You are on page 1of 8

Receiving atau attending (= menerima atua memperhatikan), adalah kepekaan seseorang dalam

menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi,
gejala dan lain-lain. Termasuk dalam jenjang ini misalnya adalah: kesadaran dan keinginan untuk
menerima stimulus, mengontrol dan menyeleksi gejala-gejala atau rangsangan yang datang dari luar.
Receiving atau attenting juga sering di beri pengertian sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu
kegiatan atau suatu objek. Pada jenjang ini peserta didik dibina agar mereka bersedia menerima nilai
atau nilai-nilai yang di ajarkan kepada mereka, dan mereka mau menggabungkan diri kedalam nilai itu
atau meng-identifikasikan diri dengan nilai itu. Contah hasil belajar afektif jenjang receiving , misalnya:
peserta didik bahwa disiplin wajib di tegakkan, sifat malas dan tidak di siplin harus disingkirkan jauh-
jauh.

Responding (= menanggapi) mengandung arti “adanya partisipasi aktif”. Jadi kemampuan menanggapi
adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam
fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya salah satu cara. Jenjang ini lebih tinggi daripada
jenjang receiving. Contoh hasil belajar ranah afektif responding adalah peserta didik tumbuh hasratnya
untuk mempelajarinya lebih jauh atau menggeli lebih dalam lagi, ajaran-ajaran Islam tentang
kedisiplinan.

Valuing (menilai=menghargai). Menilai atau menghargai artinya mem-berikan nilai atau memberikan
penghargaan terhadap suatu kegiatan atau obyek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan,
dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Valuing adalah merupakan tingkat afektif yang lebih
tinggi lagi daripada receiving dan responding. Dalam kaitan dalam proses belajar mengajar, peserta didik
disini tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan tetapi mereka telah berkemampuan untuk menilai
konsep atau fenomena, yaitu baik atau buruk. Bila suatu ajaran yang telah mampu mereka nilai dan
mampu untuk mengatakan “itu adalah baik”, maka ini berarti bahwa peserta didik telah menjalani proses
penilaian. Nilai itu mulai di camkan (internalized) dalam dirinya. Dengan demikian nilai tersebut telah
stabil dalam peserta didik. Contoh hasil belajar efektif jenjang valuing adalah tumbuhnya kemampuan
yang kuat pada diri peseta didik untuk berlaku disiplin, baik disekolah, dirumah maupun di tengah-
tengah kehidupan masyarakat.

Organization (=mengatur atau mengorganisasikan), artinya memper-temukan perbedaan nilai sehingga


terbentuk nilai baru yang universal, yang membawa pada perbaikan umum. Mengatur atau
mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai kedalam satu sistem organisasi, termasuk
didalamnya hubungan satu nilai denagan nilai lain., pemantapan dan perioritas nilai yang telah
dimilikinya. Contoh nilai efektif jenjang organization adalah peserta didik mendukung penegakan disiplin
nasional yang telah dicanangkan oleh bapak presiden Soeharto pada peringatan hari kemerdekaan
nasional tahun 1995.
Characterization by evalue or calue complex (=karakterisasi dengan suatu nilai atau komplek nilai), yakni
keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki oleh seseorang, yang mempengaruhi pola
kepribadian dan tingkah lakunya. Disini proses internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi dalal
suatu hirarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah mempengaruhi
emosinya. Ini adalah merupakan tingkat efektif tertinggi, karena sikap batin peserta didik telah benar-
benar bijaksana. Ia telah memiliki phyloshopphy of life yang mapan. Jadi pada jenjang ini peserta didik
telah memiliki sistem nilai yang telah mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang lama,
sehingga membentu karakteristik “pola hidup” tingkah lakunya menetap, konsisten dan dapat
diramalkan. Contoh hasil belajar afektif pada jenjang ini adalah siswa telah memiliki kebulatan sikap
wujudnya peserta didik menjadikan perintah Allah SWT yang tertera di Al-Quran menyangkut disiplinan,
baik kedisiplinan sekolah, dirumah maupun ditengah-tengan kehidupan masyarakat.

Secara skematik kelima jenjang afektif sebagaimana telah di kemukakan dalam pembicaraan diatas,
menurut A.J Nitko (1983) dapat di gambarkan sebagai berikut:

Ranah afektif tidak dapat diukur seperti halnya ranah kognitif, karena dalam ranah afektif kemampuan
yang diukur adalah: Menerima (memperhatikan), Merespon, Menghargai, Mengorganisasi, dan
Karakteristik suatu nilai.

1. Pengertian Ranah Afektif

Dalam proses belajar mengajar, terdapat empat unsur utama yaitu tujuan, materi, metode dan alat serta
evaluasi. Tujuan pada hakikatnya merupakan rumusan tingkah laku yang diharapkan dapat dikuasai siswa
setelah menempuh pengalaman belajar. Materi merupakan seperangkat pengetahuan ilmiah yang
disampaikan dalam proses belajar mengajar agar sampai pada tujuan yang ditetapkan, sedangkan
metode dan alat merupakan cara yang digunakan dalam mencapai tujuan. Adapun untuk mengetahui
apakah tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai atau tidak maka diperlukan evaluasi. Dari evaluasi itu
akan diketaui hasil belajar atau kemampuan yang dimiliki siswa setelah proses belajar.

Ranah Afektif : Pengertian dan Aspek-Aspek serta Hubungannya dengan Ranah Kognitif & Psikomotorik

Tingkatan kemampuan Ranah Afektif

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam memahami ranah afektif tidak terlepas dari keempat unsur
utama proses belajar mengajar. Dalam sistem pendidikan nasional, rumusan tujuan pendidikan
menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin S. Bloom yang secara garis besar membagi tiga
ranah yakni ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotoris.

Istilah ranah afektif dalam bahasa Indonesia berasal dari kata “ranah” yang berarti “bagian (satuan)
perilaku manusia” dan “Afektif” berarti “berkenaan dengan perasaan”. Jadi, ranah afektif merupakan
bagian dari tingkah laku manusia yang berhubungan dengan perasaan. Sedangkan dalam bahasa Inggris
dikenal dengan istilah affective domain. Menurut Anita E. Woolfolk, “The affective domain is emotional
objectives”. Maksudnya ranah afektif merupakan tujuan-tujuan yang berkenaan dengan kondisi emosi
seseorang. Dalam hal ini ranah afektif dimaksudkan untuk menggugah emosi siswa agar ikut berperan
aktif dalam kegiatan belajar mengajar.

Di dalam mendefinisikan ranah afektif, para ahli banyak yang menyebutkan bahwa ranah afektif itu
merupakan tujuan yang berkenaan dengan sikap dan nilai. Dari definisi tersebut di atas, pengertian
ranah afektif terlihat sangat singkat dan masih membutuhkan pemahaman sehingga untuk lebih
jelasnya, penulis paparkan pendapat Krothwohl dalam bukunya yang berjudul Taxonomy of Educational
Objectives (Affective Domain) yang mengatakan bahwa: ranah afektif adalah:

“Objectives which emphasize a feeling tone, an emotion or a degree of acceptance or rejection.


Affective objective vary from simple attention to selected phenomena to complex but internally
consistent qualities of character and conscience. It expressed as interest, attitudes, appreciations, values
and emotional sets or biases”.

Artinya : “Tujuan-tujuan yang lebih mengutamakan pada perasaan, emosi atau tingkat penerimaan atau
penolakan. Tujuan afektif mengubah perhatian dari yang sederhana menuju yang rumit untuk memilih
fenomena serta menanamkan fenomena itu sesuai dengan karakter dan kata hatinya. Ranah afektif
terlihat dalam sikap, minat, apresiasi, nilai dan emosi atau prasangka”.

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa dalam ranah afektif bukan sikap dan nilai saja yang
diutamakan, tetapi meliputi hal yang penilaian sebuah fenomena dan dalam menuntun tingkah laku
moralnya.
2. Aspek-aspek Ranah Afektif

Dengan mengikuti pendapat Krathwohl, aspek-aspek yang terkandung daam ranah afektif terdiri dari
minat (interest), sikap (attitude), nilai (value), apresiasi (appreciation), penyesuaian (adjustment).
Masing-masing aspek tersebut muncul pada diri siswa tidak sejelas seperti dalam ranah kognitif artinya
dalam ranah kognitif aspek yang satu merupakan syarat mutlak bagi aspek yang lain sedangkan dalam
ranah afektif tidaklah demikian, tetapi masing-masing aspek saling tumpang tindih. Lebih jelasnya
penulis paparkan pendapat Krathwohl tentang proses munculnya aspek-aspek afektif dalam diri
seseorang melalui klasifikasi sebagai berikut:

a. Receiving, terdiri dari:

1) Awareness (penyadaran)

2) Willing to receive (kemauan untuk menerima)

3) Controlled or selected attention (perhatian yang terkontrol atau terpilih) (aspek afektif : minat dan
apresiasi)

Pada taraf pertama ini berhubungan dengan kepekaan siswa terhadap fenomena-fenomena dan
rangsangan dari luar seperti masalah, gejala, situasi, dll. Dalam proses belajar mengajar, taraf ini
berhubungan dengan menimbulkan, mempertahankan dan mengarahkan perhatian siswa. Yaitu
kesadaran akan fenomena, kesediaan menerima fenomena dan perhatian yang terkontrol atau terseleksi
terhadap fenomena.

b. Responding, terdiri dari:

1) Acquiescence in responding (persetujuan untuk menjawab)

2) Willingness to respond (kemauan untuk menjawab)

3) Satisfaction in respond (kepuasan dalam menjawab) (aspek afektif : minat, sikap, apresiasi, nilai dan
penyesuaian)

Pada taraf kedua ini siswa sudah memberikan respon terhadap sebuah fenomena. Respon ini tidak hanya
memperhatikan sebuah fenomena tetapi siswa sudah memiliki motivasi yang cukup terhadap fenomena.
Dalam kegiatan belajar mengajar terlihat adanya kemauan siswa untuk menjawan pertanyaan guru, atau
kepuasan dalam menjawab (misalnya membaca buku untuk kegembiraan). Jadi dalam taraf ini bertalian
dengan partisipasi siswa dalam sebuah fenomena.

c. Valuing, terdiri dari:

1) Acceptance of a value (penerimaan suatu nilai)

2) Preference of a value (pemilihan suatu nilai)

3) Commitment (bertanggung jawab untuk mengingatkan diri) (aspek afektif : minat, sikap, apresiasi,
nilai, penyesuaian)

Pada taraf ini, siswa sudah menghayati nilai-nilai tertentu. Hal ini terlihat pada perilaku siswa mulai dari
penerimaan sebuah nilai, latar belakang atau pengalaman unutk menerima nilai dan kesepakatan
terhadap nilai. Jadi pada taraf ini tingkah laku siswa sangat konsisten dan tetap sehingga dapat memiliki
keyakinan tertentu.

d. Organization, terdiri dari:

1) Conzeptualization of a value (konseptualisasi suatu nilai)

2) Organization of a value system (pengorganisasian suatu sistem nilai) (aspek afektif : sikap, nilai dan
penyesuaian)

Tingkatan ini berhubungan dengan menyatukan nilai-nilai yang berbeda, memecahkan konflik di antara
nilai-nilai itu dan mulai membentuk suatu sistem nilai yang konsisten secara internal.

e. Characterization by value complex, terdiri dari:

1) Generalized set (perangkat yang tergeneralisasi)

2) Characterization (karakterisasi) (aspek afektif : penyesuaian)

Pada taraf ini disebut sebagai tahap internalisasi artinya suatu sistem nilai sudah terbentuk dalam diri
individu dan mengontrol tingkah lakunya dalam waktu yang lama sehingga membentuk karakteristik
“pola/pandangan hidup”. Dengan melihat klasifikasi ranah afektif di atas, maka tampak bahwa aspek-
aspek afektif satu sama lain dapat terjadi dalam proses yang sama sehingga untuk mengetahui aspek-
aspeknya, berlandaskan pada proses yang sama pula. Sebagai contoh konkret aspek penyesuaian
ternyata dapat muncul pada setiap proses kecuali pada proses penerimaan (receiving). Lebih jelasnya
dapat dilihat skema berikut ini:

Jadi berdasarkan pendapat Krathwohl tersebut, dapat dipahami bahwa ranah afektif terdiri dari 5 aspek
yaitu:

1) Minat (interest)

Menurut Doyles Friyer yang dikutip oleh Wayan Nurkancana dalam bukunya Evaluasi Pendidikan, “Minat
atau interest adalah gejala psikis yang berkaitan dengan obyek atau Dari pengertian tersebut, apabila
seseorang senang terhadap obyek atau aktivitas tertentu maka ia akan mempunyai minat yang besar
terhadap obyek itu. Sebagai contoh apabila siswa senang dengan pelajaran sejarah Islam maka ia akan
menaruh minat yang besar terhadap pelajaran tersebut misalnya dengan memperhatikan pelajaran
tersebut dengan baik, banyak membaca buku-buku sejarah Islam, senang bertanya kepada guru tentang
pelajaran itu dan sebagainya. Jadi minat merupakan faktor pendorong individu untuk melaksanakan
usahanya. aktivitas yang menstimulus perasaan senang pada individu”.

2) Sikap (attitude)

Sikap merupakan kecenderungan untuk merespon sesuatu baik individu, tata nilai, peristiwa, dan
sebagainya dengan caracara tertentu. Dalam proses belajar mengajar terlihat adanya sikap siswa seperti
kemauannya untuk menerima pelajaran dari guru, perhatiannya terhadap apa yang dijelaskan oleh guru,
penghargaannya terhadap guru. Jadi sikap akan memberikan arah kepada individu untuk melakukan
perbuatan yang positif ataupun negatif.

3) Nilai (value)

Sebagaimana yang dikutip oleh Drs. H.M. Chabib Thoha dalam buku “Kapita Selekta Pendidikan Islam”,
Sidi Gazalba mengartikan nilai sebagai sesuatu yang bersifat abstrak. Ia ideal, nilai bukan benda konkrit,
bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan soal
penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi.
Dari kedua pengertian nilai tersebut, dalam hubungannya dengan proses belajar mengajar, siswa mampu
menghayati sebuah fenomena sehingga ia dapat membedakan benar dan salah, baik dan buruk dan
mana yang lebih penting dalam hidup.

4) Apresiasi

Apresiasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap suatu benda baik abstrak maupun kongkret
yang memiliki nilai luhur dan umumnya dikaitkan dengan karya seni. Menurut Chaplin yang dikutip oleh
Muhibbin Syah, apresiasi berarti “suatu pertimbangan (judgment) mengenai arti penting atau nilai
sesuatu”. Dalam proses belajar mengajar, apresiasi dapat dilihat dari perilaku siswa menghargai guru dan
teman, menghargai waktu belajar dan tahu hal-hal yang lebih penting dalam hidup.

5) Penyesuaian (adjustment)

Penyesuaian merupakan aspek afektif yang mengontrol perilaku siswa sesuai dengan prinsip-prinsip yang
tertanam dalam dirinya. Jadi adjustment dapat diartikan sebagai penguasaan; yaitu kemampuan
membuat rencana dan mengatur respon-respon sedemikian rupa sehingga dapat
menguasai/menanggapi segala macam konflik atau masalah. Sebagai contoh, siswa melakukan latihan
diri dalam memecahkan masalah berdasarkan konsep bahan yang telah diperolehnya atau
menggunakannya dalam praktek kehidupannya

Daftar Pustaka

Dr. Nana Sudjana. (1995). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Rosdakarya

Djalinus Syah, dkk.(1993). Kamus Pelajar (Kata Serapan Bahasa Indonesia). Jakarta : Rineka Cipta

Anita E. Woolfolk. (1980). Educational Psychology, America : Allyn &Bacon

David R. Krathwohl. (1956). Taxonomy of Educational Objectives; Handbook II : Affective Domain. London
: Longman Group Ltd.,

Drs. Slameto. (2001). Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara

Dr. Suke Silverius. (1991). Evaluasi Hasil Belajar dan Umpan Balik. Jakarta: PT. Grasindo

Drs. Amirul Hadi, dkk.(2001). Teknik Mengajar Secara Sistematis. Jakarta : Rineka Cipta,
Drs. Wayan Nurkancana. (1986). Evaluasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional

Drs. H.M. Chabib Thoha, MA.(1996). Kapita Selekta Pendidikan Islam. Semarang : Pustaka Pelajar2bin
Syah, M.Ed.(1997). Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung : Rosdakarya

DR. Kartini Kartono. (1989) Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam. Bandung : Mandar Maju

You might also like