Professional Documents
Culture Documents
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
REFERAT
14 JULI 2018
IMUNISASI
Disusun Oleh:
Raisha Triasari, S.Ked
(N 111 17 136)
Pembimbing:
dr. Achmad Yudha, Sp. A
13
HALAMAN PENGESAHAN
Pembimbing Mahasiswa
13
DAFTAR ISI
SAMPUL i
LEMBAR PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR TABEL v
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Definisi 3
2.2 Epidemiologi 4
2.3 Tujuan 5
2.4 Jenis Vaksin 5
2.5 Pemberian Imunisasi 8
2.6 Cara Penyuntikan Vaksin 11
2.7 Vaksinasi Yang Dianjurkan 13
2.8 Tata Cara Imunisasi 32
2.9 Jadwal Imunisasi 34
BAB III. KESIMPULAN 35
DAFTAR PUSTAKA 36
13
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Lokasi penyuntikan intramuskular pada bayi (a) dan anak besar (b)
9
Gambar 2. Jadwal Imunisasi Tahun 2017 34
13
DAFTAR TABEL
13
BAB I
PENDAHULUAN
13
Dalam lingkup pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas
utama. Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif
dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi merupakan
hal mutlak yang perlu diberikan pada bayi. Imunisasi adalah sarana untuk
mencegah penyakit berbahaya, yang dapat menimbulkan kematian pada bayi.
Penurunan insiden penyakit menular telah terjadi berpuluh-puluh tahun yang
lampau di negara-negara maju yang telah melakukan imunisasi dengan teratur
dengan cakupan yang luas.1,2
Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar
diperlukan pengetahuan dan keterampilan tentang vaksin (vaksinologi), ilmu
kekebalan (imunologi) dan cara atau prosedur pemberian vaksin yang benar.
Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang anak, tidak hanya memberikan
perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya
karena terjadi tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi
penyebaran infeksi. Banyak penyakit menular yang bisa menyebabkan gangguan
serius pada perkembangan fisik dan mental anak. Imunisasi bisa melindungi anak-
anak dari penyakit melaui vaksinasi yang bisa berupa suntikan atau melalui
mulut.1,3
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Imunisasi adalah suatu cara meningkatkan kekebalan seseorang secara
aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen
yang serupa tidak terjadi penyakit. Imunisasi berasal dari kata immune yang
berarti kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan
memberikan kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga
untuk terhindar dari penyakit yang lain diperlukan imunisasi lainnya.3,2
Imunisasi biasanya terutama diberikan pada anak-anak karena sistem
kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan
terhadap serangan penyakit infeksi yang berbahaya. Beberapa imunisasi
tidak cukup diberikan hanya satu kali, tetapi harus dilakukan secara
bertahap dan lengkap untuk mendapatkan kekebalan dari berbagai penyakit
yang sangat membahayakan kesehatan dan hidup anak.1,4
Imunisasi merupakan suatu proses transfer antibodi secara pasif
dengan memberikan imunoglobulin.
Imunisasi adalah suatu cara meningkatkan kekebalan seseorang secara
aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen
yang serupa tidak terjadi penyakit. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya
akan memberikan kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga
untuk terhindar dari penyakit yang lain diperlukan imunisasi lainnya.11
13
sehingga apabila terjangkit penyakit yang sesungguhnya dikemudian hari
anak tidak menjadi sakit karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi
dan mematikan antigen / penyakit yang masuk tersebut.3,3
Vaksinasi mempunyai keuntungan:
Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya.
Vaksinasi cost-effective karena murah dan efektif.
Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang
terjadi, jauh lebih jarang daripada komplikasi yang timbul
apabila terserang penyakit tersebut secara almiah.
Vaksin adalah mikroorganisme bakteri, virus atau riketsia atau toksoid
yang diubah (dilemahkan atau dimatikan) sedemikian rupa sehingga
patogenisitas atau toksisitasnya hilang, tetapi tetap mengandung sifat
antigenisitas. Bila vaksin diberikan kepada manusia maka akan
menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu.
Vaksinasi merupakan upaya pencegahan primer. Secara konvensional,
upaya pencegahan penyakit dan keadaan apa saja yang akan menghambat
tumbuh kembang anak dapat dilakukan dalam tiga tingkatan yaitu
pencegahan primer, pencegahan sekunder dan pencegahan tersier.
Pencegahan primer adalah semua upaya untuk menghindari terjadinya
sakit atau kejadian yang dapat mengakibatkan seseorang sakit atau
menderita cedera dan cacat. Pencegahan sekunder adalah upaya kesehatan
agar tidak terjadi komplikasi yang tidak diinginkan, yaitu meninggal atau
meninggalkan gejala sisa, cacat fisik maupun mental. Pencegahan tersier
adalah membatasi berlanjutnya gejala sisa tersebut dengan upaya pemulihan
seseorang penderita agar dapat hidup mandiri tanpa bantuan orang lain.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan laporan WHO tahun 2002, setiap tahun terjadi kematian
sebanyak 2,5 juta balita, yang disebabkan penyakit yang dapat dicegah
melalui vaksinasi. Radang paru yang disebabkan oleh pneumokokus
menduduki peringkat utama (716.000 kematian), diikuti penyakit campak
13
(525.000 kematian), rotavirus (diare), Haemophilus influenza tipe B,
pertusis dan tetanus. Dari jumlah semua kematian tersebut, 76% kematian
balita terjadi dinegara-negara sedang berkembang, khususnya Afrika dan
Asia Tenggara (termasuk Indonesia).1,5
WHO mengatakan bahwa penyakit infeksi yang dapat dicegah melalui
vaksinasi akan dapat diatasi bilamana sasaran imunisasi global tercapai.
Dalam hal ini bisa tercapai bila lebih dari > 90% populasi telah
mendapatkan vaksinasi terhadap penyakit tersebut.1,6
2.3 TUJUAN
Untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan
menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat atau bahkan
menghilangkan penyakit tertentu dari dunia.3,4
Sasaran dari pemberian imunisasi tidak hanya pada anak-anak, tetapi
juga mencakup wanita hamil (awal kehamilan – 8 bulan), wanita usia subur
(calon mempelai). Pada anak-anak, imunisasi diberikan dimulai sejak bayi
dibawah umur 1 tahun (0 – 11 bulan) sampai anak sekolah dasar (kelas 1 –
kelas 6).3,5
13
(attinuated) dilaboratorium, biasanya dengan cara pembiakan berulang-
ulang.
13
Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila
kena panas dan sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan
penyimpanan dengan baik dan hati-hati.6,5
Vaksin hidup attenuated yang tersedia:5
Berasal dari vrius hidup: Vaksin campak, gondongan (parotitis), rubela,
polio, rotavirus, demam kuning (yellow fever).
Berasal dari bakteri : Vaksin BCG dan demam tifoid oral.
Vaksin Inactivated
Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara mambiakkan bakteri atau virus
dalam media pembiakan (persemaian), kemudian dibuat tidak aktif
dengan penambahan bahan kimia (biasanya formalin).5,6
Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis
antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan
penyakit (walaupun pada orang dengan defisiensi imun) dan tidak
dapat mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Antigen
inactivated tidak dipengaruhi oleh antibodi yang beredar. Vaksin
inactivated dapat diberikan saat antibodi berada di dalam sirkulasi
darah.5,7
Vaksin inactivated selalu memerlukan dosis ganda. Pada umumnya pada
dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya
memacu atau menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru
timbul setelah dosis kedua atau ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin
hidup, yang mempunyai respons imun yang mirip atau sama dengan
infeksi alami, respons imun terhadap vaksin inactivated sebagian
besar humoral, hanya sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular.
Titer antibodi terhadap antigen inactivated menurun setelah beberapa
waktu.5,8
Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit
masih memerlukan vaksin seluruh sel (whole cell), namun vaksin
bakterial seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan
paling banyak reaksi ikutan atau efek samping. Ini disebabkan respons
13
terhadap komponen-komponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan
untuk perlindungan (contoh antigen pertusis dalam vaksin DPT).5,9
Vaksin Inactivated yang tersedia saat ini berasal dari:5
Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio, rabies,
hepatitis A.
Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.
Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza,
pertusis a-seluler, tifoid Vi, lyme disease.
Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum.
Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan
haemophilus influenzae tipe b.
Gabungan polisakarida (haemophillus influenzae tipe B dan
pneumokokus).
13
Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan
dengan baik.
Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda
perubahan. Periksa tanggal kadarluwarsa dan catat hal-hal istimewa,
misalnya adanya perubahan warna yang menunjukkan adanya
kerusakan.
Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan
pula vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal (catch up
vaccination) bila diperlukan.
Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai
pemilihan jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan
posisi bayi/anak penerima vaksin.
Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut:
Berilah petunjuk (sebaiknya tertulis) kepada orang tua atau
pengasuh apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang
biasa atau reaksi ikutan yang lebih berat.
Catat imuniasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan
klinis.
Catatan imunisasi secar rinci harus disampaikan kepada Dinas
Kesehatan bidang Pemberantasan Penyakit Menular.
Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan
vaksinasi untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan.
Penyimpanan
Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, Bahwa vaksin harus
didinginkan pada temperatur 2-8°C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin
(DPT, Hib, hepatitis B, dan hepatitis A) menjadi tidak aktif bila beku.4,6
Arah sudut jarum pada suntikan intramuskular
Jarum suntik harus disuntikan dengan sudut 450-600 ke dalam otot
vastus lateralis atau otot deltoid. Untuk suntikan otot vastus lateralis, jarum
diarahkan ke arah lutut sedangkan untuk suntikan pada deltoid jarum
13
diarahkan ke pundak. Kerusakan saraf dan pembuluh vaskular dapat terjadi
apabila suntikan diarahkan pada sudut 900.5
Tempat suntikan yang dianjurkan
Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk
vaksinasi pada bayi dan anak umur di bawah 12 bulan. . Vaksin harus
disuntikkan ke dalam batas antara sepertiga otot bagian tengah yang
merupakan bagian yang paling tebal dan padat. Regio deltoid adalah
alternatif untuk vaksinasi pada anak yang lebih besar (mereka yang telah
dapat berjalan) dan orang dewasa.5
Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur dibawah 12
bulan adalah:4
Menghindari risiko kerusakan saraf iskiadika pada suntikan daerah
gluteal.
Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap
suntikan secara adekuat.
Imunogenitas vaksin hepatitis B dan rabies akan berkurang apabila
disuntikkan di daerah gluteal
Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuknya nodulus di tempat
suntikan yang menahun.
Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian
anterior.
13
Gambar 1. Lokasi Penyuntikan intramuscular Pada Bayi (a) dan Anak Besar
(b). 4
13
Bayi (lahir s/d12 bulan) Paha anterolateral Jarum 5/8’’-3/4 Arah jarum 45o Terhadap
Spuit no 23-25 kulit
1-3 tahun paha anterolateral/ Jarum 5/8’’-3/4 Cubit tebal untuk suntikan
Lateral lengan atas Spuit no 23-25 subkutan
Anak > 3 tahun Lateral lengan atas Jarum 5/8’’-3/4 Aspirasi spuit sebelum
Spuit no 23-25 disuntikan
Untuk suntikan multipel
diberikan pada ekstremitas
berbeda
6
(Tabel 1. Rekomendasi untuk umur anak).
Intramuskular
Perhatian:6
Diperuntukan Imunisasi DPT, DT,TT, Hib, Hepatitis A & B, Influenza.
Perhatikan rekomendasi untuk umur anak
Umur Tempat Ukuran jarum Insersi jarum
Bayi (lahir s/d Otot vastus lateralis pada Jarum 7/8’’-1’’ 1. Pakai jarum yang
12 bulan paha daerah anterolateral Spuit n0 22-25 cukup panjang untuk
mencpai otot
1-3 tahun Otot vastus lateralis pada Jarum 5/8’’-1 ¼’’ 2. Suntik dengan arah
paha daerah anterolateral (5/8 untuk jarum 80-90o. lakukan
sampai masa otot deltoid suntikan di dengan cepat
cukup besar (pada deltoid umur 12- 1. Tekan kulit sekitar
umumnya umur 3 tahun 15 bulan tepat suntikan dengan ibu
Spuit no 22-25 jari dan telunjuk saat
jarum ditusukan
Anak > 3 tahun Otot deltoid, di bawah Jarum 1’’-1 ¼’’ 2. Aspirasi spuit sblm
akromion Spuit no 22-25 vaksin disuntikan, untuk
meyakinkan tidak masuk
ke dalam
vena.Apabilaterdapat
13
darah, buang dang ulangi
dengan suntik yang baru.
3. Untuk suntikan
multipel diberikan pada
bagian sekstremitas
berbeda
(Tabel 2. Rekomendasi untuk umur anak)
13
- Meningokokus
1. Vaksinasi Tuberkulosis
Adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis dibiak
berulang selama 1-3 tahun sehingga di dapat basil yang tidak virulen tetapi
masih mempunyai imunogenitas.Vaksin BCG merupakan vaksin hidup yang
memberi perlindungan terhadap penyakit TB. Vaksin TB tidak mencegah
infeksi TB, tetapi mencegah infeksi TB berat (meningitis TB dan TB
milier). Vaksin BCG membutuhkan waktu 6-12 minggu untuk menghasilkan
efek (perlindungan) kekebalannya. Vaksinasi BCG memberikan proteksi
yang bervariasi antara 50-80% terhadap tuberkulosis. Pemberian vaksinasi
BCG sangat bermanfaat bagi anak.1,3,4
Di Indonesia, vaksin BCG merupakan vaksin yang diwajibkan
pemerintah. Vaksin ini diberikan pada bayi yang baru lahir dan sebaiknya
diberikan pada umur sebelum 2 bulan. Vaksin BCG juga diberikan pada
anak usia 1-15 tahun yang belum divaksinasi (tidak ada catatan atau tidak
ada scar).1,3,4
Dosis untuk bayi kurang dari 1 tahun adalah untuk 0,05 ml dan untuk
anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersio M. deltoideus
kanan. WHO tetap menganjurkan pemberian vaksin BCG di insersio M.
deltoid kanan dan tidak di tempat lain (bokong, paha), penyuntikan secara
intradermal di daerah deltoid lebih mudah dilakukan (tidak terdapat lemak
subkutis yang tebal), ulkus yang terbentuk tidak mengganggu struktur otot
setempat (dibandingkan pemberian di daerah gluteal lateral atau paha
anterior) dan sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis apabila
diperlukan.1,3,4
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada
pasien imunokompromais (leukemia, dalam pengobatan steroid jangka
panjang atau pada infeksi HIV).1,3,4
KIPI yang didapat setelah vaksinasi adalah papul merah yang kecil
timbul dalam waktu 1 – 3 minggu. Papul ini akan semakin lunak, hancur,
13
dan menimbulkan parut. Luka ini mungkin memakan waktu sampai 3 bulan
untuk sembuh. Biarkan vaksinasi sembuh sendiri dan pastikan agar tetap
bersih dan kering.1,3,4
2. Vaksinasi Hepatitis B
Di Indonesia, vaksinasi hepatitis B merupakan vaksinasi wajib bagi
bayi dan anak karena pola penularannya bersifat vertikal. Ada berbagai jenis
pilihan vaksin yang diproduksi oleh beberapa perusahaan farmasi dan dosis
serta cara pemberiannya sebagaimana dapat dilihat pada tabel 4.1,3
Tabel 4. Produsen, Jenis, Cara pemberian, Dosis, dan Interval Pemberian
Vaksin Hepatitis B1,3
Nama Dagang Produsen Cara Dosis Interval Pemberian
Pemberian
13
Untuk ibu dengan HbsAg positif, selain vaksin hepatitis B diberikan
juga hepatitis B immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml disisi tubuh yang berbeda
dalam 12 jam setelah lahir. Sebab, Hepatitis B imunoglobulin (HBIg) dalam
waktu singkat segera memberikan proteksi meskipun hanya jangka pendek
(3-6 bulan).1,3
Reaksi KIPI yang sering terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang
ringan dan bersifat sementara, terkadang dapat menimbulkan demam ringan
untuk 1-2 hari. Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi absolut pemberian
vaksin Hepatitis B. Kehamilan dan laktasi bukan kontraindikasi vaksin
Hepatitis B.1,3
3. Vaksinasi DTP
13
Tetanus. Kuman penyebab penyakit tetanus, yaitu kekakuan seluruh tubuh
termasuk otot pernapasan sehingga menyebabka kematian akibat gagal
nafas
13
yang paling ganas dan salah satu penyebab yang paling sering
mengakibatkan kematian pada bayi dan anak kurang dari 5 tahun.
Kontraindikasi
Jadwal Pemberian
13
dilanjutkan dengan pemberian imunisasi DPT-HB sampai dengan dosis
ketiga.
Bagi anak batita yang belum mendapat DPT-HB tiga dosis dapat diberikan
DPT-HB,Hib pada usia 18 bulan dan imunisasi lanjutan DPT-HB,Hib
diberikan minimal 12 bulan dari DPT-HB,Hib dosis ketiga.
Imunisasi lanjutan Campak diberikan pada anak usia 2 tahun (24 bulan).
Apabila anak belum pernah mendapatkan imunisasi Campak sebelumnya
(saat bayi), maka pemberian imunisasi lanjutan Campak dianggapa sebagai
dosis pertama. Selanjutnya harus dilakukan pemberian Imunisasi Campak
dosis kedua minimal 6 bulan setelah dosis pertama.
Penyimpanan
Vaksin pentavalen disimpan di lemari es bersuhu 2-8 derajat C da proses
transportasi menggunakan cooling pack (ingat cooling pack berisi air
dingin, bukan berisi es). Vaksin tahan disimpan sampai tanggal
kadaluarsanya atau sepanjang indikator suhu pada vial (tanda kotak
dikelilingi bulatan) warnanya masih aman (warna kotak tidak sama atau
lebih tua dari warna bulatan). Jika sudah dibuka sebaiknya digunakan
dalam waktu 2 minggu.16
13
4. Vaksinasi Pertusis
Bayi baru lahir memiliki kekebalan terhadap pertusis yang didapat
dari ibu, namun kekebalan ini hanya bertahan sampai usia 4 bulan. Oleh
karena itu, sebaiknya anak usia kurang dari 1 tahun diberikan vaksin. Vaksin
pertusis diberikan dalam bentuk vaksin DPT (DTwP atau DtaP) dimulai
pada saat bayi berusia 2 bulan melalui suntikan ke dalam otot. Imunisasi
dasar diberikan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-
6 bulan). Ulangan pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (usia 18 bulan)
dan ulangan kedua diberikan 3 tahun setelah ulangan yang pertama (usia 4-6
tahun).1,3
Pada awal pembuatan vaksin DPT, komponen pertusis yang digunakan
merupakan whole pertusis (DTwP), yaitu seluruh bakteri Bordetella pertusis
yang telah di non aktifkan. Namun, sejak tahun 1962 mulai beredear vaksin
dengan menggunakan fraksi sel/aselular (DtaP) yang mengandung satu atau
lebih protein Bordetella pertusis. Dengan penggunaan vaksin DtaP, ternyata
efek samping, baik lokal maupun sistemik yang ditimbulkan lebih rendah
(75%) jika dibandingkan dengan vaksin DTwP. Vaksin ini tidak dapat
mencegah pertusis seluruhnya, namun terbukti dapat meperingan durasi dan
tingkat keparahan pertusis.1,3
KIPI
Demam ringan dengan reaksi lokal berupa kemerahan, bengkak, dan
nyeri pada lokasi suntikan. Demam yang timbul dapat mengakibatkan
kejang demam (0,06%), anak gelisah dan menangis terus menerus selama
beberapa jam pasca suntikan (inconsolable crying). KIPI yang berat dapat
terjadi ensefalopati akut atau reaksi alergi berat (anafilaksis).1,3
Kontra indikasi
Vaksin tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi berat
dan ensefalopati pada pemberian vaksin sebelumnya. Keadaan lain yang
perlu mendapatkan perhatian khusus adalah bila pada pemberian pertama
dijumpai riwayat demam tinggi, respon dan gerak yang kurang (hipotonik-
13
hiporesponsif) dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 2 jam,
dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DPT.1,3
5. Vaksinasi DPT
Vaksin DTP merupakan suspensi koloidal homogen berwarna putih
susu dalam vial gelas, mengandung toksoid tetanus murni, toksoid difteri
murni, dan bakteri pertusis yang diinaktivasi, yang teradsorbsi kedalam
aluminium fosfat. Vaksin DTP merupakan jenis vaksin bakteri yang inaktif.
Jenis vaksin difteri yang diberikan harus sesuai dengan usia saat
pemberian. Sebagai imunisasi dasar, vaksin difteri diberikan bersamaan
dengan imunisasi tetanus dan pertusis, dalam bentuk vaksin DPT. Pada
beberapa dekade terakhir, pemberian vaksin DPT telah menjadi imunisasi
yang diwajibkan oleh pemerintah. Vaksin DPT (DtaP atau DTwP) diberikan
untuk anak usia diatas 6 minggu sampai 7 tahun. Untuk anak usia 7-18
tahun diberikan vaksin difteri dalam bentuk vaksin Td (Tetanus dan Difteri)
atau vaksin Tdap (tetanustoxoid, reduced diphteria toxoid, dan acellular
pertusis vaccine adsorbed). Vaksin Td diberikan juga pada anak dengan
kontraindikasi terhadap komponen pertusis dan dianjurkan pada anak usia
lebih dari 7 tahun untuk memperkecil kejadian ikutan pasca-imunisasi
karena toxoid difteri.
Jadwal vaksinasi yang dianjurkan saat ini dimulai pada usia 2 bulan,
melalui suntikan intramuskular. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dengan
selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan pertama dilakukan 1
tahun sesudahnya (usia 15-18 bulan) dan ulangan kedua diberikan 3 tahun
setelah ulangan yang pertama (4-6 tahun).
Dari laporan yang ada, daya proteksi vaksin difteri sebesar 98,45%
setelah suntikan yang ketiga, namun kekebalan yang terbentuk setelah
imunisasi dasar hanya bertahan selama 10 tahun, sehingga perlu diberikan
booster setiap 10 tahun sekali. Pemberian booster cukup dengan vaksin Td
(tetanus dan difteri).
13
Dianjurkan memberikan booster pada usia 11 sampai dengan 12 tahun
atau minimal 5 tahun setelah pemberian terakhir. Setelah itu
direkomendasikan untuk memberikan booster setiap 10 tahun.
Jadwal vaksinasi untuk usia 7-18 tahun sebagai imunisasi primer
dengan menggunakan vaksin Td, yaitu 3 dosis dengan jarak 4 minggu
diantara dosis pertama dan kedua, dan 6 bulan diantara dosis kedua dan
ketiga. Ikuti dengan dosis booster 6 bulan setelah dosis ketiga.
KIPI dan Kontraindikasi
Reaksi KIPI dari vaksin DPT adalah terjadinya demam ringan dan
reaksi lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi suntikan.
Demam yang timbul dapat mengakibatkan kejang demam (sekitar
0,06%).Vaksin DPT tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi
dan kejang pada pemberian vaksin yang pertama.15
Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap
Difteri, Tetanus dan Pertusis. Biasanya vaksin DPT atau DT diberikan
dalam bentuk suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha secara
intramuskular atau subkutan sebanyak 0,5 ml.2
Imunisasi DPT diberikan 3 kali yaitu sejak umur 2 bulan (DPT I),
umur 3 bulan (DPT II) dan pada umur 4 bulan (DPT III) dengan selang
waktu tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulangan (DPT IV)
diberikan 1 tahun setelah DPT III yaitu pada umur 18-24 bulan dan DPT V
diberikan pada saat usia prasekolah (5-6 tahun).2
Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan
booster vaksin DT pada usia 14-16 tahun dan kemudian dilanjutkan setiap
10 tahun karena vaksin memberikan perlindungan selama 10 tahun dan
setelah 10 tahun diberikan booster. Hampir 85% anak yang mendapatkan
minimal 3 kali suntikan yang mengandung vaksin difteri, akan memberikan
perlindungan terhadap difteri selama 10 tahun.2
Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka
sebaiknya diberikan DT, bukan DPT. Jika anak menderita penyakit yang
lebih serius dari flu ringan, imunisasi DPT bisa ditunda sampai anak sehat.
13
Jika ada riwayat kejang, penyakit otak atau perkembangannya abnormal,
penyuntikan DPT sering ditunda sampai kondisinya membaik atau
kejangnya bisa dikendalikan.2
Dosis vaksin DTP atau TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara
intramuskular baik pada imunisasi dasar maupun ulangan.2
6. Vaksinasi Polio
Pada saat ini ada dua jenis vaksin polio yaitu OPV (oral polio
vaccine) dan IPV (inactivated polio vaccine). OPV diberikan 2 tetes melalui
mulut, sedangkan IPV diberikan melalui suntikan dengan dosis 0,5 ml
dengan suntikan subkutan dalam 3 kali di lengan dengan jarak 2 bulan.
Vaksin polio oral diberikan pada bayi baru lahir kemudian dilanjutkan
dengan imunisasi dasar, diberikan pada usia 2, 4, dan 6 bulan. Pada PIN
(pekan imunisasi nasional) semua balita harus mendapat imunisasi tanpa
memandang status imunisasi kecuali pada penyakit dengan daya tahan tubuh
menurun (imunokompromais). Bila pemberiannya terlambat, jangan
mengulang pemberiannya dari awal tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi
sesuai dengan jadwal. Bagi ibu yang anaknya diberikan OPV, diberikan 2
tetes dengan jadwal seperti imunisasi dasar. Pemberian air susu ibu tidak
berpengaruh terhadap respons pembentukan daya tahan tubuh terhadap
polio, jadi saat pemberian vaksin, anak tetap bisa minum ASI.1,3
Imunisasi polio ulangan diberikan saat masuk sekolah (5-6 tahun) dan
dosis berikutnya diberikan pada usia 15-19 tahun. Sejak tahun 2007, semua
calon jemaah haji dan umroh dibawah usia 15 tahun harus mendapat 2 tetes
OPV.
KIPI
Pernah dilaporkan bahwa penyakit poliomielitis terjadi setelah
pemberian vaksin polio. Vaksin polio pada sebagian kecil orang dapat
menimbulkan gejala pusing, diare ringan, dan nyeri otot. Vaksinasi polio
tidak dianjurkan diberikan ketika seseoarang sedang demam, muntah, diare,
13
sedang dalam pengobatan radioterapi atau obat penurun daya tahan tubuh,
kanker, penderita HIV, dan alergi pada vaksin polio.1,3
OPV tidak diberikan pada bayi yang masih dirumah sakit karena OPV
berisi virus polio yang dilemahkan dan vaksin jenis ini bisa diekskresikan
melalui tinja selama 6 minggu, sehingga bisa membahayakan bayi lain.
Untuk bayi yang dirawat dirumah sakit, disarankan pemberian IPV.1,3
7. Imunisasi Campak
Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-
anak. Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan
gondongan dan campak jerman (vaksin MMR). Jika hanya mengandung
campak vaksin diberikan pada usia 9 bulan dalam 1 dosis 0,5 ml subkutan
dalam. Terdapat 2 jenis vaksin campak, yaitu vaksin yang berasal dari virus
campak hidup dan dilemahkan (tipe Edmonston-B) dan vaksin yang berasal
dari virus campak yang dimatikan (virus campak yang berada dalam larutan
formalin yang dicampur dengan garam aluminium).1,3
Imunisasi ulangan juga dianjurkan dalam situasi tertentu :1
a.Mereka yang memperoleh imunisasi sebelum umur 1 tahun dan terbukti
bahwa potensi vaksin yang digunakan kurang baik (tampak peningkatan
insidens kegagalan vaksinasi). Pada anak-anak yang memperoleh
imunisasi ketika berumur 12-14 bulan tidak disarankan mengulangi
imunisasinya tetapi hal ini bukan kontra indikasi
b. Apabila terdapat kejadian luar biasa peningkatan kasus campak, maka
anak SD, SLTP dan SLTA dapat diberikan imunisasi ulang
c.Setiap orang yang pernah memperoleh imunoglobulin
d. Seseorang yang tidak dapat menunjukkan catatan imunisasinya.
Vaksin dengan kemasan kering kombinasi dengan vaksin mumps atau
rubella (campak) disebut MMR. Diberikan dengan dosis 0,5 ml setelah
dilarutkan, biasanya tidak terdapat reaksi dan sangat jarang ditemukan
denagan efek samping. Namun kemungkinan dapat terjadi kejang ringan
dan tidak berbahaya pada hari ke 10-12 hari setelah penyuntikan.8
13
Kontraindikasi :
Bagi mereka yang sedang menderita demam tinggi, sedang
memperoleh pengobatan imunosupresif, hamil, memiliki riwayat alergi,
sedang memperoleh pengobatan imunoglobulin atau bahan-bahan berasal
dari darah, alergi terhadap protein telur.1,3
KIPI1,3
- Demam lebih dari 39,50C yang terjadi pada 5%-15% kasus, demam
dijumpai pada hari ke-5 sampai ke-6 sesudah imunisasi dan berlangsung
selama 2 hari
- Kejang demam
- Ruam timbul pada hari ke-7 sampai ke-10 sesudah imunisasi dan
berlangsung selama 2-4 hari
- Reaksi KIPI yang berat dapat menyerang sistem saraf, yang reaksinya
diperkirakan muncul pada hari ke-30 sesudah imunisasi.
8. Vaksinasi Influenza1,3
Virus influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated
influenza virus). Terdapat 2 macam vaksin, yaitu whole virus dan split-virus
vaccine.
Dosis bagi anak berumur < 3 tahun adalah 0,25 ml dan dosis bagi anak
berumur > 3 tahun adalah 0,5 ml disuntikan di otot paha. Bila anak telah
berusia > 9 tahun, vaksin cukup diberikan satu dosis dan diulang setiap tahun.
KIPI dari penyuntikan vaksin yang mungkin terjadi adalah bengkak,
nyeri, kemerahan pada tempat suntikan, demam, dan pegal. Gejala-gejala
tersebut dapat terjadi setelah penyuntikan dan bertahan 1-2 hari.
13
dengan jarak setiap 1 hari (hari 1-3-5-7). Pemberiannya dapat diulang tiap
5 tahun. Respon imun akan terbentuk 10-14 hari setelah dosis terakhir.
Yang perlu diperhatikan dalam pemberian vaksin ini adalah tidak boleh
dilakukan saat sedang demam, tidak boleh dilakukan pada orang dengan
penurunan sistem kekebalan tubuh (HIV, keganasan, sedang kemoterapi
atau sedang terapi steroid) dan riwayat anafilaksis, tidak boleh kepada
orang yang alergi gelatin.
KIPI yang ditimbulkan oleh vaksin ini cukup ringan, yaitu muntah,
diare, demam, dan sakit kepala. Dengan efektivitas vaksin yang lebih
tinggi dan disertai efek samping yang lebih rendah daripada jenis vaksin
tifoid lainnya, maka vaksin tifoid oral ini merupakan pilihan utama.
Sayangnya, vaksin oral belum tersedia di Indonesia.
b. Vaksin parenteral: berasal dari polisakarida Vi dari kapsul salmonella
typhi, yang dimatikan. Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml
mengandung kuman Salmonella typhi, polisakarida 0,025 mg, fenol dan
larutan bufer yang mengandung natrium klorida, disodium fosfat,
monosodium fosfat dan pelarut untuk suntikan. Disimpan dalam suhu 2-8oC
dan tidak boleh dibekukan. Diberikan pada anak berusia 2 tahun atau lebih.
Satu dosis dapat diberikan setiap 2-3 tahun. Dilakukan secara intramuskular
atau subkutan di deltoid atau paha atas. Respon imunitas akan terbentuk
dalam 15 hari sampai 3 minggu setelah imunisasi.
Keadaan yang dihindarkan saat pemberian vaksin adalah jangan
diberikan sewaktu demam, riwayat alergi, dan keadaan penyakit akut.
KIPI yang timbul berupa demam, pusing, sakit kepala, nyeri sendi,
nyeri otot tempat suntikan.
13
diberikan 6-12 bulan dari suntikan pertama, dan selanjutnya tidak
diperlukan pengulangan. Untuk pemberian yang cepat dapat langsung
diberikan suntikan 2 dosis sekaligus dengan daya perlindungan > 90%
dalam 2 minggu. Dosisnya bervariasi bergantung pada produk dan usia,
disuntik secara intramuskular di deltoid.
Jenis Vaksin Usia Dosis Volume (ml) Jadwal (bulan ke-)
Havrix (Glaxo 2 - 18 th 720 ELISA units 0,5 Dua dosis : 0 dan 6-
SmithKline) 12
> 18 th ELISA units 1 Dua dosis : 0 dan 6-
12
Vaqta (Merck) 2 - 18 th 25 U 0,5 Dua dosis : 0 dan 6-
18
> 18 th 50 U 1 Dua dosis : 0 dan 6-
12
Twinrix > 17 720 ELISA units 1 Tiga dosis : 0, 1, dan
(GlaxoSmithKline) tahun 6
Tabel 6. Vaksinasi Hepatitis A dan Pemberian Imunoglobulin. 1,3
KIPI
Umumnya aman dan KIPI yang sering ditemukan adalah reaksi lokal
tetapi umumnya ringan, kadang-kadang juga ada sedikit demam. Efek samping
akibat pemberian vaksinasi terbanyak 10 %-15% berupa nyeri dan bengkak di
tempat injeksi. Vaksin tidak boleh diberikan pada individu yang mengalami efek
samping berat sesudah pemberian dosis pertama.
13
varisela maka pada tahun 2006 The Advisory Commitee on Immunization
Practices (ACIP) dan America Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan
2 dosis untuk semua anak. Hal ini disebabkan masih timbulnya wabah varisela
terutama pada populasi yang sebagian besar telah dievakuasi. Disimpan dalam
suhu 2-8oC. Suntikan pertama diberikan saat usia 12-15 bulan dan suntikan kedua
pada usia 4-6 tahun sebanyak 0,5 ml secara subkutan.11
KIPI
Jarang terjadi, tetapi bila terjadi reaksi yang muncul bersifat lokal (1%)
yaitu bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan yang terjadi beberapa jam
sesudah suntikan. Kadang-kadang didapatkan demam (1%) dan timbul bercak
kemerahan dan lenting ringan.
Kontraindikasi
Vaksin varisela tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi,
gangguan kekebalan karena pengobatan penyakit keganasan atau sesudah
diradioterapi, pasien yang mendapat pengobatan kortikosteroid tinggi dan alergi
neomisin.
15.Vaksinasi Rotavirus1,3
Vaksin Rotashield telah digunakan untuk mencegah diare rotavirus. Namun,
karena efek samping yang ditimbulkan (berupa gangguan usus), maka vaksin
tersebut ditarik dari peredaran. Saat ini terdapat 2 vaksin rotavirus, yaitu ;
- Rotarix (GSK) yang merupakan vaksin monovalen karena hanya mengandung
strain manusia P(8)G1.
- Rotateg yang merupakan vaksin prevalen karena mengandung strain manusia-
sapi P(8)G1-G4.
Keduanya diberikan melalui mulut (oral). Kedua vaksin tersebut terbukti aman
dari risiko gangguan usus. Efektivitas vaksin berkurang apabila diberikan
bersama vaksin polio oral. Kejadian ikutan pasca pemberian vaksin dilaporkan
adalah diare 7,5%; muntah 8,7%; dan demam 12,1%
Nama Vaksin Rotavirus
13
Sasaran imunisasi Bayi sedini usia 4 minggu
Macam vaksin Rotarix, Rotateg
Dosis Rotarix, 3 dosis; Rotareg, 2 dosis
Jadwal Pemberian Rotarix : usia (4, 8) minggu; Rotateg : usia (4,8,12)
minggu
Cara Pemberian Oral
Efektivitas Belum diketahui secara pasti
Kontraindikasi - Sebaiknya tidak diberikan bersama-sama dengan
vaksin polio oral
- Adanya infeksi bakteri patogen di Usus
KIPI Diare, muntah, demam
Tabel 7 . Vaksinasi rotavirus
16. Vaksin Japanesse Encephalitis1
Pencegahan penyakit JE pada manusia bisa dilakukan dengan pemberian
vaksin JE. Vaksin diberikan secara serial dengan dosis 1 ml secara subkutan
pada hari ke-0, hari ke-7 dan hari ke-28. Untuk anak berumur 1-3 tahun, dosis
yang diberikan masing-masing 0,5 ml dengan jadwal yang sama. Dosis
penguat dapat diberikan 3 tahun kemudian bagi mereka yang tinggal di
daerah rawan terinfeksi virus JE.
KIPI pemberian vaksin JE bias berupa kemerahan dan bengkak di tempat
penyuntikan, demam, sakit kepala, menggigil, mual dan muntah. Di Indonesia
pemberian vaksin JE pada manusia belum disosialisasikan, karena kebijakan
penggunaan vaksin masih belum diatur.
Nama Vaksin Vaksin Japannesse encephalitis
Indikasi Semua umur terutama yang tinggal di daerah rawan JE atau yang
akan mengadakan perjalanan ke dearah yang rawan penyakit JE
Dosis dan jadwal 1 ml secara subkutan pada hari 0, 7, dan 28. Untuk anak berumur
sapai 1-3 tahun; dosis 0,5ml, dengan jadwal yang sama
Efektivitas 90%
KIPI Kemerahan dan bengkak di temppat penyuntikan, demam, sakit
kepala, menggigil, mual dan muntah
Kontraindikasi Alergi
Tabel 8 . Vaksinasi Japannesse encephalitis
13
Pencegahan secara khusus dilakukan dengan pemberian vaksin. Vaksin
meningococcus pertama diperkenalkan pada tahun 1978. Awalnya, vaksin ini
hanya mampu melindungi dari 2 subtipe bakteri moningococcus (A & C).
Namun, vaksin ini telah mengalami banyak perkembangan, sekarang dapat
melindungi 4 subtipe dari bakteri meningococcus, yaitu subtype A, C, Y,dan
W-135.
Vaksin ini disebut vaksin tetravalent, yaitu MPSV4 (meningococcal
polysacarida vaccine A, C, Y, W-135) dan yang terbaru MCV4
(Meningococcaal conjugated vaccine A,C, Y, W-135).
Pemberian vaksin diutaman bagi anggota militer yang tinggal di barak
perkemahan, pegawai laboratorium yang kontak serta dengan bakteri Neisseria
meningitidis, siswa yang tinggal di daerah pesantren, dan bagi jemaah haji serta
turis yang hendak masuk ke daerah endemik.
13
satu untuk HPV tipe 16 dan 18, sedangkan yang lainnya untuk tipe 6, 11, 16, 18
telah memperlihatkan proteksi yang cukup tinggi melawan insiden dan infeksi
persisten.
Vaksin diberikan 3 dosis (bulan ke-0, ke-1, dan ke-6) secara intramuskular
lengan atas. Vaksin tidak akan memberikan proteksi maksimal jika tidak
menyeleseikan ke-3 dosis tersebut. Sampai saat ini, penelitian selama 5 tahun dan
masih berjalan bahwa vaksin ini tidak memerlukan booster, sehingga masih
efektif setidaknya untuk 5 tahun.
Vaksin HPV aman dan efektif jika diberikan pada wanita usia 9-26 tahun.
Namun panduan dari Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI)
menyarankan vaksin diberikan pada wanita usia 10-55 tahun. Vaksin pencegahan
terhadap infeksi HPV akan bekerja secara efisien bila vaksin ini diberikan
sebelum individu terpapar infeksi HPV.
Vaksin HPV relatif aman, reaksi KIPI relatif ringan dapat berupa nyeri
pada lokasi penyuntikan, sakit kepala, demam, mual, dan demam.
13
sebaiknya dilakukan uji tuberculin terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila
uji tuberculin negatif.
Efek proteksi timbul 8-12 minggu setelah penyuntikkan. Berhubungan
dengan beberapa faktor yaitu mutu vaksin yang dipakai, lingkungan dengan
Mycobacterium atipik atau faktor pejamu (umur, keadaan gizi dan lain-lain).
Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, harus disimpan pada suhu
280C, tidak boleh beku. Vaksin yang telah dienccerkan harus dipergunakan dalam
waktu 8 jam.
KIPI
13
Setelah melakukan imunisasi, berikut tata cara yang harus dilakukan:
a. Berilah petunjuk (sebaiknya tertulis) kepada orang tua atau pengasuh apa yang
harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi ikutan yang lebih
berat.
b. Catat imunisasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis.
c. Catatan imunisasi secara rinci harus disampaikan kepada Dinas Kesehatan bidang
Pemberantasan Penyakit Menular (P2M).
d. Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi untuk
mengejar ketinggalan, bila diperlukan.
Dalam situasi yang dilaksanakan untuk kelompok besar, pengaturan secara
rinci bervariasi, namun rekomendasi tetap seperti di atas dan berpegang pada prinsip-
prinsip higienis, surat persejutuan yang valid, dan pemerikasaan /penilaian sebelum
imunisasi harus dikerjakan.10
13
2.9 JADWAL IMUNISASI14
13
BAB III
KESIMPULAN
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Suharjo, JB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Kanisius : 2010
2. Sri, Rezeki S Hadinegoro. Prof. Dr. dr. SpA(K), dkk. Pedoman imunisasi di
Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta 2005
3. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, penyunting.
Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Satgas Imunisasi
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.
4. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB, penyunting.
Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Edisi kedua. Jakarta: UKK
Respiratologi PP IDAI; 2007.
5. Lawrence M Tierney Jr MD, Stephen J McPhee MD, Maxine A Papadakis
MD. Current Medical Diagnosis and Treatment 2002. Page 1313-1319.
6. Eric AF Simoes MD DCH and Jessie R Groothius MD. Immunization. Page
235-258.
7. Jadwal Imunisasi Anak - Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) 2008 [image on the Internet]. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2008 Available from :
http://pediatricinfo.wordpress.com/2009/04/20/jadwal-imunisasi-2008-idai/
8. Ketrampilan Imunisasi, Ari Natalia Probandari, dr., MPH, PhD, dkk,
halaman 15 sampai 19,http://fk.uns.ac.id/static/filebagian/Imunisasi.pdf
9. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/109/jtptunimus-gdl-makmunatiq-
5411-3.pdf
10. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-sugiantoa2-5197-
2-bab2.pdf
11. Hadinegoro SRS. Jadwal Imunisasi. Dalam : Ranuh IGN, Suyitno H,
Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko, editor.
Pedoman imunisasi di Indonesia. Ed 3. Jakarta : Satgas Imunisasi Ikatan
Dokter Anak Indonesia: 2008.
12. Suyitno, H. Jenis Vaksin. In: Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi 4.
Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011.
13. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Non-spore-forming gram positive bacilli:
corynebacterium, propionibacterium, listeria, erysipelothrix, actinomycetes,
13
& related pathogens. In: Jawetz, Melnick, & Adelberg’s medical
microbiology. 23th ed. McGraw-Hill.2004
14. http://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-2017
15. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jadwal Imunisasi IDAI 2014 [online].
Available from http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-
imunisasi-idai-2014.html [Accesed January, 1st 2015]
16. https://jurnalpediatri.com/2016/03/06/pentavalen-vaksin-kombinasi-dpt-hib-
dan-hepatitis-b/
13