Professional Documents
Culture Documents
Arif Susanto
di Pusat Studi Pertahanan dan Perdamaian Universitas Al-Azhar Indonesia
Abstract:
pluralistic society need to build groundworh to be able to formulate some
course of actions which dre respectedby its members. This groundwork is a
to achieve consensusthqtconcedeby a.deliberqtive democracy,inwhichpublic
are governedby the public deliberqtion. Some qccesses to ocquire resources must
widely for people could participate in such o public orgument qnd reasoning.
then the members of a community regard deliberative procedure as a source of
akan gagal berfungsi, mengingat tidak ada dibangun sebagai hasil kesepakatan
kendali dalam suatu kerangka sistemik bersama $ang mungkin tidak selalu
untuk merumuskan dan melaksanakan utuh dan stabil) di antara petaku-pelaku
kebijakan. Maka amat penting untuk yang berpengetahuan dan berkesadaran
memberi substansi etis pada kekuasaan Inilah suatu batas yang dibutuhkan agar
politik. Tanpa muatan etis, politik dapat implementasi kebebasan tersebut tidak
jatuh semata sebagai penyelenggaraan tersuruk menjadi ancaman bagi esensi
dominasi; penguasaan yang satu atas kebebasan itu sendiri.
yang lain.
Wilayah publik selalu mengandaikan
Demokrasi deliberatif, melalui batas kebebasan individu dalam kerangka
keterlibatan diskursif publik, merupakan hubungan dengan lingkungannyL
suatu gagasan untuk memberi landasan Pada dasarnya, setiap diri memang
legitimasi bagi penyelenggaraan setara dan berhak atas kebebasan dasar
kekuasaan. Pertanggungjawaban etis tertentu yang dibutuhkan untuk menjaga
kekuasaan dimunculkan bukan melalui keberlangsungan kehidupan. Namurl
tuntutan pemerintahan oleh semua bingkai kebebasan dibutuhkan agr
untuk selnua yang bergaya mobokrasi, hak satu pihak tidak tercederai oleh
melainkan dengan membuka ruang upaya pemenuhan hak pihak yang lain-
perdebatan dan penalaran publik tentang Bingkai semacam itu pun idealnya tidak
apa yang patut bagi suatu komunitas. Dan semata mewakili nilai-nilai dominan
saya percaya bahwa peluang terbaik untuk yang menuntut suatu apropriasi sepihak
itu akan kita dapatkan ketika akses publik kalangan minoritas. Sekali lagi, hal ini
atas berbagai sumberdaya tidak dihambat pun penting agar penetapan aturan tidak
atau dihalang-halangi secara sistematis. berubah menjadi tekanan dominatif
Berangkat dari keyakinan di atas, yang juga berlawanan dengan hakikat
tulisan ini terutama hendak menjawab kebebasan.
pertanyaan-pertany aan apamakna publik Kembali ke pemahaman rnula tentang
dalam politik? bagaimana kemiskinan masyarakat politik sebagai masyarakat
etis dapat diminimasi dari menggerogoti adab, apa yang menjadi pembeda utama
penyelenggaraan urusan publik? dan antara masyarakat politik dan masyarakat
apa alternatif yang dapat ditawarkan pra-politik ialah tatanan sosial yang
bagi legitimasi dan pertanggungjawaban menopang keberlangsungan masyarakat
kekuasaan di tengah kompleksitas tersebut. Masyarakat politik memitiki
masyarakat kontemporer? kesepakatan yang mengikat dan menjadi
rujukan bersama bagi mereka yang
Kepublikan dalam Politik menjadi bagiannya -semacam'kontrak
Salah satu konsepsi paling tradisional sosial'yang tidak dikenal pada masyarakat
tentang politik adalah bahwa politik pra-politik. Kesepakatan sebagai rujukan
merupakan penyelenggaraan urusan bersama merupakan suatu rajutan norma
publik. Konsepsi tersebut berimplikasi yang dimaksudkan sebagai sarana untuk
pada terbukanya kemungkinan untuk mengejawantahkan keadaban dalam
menetapkan'nilai-nilai bersama' sebagai hubungan antar-orang. Norma tersebut
landasan untuk menentukan apa yang antara lain memilah apayang sah dan apa
etis dalam politik. Pada yang privat, yang tidak sah dalam penyelenggaraan
orang memiliki kebebasan individualnya kekuasaan; suatu basis bagi legitimasi
untuk menentukan apa yang patut dan kekuasaan politik.
sesuai bagi dirinya. Sementara pada Dengan kesepakatan semacam itu,
yang publik, bingkai kebebasan idealnya pemenuhan hak dan perlindungan atas
Arif Susanto, Perluasan Akses Publik
t
:ebagai hasil tekanan elit. Dengan kuat, kadang gagasan semacam itu
=enimbang motif tindakan menjadi tampak masuk akal bagi publik
i publik
r :ntuk terlibat dalam penyelenggaraan pemilih. Hal ini menunjukkan bahwa
i :uatu Pemilu, dernokrasi elektoral tatanan demokrasi, yang sesungguhnya
_;ang sekadar patuh pada prosedur mengedepankan kebebasan, dapat pula
:rrmal penyelenggaraan Pemilu dapat dimanfaatkan sebagai jalan bagi para
I =ibedakan dari demokrasi substansial demagog untuk membunuh kebebasan,
r
I
lang peduli pada hakikat kebebasan dan Di sinilah aspek kontrol publik dalam
<esetaraan politik. politik menemukan signifikasinya. Dalam
i
Dalam situasi demikian, salah satu proses Pemilu, kampanye kadang menjadi
I
I :antangan yang mengemuka adalah wahana yang penuh muslihat untuk
il
--agaimana mempersempit ruang gerak memperdaya publik -terutama mereka
n ara dema gog -yang memanipulasi emosi yang tidak cukup berdaya secara sosial.
n 3.rblik melalui prasangka politik demi Pada dasarnya kampanye memungkinkan
k ieuntungan sepihak mereka- dalam suatu adanya komunikasi manakala para
k :atanan demokrasi. Di beberapa negara kandidat secara terbuka mengemukakan
lengan tatanan demokrasi yang relatif program-programnya, sementara publik
kita bahkan dapat melihat dapat secara intens mencermati alternatif
e =rkonsolidasi, yang tersaji di hadapannya sebelum
;artai atau kandidat dengan posisi sikap
:kstrem, justru memperoleh simpati mengambil suatu pilihan. Kampanye
1r :dak kecil dari publik pemilih. Dengan yang komunikatif memberi peluang bagi
:l-: publik untuk dapat membuat pilihan
rndangan sempit berbasis komunitas,
Si nereka menggagas kebijakan eksklusi berdasarkan pertimbangan-pertimb angan
-a
sistematis terhadap kalangan minoritas; rasional, bukan sekadar'memilih kucing
iP lan dalam tekanan sosio-ekonomi yang dalam karung'. Di sisi lain, elitisme (yang
ik
srudi Politik Edisi 1, Vol. I, No.1, 2010
ETTIICAL PIVOTS
MORAL
VANTAGES Motives Charocter Competences
Message Makers Are candidates' motives Are candidates' Have candidates
acceptable? characterological styles demonstrated political
acceptable? competence?
kehendaki dan apa yang dapat mereka komunikasi menopang kegagalan proses
indera dari para kandidat. politik untuk menjadi sarana perwujudan
Kedua, Gronbeck menekankan kebebasan bagi warganegara.
pentingnya kejujuran dalam politik Ketika kepentingan publik begitu
mengingat orang membutuhkan kepastian mudah dinafikan untuk tidak menjadi
manakala perubahan berlangsung terus- pertimbangan utama dalam pengambilan
menerus, juga karena kejujuran dapat keputusan, kedaulatan rakyat pun berada
menjadi patokan untuk menilai motif, dalam ancaman. Menyimak Habermas
karakter, dan konipetensi seseorang. (dalam Bohman dan Rehg [eds], 1999:46),
lleskipun demikian, Gronbeck sendiri "kedaulatan rakyat mesti mewujud hanya
nengakui bahwa publik tidak pernah dalam kondisi diskursif dalam proses
cisa benar-benar paham tentang kandidat pembentukan opini dan kehendak yang
i?ng mereka hadapi dan persoalan bermacam ragam." Tetapi, diskursus
rang diusungnya, mengingat apa mempersyaratkan kesetaraan, bukan
i?ng disajikan kepada publik melalui ketimpangan. Jika penguasaan atas
L:ampanye politik sesungguhnya telah sumberdaya timpang, maka hubungan
nelalui penyeleksian. Dan lebih daripada politik hanya akan melahirkan dominasi,
au. semuanya dikemas dalam simbol- bukan demokrasi. Dominasi elit hanya
simbol yang kerap menyembunyikan'apa akan membuat politik menjadi arena
Fng sesungguhnya' kepada publik. Dari untuk mengakumulasi kekuasaan semata.
Gronbeck orang dapat memahami bahwa Sesungguhnya, demokrasi superfisial
rryerfisialitas tampak sebagai musuh memberi mang yang nyaman bagi para
mgi komunikasi politik. demagog yang menungg angi demos untuk
Berangkat dari posisi bahwa meraih kepentingan sepihak mereka.
he=epakatan dalam politik mesti diambil Penilaian etis Gronbeck, bagaimana
nelalui persuasi, bukan melalui paksaan pun, dapat menjadi pintu masuk untuk
dan kekerasan; maka pemutarbalikan membuat publik menjadi lebih berdaya di
fiJrta dan sensor sistemik terhadap hadapan elit. Ketidakjujuran paling tidak
ot'ormasi publik dapat dikategorikan dapat diminimasi pada tataran yang tidak
.rfragai kekerasan dalam komunikasi terlampau ekstrem ketika publik memiliki
F*rik. Sebab, komunikasi politik yang informasi yang memadai tentang situasi
mpang (akibat tiadanya kehendak untuk yang mereka hadapi. Pada saatyang sama,
hsikap terbuka dan senjangnya akses publik yang well-informed sepatutnya
rrtadap informasi) dapat mempersempit mengembangkan suatu solidaritas yang
#ng nalar. Bagaimana nalar dapat dengannya mereka mampu membangun
Hungsi optimal s ebagai instrumen untuk kemandirian. Publik yang berdaya akan
gambil keputusan jika informasi yang memiliki kekuatan kontrol dan posisi
ftrap tidak utuh? tawar yang lebih baik untuk mendesakkan
Kualitas partisipasi publik ditentukan kehendak bersama demi mempengaruhi
kualitas informasi yang dicerap proses pengambilan keputusan. Proses
[ik, dan superfisialitas komunikasi pembentukan opini dan kehendak dalam
antara para pelaku politik telah politik, dengan begitu, beroperasi dalam
kapabilitas publik untuk komunitas yang berdaya dan peduli.
-ngancam
serta dalam proses politik. Potensi
s politikuntuk mampu menghasilkan
Deliberasi Politik
yang rasional dan berkeadilan Di muka telah sedikit disinggung
digerus melalui hambatan arus tentang legitimasi sebagai apa yang
asi. Dengan kata lain, kekerasan dibutuhkan oleh suatu penyelenggaraan
Studi Politik Edisi 1, Vol. I, No.1, 2010
kekuasaan agar dapat diterima oleh diterima sebagai suatu konsensus hasil
publik. Dalam perspektif yang lebih luas, deliberasi publik. Karena suara mayoritas
legitimasi dibutuhkan bukan hanya oleh tidak serta merta dipandang sebagai
kekuasaan politik, melainkan pula oleh legitim, maka kebebasan dan kesetaraan
keputusan dan kebijakan, agar ia diterima tidak tinggal dalam ideal,
melainkan
sekaligus memiliki kekuatan mengikat. memperoleh tempat dalam perwujudan
Tanpa legitimasi, tuntutan kepatuhan demokrasi deliberatif. Di sini setiap
terhadap kekuasaan maupun keputusan subjek yang memiliki kompetensi untuk
dan kebijakan menjadi batal. berbicara dan bertindak diperbolehkan
Pada sisi lain, legitimasi juga untuk turut-serta,dalam suatu diskursus.
mengandaikan partisipasi -atau lebih Pendeknya, demokrasi deliberatif adalah
daripada itu, keterlibatan diskursif suatu alternatif bagi upaya pencarian
publik. Singkatnya, tidak ada kepatuhan oleh masyarakat majemuk kontemporer
tanpa legitimasi,,dan tidak ada legitimasi terhadap landasan bagi legitimasi. Yaitu
tanpa partisipasi. Publik yang berdaya bahwa sesuatu itu dipandang legitim
mampu terlibat untuk merumuskan apa sebagai hasil konsensus dari perdebatan
yang patut dalam kerangka kepentingan diskursif di antara para pelaku yang bebas
dan setara.
bersama. Ini terjadi, terutama, karena
memang proses politik demokratis tidak Demokrasi deliberatif dirumuskan
pernah berlangsung dalam suatu ruang oleh Josua Cohen (dalam Bohman dan
isolasi. Selanjutnya, apa yang dibutuhkan Rehg [eds], 1999:67) secara umum
oleh publik yang berdaya semacam itu sebagai "suatu perhimpunan yang di
bukanlah semata ketersediaan akses dalamnya berbagai urusan dipandu
terhadap sumberdaya, melainkan oleh deliberasi publik yang merupakan
pula kesediaan untuk menanggalkan anggota perhimpunan tersebut." tebih
partikularitas picik (yang memungkinkan lanjut Cohen menunjukkan bahwa
orang untuk bergeser dari subjektivitas gagasan tentang dernokrasi deliberatif
parsialnya) agar dapat berdialog dengan berakar dalam ideal intuitif tentang
yang lain. suatu perhimpunan demokrasi, yang
Pada masyarakat modern yang di dalamnya justifikasi atas terma dan
majemuk, keterlibatan diskursif kondisi perhimpunan tersebut dihasilkan
publik adalah suatu jalan keluar dari melalui perdebatan dan penalaran publik
kemungkinan dominasi.u Sebab, di di antara warganegarayang setara.
sini legitimasi tidak ditentukan oleh Perdebatan dan penalaran publik
mayoritas, melainkan oleh apayang dapat menjadi gagasan pokok dalam demokrasi
deliberatif. Hal ini penting karena melalui
6 perdebatan dan penalaran ditetapkan
Berhadapan dengan kemajemukan, masyarakat
kontemporer tidak mung'kin lagi melandaskan suatu keputusan; dengan kata lain,
keberadaan dan keputusan-keputusan yang dibuatnya mesti ada alasan-alasan rasional di balik
berdasarkan suatu sumber tunggal yang dipandang suatu keputusan yang telah memperoleh
bermuatan kebenaran paripurna. Sebaliknya, ujian publik. Hanya dengan begitu,
yang dibutuhkan adalah suatu landasan baru yang
memungkinkan dicapainya kesepahaman di antara suatu keputusan mendapatkan landasan
pandangan-pandangan yang berlainan dan kadang legitimasinya secara intersubjektif di
saling berkompetisi, serta yang memungkinkan antara pelaku-pelaku politik. Pada
dikoreksinya kesepahaman terdahulu yang tidak
lasi relevan. Dalam demoftrasi deliberatif, inilah
sisi lain, perdebatan dan penalaran
kJdaulatan ralqrat sebagai proseduq yang di membuka ruang keterlibatan publik
dalamnya warganegara yang bebas dan setara dalam merumuskan apa yang baik
memperbincangkan secara berkelanjutan apl_ yang bagr komunitasnya. Artinya, deliberasi
patut bagi komunitas mereka.
Arif Susanto, Perluasan Akes Publik
=embuat publik menjadi berdaYa di keputusan politik yang legitim yang dapat
kekuasaan, dan daya tersebut diperselisihkan dampak-dampak khusus
-dapan dan umumnya serta diterima dalam suatu
=esti ditopang oleh lancarnYa arus
romunikasi (agar publik well-informed) diskursus di antarawargane garayangb eb as
-rta solidaritas (agar integritas terjaga di dan setara" (Forst, 2002:122). Diskursus
rntara suatu kemajemukan) merupakan hal pokok bagi demokrasi
deliberatif, dan hal ini memperluas
"
Dengan prosedur
demikian. Sumber Bacaan:
permufakatan tidak lantas menetralkan Arendt, Hannah, 1970, On Violence, San
kekuasaan dan tindakan strategis Diego: Harcourt Brace & Company.
untuk memperjuangkan kepentingan.
Demokrasi majemuk mengemuka Arendt, Hannah, 1998 (Second Edition),
manakala beragam kepentingan yang The Human Condition, Chicago: the
saling bersinggungan atau bahkan University of Chicago Press.
bertolakbelakangberkontestasitanpayang Cohen, Joshua, Deliberation and
satu secara'semena-mena meniadakan Democrqtic Legitimacy, dalam James
yang lain. Jika kita memahami bahwa Bohman and William Rehg (eds), 1999,
konflik menjadi salah satu karakter Deliberqtive Democracy, Cambridge:
yang lekat pada tubuh demokrasi, tentu MIT Press.
kesepahaman yang terwujud melalui
proses permufakatan tidak lantas Forst, Rainer, 2002, Contexts of Justice:
merupakan suatu kesepahaman yang Political Philosophy Bey ond Liberalism
selalu stabil dan permanen. Karena and Communitsriqnism (translated by
politik sebagai prosedur dimaksudkan John M M Farrell), Berkeley and Los
sebagai cara untuk mengelola hubungan Angeles: University of California Press.
antarmanusia yang selalu memiliki Gronbeck, Bruce E., The Ethical
potensi konflik, maka kehendak untuk Performance of Candidates in American
mengandaikan keutuhan pemahaman Presidential Campaign Dramas, dalam
yang nirkonflik niscaya merupakan suatu Robert E Denton Jr., (edt) , 2000 ,Political
pretensi untuk mengubur politik. Communication Ethics : An O xymor on?,
New York: Praeger.
Habermas, J0rgen, Popular SovereignLy as
Procedure, dalam James Bohman and
William Rehg (eds), 1999, Deliberqtive
Democracy, Cambridge: MIT Press.
Habermas, Jurgen, I 9 98 (reprint), B etw een
Facts and JVorms: Contributions
to o Discourse Theory of Law and
Democracy, Cambridge: Polity Press.
Polsby, Nelson W dan Wildavsky, Aaron,
199 1, Presidential Elections, New York:
The Free Press.
Schumpeter, JosephA., 1987 (6th edition),
Capitalism, S o ciqlism, ond D emocr acy,
London: Unwin Paperbacks.