You are on page 1of 12

Arif Susanto, Perluasan Akses Fublik

asan Akses Publik


ju Politik yang Deliberatif

Arif Susanto
di Pusat Studi Pertahanan dan Perdamaian Universitas Al-Azhar Indonesia

Abstract:
pluralistic society need to build groundworh to be able to formulate some
course of actions which dre respectedby its members. This groundwork is a
to achieve consensusthqtconcedeby a.deliberqtive democracy,inwhichpublic
are governedby the public deliberqtion. Some qccesses to ocquire resources must
widely for people could participate in such o public orgument qnd reasoning.
then the members of a community regard deliberative procedure as a source of

: public, p oliticol communication, delib er ation

masyarakat plural kontemporer butuh untuk membangun landasan untuk dapat


rmulasikan beberapa tindakan yang cermat yang dihormati oleh para warganya.
n ini merupakan prosedur untuk mendapatkan konsensus yang dihasilkan oleh
krasi deliberatif, dimana urusan publik diatur oleh permusyawaratan (deliberasi)
Berbagai akses untuk mendapatkan sumber daya harus dibuka seluas-luasnya
orang-orang dapat berpartisipasi dalam perdebatan dan penalaran publik. Hanya
demikian para anggota komunitas menganggap prosedur deliberatif sebagai
sumber legitimasi.
kunci : publik, homunikqsi p olitih, delib er c"si
t
O
menjadi amat kuat jika kita memasukkan
t kekuasaan dipercaya cenderung
korup, lalu apa yang dapat dilakukan aspek legitimasi pada penyelenggaraan
untuk membuat kekuasaan itu kekuasaan. Bahwa hanya yang absah yang
i lebih bertanggungjawab? Salah berhak untuk dipatuhi, dan keabsahan itu
alternatifnya adalah meningkatkan hanya ada ketika di sana ada konsensus
ibatanpublikdal ampenyelengg ar aan serta dukungan di antara warganegara.
bers ama. Jika publik tidak memiliki Manakala menyangkut penrmusan
litas memadai, lalu apa perlunya dan pelaksanaan urusan publik, politik
ibatkan mereka? Di sinilah pentingnya adalah juga penyelenggaraan kekuasaan.
kan kebebasan dan kesetaraan di Dimensi kekuasaan, kita tahu, hadir
warganegara. Warganegara yang dalam setiap hubungan antar-orang.
dan setara memiliki akses yang Uniknya, efektifitas penyelenggaraan
untuk membuat diri mereka berdava urusan publik antara lain ditentukan
hadapan kekuasaan. Namun, lebih oleh pendayagunaan kekuasaan. Tanpa
itu, posisi tawar warganegara kekuasaan, negara sebagai suatu unit
Studi Politik Edisi 1, Vol. I, No.1, 2010

akan gagal berfungsi, mengingat tidak ada dibangun sebagai hasil kesepakatan
kendali dalam suatu kerangka sistemik bersama $ang mungkin tidak selalu
untuk merumuskan dan melaksanakan utuh dan stabil) di antara petaku-pelaku
kebijakan. Maka amat penting untuk yang berpengetahuan dan berkesadaran
memberi substansi etis pada kekuasaan Inilah suatu batas yang dibutuhkan agar
politik. Tanpa muatan etis, politik dapat implementasi kebebasan tersebut tidak
jatuh semata sebagai penyelenggaraan tersuruk menjadi ancaman bagi esensi
dominasi; penguasaan yang satu atas kebebasan itu sendiri.
yang lain.
Wilayah publik selalu mengandaikan
Demokrasi deliberatif, melalui batas kebebasan individu dalam kerangka
keterlibatan diskursif publik, merupakan hubungan dengan lingkungannyL
suatu gagasan untuk memberi landasan Pada dasarnya, setiap diri memang
legitimasi bagi penyelenggaraan setara dan berhak atas kebebasan dasar
kekuasaan. Pertanggungjawaban etis tertentu yang dibutuhkan untuk menjaga
kekuasaan dimunculkan bukan melalui keberlangsungan kehidupan. Namurl
tuntutan pemerintahan oleh semua bingkai kebebasan dibutuhkan agr
untuk selnua yang bergaya mobokrasi, hak satu pihak tidak tercederai oleh
melainkan dengan membuka ruang upaya pemenuhan hak pihak yang lain-
perdebatan dan penalaran publik tentang Bingkai semacam itu pun idealnya tidak
apa yang patut bagi suatu komunitas. Dan semata mewakili nilai-nilai dominan
saya percaya bahwa peluang terbaik untuk yang menuntut suatu apropriasi sepihak
itu akan kita dapatkan ketika akses publik kalangan minoritas. Sekali lagi, hal ini
atas berbagai sumberdaya tidak dihambat pun penting agar penetapan aturan tidak
atau dihalang-halangi secara sistematis. berubah menjadi tekanan dominatif
Berangkat dari keyakinan di atas, yang juga berlawanan dengan hakikat
tulisan ini terutama hendak menjawab kebebasan.
pertanyaan-pertany aan apamakna publik Kembali ke pemahaman rnula tentang
dalam politik? bagaimana kemiskinan masyarakat politik sebagai masyarakat
etis dapat diminimasi dari menggerogoti adab, apa yang menjadi pembeda utama
penyelenggaraan urusan publik? dan antara masyarakat politik dan masyarakat
apa alternatif yang dapat ditawarkan pra-politik ialah tatanan sosial yang
bagi legitimasi dan pertanggungjawaban menopang keberlangsungan masyarakat
kekuasaan di tengah kompleksitas tersebut. Masyarakat politik memitiki
masyarakat kontemporer? kesepakatan yang mengikat dan menjadi
rujukan bersama bagi mereka yang
Kepublikan dalam Politik menjadi bagiannya -semacam'kontrak
Salah satu konsepsi paling tradisional sosial'yang tidak dikenal pada masyarakat
tentang politik adalah bahwa politik pra-politik. Kesepakatan sebagai rujukan
merupakan penyelenggaraan urusan bersama merupakan suatu rajutan norma
publik. Konsepsi tersebut berimplikasi yang dimaksudkan sebagai sarana untuk
pada terbukanya kemungkinan untuk mengejawantahkan keadaban dalam
menetapkan'nilai-nilai bersama' sebagai hubungan antar-orang. Norma tersebut
landasan untuk menentukan apa yang antara lain memilah apayang sah dan apa
etis dalam politik. Pada yang privat, yang tidak sah dalam penyelenggaraan
orang memiliki kebebasan individualnya kekuasaan; suatu basis bagi legitimasi
untuk menentukan apa yang patut dan kekuasaan politik.
sesuai bagi dirinya. Sementara pada Dengan kesepakatan semacam itu,
yang publik, bingkai kebebasan idealnya pemenuhan hak dan perlindungan atas
Arif Susanto, Perluasan Akses Publik

irya tidak lantas membuat manusia Dengan begitu, politik mengandaikan


satu menjadi'serigala' bagi manusia tindakan saling dan bersama, bukan
lain. Patut dipahami, perlindungan suatu dominasi. Dalam kerangka kesali
kemanusiaan adalah pula ngan semacam ini, substansi politik
terhadap kehidupan. Dalam adalah komunikasi. Jika keberagaman
ini, masyarakat politik merupakan dan pertentangan dipercaya sebagai
jalan menuju kebebasan. hal yang alamiah hadir dalam setiap
raan yang lain adalah suatu masyarakat, maka politik yang berporos
pada komunikasi dapat diajukan sebagai
ian dalam politik" Politik tidak
berlangsung dalam suatu ruang suatu media resolusi konflik diantara
kepentingan-kepentingan yang majemuk.
sebab pemencilan pihak lain akan
n pembelengguan kapasitas Politik, pada akhirnya, menjadi salah satu
perwujudan kegiatan
. Sementara kata tt,,
perbuatan adalah .,.Demokrqsi memang manusia yang amat
yang mengantarkan bukon semofo persoo- penting dan otentik
(secara sosial) apabila di
pada dunia manusia;
terutama lon
keseforoon, nemun dalamnya terj adi interaksi
kepentingan keseforoon qdoloh suolu diantara
warga negara
yaltu apa yang kemesflon kondrsl bogi yang merdeka dan setara
diantara para demi kemanfaatan terbe
(Arendt, demokrosi.
1998:182).
Dopot pula sar bagi publik.
dalam ruang dikqtokon, tidokloh mung- Kesetaraan memung-
tersebutlah politik kin untuk menyebut suotu kinkan politik menjadi
ia mendialogkan totonon politik yang mem- gelanggang yang
ingan-kepentingan kompetitif, yaitu ketika
ar dan menghasil biokkon ketimpongon se- setiap orang memiliki
kesepahaman. Bagi cara sisfemofis sebogoi kesempatan yang relatif
{ Arendt (1998:26) totonon yang demokrotis, tt sama untuk mengun-
n iadi yang politik... jukkan suatu pilihan
t bahwa segalanya tindakan. Kesetaraan
E kan melalui kata- juga memberi peluang
N dan persuasi serta kemungkinan yang lebih
ki melalui tekanan dan kekerasan."' besar bagi orang untuk dapat mewujudkan
6 lerada diantara kepentingan-kepen kehendaknya ketimbang manakala orang
qg yang berlainan, bidang publik berada dalam kungkungan dominasi.
& ruang kebebasan;bebas dalam arti Demokrasi memang bukan semata
at ka dari ketidaksetaraan yang hadir persoalan kesetaraan, namun kesetaraan
tn dominasi sebagai penguasaan. adalah suatu kemestian kondisi bagi
ra raan merupakan inti kebebasan. demokrasi. Dapat pula dikatakan, tidaklah
rk mungkin untuk menyebut suatu tatanan
m politik yang membiakkan ketimpangan
ut D{em pandangan Arendt, kekuasaan dan kekerasan secara sistematis sebagai tatanan yang
i berlawanan; manakala,yang satu unggul mudak,
demokratis.'
xl g lain tiada (periksa Arendt, 1970:56). Kekerasan
m n iustru potensial muncul ketika kekuasaan ada
si &Lm bahaya. Ini menjelaskan mengapa intensitas 2 Pengakuan terhadap kesetaraan merupakan salah
lrterasan demikian tinggi pada rezim-rezim satu karakter oembeda arrtara demokrasi modern
mliter dan otoriter yang berkecenderungan untuk dan demokrasi-klasik. Pemerintahan rah-at -\then.:
bahwa kekuasaannya selalu berada dalam peradaban Yunani Kuno, misalnva. nd.:;
-:nganggap
&hm ancaman. Artinya pula, bukan kekerasan - membeii hak politik bagi para budak, peiempur..-
rlainkan dialog- yang menghidupi politik. dan kaum pendatang -suatu elaklusi \-ans seL-f,:!
Studi PolitikEdisi 1, Vol.I, No.1, 2010

Selanjutnya, jika politik dimengerti yang harus diatasi oleh prosedur


sebagai'seni kemungkinan', maka politik agar ia dapat berjalan secara efektif.
mesti membuka keluasan ruang yang Operasionalisasi demokrasi, de
optimal bagi publik untuk berpartisipasi. demikian, mesti memperhatikan
Semakin luas ruang partisipasi, semakin
keputusan yang beranjak dari
banyak pilihan-pilihan tindakan yang menuju pada kemanfaatan t
mungkin untuk diambil. Keluasan bagi publik sebagaimana di
ruang partisipasi juga memungkinkan di atas. Merujuk pada pe
orang untuk tidak sekadar pasif, Schumpeterian -yang melihat de
melainkan aktif sebagai subjek yang sebagai suatu metode kelembagaan
bertindak. Orang dapat memperjuangkan kerangka pengambilan keputusan
kepentingannya sesuai dengan tatanan (periksa Schumpeter, 1937)- demo
normatif yang mengatur mekanisme kemudian harus memastikan
pengunjukkan kehendak.' Secara umum,
warganegara bebas untuk me
politik partisipatoris semacam ini beragam isu untuk diartikulasikan
bertolakbelakang dengan penguasaan secara langsung maupun tak
yang cenderung membatasi atau bahkan
Pengaturan kelembagaan semacam
menutup sama sekali alternatif pitihan mewujud antara lain pada Pemi
bagi publik.
Umum @emilu) sebagai suatu
Selain partisipasi politik dan untuk mengenali kehendak wa
perlindungan terhadap kebebasan,
demokrasi pada tataran minimal juga Komunikasi Politik Etis
mempersyaratkan suatu prosedur Secara substansial. demokrasi menu
pengambilan keputusan. Dalam banyak
kasus, keputusan diambil dengan
lebih daripada sekadar t
merujuk pada suara terbanyak (majoriLy
prosedur Pemilu. Pemenuhan
rule). Hal ini berangkat dari pengandaian Pemilu semata belum memadai
bahwa suara terbanyak terurujudnya'pemerintahan rakyat'
mewakili rezim dapat saj a menyelenggarakan
bagian terbesar dari kehendak pubtik.
Suara terbanyak adalah secara berkala sembari
mekanisme
minimal yang mungkin untuk dijalankan warganegara untuk turut serta
secara optimal oleh demokrasi modern menjadi penggembira dalam pesta
yang kompleks untuk mengenali dan politik yang kosong dari esensi demo
memastikan suatu'kehendak bersama'. (ingat rezim Orde Baru yang
Tentu saja, sebagaimana dikemukakan Pemilu sebagai 'pesta demokrasi')
oleh para pengkritik majority rule, model memaksa mereka untuk membe
ini tidak akan pernah mampu menangkap dukungan terhadap
kehendak genuine setiap warganegara. kekuasaan rezim tersebut. Kita
Tetapi, patut pula untuk ditimbang bahwa
paham bahwa partisipasi politik t
kompleksitas persoalan dan besarnya selalu bermakna tindakan volu
jumlah warganegara menjadi hambatan yang dilakukan tanpa tekanan.
Artinya, ada jebakan elektoralis
mendasar berlawanan dengan semangat demokrasi. manakala orang secara
3 Kal"trg"r, liberalis biasanya sangat peduli terhadap melihat penyelenggaraan Pemilu se
isu perlindungan atas kebebasan politik semacam tolok ukur tunggal demokrasi. Su
ini. Mereka umurnnya menghendaki peran politik demokrasi berbicara soal partis
yang memungkinkan wffiganegara untuk secara sadar publik dalam politik, semen
bebas mengejar kepentingan privatnya, sementara
kekuasaan negara mesti dijalankan berdasarkan elektoralisme dapat saja abai te
kepentingan rMarganegara secara umum. partisipasi non-voluntaristik
Arif Susanto, Perluasan Akes Publik

t
:ebagai hasil tekanan elit. Dengan kuat, kadang gagasan semacam itu
=enimbang motif tindakan menjadi tampak masuk akal bagi publik
i publik
r :ntuk terlibat dalam penyelenggaraan pemilih. Hal ini menunjukkan bahwa
i :uatu Pemilu, dernokrasi elektoral tatanan demokrasi, yang sesungguhnya
_;ang sekadar patuh pada prosedur mengedepankan kebebasan, dapat pula
:rrmal penyelenggaraan Pemilu dapat dimanfaatkan sebagai jalan bagi para
I =ibedakan dari demokrasi substansial demagog untuk membunuh kebebasan,
r
I
lang peduli pada hakikat kebebasan dan Di sinilah aspek kontrol publik dalam
<esetaraan politik. politik menemukan signifikasinya. Dalam
i
Dalam situasi demikian, salah satu proses Pemilu, kampanye kadang menjadi
I
I :antangan yang mengemuka adalah wahana yang penuh muslihat untuk
il
--agaimana mempersempit ruang gerak memperdaya publik -terutama mereka
n ara dema gog -yang memanipulasi emosi yang tidak cukup berdaya secara sosial.
n 3.rblik melalui prasangka politik demi Pada dasarnya kampanye memungkinkan
k ieuntungan sepihak mereka- dalam suatu adanya komunikasi manakala para
k :atanan demokrasi. Di beberapa negara kandidat secara terbuka mengemukakan
lengan tatanan demokrasi yang relatif program-programnya, sementara publik
kita bahkan dapat melihat dapat secara intens mencermati alternatif
e =rkonsolidasi, yang tersaji di hadapannya sebelum
;artai atau kandidat dengan posisi sikap
:kstrem, justru memperoleh simpati mengambil suatu pilihan. Kampanye
1r :dak kecil dari publik pemilih. Dengan yang komunikatif memberi peluang bagi
:l-: publik untuk dapat membuat pilihan
rndangan sempit berbasis komunitas,
Si nereka menggagas kebijakan eksklusi berdasarkan pertimbangan-pertimb angan
-a
sistematis terhadap kalangan minoritas; rasional, bukan sekadar'memilih kucing
iP lan dalam tekanan sosio-ekonomi yang dalam karung'. Di sisi lain, elitisme (yang
ik
srudi Politik Edisi 1, Vol. I, No.1, 2010

sesungguhnya melekat pada demokrasi ketika distorsi lebih disebabkan oleh


perwakilan) dapat ditransformasi penyajian informasi yang secara s
menjadi elitisme kompetitif apabila didesain untuk mengelabui publik.
para kandidat bersaing untuk tidak masa kini banyak dipengaruhi oleh
semata memperebutkan jabatan publik, bekerja a la pasar. Produsen yang
melainkan pula membeberkan diri cara beroperasi pasar tidak be
secara pasif menanggapi kebu
konsumen, mereka justru secara otori
mengendalikan pasar. Tidak se
reaktif memenuhi permintaan
yang mengedepankan komunikasi. para produsen -dengan sumbe
Habermas (1998:296) menyebut yang lebih lengkap ketimbang apa I
bahwa prosedur demokrasi membuka dimiliki oleh konsumen- bahkan
jalan bagi terbangunnya suatu jejaring menentukan apa yang dibutuhkan
yang terbentuk dari pertimbangan- konsumen.
pertimban gan pragmatis, permufak atan, Yang harus dipahami adalah
serta diskursus mengenai pemahaman- distorsi informasi menciptakan di
diri dan keadilan. Hal ini menjadi basis Ketimpangan semacam ini mem
bagi pengandaian bahwa tatanan yang keuntungan terbesar bagi mereka I
rasional dan berkeadilan sesungguhnya akses terhadap sumberdayanyalebih t
dapat diwujudkan selama alur informasi Kerja politik yang menggunakan
tidak dihambat. pasar semacam ini akan mengacau
Jelas bahwa orang tidak dapat makna publik. Sebab, publik tidak
berbicara tentang publik yang memiliki dipahami dalam kerangka segala y
kesadaran politik dan mampu terlibat menyangkut keumuman atau komuni
dalam pencermatan intensional terhadap yang terbuka dan melingkupi, melai
pilihan tindakan, seandainya publik semata sebagai angka dukungan politit-
sendiri tidak memiliki cukup informasi Cara kerja pasar rnodern senr
tentang situasi yang dihadapi. publik dengan cara kerja teater; keduan!
yang berdaya menjadi suatu keniscayaan lebih diarahkan untuk menventuh si
dalam prosedur permusyawaratan; emosionat pihak lawan (konsu
karena itu proses politik tidak hanya pada pasar, audiens pada teater). Ti
harus membuka ruang bagi keterlibatan
optimal publik, melainkan pula
memastikan bahwa akses para pelaku
politik terhadap informasi tidak timpang.
Ketimpangan akses terhadap informasi panggung kampanye adalah sosio-drama !
dapat terjadi ketika tidak tersedia yang bersifat permanen, kompleks E
sumber informasi alternatif atau terjadi dan memberi bertumpuk informasi l
penguasaan oligopolistis terhadap sarana yang bahkan sulit untuk dicerna oleh il
komunikasi. Diskursus sulit untuk hidup publik sendiri. 'Kekuatan komunikasi C
di atas bangunan oligarkisme, ia tidak kampanye lebih terletak pada kisah- D
mungkin pula lahir dari tatanan yang kisah yang digubah para kandidat dan -
totaliter. perhelatan-perhelatan yang mereka
Di samping ketimpangan informasi, gelar demi menyuguhkan segenap
dalam komunikasi politik kerap pula kemampuan, harapan, dan nilai mereka
terjadi distorsi yang mengganggu transfer ketimbang bersandar pada serentetan
informasi. Yang menjadi persoalan adalah fakta dan angka, sebab dan akibat.
Arif Susanto, Perluasan Alses Publik

kecenderungan -kecenderungan kandidat lainnya.' Model kampanye seperti


ik'. demikian ditulis Bruce E. itu semakin mendistorsi informasi, publik
beck (2000).^ pun tidak lagi mendapatkan haknya untuk
htblic relotions. dalam kampanye- memperoleh informasi yang benar. Alih-
nye kini lebih bermakna sebagai alih menjadi berdaya, upaya publik untuk
untuk mengelabui publik ketimbang mencerap informasi sebanyak mungkin
untuk berkomunikasi dengan publik; dari para kandidat dapat berbuah koleksi
:nj adi upaya untuk menginformasikan
kebohongan dan fitnah.
seb agaim ana y ang dikehendaki oleh Saat masa kampanye menjelang
penyampai pesan. Dalam konteks ini pemilihan pejabat publik, para calon
ndak untuk membangun citra (yang
hnya tidak pernah otentik)
mengemuka daripada kehendak Di Amerika Serikat, misalnya, mengemuka panda
ngan bahwa 'serangan terhadap lawan dapat
membuat publik menjadi well- memberi kesan yang lebih mendalam kepada calon
ed. Kehendak semacam itu semakin pemilih ketimbang segala pesan yang mengunjukkan
publik ketika kampanye kebaikan.' Pandansan tersebut kira-kira danat
disederhanakan befini, "jika anda dicela sebagai
if menjadi bagian strategis upaya seorang bodoh, sebudah lawan anda sebagai si tolol
g kandidat untuk melemahkan sialan; jika dia mengatakan anda adalah seorang
l:ajingan, sebutlah dia seorang perampok; jika dia
mengintimidasi bahwa anda kurang memedulikan
Xarena itu, Gronbeck (dalam Denton, Jr. [edt], kebenaran, katakan kepada khalayak anda bahwa dia
1000:3) melanjutkan, putusan elektoral yang dibuat seorangpembohongulung." Tentu saja, hal ini terjadi
pra pemilih tidak semata didasarkan pada apa karena kampanye lebih dipahami sebagai persoalan
rzng dikatakan para kandidat, melainkan pula pada bagaimana memenangkan dukungan publik, alih-
begaimana para pemilih menilai tindakan atau alih memberikan pendidikan publik. Lebih lanjut,
tinerja para kandidat. perilsa Polsby dan Wildavsl<y, l99 I :2 48 -2 5 0.
Sfudi Politik Edisi 1, Vol. I, N0.1, 2010

pemilih berhadapan dengan berlimpah 'pementasan' semacam itu bukanlah


informasi yang pada akhirnya membuat keterlibatan yang penuh; pentas drama
mereka hampir tidak mungkin memang tidak pernah mengajak khalayak
menentukan pilihan yang otentik. untuk menjadi pelakon utama dalam
Warganegara 'bertemu' dengan para suatu pergelaran.
kandidat lewat tayangan televisi, poster Berhadapan dengan kenyataan
dan selebaran di segenap penjuru kotal serupa itu, Gronbeck memberi tawaran
desa, maupun panggung kampanye pencermatan terhadap motif, karakter,
terbuka di berbagai tempat publik sebagai dan kompetensi para kandidat sebagai
'pentas drama'. Tetapi, mengherankan dasar untuk membuat penilaian etis atas
bahwa perjumpaan-perj umpaan semacam pilihan yang tersedia (perhatikan tabel).

ETTIICAL PIVOTS

MORAL
VANTAGES Motives Charocter Competences
Message Makers Are candidates' motives Are candidates' Have candidates
acceptable? characterological styles demonstrated political
acceptable? competence?

Message What political motives What characterological What measures of


Consumers do set of voters find styles do sets of voters competence are used by
acceptable? find acceptable? particular sets of voters?

Messages Are candidates' motives Are candidates' Are candidates illustrating


expressed in acceptable characterological styles their political competence
ways? depicted in acceptable in messages and responses
ways? to opponents' messages?
Situations What motives are What characterological Do candidates read
acceptable in various st5rles are expected in various political situations
situations? various situations? competently?

Questions that Csn Guidevoters' Ethica.I Judgments in presidential Campaign


Sumber: Bruce E.Gronbeck (2000).

itu tidak dapat menjadi media diskursus Pencermatan Gronbeck berangkat


tempat elit dan massa memperbincangkan dari dua hal. Pertama, karena kampanye
persoalan dan menawarkan alternatif politik telah menjadi suatu panggung
jawaban. Di sana informasi tidak berjalan sosio-drama, maka dia menarik suatu
mengikuti alur komunikasi. Komunikasi analisis atasnya berdasarkan tiga dimensi
politik yang konsiderat memang tidak utama suatu pertunjukan, yaitu: tindakan
mungkin dibangun dalam situasi atau plot (mythos), karakter (ethos), dan
timpang, tanpa logika sebab-akibat, serta pemikiran (dianoia). Tiga dimensi inilah
tanpa pemahaman memadai tentang yang kemudian mengerucut menjadi
subjek yang dihadapi. Di berbagai tiga poros etis yang meliputi motif,
kesempatan kampanye, para kandidat karakter, dan kompetensi yang dapat
kadang berdialog dengan khalayak. dijadikan acuan bagi para calon pemilih
Tetapi, keterlibatan khalayak dalam suatu untuk membandingkan apa yang mereka
Arif Susanto, Perluasan Akes Publik

kehendaki dan apa yang dapat mereka komunikasi menopang kegagalan proses
indera dari para kandidat. politik untuk menjadi sarana perwujudan
Kedua, Gronbeck menekankan kebebasan bagi warganegara.
pentingnya kejujuran dalam politik Ketika kepentingan publik begitu
mengingat orang membutuhkan kepastian mudah dinafikan untuk tidak menjadi
manakala perubahan berlangsung terus- pertimbangan utama dalam pengambilan
menerus, juga karena kejujuran dapat keputusan, kedaulatan rakyat pun berada
menjadi patokan untuk menilai motif, dalam ancaman. Menyimak Habermas
karakter, dan konipetensi seseorang. (dalam Bohman dan Rehg [eds], 1999:46),
lleskipun demikian, Gronbeck sendiri "kedaulatan rakyat mesti mewujud hanya
nengakui bahwa publik tidak pernah dalam kondisi diskursif dalam proses
cisa benar-benar paham tentang kandidat pembentukan opini dan kehendak yang
i?ng mereka hadapi dan persoalan bermacam ragam." Tetapi, diskursus
rang diusungnya, mengingat apa mempersyaratkan kesetaraan, bukan
i?ng disajikan kepada publik melalui ketimpangan. Jika penguasaan atas
L:ampanye politik sesungguhnya telah sumberdaya timpang, maka hubungan
nelalui penyeleksian. Dan lebih daripada politik hanya akan melahirkan dominasi,
au. semuanya dikemas dalam simbol- bukan demokrasi. Dominasi elit hanya
simbol yang kerap menyembunyikan'apa akan membuat politik menjadi arena
Fng sesungguhnya' kepada publik. Dari untuk mengakumulasi kekuasaan semata.
Gronbeck orang dapat memahami bahwa Sesungguhnya, demokrasi superfisial
rryerfisialitas tampak sebagai musuh memberi mang yang nyaman bagi para
mgi komunikasi politik. demagog yang menungg angi demos untuk
Berangkat dari posisi bahwa meraih kepentingan sepihak mereka.
he=epakatan dalam politik mesti diambil Penilaian etis Gronbeck, bagaimana
nelalui persuasi, bukan melalui paksaan pun, dapat menjadi pintu masuk untuk
dan kekerasan; maka pemutarbalikan membuat publik menjadi lebih berdaya di
fiJrta dan sensor sistemik terhadap hadapan elit. Ketidakjujuran paling tidak
ot'ormasi publik dapat dikategorikan dapat diminimasi pada tataran yang tidak
.rfragai kekerasan dalam komunikasi terlampau ekstrem ketika publik memiliki
F*rik. Sebab, komunikasi politik yang informasi yang memadai tentang situasi
mpang (akibat tiadanya kehendak untuk yang mereka hadapi. Pada saatyang sama,
hsikap terbuka dan senjangnya akses publik yang well-informed sepatutnya
rrtadap informasi) dapat mempersempit mengembangkan suatu solidaritas yang
#ng nalar. Bagaimana nalar dapat dengannya mereka mampu membangun
Hungsi optimal s ebagai instrumen untuk kemandirian. Publik yang berdaya akan
gambil keputusan jika informasi yang memiliki kekuatan kontrol dan posisi
ftrap tidak utuh? tawar yang lebih baik untuk mendesakkan
Kualitas partisipasi publik ditentukan kehendak bersama demi mempengaruhi
kualitas informasi yang dicerap proses pengambilan keputusan. Proses
[ik, dan superfisialitas komunikasi pembentukan opini dan kehendak dalam
antara para pelaku politik telah politik, dengan begitu, beroperasi dalam
kapabilitas publik untuk komunitas yang berdaya dan peduli.
-ngancam
serta dalam proses politik. Potensi
s politikuntuk mampu menghasilkan
Deliberasi Politik
yang rasional dan berkeadilan Di muka telah sedikit disinggung
digerus melalui hambatan arus tentang legitimasi sebagai apa yang
asi. Dengan kata lain, kekerasan dibutuhkan oleh suatu penyelenggaraan
Studi Politik Edisi 1, Vol. I, No.1, 2010

kekuasaan agar dapat diterima oleh diterima sebagai suatu konsensus hasil
publik. Dalam perspektif yang lebih luas, deliberasi publik. Karena suara mayoritas
legitimasi dibutuhkan bukan hanya oleh tidak serta merta dipandang sebagai
kekuasaan politik, melainkan pula oleh legitim, maka kebebasan dan kesetaraan
keputusan dan kebijakan, agar ia diterima tidak tinggal dalam ideal,
melainkan
sekaligus memiliki kekuatan mengikat. memperoleh tempat dalam perwujudan
Tanpa legitimasi, tuntutan kepatuhan demokrasi deliberatif. Di sini setiap
terhadap kekuasaan maupun keputusan subjek yang memiliki kompetensi untuk
dan kebijakan menjadi batal. berbicara dan bertindak diperbolehkan
Pada sisi lain, legitimasi juga untuk turut-serta,dalam suatu diskursus.
mengandaikan partisipasi -atau lebih Pendeknya, demokrasi deliberatif adalah
daripada itu, keterlibatan diskursif suatu alternatif bagi upaya pencarian
publik. Singkatnya, tidak ada kepatuhan oleh masyarakat majemuk kontemporer
tanpa legitimasi,,dan tidak ada legitimasi terhadap landasan bagi legitimasi. Yaitu
tanpa partisipasi. Publik yang berdaya bahwa sesuatu itu dipandang legitim
mampu terlibat untuk merumuskan apa sebagai hasil konsensus dari perdebatan
yang patut dalam kerangka kepentingan diskursif di antara para pelaku yang bebas
dan setara.
bersama. Ini terjadi, terutama, karena
memang proses politik demokratis tidak Demokrasi deliberatif dirumuskan
pernah berlangsung dalam suatu ruang oleh Josua Cohen (dalam Bohman dan
isolasi. Selanjutnya, apa yang dibutuhkan Rehg [eds], 1999:67) secara umum
oleh publik yang berdaya semacam itu sebagai "suatu perhimpunan yang di
bukanlah semata ketersediaan akses dalamnya berbagai urusan dipandu
terhadap sumberdaya, melainkan oleh deliberasi publik yang merupakan
pula kesediaan untuk menanggalkan anggota perhimpunan tersebut." tebih
partikularitas picik (yang memungkinkan lanjut Cohen menunjukkan bahwa
orang untuk bergeser dari subjektivitas gagasan tentang dernokrasi deliberatif
parsialnya) agar dapat berdialog dengan berakar dalam ideal intuitif tentang
yang lain. suatu perhimpunan demokrasi, yang
Pada masyarakat modern yang di dalamnya justifikasi atas terma dan
majemuk, keterlibatan diskursif kondisi perhimpunan tersebut dihasilkan
publik adalah suatu jalan keluar dari melalui perdebatan dan penalaran publik
kemungkinan dominasi.u Sebab, di di antara warganegarayang setara.
sini legitimasi tidak ditentukan oleh Perdebatan dan penalaran publik
mayoritas, melainkan oleh apayang dapat menjadi gagasan pokok dalam demokrasi
deliberatif. Hal ini penting karena melalui
6 perdebatan dan penalaran ditetapkan
Berhadapan dengan kemajemukan, masyarakat
kontemporer tidak mung'kin lagi melandaskan suatu keputusan; dengan kata lain,
keberadaan dan keputusan-keputusan yang dibuatnya mesti ada alasan-alasan rasional di balik
berdasarkan suatu sumber tunggal yang dipandang suatu keputusan yang telah memperoleh
bermuatan kebenaran paripurna. Sebaliknya, ujian publik. Hanya dengan begitu,
yang dibutuhkan adalah suatu landasan baru yang
memungkinkan dicapainya kesepahaman di antara suatu keputusan mendapatkan landasan
pandangan-pandangan yang berlainan dan kadang legitimasinya secara intersubjektif di
saling berkompetisi, serta yang memungkinkan antara pelaku-pelaku politik. Pada
dikoreksinya kesepahaman terdahulu yang tidak
lasi relevan. Dalam demoftrasi deliberatif, inilah
sisi lain, perdebatan dan penalaran
kJdaulatan ralqrat sebagai proseduq yang di membuka ruang keterlibatan publik
dalamnya warganegara yang bebas dan setara dalam merumuskan apa yang baik
memperbincangkan secara berkelanjutan apl_ yang bagr komunitasnya. Artinya, deliberasi
patut bagi komunitas mereka.
Arif Susanto, Perluasan Akes Publik

=embuat publik menjadi berdaYa di keputusan politik yang legitim yang dapat
kekuasaan, dan daya tersebut diperselisihkan dampak-dampak khusus
-dapan dan umumnya serta diterima dalam suatu
=esti ditopang oleh lancarnYa arus
romunikasi (agar publik well-informed) diskursus di antarawargane garayangb eb as
-rta solidaritas (agar integritas terjaga di dan setara" (Forst, 2002:122). Diskursus
rntara suatu kemajemukan) merupakan hal pokok bagi demokrasi
deliberatif, dan hal ini memperluas
"

Sementara, Habermas (1998:298)


kemungkinan dicapainya ketepatan
Ercaya bahwa keberhasilan perwujudan pertimbangan dan keputusan. Melalui
rolitik deliberatif bergantung pada
diskursus, proses pengambilan keputusan
pelembagaan prosedur permufakatan dan
dilakukan dalam dialog, bukan monolog.
rondisi dalam komunikasi, serta pada Dalam dialog tersebut, masing-masing
-ling-hubungan antara proses deliberasi peserta menghargai kapasitas deliberatif
i-ang terlembagakan dan opini publik yang mereka miliki. Untuk itu diperlukan
)-ang terbangun secara informal. Dari kesiapan untuk mempertanyakan ulang
sini dapat ditafsirkan, pertama bahwa
perlu ada penetapan intersubjektif untuk -dan jika pertu mengubah- pandangan
sembari mendayagunakan nalar untuk
nemastikan bagaimana orang sampai sampai pada suatu kesepahaman tentang
pada konsensus dan bagaimana hal itu
kebaikan bersama.
dipatuhi, serta adaj aminan bagi kebebasan
dan kesetaraan di antara warganegara. Menyangkut kePutusan Yang
Kedua, bahwa proses politik sebagai suatu dihasilkan, finalitas adalah hal yang
deliberasi tidak semata berlangsung pada asing bagi proses demokrasi; karena
tataran formal (suprastruktur politik), itu, suatu hasil konsensus harus dapat
melainkan meliputi pula keterlibatan direvisi untuk diperbarui legitimasinya.
civil society yang berada di luar struktur Kemungkinan pembaruan harus selalu
kekuasaan negara. dibuka, sebab hanya dengan begitu
Apakah itu berarti bahwa deliberasi suatu keputusan memiliki relevansi
kita dari bahaya elitisme? Saya
berkelanjutan bagi komunitas yang
meloloskan
bersangkutan. Hal ini menyiratkan bahwa
pikir tidak demikian. Sejauh demokrasi proses pembentukan opini dan kehendak
perwakilan dipercaya merupakan pilihan
secara demokratis juga merupakan suatu
yang memadai, sejauh itu pula potensi proses berkelanjutan. Dengan demikian,
elitisme mengintip. Tetapi, transformasi
demokrasi tidak berhenti pada formalisme
dari sekadar elitisme menuju elitisme elektoral, melainkan bergerak dinamis
kompetitif dimungkinkan oleh proses
seiring tarikan di antara kepentingan-
deliberasi tersebut. Dengan mernperluas
kepentingan yang berlainan. Inilah jalan
mang partisipasi, berarti semakin besar untuk menghasilkan suatu tatanan politik.
kemungkinan keterlibatan publik.
Dengan memperluas ruang partisipasi, Kita paham bahwa suatu tatanan
berarti kontestasi di antara para pelaku membutuhkan keteraturan (dengan begitu
berikut kepentingan-kepentingan mereka kita mampu membedakan order dari
menjadi semakin kompetitif. Jika ini disorder); tetapi keteraturan bukanlah
yang terjadi, maka politik tidak semata suatu kemestian yang miskin dinamika.
beroperasi di kamar-kamar kekuasaan, Justru dinamika itu Yang menjaga
melainkan meluas meliputi jejaring keberlangsungan suatu tatanan melalui
diskursus berbagai kalangan. pertarungan kepentingan. Kompetisi di
antara kepentingan-kepentingan untuk
Sekali lagi, prinsiP demokrasi
mengisi ruang bersama itulah Yang
deliberatif adalah suatu prinsip legitimasi
menciptakan kondisi positif bagi politik.
demokrasi. Yaitubahwa "hanya norma dan
Studi Politik Edisi 1, Vol, I, No,1, 2010

Dengan prosedur
demikian. Sumber Bacaan:
permufakatan tidak lantas menetralkan Arendt, Hannah, 1970, On Violence, San
kekuasaan dan tindakan strategis Diego: Harcourt Brace & Company.
untuk memperjuangkan kepentingan.
Demokrasi majemuk mengemuka Arendt, Hannah, 1998 (Second Edition),
manakala beragam kepentingan yang The Human Condition, Chicago: the
saling bersinggungan atau bahkan University of Chicago Press.
bertolakbelakangberkontestasitanpayang Cohen, Joshua, Deliberation and
satu secara'semena-mena meniadakan Democrqtic Legitimacy, dalam James
yang lain. Jika kita memahami bahwa Bohman and William Rehg (eds), 1999,
konflik menjadi salah satu karakter Deliberqtive Democracy, Cambridge:
yang lekat pada tubuh demokrasi, tentu MIT Press.
kesepahaman yang terwujud melalui
proses permufakatan tidak lantas Forst, Rainer, 2002, Contexts of Justice:
merupakan suatu kesepahaman yang Political Philosophy Bey ond Liberalism
selalu stabil dan permanen. Karena and Communitsriqnism (translated by
politik sebagai prosedur dimaksudkan John M M Farrell), Berkeley and Los
sebagai cara untuk mengelola hubungan Angeles: University of California Press.
antarmanusia yang selalu memiliki Gronbeck, Bruce E., The Ethical
potensi konflik, maka kehendak untuk Performance of Candidates in American
mengandaikan keutuhan pemahaman Presidential Campaign Dramas, dalam
yang nirkonflik niscaya merupakan suatu Robert E Denton Jr., (edt) , 2000 ,Political
pretensi untuk mengubur politik. Communication Ethics : An O xymor on?,
New York: Praeger.
Habermas, J0rgen, Popular SovereignLy as
Procedure, dalam James Bohman and
William Rehg (eds), 1999, Deliberqtive
Democracy, Cambridge: MIT Press.
Habermas, Jurgen, I 9 98 (reprint), B etw een
Facts and JVorms: Contributions
to o Discourse Theory of Law and
Democracy, Cambridge: Polity Press.
Polsby, Nelson W dan Wildavsky, Aaron,
199 1, Presidential Elections, New York:
The Free Press.
Schumpeter, JosephA., 1987 (6th edition),
Capitalism, S o ciqlism, ond D emocr acy,
London: Unwin Paperbacks.

You might also like