You are on page 1of 3

Nama : Desi Puspitasari HS

Kelas : VIII.7
Kancil Yang Baik Hati

Pada suatu siang hari yang panas. Di sebuah hutan yang sangat rindang. Ada seekor kancil yang
sedang berjalan di tepi sungai. Pada saat itu kancil sedang mencari makan. Di tengah perjalanan
kancil mendengar teriakan. Si kancil berkata “siapa yang berteriak minta tolong?”. Mendengar
suara teriakan itu, kemudian kancil mencari di mana asal suara itu.

Kemudian kancil melihat ada seekor rusa yang badannya tertusuk kayu. Lalu si kancil pun
menghampiri rusa tersebut. Dan si rusa pun berkata “Kancil tolonglah aku, tolong aku untuk
mencabut kayu yang menusuk di tubuhku ini!”.
Kancil kebingungan bagaimana caranya untuk bisa mencabut kayu yang menusuk di tubuh si
rusa.
“Tenanglah rusa aku akan menolongmu sebisaku”. Jawab kancil.

Beberapa jam kemudian. Tetapi kancil belum bias mencabut kayu itu dari tubuh rusa. Dan si rusa
pun sudah terbaring lemah tak berdaya menahan rasa sakit yang ia rasakan.
“Bagaimana ini kancil aku sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit ini?”. Kata rusa
“Sabar rusa aku sedang berusaha sebisaku untuk menolongmu”. Jawab kancil
Dan si kancil pergi meninggalkan rusa untuk mencari bantuan binatang lain.

Kancil sudah mengelilingi hutan tetapi tidak ada satu pun binatang lain. Lalu si kancil kembali
ke tempat rusa berada dengan tubuh lelah dan lemas.
“Bagaimana ini rusa aku sudah mencari bantuan tapi tidak ada satu pun binatang lain yang
berkeliaran di hutan ini?”. Kata si kancil dengan wajah sedih
“Lalu lalu aku harus bagaimana kancil aku sudah tidak kuat lagi rasanya sakit sekali”. Saut si
rusa dengan wajah kesakitan
“Tenanglah rusa aku akan mencoba lagi sekuat tenagaku untuk membantumu”.
Kemudian si kancil mencoba lagi untuk mencabut kayu yang menusuk di tubuh rusa. Kancil
dengan sekuat tenaganya untuk bisa mencabut kayu itu hingga kancil kelelahan.

Dan si kancil berhasil mencabut kayu yang menusuk di tubuh rusa tersebut. Setelah berhasil
mencabut si kancil pun mengobati luka di tubuh si rusa, dan setelah mengobati luka si rusa,
kemudian rusa berterima kasih kepada si kancil.
“Terima kasih kancil kau sudah berusaha untuk menolongku hingga kau kelelahan, kau sangat
berjasa kepadaku kancil”. Ucap si rusa
“Sama-sama rusa aku senang bias menolongmu karena kau adalah temanku”. Kata si kancil
“tanpa kau aku tidak tahu lagi kancil mungkin aku sudah tiada, sungguh kau baik hati kancil”.
Ucap si rusa dengan penuh berterima kasih

Akhirnya si kancil pun mengantarkan si rusa pulang ke rumahnya. Setelah sampai mengantar si
rusa pulang kemudian si kancil berpamitan kepada si rusa.
“Aku pulang dulu ya rusa”. Kata si rusa
“Iya kancil, sekali lagi terima kasih atas bantuanmu kancil”. Jawab rusa
“Iya rusa”.
Dan kancil berjalan menuju pulang ke rumahnya.
Senja Terakhir

Di sini. Di tempat ini kisah pedih itu berakhir. Tak banyak yang berubah. Masih sama seperti
empat tahun lalu. Saat dia memutuskan hubungan di antara kami. Ya, hari itu pula terakhir kali
Dini mendengar panggilan kesayangannya dari lelaki itu. “Bidadari senja” itu panggilannya dulu.
Namun kini. Tak pernah ia dengar lagi panggilan itu.

“serasa baru kemarin kejadian itu” seru dini lirih. Ia memang masih selalu menyisakan kenangan
pahit itu di hatinya. Dan entah kenapa. Fikirannya tak pernah lepas dari sosok Rio. Ya, Rio,
lelaki yang telah banyak membuatnya menangis dan terluka.
Dini hanya terdiam menghadap senja. Memandangi mentari yang kian tenggelam. Dia bungkam
dengan berjuta khayalnya. Dan seketika butiran bening itu jatuh dari kelopak matanya yang
indah. Angin senja yang berhembus kala itu membuat suasana kian sendu.
“bukankah sunset itu indah?”. sebaris kalimat itu membuyarkan tangis dini. Namun dini tetap
bungkam. Bahkan tak bergerak sedikitpun. Melirik pun tidak. Ia enggan untuk tau siapa lelaki
itu. Ia pun tak ingin berpaling dari indahnya jingga yang menghias mega kala itu.
“masihkah ingatan pedih itu merasuk jiwamu?” Lanjut lelaki itu. Pertanyaan itu kini
menyadarkan dini. Ia menoleh. Seketika, hatinya remuk redam. Dadanya mulai sesak. Namun ia
tahan air matanya. Ia coba tersenyum. Walaupun senyum itu hambar adanya.
“Bukankah kamu tau jawabanku?”
“Maaf”
“untuk apa?” tukas dini.
“untuk hari itu. Hari yang mungkin menyakitimu” jawab lelaki itu dengan nada penyesalan
“sudahlah Rio, lupakan semua itu. Aku tak ingin mengingatnya” balas dini
Dini berpaling. Ia tak sanggup melanjutkan perbincangan itu. Hatinya hancur. Ia ingin pergi.
Tapi jemari lembut itu meraih tangannya. Menggenggamnya. Erat. Benar-benar erat.
“tolong, jangan pergi dariku Dini, tetaplah di sini bidadari senjaku” pinta lelaki itu. Tapi dini
tetap meronta. Ia tak ingin terlihat cengeng di depan orang yang telah banyak menyakitinya.
“untuk apa? bukankah dulu kamu yang memintaku pergi?” sahut dini. “tapi itu dulu din,
sekarang…”. kalimat itu terpotong. Lelaki itu kini menarik dini dalam pelukannya.
“sekarang, aku ingin memintamu kembali Din” lanjutnya lagi.
Dini terdiam. Ia bungkam. Bibirnya seolah beku. Ia membisu dalam dekap malaikat hatinya.
“bisakah kau kembali untukku?”
Dini tetap bungkam. Ia ingin. Tetapi ia terlalu sakit dengan perlakuan malaikat hatinya itu.
“haruskah aku menerimanya kembali tuhan? aku ingin tuhan. Tapi bukankah dia benar-benar
keterlaluan? dia membuangku dan kini dia memintaku kembali? bukankah? haaaahhh… aku tak
bisa tuhan” jerit dini dalam hati.
“Maaf, Rio” sahut dini lirih. Ia hampir menjatuhkan lagi air matanya. Tapi ia mencoba
menahannya.
“maaf, aku tak bisa. Aku terlalu lelah, Rio. Aku mungkin tak akan terbangun lebih lama lagi”
lanjutnya lagi
“ya, aku tau jawabanmu itu. Aku mungkin terlalu kejam bagimu. Aku dulu menyiakanmu, dan
kini memintamu kembali.. aku memang kejam, dan aku memang tak pantas lagi menjaga dan
menyayangimu kan Din?”
“Rio” sahut dini lirih.

Seketika suasana hening. Rio yang terdiam. Kini seolah menampakkan penyesalannya. Tetes air
matanya jatuh membasahi pasir putih yang terbalut senja merona. Dini menatapnya. Ia seolah
merasa berdosa atas apa yang ia katakan dengan lelaki yang ia cinta itu.
“kamu menangis? apa aku menyakitimu?”
“tidak, Din. Aku tak apa, aku hanya menyesal. Mengapa dulu aku begitu bodoh melepasmu,
padahal kamu wanita terbaik yang pernah hadir di hidupku setelah ibuku… tapi aku terlalu
bodoh. Aku meninggalkanmu untuk bersama orang yang tak pernah mencintaiku dengan tulus.
Seperti bidadari senjaku yang dulu selalu tulus memberiku rasa itu.. andai aku bisa mengulang
semuanya, aku tak akan meninggalkanmu, Din.. aku mencintaimu. Dan aku akui aku menyesal..”
jelas Rio.. dini yang mendengar setiap kalimat itu tak tahan lagi menahan air matanya. Ia
menangis lagi. Lalu. Memeluk tubuh Rio dengan erat.
“kamu tau, aku tak pernah berhenti mencintaimu malaikat hatiku… aku selalu merindumu meski
kamu menyakitiku, dan sampai kapanpun aku akan tetap mencintaimu.. tapi, maaf, aku tak bisa
terus bersamamu. Aku tak mungkin lagi bertahan dengan penyakit yang terus menggerogoti
tubuhku ini, Rio.. tapi, aku ingin kamu tau, bahwa cintaku ini tak akan pernah hilang untukmu..
meski maut menjemputku..” tukas Dini di antara senja yang kian redup. Dan menghitam.
Rio yang mendengar utaian kata itu terkejut. Ia benar-benar tak tau jika selama ini bidadari
senjanya itu sakit. Kenapa bisa ia tak tau? kenapa bisa sampai selama itu dia tak pernah bertanya
dan mengerti sedikitpun dengan keadaan dini? bodohnya ia yang membiarkan bidadarinya itu
sendiri melawan penyakit ganas yang sampai saat ini terus menggerogoti tubuh badadarinya.
Dan kini ia baru tau. Bodoh. Bodoh. Bodoh. Kata itu terus menari dalam fikiran Rio.
“jadi, selama ini kamu sakit?” tanya Rio meyakinkan.
“iya… dan sekarang, penyakit itu mulai menggerogoti saraf otakku. Ya, begitu kata dokter.. dan
mungkin aku tak akn bertahan lebih lama lagi” jawab dini penuh ragu.
Jujur, Dini berat mengatakannya. Ia tak ingin malaikatnya itu semakin menyesal. Tapi, inilah
yang harus ia lakukan. Ia harus mengakuinya.

Rio yang mendengar penjelasan itu lagi-lagi terdiam. Ia bingung, sedih, kecewa, marah dan
takut. Apa nantinya ia akan bisa menjalaninya hidup tanpa adanya bidadarinya itu? apa ia tak
akan pernah menyesal dengan semua yang ia lakukan pada dini? apa ia tak akan terus dihantui
oleh penyesalannya? pertanyaan demi pertanyaan itu terus muncul di kepalanya.
“maaf, rasanya aku harus pergi. Lagi pula sunset sudah hilang, kau harus pulang…” lanjut dini
lagi
“tapi…” jawab Rio terengah
“sudahlah, anggap saja hari ini tak pernah ada, Rio… aku rasa ini pertemuan terakhir kita..
selamat tinggal malaikat hatiku.. aku mencintaimu”

Lambat Dini pun mulai beranjak. Meninggalkan Rio sendiri bersama pedih dan berjuta sesalnya.
Dini berjalan pelan. Menyusuri kelamnya malam. Hingga bayangnya pun samar-samar dari
pandangan rio. Dan. Akhirnya.. bayangan indah bidadari senja itu pun benar menghilang dari
pandanagan Rio.
“selamat jalan bidadari senjaku.. aku tak akan pernah melupakanmu..” ucap Rio dalam
isakkannya

Dan sejak pertemuan itu. Meraka tak pernah bertemu lagi. Rio pun tak pernah tau dimana dan
bagaimana keadaan bidadarinya sekarang. Setelah ia memutuskan untuk meninggalkan kota
kenangannya itu. Dan menghilangkan setiap penyesalannya. Namun tidak dengan kenangan
pedih dan indah itu. Baginya. Dini adalah memory kehidupan terindahnya. Rio juga meyakini
satu hal. Bahwa. Bidadari senjanya itu kini bahagia. Dan tak akan merasa perihnya kehidupan
lagi…

You might also like