Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Penyakit kusta atau juga dikenali sebagai penyakit hansen, morbus hansen,
lepra atau leprosy merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh infeksi
mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Mengenai saraf perifer
sebagai afinitas pertama, kemudian kulit, mukosa traktus respiratorius bagian atas,
dan dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Cara penyebaran awal
disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Cara
penularannya yaitu melalui kontak langsung antarakulit dan melalui droplet6
Lepra atau morbus hansen (mh) adalah penyakit yang umum ditemukan di
asia, afrika, amerika tengah, dan amerika selatan.1 lepra dapat menyerang semua
usia, dan pada hamper semua studi prevalensi menunjukkan laki-laki lebih banyak
dari pada perempuan.2 prevalensi lepra di indonesia pada tahun 2008 sebesar
0,94/10.000 penduduk namun di sulawesi utara masih mencapai 2,15/10.000
penduduk6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat6.
b. Etiologi
Kuman penyebab adalah mycobacterium leprae yang di temukan oleh g.a.
Hansen pada tahun 1874 di norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat
dibiakkan dalam media artificial. M. Leprae berbentuk kuman dengan ukuran
3-8 mm x 0,5 mm, tahan asam dan alcohol serta gram positif1.
c. Klasifikasi
Klasifikasi untuk kepentingan program kusta /klasifikasi WHO (1981) dan
modifikasi WHO (1988)
1. Pausibasilar (PB)
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut
kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid.
2. Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria Ridley dan
Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA
positif.
Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan harus diklasifikasikan
sebagai berikut : Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetapi diobati
sebagai MB apapun hasil pemeriksaan BTA-nya saat ini. Bila awalnya
didiagnosis tipe PB, harus dibuat klasifikasi baru berdasarkan gambaran klinis
dan hasil BTA
d. Pathogenesis
Kuman mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh melalui saluran
pernafasan (sel schwan) dan kulit yang tidak utuh. Sumber penularan adalah
penderita kusta yang banyak mengandung kuman (tipe multibasiler) yang
belum diobati. Kuman masuk ke dalam tubuh menuju tempat predileksinya
yaitu saraf tepi. Saat mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh,
perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang.
Respons tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem
imunitas selular (cellular mediated immune) pasien, bila sistem imunitas
selular tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkuloid dan bila rendah,
berkembang kearah lepromatosa4.
Mycobacterium leprae berprediksi di daerah yang relatif lebih dingin,
yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak
selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun pada tiap pasien
berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selular dari pada
intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai
penyakit imunologik4
e. Pengobatan
Pengobatan berdasarkan regimen MDT (Multi Drug Therapy) adalah
sebagai berikut :4,7
1. Pausibasiler
Rifampicine 600 mg/bulan, diminum di depan petugas (dosis supervisi)
DSS 100 mg/hari
Pengobatan diberikan secara teratur selama 6 bulam dan diselesaikan
dalam waktu maksimal 19 bulan. Setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan
RFT (Release From Treatment)
2. Multibasiler
Rifampicine 600 mg/bulan, dosis supervise
Lamprene 300 mg/hari, dosis supervisi.
Ditambahkan
Lamprene 50 mg/hari
DDS 100 mg/hari
Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 12 dosis (bulan) dan
deselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan. Setelah selesai 12 dosis
dinyatakan RFT, meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan BTA (+).
Klaritromicin
a. Definisi
b. Aksi farmakologi
Macrolide antibiotik semi-sintetik. Menghambat sintesis protein dalam
sel mikroba, bakteriostatik (terutama) dan tindakan bakterisida.
Klaritromisin aktif terhadap: mycoplasma pneumoniae, legionella
pneumophila, chlamydia trachomatis, chlamydia pneumoniae, ureaplasma
urealyticum; mikroorganisme gram positif: streptococcus spp.,
staphylococcus spp., monocytogems listeria, spp corynebacterium.;
mikroorganisme gram negatif: haemophilus influenzae, haemophilus ducreyi,
catarrhalis moraxella, bordetella pertussis, neisseria gonorrhoeae, neisseria
meningitidis, burgdorferi borrelia, pasterella multocida, campylobacter spp.,
helicobacter pylori; beberapa anaerob: eubacterium spp., peptococcus spp.,
propionibacterium spp., clostridium perfringens, bacteroides
melaninogenicus; toxoplasma gondii5.
c. Farmakokinetik
Clarithromycin (klaritromisin) adalah antibiotik yang bekerja menghambat
sisntesis protein dengan cara mengikat ribosom subunit 50s dari bakteri yang
sensitif. Klaritromisin efektif terhadap bakteri (yang peka) seperti
streptokokus, stafilokokus, b. Catarrhalis, legionelle spp, c. Trachomatis dan
u. Urealyticum.
Klaritromisin juga diserap dari saluran pencernaan. Makanan
memperlambat penyerapan, tetapi tidak signifikan mempengaruhi
bioavailabilitas klaritromisin5
d. Indikasi
Kegunaan clarithromycin adalah untuk pengobatan infeksi oleh kuman yang
peka terhadap antibiotik ini, seperti5:
Infeksi saluran pernapasan (faringitis, tonsilitis, sinusitis, sinusitis
maksilaris akut, eksaserbasi akut bronkitis obstruktif kronik, otitis
media akut, pneumonia).
Clarithromycin juga digunakan untuk mengobati penyakit infeksi kulit
dan jaringan lunak.
Selain itu, obat ini juga dapat digunakan untuk eradikasi helicobacter
pylori, bakteri penyebab gastritis.
e. Kontraindikasi
Clarithromycin tidak boleh diberikan pada pasien yang memiliki
riwayat hipersensitifitas pada clarithromycin dan antibiotika macrolide
lainnya.
Obat ini juga dikontraindikasikan untuk pasien dengan fungsi hati dan
ginjal yang rusak.
Antibiotik ini sebaiknya tidak digunakan jika pasien memiliki masalah
jantung atau sedang memakai obat-obatan yang dapat menyebabkan
masalah jantung tertentu (misalnya, perpanjangan qt atau bradycardia),
atau terjadinya ketidakseimbangan elektrolit (misalnya, level kalium
atau natrium yang rendah).
Tidak boleh digunakan oleh pasien yang memiliki riwayat ikterus
kolestatik atau disfungsi hati yang terkait dengan penggunaan antibiotik
ini sebelumnya.
Tidak boleh digunakan oleh pasien yang sedang menggunakan obat-
obat lain seperti, terfenadine, astemizole, pimozide, cisapride,
ergotamine atau dihydroergotamine5.
f. Efek samping
Kebanyakan efek samping clarithromycin yang muncul adalah mual,
muntah, diare, kembung, flatulensi, palpitasi, nyeri dada, dispepsia, dan
nyeri pada perut.
Gangguan kemampauan membau dan rasa, stomatitis, glositis,
perubahan warna lidah dan gigi, sakit kepala, insomnia, reaksi alergi
(seperti ruam kulit dan anafilaktik) dan hasil tes fungsi hati yang
abnormal juga dilaporkan terjadi akibat pemakaian obat ini.
Efek samping lain misalnya arthralgia, mialgia, hipoglikemia,
leukopenia, trombositopenia, nefritis interstitial, kelemahan otot,
agranulositosis, kadar serum amilase tinggi, perpanjangan qt, torsades
de pointes, kekeruhan kornea, demam, infiltrasi paru oleh eosinofilia,
delirium, halusinasi visual, dan juga pankreatitis.
Efek samping yang jarang terjadi seperti iritasi yang sangat ekstrem,
halusinasi, kehilangan keseimbangan, mulut kering, panik dan mimpi
buruk adalah efek samping lain dari clarithromycin meskipun
kejadiannya sangat jarang.
Efek samping yang berpotensi fatal, seperti : kegagalan hepatik, kolitis
pseudomembran, anafilaksis, sindrom stevens-johnson, nekrolisis
epidermal toksik, ruam obat dengan eosinofilia dan gejala sistemik
(dress) sindrom dan henoch-schonlein purpura5
peptida6.
Klaritromisin dosis 500 mg menghasilkan kadar dalam serum sebesar 2-3 mcg
ml. Waktu paru klariktromisin yang lebih panjang (6 jam) daripada eritromisin
memungkinkan pemberian dosis sebayak dua kali sehari. Dosis yang di anjurkan
adalah 250-500 mg dua kali sehari atau 1000 mg untuk sediaan lepas-lambat
sebanyak sekali sehari. Penetrasi klaritromisin pada kebayakan jaringan cukup baik,
deangan kadar jaringan yang serupa atau melebihi kadar dalam serum2.
Pengobatan lepra dengan program jangka pendek selama 3 bulan untuk tipe
mb ataupun pb berupa kombinasi rifampisin 600 mg/bulan dengan klaritromisin 250
mg 2 kali sehari setiap hari, sedangkan dosis anak-anak rifampisin 10-15 mg/kg berat
badan 1 kali/bulan dan klaritromisin 15 mg/kg berat badan dibagi 2 dosis setiap hari.
Regimen ini aman bagi penderita gangguan fungsi hati, ginjal, jantung, anemia berat,
psikosis serta wanita hamil4,6.
Pada saat sementara pengobatan dan setelah pengobatan , banyak basil kusta
yang mati dan hancur (apoptosis), sehingga banyak antigen yang dilepaskan dan
bereaksi dengan antibodi igg, igm dan komplemen c3 membentuk kompleks imun
yang terus beredar dalam sirkulasi darah dan akhirnya akan di endapkan dalam
berbagai organ sehingga mengaktifkan sistem komplemen . Berbagai macam enzim
dan bahan toksik yang menimbulkan destruksi jaringan akan dilepaskan oleh netrofil
akibat dari aktivasi komplemen5.
DAFTAR PUSTAKA