hanya sibuk memberikan pernyataan-pernyataan yang hanya berwujud ‘lip-service’. Hal
seperti ini sungguh sangat ironis , karena enforcement dari pemerintah yang tidak begitu
jelas dan nampak, bakal menimbulkan banyak masalah di bidang lain. Mungkin ini
adalah angin lalu dan tidak begitu bermasalah dan berdampak pada anda, tapi coba
pikirkan jika etika itu tidak dilakukan pada suatu produsen makanan, tidak usah melihat
jauh pada franchise ataupun produsen lain yang begitu besar, pasti anda pernah memakan
gorengan yang anda beli dipinggir jalan, pernahkah anda berfikir bagaimana cara
membuatnya ?, dari pelaku bisnis terkecil seperti itupun terdapat beberapa penjual yang
melakukan pelanggaran etika demi meningkatkan pendapatnnya, menggunakan plastik
dalam pembuatan gorengan agar lebih renyah, menggunakan minyak yang berhari-hari
sudah dipakai agar lebih hemat.
Disinilah seharusnya pemerintah di Indonesia bertindak nyata dan tegas dalam
urusan etika berbisnis. Tidak hanya itu tapi dari sisi konsumen juga harus lebih cerdas
dan matang dalam pemilihan produk yang dibeli, dengan ini diharapkan para pelaku
bisnis yang melakukan pelanggaran etika sadar dan semua pihak bisa merasa aman.
2.1.1 Stakeholder dalam Proses Bisnis
Adapun stakeholder atau aktor-aktor yang terlibat dan juga turut menentukan
arah dari proses bisnis dalam hal Bisnis terindikasi pelanggaran HKI terbagi menjadi
primer dan sekunder. Aktor primer adalah organisasi itu sendiri, pemasok, konsumen,
pemilik, dan pekerja.
Sedangkan aktor sekundernya antara lain pemerintah, budaya masyarakat,
media massa / aktivis, dan kompetitor.
Sesuai dengan signifikansinya aktor- aktor di atas dengan judul makalah ini
maka tim penulis hanya akan membahas bisnis ini dari sisi organisasi, konsumen,
pemerintah ( hukum yang berlaku), dan budaya masyarakat.

2.2 Hak Kekayaan Intelektual


Pengertian Hak kekayaan intelektual menurut Saidin, H. OK. adalah hak
kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio.
Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar. Hasil kerjanya itu berupa benda
immaterial, benda tidak berwujud.
HKI ini berasal dari Intellectual Property Rights yang dibahas oleh organisasi
World Intellectual Property Organization (WIPO). WIPO membagi hak kekayaan
intelektual ini menjadi 2 bagian yaitu hak cipta (copyright) dan hak kekayaan industri
(industrial property right). Hak kekayaan industri adalah hak yang mengatur segala
sesuatu tentang milik perindustrian terutama yang mengatur perlindungan hukum.
Adapun hukum akan HKI ini bersifat teritorial artinya jika didaftarkan di Indonesia
maka hukum hanya dapat melindungi hak nya jika ada pelanggaran di Indonesia. Dalam
konteks makalah ini dimana yang dibahas mengenai bisnis, maka akan lebih sesuai jika
membahas akan Hak Kekayaan industri dimana menurut KamusBisnis.com adalah hak
atas kepemilikan aset industri. Dimana berdasarkan pasal 1 Konvensi Paris mengenai
perlindungan hak kekayaan industri disebutkan di antaranya adalah: paten, merek,
varietas tanaman, rahasia dagang, desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu.

2.3 Undang-Undang Hak Kepemilikan Intelektual di Indonesia


Indonesia memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya sehingga
sangat perlu adanya perlindungan dari negara dalam bentuk undang-undang. Oleh karena
itu melalui undang-undang yang diatur nomor 19 tahun 2002 tentang hak kepemilikan.
Pada bab 1 dibahas mengenai ketentuan umum yang mengatur mengenai undang-undang
dari hak cipta. Bab 2 membahas mengenai fungsi dan sifat hak cipta. Bab 3 mengatur
mengenai masa berlaku hak cipta, Bab 4 mengenai pendaftaran ciptaan, Bab 5 tentang
lisensi, Bab 6 mengenai dewan hak cipta, Bab 7 Hak terkait, Bab 8 pengelolaan hak cipta,
Bab 9 mengenai biaya. Sedangkan Bab 10 mengatur mengenai penyelesaian sengketa,
Bab 11 penetapan sementara pengadilan, Bab 12 penyidikan, Bab 13 mengenai ketentuan
pidana, Bab 14 ketentuan peralihan, dan Bab 15 adalah ketentuan penutup.
Berdasarkan bab serta pasal yang terdapat undang-undang nomor 19 tahun 2002
ini dapat dilihat bahwa seluruh ketentuan mengenai pelanggaran ini telah diatur dengan
lengkap. Mulai dari bentuk pelanggarannya, penetapan sementara sengketa, penyelesaian
sengketa hingga tindak pidana yang akan diberikan atas pelanggaran hak kepemilikan
intelektual tersebut.
Sebagai contoh terdapat pasal 72 ayat (1) yang berisikan mengenai tindak pidana
yang akan diberikan pada pelaku, yang berbunyi:
“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah)”
dimana Pasal 2 ayat (1) berbunyi:
“Hak kepemilikan merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak
kepemilikan untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul
secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Dan pasal 49 ayat 1 dan ayat 2 berbunyi:
“(1) Pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang pihak
lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau menyiarkan
rekaman suara dan/atau gambar pertunjukannya.
(2) Produser Rekaman Suara memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau
melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya memperbanyak dan/atau
menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyi.”
Pernyataan di atas sebenarnya sangat sering kita jumpai di dalam buku-buku terbitan
pengarang di Indonesia atau pun buku terbitan Luar Negeri. Hal tersebut di tujukan
kepada masyarakat agar mereka tidak melakukan pencurian terhadap karya milik orang
lain.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Definisi dari metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara yang bertujuan untuk
mencari jalan keluar dan solusi dari sebuah permasalahan, sedangkan penelitian itu sendiri
adalah pemeriksaan yang dilakukan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala
untuk menambah pengetahuan manusia, dengan demikian metode penelitian dapat ditafsirkan
sebagai proses prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam sebuah
penelitian.
Pada makalah kali ini tim penulis menggunakan metodologi penelitian berupa deskriptif
yaitu metode yang digunakan untuk menggambarkan kejadian –kejadian yang ada baik yang
berlangsung saat ini maupun di masa lalu diulas dengan sistematis , faktual dan akurat.

3.1 Data Primer (Primary Data)


Data-data dan informasi yang didapat langsung dari sumber asli dan tidak melalui
suatu media perantara apapun disebut dengan Data Primer. Tim penulis menggunakan
data primer di sini berupa kasus-kasus serta fakta yang aktual terjadi secara nyata di
Indonesia maupun di dunia maya.
3.2 Data Sekunder (Secondary Data)
Data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari beragam sumber yang sudah
ada. Data sekunder ini kami dapatkan melalui studi kepustakaan tentang Undang-Undang
Hukum negara RI dan sumber-sumber yang membahas akan Hak kekayaan Intelektual

3.3 Pembahasan : Etika Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual dari Sudut Pandang
Hukum Negara Indonesia
Sesuai dengan pembahasan landasan teori dapat diketahui bahwa pencurian /
pembajakan ide tau hak kekayaan intelektual dengan berbagai cara yang telah dijelaskan
dalam pasal-pasalnya adalah suatu kejahatan yang melanggar UU nomor 19 tahun 2002.
Sehingga seharusnya di Indonesia tidak ada praktik pelanggaran HKI.
Namun yang harus kita ketahui, bahwa untuk mendapatkan hak kekayaan
intelektual di Indonesia maka pelaku harus terlebih dahulu mendaftarkan kepada DJHKI
(Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual). Jika belum mendaftar, maka segala
bentuk perlindungan HKI tidak bisa kita dapatkan. Selain itu jika ingin mengajukan
gugatan pihak penggugat harus memiliki bukti-bukti yang kuat dan tentu saja harus ada
modal untuk menyewa pengacara.
Kendala inilah yang mengakibatkan Usaha Mikro Kecil Menengah sangat rentan
tidak terlindungi oleh payung hukum sebab pendaftaran HKI membutuhkan waktu dan
biaya dan jika mengajukan gugatan pun dibutuhkan biaya yang tidak kecil pula.
Akibatnya tidak ada yang bisa dilakukan UMKM untuk menyuarakan haknya, di sinilah
celah hukum yang sayangnya dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang kurang
bertanggung jawab.
Selain itu celah hukum HKI ini sangatlah luas. Sebuah ide adalah sesuatu yang
sifatnya sangat abstrak dan kompleks. Sehingga untuk divonis sebagai pencuri ide, harus
dibuktikan dengan kompleks pula, hal ini sangat berbeda ketika kita akan memidanakan
pencuri barang.
Perkara HKI ini juga terganjal akan status berlakunya yang sayangnya hanya
berlaku di tempat HKI tersebut didaftarkan. Seperti kasus Daniel Mananta dari brand
miliknya. Brand “Damn, I Love Indonesia” bahkan di produksi di Negara lain dengan
tulisan nama dari negara itu. Meskipun sudah didaftarkan di DJHKI, jalan mencari
keadilan pada hukum rupanya berliku sebab tidak bisa berlaku di Internasional.
Tetapi dalam beberapa kasus, terlihat bahwa hukum akan HKI ini berlaku dan telah
ditegakkan. Salah satu contoh kasus adalah kasus yang menyangkut merk “LOTTO”.
Perusahaan ini dikenal sebagai perusahaan luar negeri yang menjual pakaian jadi dan
telah terdaftar di Indonesia. Tidak beberapa lama kemudian muncul sebuah perusahaan
lain yang menjual handuk dan memiliki nama yang sama dengan “LOTTO”. Tindakan
ini secara jelas merugikan perusahaan pemilik merk itu sebenarnya area barang yang
mereka jual secara jelas berbeda.
Perusahaan pemilik merk asli LOTTO itu akhirnya mengajukan tuntutan kepada
pengadilan negeri. Sayangnya pihak pengadilan negeri menolak karena mereka
menganggap penuntut tidak beralasan. Kemudian mereka mengajukan kasus ini kepada
pihak Mahkamah Agung dan mendapatkan hasil yang positif. Pihak Mahkamah memiliki
pendapat yang sama bahwa tindakan tersebut melanggar karena meskipun barang yang
mereka jual berbeda namun memiliki jenis yang sama yaitu kelengkapan berpakaian.
Beberapa Undang-undang yang telah berlaku di Indonesia juga turut mendukung
kesalahan dari pihak yang memiliki merk sama tersebut. Beberapa pasal tersebut adalah:
1. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Merk tahun 1961 menentukan, “hak atas suatu merek
berlaku hanya untuk barang-barang sejenis dengan barang-barang yang dibubuhi
merek itu.”
2. Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Merek tahun 1961 “tuntutan pembatalan merek hanya
dibenarkan untuk barang-barang sejenis.”

3.4 Etika Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual dari Sudut Pandang Masyarakat
Indonesia
Seperti yang telah tim penulis ceritakan di bab pendahuluan akan peran Indonesia
sebagai salah satu anggota WTO yang secara tidak langsung menyatakan komitmen
Indonesia akan memerangi segala bentuk pembajakan, pencurian yang mana dinyatakan
melanggar hak kekayaan intelektual. Sayang sekali sejak UU itu dikeluarkan hingga
sekarang belum ada kemajuan yang cukup signifikan akan perlindungan HKI.
Banyak sekali kasus akan pelanggaran HKI yang dilakukan oleh individu ,
misalkan saja penggunaan software komputer bajakan, pembelian DVD film maupun
lagu bajakan,mengunduh lagu-lagu secara gratis, mengambil gambar orang lain dan
kemudian menggunakannya secara pribadi maupun diupload di situs-situs sosial
merupakan hal-hal kecil yang terjadi sehari-hari di masyarakat Indonesia, dan agaknya
kebiasaan yang turun menurun ini kemudian menjadi sebuah budaya. Budaya yang
kemudian dibenarkan oleh masyarakat Indonesia sebab tidak sadar akan apa salahnya
melakukan hal-hal tersebut.
Pembelaan yang diungkapkan oleh masyarakat akan budaya pembajakan ini adalah
ekonomi. Dengan keadaan ekonomi yang bisa dibilang kurang, maka masyarakat
menengah ke bawah tentunya tidak mampu memenuhi kebutuhan akan hiburan maupun
pendidikan yang mahal ketika mereka harus membeli barang ataupun lagu/film/ gambar
yang asli.
Perlu dicermati bahwa saat ini Indonesia sudah mulai dinominasikan sebagai
negara maju, bukan lagi negara berkembang. Ekonomi Indonesia yang berkembang pesat
akhir-akhir ini (meskipun pada Agustus 2013 mulai terlihat gejolak krisis ekonomi) tidak
juga meluruhkan budaya pembajakan dan pencurian HKI ini.
Dari budaya yang tampaknya sepele dan kecil ini, kemudian berkembang menjadi
besar. Seperti pelanggaran HKI pada bisnis. Mulai dari bisnis kecil –menengah ,
misalkan saja di kota Malang pada tahun 2012 muncul bisnis minuman Capuccino
Cincau yang hanya dijual di pinggir jalan kemudian diminati oleh masyarakat, seketika
itu banyak sekali capuccino cincau – capuccino cincau yang lain tersebar di mana-mana,
padahal mereka membajak ide tentang minuman tersebut hingga contoh kasus usaha
skala besar seperti franchise ayam goreng.

3.5 Dampak Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual bagi Pelaku Bisnis


Dunia bisnis yang terkenal begitu kejam walaupun berisikan kalangan yang
terpelajar dan eksekutif. Saatnya berkaca pada cermin Indonesia negara kita Dimana kita
berada, saat ini begitu menjamur bisnis pribadi dan franchise. Bisa dilihat ada beberapa
mungkin hampir semua bisnis propietory (perorangan) yang mengorbit di dunia bisnis
dengan mengadopsi nama perusahaan bisnis dari luar negeri, bahkan sampai seluruh
proses bisnisnya dan barang yang ditawarkan.
Pernahkah anda mendengar Frenta Cola, Oriorio, Blueberry, Balibong ? , mungkin
anda kurang terlalu akrab dan asing mendengar merk tersebut, tentunya anda akan lebih
sering mendengar Fanta, Coca Cola, Oreo, Blackberry dan Billabong. Merk diatas adalah
jiplakan pelaku bisnis Indonesia yang meniru nama dari merk terkenal yang laku
dipasaran luas.
Pada dasarnya para pelaku bisnis tersebut bukan tanpa alasan untuk melakukan
suatu pelanggaran etika seperti itu, mereka sebenarnya sadar dan mungkin malah
bermaksud melakukannya untuk kepentingan bagi kegiatan bisnisnya. Tim penulis akan
mencoba mengupas apa sebenarnya dampak – dampak yang didapatkan oleh pelaku
bisnis, baik dampak positif yang mana mendasari para pelaku bisnis ini menggeluti usaha
yang melanggar HKI, maupun dampak negatifnya.

Dampak Positif bagi pelaku bisnis pelanggar HKI :


1. Dapat meningkatkan nilai jual produk
Dikarenakan mengadopsi nama dari salah satu Brand terkenal, maka dengan
otomatis pamor dari usaha tadi juga ikut terangkat. Memang terkadang hal ini hanya
bisa terjadi pada orang-orang yang tertipu atau kurang taunya informasi tentang pasar.
Tetapi terkadang kalangan yang seperti itu lebih memilih produk tiruan tersebut
dengan alasan bisa menikmati kualitas yang hampir sama dengan yang asli namun
dengan harga yang jauh lebih murah. Dampak positif ini paling dirasakan ketika
perusahaan menjual produk KW ( tiruan) yang juga menjiplak nama merk.
2. Permintaan konsumen yang tinggi
Salah satu alasan mengapa pelaku bisnis bidang ini membenarkan apa yang
dilakukannya adalah karena tingginya permintaan konsumen yang terutama dari kelas
menengah ke bawah. Karena tingginya permintaan inilah bisnis yang dilakukan
menjadi beretika dan sah-sah saja di pandangan mereka.
3. Tuntutan memenuhi kebutuhan hidup
Tingginya rivalitas dan ketatnya kompetisi di dunia bisnis menyebabkan
beberapa pihak terutama pemain bisnis skala kecil-menengah menjadi kalah bersaing
dengan pemain bisnis kelas atas. Seperti pertandingan tinju kelas atas melawan kelas
bawah, tentu saja mereka akan kalah telak. Sehingga alternatif untuk bertahan hidup
adalah dengan menggeluti bisnis ini.

Dampak Negatif bagi pelaku bisnis pelanggar HKI :


1. Pandangan negatif konsumen
Terkadang ada beberapa konsumen yang mengerti akan kualitas, prestis dan
memandang nilai etika akan lebih memilih produk yang asli. Realitanya tidak sedikit
usaha-usaha tiruan ini gulung tikar dan sepi pembeli. Selain itu konsumen yang
memandang negatif akan pembajakan ide bisnis kemungkinan besar akan melabeli
pemilik usaha sebagai orang yang tidak beretika dan akibatnya masa depan bisnis
pemilik pun terancam gagal.
2. Membunuh Kreatifitas
Semakin banyak perusahaan yang meniru maka perkembangan dunia bisnis
khususnya industri, akan melemah dari sisi kompetensi keahlian kreativitas para
pekerja. Padahal kreatifitas adalah salah satu unsur yang mempertahankan serta
memajukan bisnis. Mungkin dalam jangka pendek usaha mereka berhasil, namun
dalam jangka panjang belum tentu demikian.
3. Terancam ditindak pidana
Selama ini bisnis yang melakukan pelanggaran HKI masih bisa bertahan di
Indonesia dikarenakan beberapa kemungkinan seperti tidak ditegakannya hukum
secara tegas, korban penjiplakan tidak mengajukan tuntutan atau belum mendaftarkan
hak ciptanya.
Ketika nantinya hukum sudah kembali ditegaskan ataupun korban mulai merasa
terugikan maka jalan hukum pasti akan ditempuh, sehingga pemilik bisnis malah akan
merugi sebab harus membayar ganti rugi ataupun tersanksi dipenjara.
3.6 Dampak Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual bagi Masyarakat Indonesia
Peredaran barang illegal yang melanggar kekayaan intelektual dapat merugikan
bagi pasar yang potensial dan juga masyarakat. Barang-barang yang diproduksi palsu dan
dijual ke pasar, selain dapat merugikan para pencipta juga mengurangi pendapatan pajak
negara dan penurunan kualitas barang yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Masalah
ini sudah menjadi sebuah tuntutan masyarakat Internasional terhadap bangsa dan negara
Indonesia yang dinilai masih rendah dalam menghargai HAKI.
Kasus-kasus pencurian dan pelanggaran hak cipta tentunya sangat merugikan
masyarakat itu sendiri. Pada tahun 2011, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
Kementerian Hukum dan HAM menilai bahwa pelanggaran hak cipta berpotensi
merugikan negara melampaui 100 miliar rupiah. Dengan bukti ditanganinya 60 kasus
berupa pemalsuan merek mauapun sengketa paten. Dalam kasus tersebut, kasus
pelanggaran hak cipta lah yang paling sering di jumpai dan sangat merugikan negara
serta masyarakat Indonesia.
Apabila terjadi suatu pelanggaran hak cipta oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab, maka pelanggaran itu harus diproses secara hukum sesuai dengan
ketentuan undang-undang hak cipta UU No. 19 Tahun 2002 yang mengatur segala jenis
pelanggaran serta ancaman hukumannya, baik secara perdata maupun pidana. UU ini
hanya diberikan kepada pemilik pertama atas hak cipta. Apabila ada pihak lain ada yang
mengaku sebagai pihak yang berhak atas hak cipta, maka pemilik pertama harus
membuktikan bahwa dia sebagai pihak yang berhak atas hasil ciptaan tersebut.
Setiap pelanggaran hak cipta pasti akan merugikan pemiliknya dan kepentingan
umum atau negara. Contohnya dalam kasus yang terjadi pada tahun 2001, menurut
survey Asosiasi Industri Rekaman Indonesia, lebih dari 90% CD dan VCD merupakan
bajakan atau pelanggaran hak cipta. Apabila pajak stiker per keeping VCd sekitar Rp
2.000.000,00 (menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep.
552/PJ./2001), kerugian yang dialami oleh sektor pajak untuk bidang music mencapai 4
miliar rupiah perharinya. Uang miliaran rupiah itu tentu tidak dapat digunakan, sebab
jumlah tersebut merupakan kerugian, bukanlah pendapatan negara. Bisa dibayangkan
bukan apabila pendapatan negara sebanyak itu? Tentu kita tidak akan menemui gedung-
gedung sekolah yang tidak layak pakai, puluhan ribu anak miskin yang tidak mampu
bersekolah dan masih banyak lagi hal-hal lain yang bisa digunakan untuk kepentingan
bersama.
Dampak dari kegiatan tindak pidana hak cipta tersebut telah sedemikian besarnya
merugikan kehidupan bangsa di bidang ekonomi, hukum dan sosial budaya. Di bidang
sosial budaya, misalnya dampak semakin maraknya pelanggaran hak cipta akan
menimbulkan sikap dan pandangan bahwa pembajakan sudah merupakan hal yang biasa
dalam kehidupan masyarakat dan tidak lagi merupakan tindakan melanggar undang-
undang Pelanggaran hak cipta selama ini lebih banyak terjadi pada negara-negara
berkembang karena ia dapat memberikan keuntungan ekonomi yang tidak kecil artinya
bagi para pelanggar (pembajak) dengan memanfaatkan kelemahan sistem pengawasan
dan pemantauan tindak pidana hak cipta.
Akibat dari pelanggaran tersebut, selain merugikan kepentingan para pencipta, juga
masyarakat dan negara dalam penerimaan pajak atau devisa. Adanya hukum pidana
sebenarnya di dasarkan pada tujuan ekonomi dan penegakan hukum, yaitu untuk
mengurangi seminimal mungkin biaya sosial yang merugikan para korban akibat dari
pelanggaran hak cipta itu sendiri. Artinya, hukum pidana diharuskan membayar biaya
sosial yang sama jumlahnya dari pelanggaran yang di sebabkan pelanggaran dan biaya
pencegahannya. Biaya sosial ini sangat dirasakan oleh para pencipta dan akan berdampak
merugikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan satra. Karena para
penciptanya menjadi tidak bergairah lagi untuk meningkatkan karya ciptanya.
Konklusinya betul bahwa permintaan pasar dan budaya Indonesia saat ini
membenarkan pelanggaran HKI, tetapi dalam efek jangka panjangnya justru hal ini akan
merugikan masyarakat dan negara dari sisi ekonomi, serta menurunkan derajat negara
Indonesia sebagai negara hukum yang harusnya melindungi setiap warga yang hak nya
terlanggar. Dan bukan tidak mungkin pula dalam jangka panjang Indonesia akan sepi
investor asing dikarenakan isu etika ini dan kebutuhan masyarakat pun tidak terpenuhi.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
1. Dari sudut pandang hukum Repulik Indonesia hak kekayaan intelektual ini bersifat
teritorial artinya jika didaftarkan di indonesia maka hukum hanya dapat melindungi hak
nya jika ada pelanggaran di indonesia.
2. Masih banyaknya kasus pelanggaran HKI yang dilakukan oleh individu dari hal – hal
kecil yang terjadi sehari – hari di masyrakat Indonesia hal tersebut terfjadi karena
keadaan ekonomi yang bisa dibilang kurang dan dalam mengurus HKI di Indonesia
membutuhkan waktu dan biaya dan jika mengajukan gugatan pun dibutuhkan biaya yang
tidak kecil pula.
3. Pelanggaran HKI bagi para konsumen mereka tidak takut ataupun merasa bersalah
membeli barang – barang KW. Intinya bagi konsumen sah – sah saja bisnis meyalahi
aturan HKI.Asalkan kebutuhan mereka akan barang yang kualitasnya lumayan, murah,
dan tetap memiliki nama bergengsi bisa terpenuhi.
4. Dampak positif bagi pelaku bisnis pelanggar HKI :
 Dapat meningkatkan nilai jual produk
 Permintaan konsumen yang tinggi
 Tuntutan memenuhi kebutuhan hidup
Dampak negatif bagi pelaku bisnis pelanggar HKI :
 Pandangan negatif konsumen
 Membunuh kreatifitas
 Terancam tindakan pidana
5. Dampak yang akan diterima oleh masyarakat akibat pelanggara HKI yaitu dari sisi
ekonomi, serta menurunkan derajat negara Indonesia sebagai negara hukum yang
harusnya melindungi setiap warga yang haknya terlanggar.

4.2 Saran
1. Pemerintah diharapkan dapat melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai hak
kekayaan intelektual sehingga masyarakat dapat mengerti hukum yang berlaku di
Indonesia sekaligus memahami pentingnya hak kekayaan intelektual setiap individu
maupun organisasi. Selain itu pelaksanaan dan pemberian ganjaran dilakukan dengan
lebih tegas sehingga para pelaku bisnis tidak melakukan pelanggaran hak kekayaan
intelektual. Selain itu pemerintah dapat juga membentuk sebuah badan hukum
independen yang secara khusus bertugas mengatur dan mengawasi seluruh bisnis yang
terdapat di Indonesia. Dan penulis juga menyarankan pemerintah mempermudah akses
pendaftaran HKI kepada pelaku bisnis UMKM dari sisi biaya dan juga prosesnya.
2. Masyarakat disarankan lebih peduli akan tindakan pelanggaran HKI, baik dari
pengawasan akan adanya usaha yang melanggar HKI juga mempraktikkan tindakan
menghargai HKI dengan membeli produk yang asli.
3. Konsumen disarankan membeli produk yang original dan bukan KW karena jika
membeli produk KW telah meyalahi aturan HKI.
4. Bagi para pelaku bisnis sebaiknya mendaftarkan bisnisnya sehingga bisnis yang dimiliki
terlindung oleh hukum serta mengurangi adanya pelanggaran hak kekayaan intelektual
yang dilakukan oleh pihak lain. Selain itu pelaku bisnis diharapkan memiliki rasa yang
kreatif dan inovatif sehingga menciptakan ide-ide bisnis yang baru tanpa melakukan
peniruan dari bisnis yang telah ada mengingat kerugian-kerugian yang didapatkan
apabila praktik pelanggaran HKI tetap dilaksanakan.
5. Seharusnya masyarakat tidak membeli barang – barang yang diproduksi palsu karena
dapat merugikan para pencipta juga mengurangi pendapatan pajak negara dan penurunan
kualitas barang yang dapat dinikmati oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual Dalam Menghadapi Era Globalisasi.
Syafrinaldi. 2010. UIR Press. ISBN 979-8885-40-6
2. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/kekayaan-intelektual/
3. http://stefanienat.blogspot.com/2012/11/pelanggaran-hak-kekayaan-intelektual.html
4. http://andri94yana.blogspot.com/2013/04/haki-by-aan-andri-yana.html
5. http://eprints.undip.ac.id/16352/1/Anastasia_Resti_Muliani.pdf
6. http://www.anneahira.com/kasus-etika-bisnis.htm
7. http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/agrm7_e.htm
8. http://stefanimariamagdalena.blogspot.com/2013/05/hak-atas-kekayaan-intelektual-haki-
dan.html
9. http://kamusbisnis.com/arti/hak-kekayaan-industri/
10. Saidin, H. OK. S.H., M. Hum, Aspek Hukum Hek Kekayaan Intelektual (Intellectual
11. PropertyRights), Edisi Revisi 6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
12. Online, Assese Kevin (2008), Dampak Pelanggaran Hak Cipta, http://kevint-
blog.blogspot.com/2008/08/dampak-pelanggaran-hak-cipta_25.html
13. http://tik-annur.blogspot.com/2012/11/dampak-pelanggaran-hak-cipta.html
14. http://andriramadhan-andriramadhan.blogspot.com/2013/04/contoh-kasus-pelanggaran-
hak-paten_22.html
15. http://risky17a.blogspot.com/2012/10/plagiarisme-serta-undang-undang-yang.html

You might also like