You are on page 1of 25

BAB I

PENDAHULUAN

Epistaksis merupakan masalah yang sangat lazim, sehingga tiap dokter


harus siap menangani kasus tersebut. Kunci menuju pengobatan yang tepat adalah
aplikasi tekanan pada pembuluh yang berdarah.
Epistaksis merupakan perdarahan hidung, bukanlah merupakan suatu
penyakit, melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan. Perdarahan bisa ringan
sampai serius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber
perdarahan biasanya berasal dari bagian depan atau bagian belakang hidung.
Epistaksis banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak-anak maupun pada usia
lanjut.
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya,
kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh
kelainan lokal pada hidung ataupun juga dapat disebabkan oleh kelainan sistemik.
Penyebab tersebut diantaranya trauma, infeksi, neoplasma, kelainan kongenital,
penyakit kardiovaskular, kelainan darah, infeksi sistemik, gangguan endokrin,
perubahan tekanan atmosfer.
Epistaksis anterior berasal dari pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis
anterior. Perdarahan biasanya ringan, mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.
Sedangkan epistaksis posterior umumnya berat sehingga sumber perdarahan
seringkali sulit dicari. Umumnya berasal dari a.sfenopalatina dan a.etmoidalis
posterior.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

III.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung


Hidung terdiri dari hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar berbentuk
piramid, bagiannya (dari atas ke bawah) yaitu pangkal hidung (bridge), dorsum
nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela, lubang hidung (nares anterior).
Sedangkan bagian hidung dalam terdiri dari vestibulum dan cavum nasi. Tiap
kavum nasi memiliki 4 buah dinding yaitu :
- medial adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yaitu
lamina prependikularis, vomer, krista nasalis os maksilla, krista nasalis os
palatina, kartilago septum, dan kolumela
- lateral adalah konka yang terdiri dari konka inferior, media, dan superior.
Diantara konka tersebut dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus.
1. Concha nasalis superior
... Meatus nasi superior...
2. Concha nasalis media
... Meatus nasi medius...
3. Concha nasalis inferior
... Meatus nasi inferior...
Dasar cavum nasi
Pada meatus medius terdapat muara sinus frontalis, maksila, dan etmoid
anterior. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan
sfenoid.
- inferior adalah os maksilla & os palatum
- superior adalah lamina kribiformis

Vaskularisasi
Bagian bawah hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris
interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang
keluar dari foramen sfenopalatina lalu memasuki rongga hidung di belakang

2
ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari
cabang-cabang a.fasialis.
Bagian atas rongga hidung mendapat vaskularisasi dari a.etmoid aanterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna.
Bagian depan septum, terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,
a.etmoid anterior, a.labialis superior, a.palatina mayor (Pleksus Kiesselbach) .

Vena-vena di hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan


berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum & struktur luar hidung
bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus.

Inervasi
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang
berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari
cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama
nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris
yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis
posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati
lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis
anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi
cabang nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar

3
mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion
sfenopalatinum
Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion
ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis
dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan
sedikit diatas ujung posterior konkha media. Nervus Olfaktorius turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.

Fisiologi
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
hidung dan sinus paranasal adalah :
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal
2. Fungsi penghidu karema terdapatnya mukosa olfaktorus dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses biacara
dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas
5. Refleks nasal.

III.2. Epistaksis
III.2.1. Definisi
Merupakan perdarahan hidung, bukanlah merupakan suatu penyakit,
melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan. Perdarahan bisa ringan sampai
serius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan
biasanya berasal dari bagian depan atau bagian belakang hidung.

4
1. Epistaksis ringan biasanya berasal dari bagian anterior hidung, umumnya
mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.
2. Epistaksis berat berasal dari bagian posterior hidung yang dapat
menimbulkan syok dan anemia serta dapat menyebabkan terjadinya
iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard yang kalau tidak
cepat ditolong dapat berakhir dengan kematian. Pemberian infus dan
transfusi darah serta pemasangan tampon atau tindakan lainnya harus
cepat dilakukan. Disamping itu epistaksis juga dapat merupakan tanda
adanya pertumbuhan suatu tumor baik ganas maupun jinak. Ini juga
memerlukan penatalaksanaan yang rinci dan terarah untuk menegakkan
diagnosis dan menentukan modalitas pengobatan yang terbaik.

III.2.2. Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya,
kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh
kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya
trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing,
tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit
kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir,
kelainan hormonal dan kelainan kongenital.

Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau akibat trauma
yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu-lintas. Selain itu
juga bias terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya septum yang tajam.
Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang
berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan.

5
Kelainan pembuluh darah (lokal)
Sering kongenital. Pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel-
selnya lebih sedikit.

Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti
rhinitis atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rinitis jamur,
tuberculosis, lupus, sifilis, atau lepra.

Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih
sering terjadi pada angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.

Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada
arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes mellitus dapat
menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi sering
kali hebat dan dapat berakibat fatal.

Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis anatara lain leukemia,
trombositopenia, bermacam-macam anemia serta hemofilia.

Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah
teleangiektasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis Osler-
Rendu-Weber disease), juga sering terjadi pada Von Willenbrand disease.

Infeksi sistemik
Yang sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah (dengue
hemorrhagic fever). Demam tifoid, influenza dan morbilli juga dapat disertai
epistaksis.

6
Perubahan udara dan tekanan atmosfir
Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang
cuacanya sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-
zat kimia di tempat industry yang menyebabkan keringnya mukosa hidung

Gangguan hormonal
Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena
pengaruh perubahan hormonal.

Beberapa penyebab epistaksis dapat digolongkan menjadi etiologi lokal dan


sistemik.
Etiologi lokal
 Trauma lokal misalnya setelah membuang ingus dengan keras, mengorek
hidung, fraktur hidung atau trauma maksilofasia lainnya.
 Tumor, baik tumor hidung maupun sinus yang jinak dan yang ganas.
Tersering adalah tumor pembuluh darah seperti angiofibroma dengan ciri
perdarahan yang hebat dan karsinoma nasofaring dengan ciri perdarahan
berulang ringan bercampur lendir atau ingus.
 Idiopatik yang merupakan 85% kasus epistaksis, biasanya ringan dan
berulang pada anak dan remaja. Ketiga diatas ini merupakan penyebab
lokal tersering.
Eiologi lainnya yaitu :
 iritasi gas atau zat kimia yang merangsang ataupun udara panas pada
mukosa hidung;
 Keadaan lingkungan yang sangat dingin
 Tinggal di daerah yang tinggi atau perubahan tekanan atmosfir yang tiba
tiba
 Pemakaian semprot hidung steroid jangka lama
 Benda asing atau rinolit dengan keluhan epistaksi ringan unilateral clsertai
Ingus berbau busuk.

7
Etiologi sistemik
 Hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lainnya seperti arteriosklerosis.
Hipertensi yang disertai atau tanpa arteriosklerosis rnerupakan penyebab
epistaksis tersering pada usia 60-70 lahun.
 Kelainan perdarahan misalnya leukemia, hemofilia, trombositopenia dll.
 Infeksi, misalnya demam berdarah disertai trornbositopenia, morbili,
demam tifoid dll.
Termasuk etiologi sistemik lain
 Lebih jarang terjadi adalah gangguan keseimbangan hormon misalnya
pada kehamilan, menarke dan menopause
 kelainan kongenital misalnya hereditary hemorrhagic Telangieclasis atau
penyakit Rendj-Osler-Weber;
 Peninggian tekanan vena seperti pada emfisema, bronkitis, pertusis,
pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung
 pada pasien dengan pengobatan antikoagulansia.

III.2.3. Epidemiologi
Epistaksis jarang ditemukan pada bayi, sering pada anak, agak jarang pada
orang dewasa muda, dan lebih banyak lagi pada orang dewasa tua. Epistaksis atau
perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum. Puncak kejadian
dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia <10 tahun
dan >50 tahun. Epistaksis anterior lebih sering terjadi pada anak- anak dan dewasa
muda, sedangkan epistaksis posterior lebih sering terjadi pada usia lebih tua,
terutama pada laki- laki berusia ≥ 50 tahun dengan penyakit hipertensi dan
arteriosklerosis. Pasien yang menderita alergi, inflamasi hidung dan penyakit
hidung lebih rentan terhadap terjadinya epistaksis, karena mukosanya lebih kering
dan hiperemis yang disebabkan oleh reaksi inflamasi.
Kira- kira 10% dari penduduk dunia mempunyai riwayat hidung berdarah
beberapa kali dalam hidupnya. Sekitar 30% anak- anak umut 0-5 tahun, 56%
umur 6-10 tahun dan 64% berumur 11- 15 tahun mengalami satu kali epistaksis.
Sebagai tambahan, 56% orang dewasa dnegan perdarahan hidung berulang pernah
mengalami kejadian serupa pada saat kecil.

8
III.2.4.Sumber perdarahan
Sumber perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior rongga
hidung.
Epistaksis anterior
 Berasal dari pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis anterior. Perdarahan
biasanya ringan, mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.
 Pada saat pemeriksaan dengan lampu kepala, periksalah pleksus
Kiesselbach yang berada di septum bagian anterior yang merupakan area
terpenting pada epistaksis. la merupakan anastomosis cabang a.etmoidalis
anterior, a.sfenopaltina, a. palatina asendens dan a.labialis superior.
Terutama pada anak pleksus ini di dalam mukosa terletak lebih superfisial,
mudah pecan dan menjadi penyebab hampir semua epistaksis pada anak.
Epistaksis posterior
umumnya berat sehingga sumber perdarahan seringkali sulit dicari.
Umumnya berasal dari a.sfenopalatina dan a.etmoidalis posterior. Sebagian besar
darah mengalir ke rongga mulut dan memerlukan pemasangan tampon posterior
untuk mengatasi perdarahan. Sering terjadi pada penderita usia lanjut dengan
hipertensi.

9
III.2.5. Patofisiologi
Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris interna
yaitu arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung
mendapat perdarahan dari arteri fasialis. Bagian depan septum terdapat
anastomosis (gabungan) dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid
anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut sebagai
pleksus kiesselbach (little’s area).
Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir keluar
melalui dua jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat belakang
masuk ke tenggorokan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior
(belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung
dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior
umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa
perdarahan dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan
gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia
dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga
perdarahan lebih hebat jarang berhenti spontan.
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah
dan lanjut,terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media
menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial
sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut
memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika
media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama.
Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah
terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan
dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.
Hipertensi dapat membuat kerusakan yang berat pada pembuluh darah di
hidung (terjadi proses degenerasi perubahan jaringan fibrous di tunika media)
yang dalam jangka waktu yang lama merupakan faktor risiko terjadinya epistaksis

10
III.2.6. Diagnosis
Penegakkan diagnosis epistaksis memerlukan ketelitian dalam melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan tambahan jika diperlukan
bersamaan dengan persiapan untuk menghentikan epistaksis. Setelah perdarahan
berhenti, lakukan evaluasi untuk menentukan penyebab.
Dari anamnesis yang dapat digali adalah :
1. Riwayat perdarahan sebelumnya
2. Lokasi perdarahan
3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior)
ataukah keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak?
4. Lama perdarahan dan frekuensinya
5. Kecenderungan perdarahan
6. Hipertensi
7. Diabetes mellitus
8. Penyakit hati
9. Penggunaan antikoagulan
10. Trauma hidung yang belum lama
11. Obat-obatan, seperti aspirin, fenibutazon
Pada pemeriksaan fisik diawali dengan kesadaran, tanda vital,
pemeriksaan kepala sampai ekstremitas. Pada epistaksis anterior, keadaan umum
pasien baik, tidak ada gangguan tanda vital, dan tidak ditemukannya tanda
hipoperfusi. Sedangkan pada epistaksis posterior, pemeriksaan fisik sangat
bergantung dengan jumlah dan waktu perdarahan. Kesadaran pasien dapat
menurun, dapat terjadi gangguan tanda vital hingga menunjukkan tanda syok
seperti nadi lemah, hipotensi, takipnea, akral dingin.
Epistaksis posterior dicurigai bila (1) sebagian besar perdarahan terjadi ke
dalam faring, (2) suatu tampon anterior gagal mengontrol perdarahan, atau (3)
nyata dari pemeriksaan hidung bahwa perdarahan terletak posterior dan superior.

11
Pemeriksaan yang diperlukan berupa :
1. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum,mukosa hidung dan septum nasi, dindng lateral hidung dan
konkha inferior harus diperiksa dengan cermat
2. Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis dan secret hidung kronik untuk menyingkirkan
neoplasma
3. Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi,
karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering
berulang
4. Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi
5. Skrinning terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protombin serum,waktu tromboplastin
parsial, jumlah platlet dan waktu perdarahan

III.2.6. Penatalaksanaan
Terdapat 3 prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu
menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi, dan mencegah berulang nya
epistaksis.
Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi,
pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu
misalnya dengan memasang infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah atau
bekuan darah, perlu dibersihkan atau dihisap. Untuk dapat menghentikan
perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya dilihat apakah perdarahan dari
anterior atau posterior.
Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah
mengalir keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah
sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus

12
diperhatikan jangan sampai darah masuk ke saluran napas bagian bawah. Pasien
anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan
tidak bergerak-gerak.
Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan
bekuan darah dengan bantuan alat penghisap. Kemudian dipasang tampon
sementara yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000 – 1/10.000
dan pantocain atau lidocain 2% dimasukan ke dalam rongga hidung untuk
menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada saat dilakukan tindakan
selanjutnya. Tampon itu dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi
vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian
anterior atau posterior hidung.

a) Perdarahan Anterior
Perdarahan seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian
depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama
pada anak, dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung luar selama 10-15
menit, seringkali berhasil. Pasien dengan perdarahan aktif lewat bagian depan
hidung harus duduk tegak, menggunakan apron plastic serta memegang suatu
wadah berbentuk ginjal untuk melindungi pakaiannya. Gulungan kapas yang telah
dibasahi larutan kokain 4% dimasukkan dengan hati-hati ke dalam hidung sambil
mengaaspirasi darah yang berlebihan.
Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik
dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi
krim antibiotik.

Bila dengan cara ini perdarahan masih berlangsung, maka perlu dilakukan
pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi
pelumas vaselin atau salep antibiotik. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah,

13
disusun dengan teratur dari dasar hingga atap hidung dan meluas hingga ke
seluruh panjang rongga hidung, serta harus dapat menekan asal perdarahan.
Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah
infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilaukan pemeriksaan penunjang untuk mencari
faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan belum berhenti dipasang tampon
baru.

Bila hanya memerlukan tampon anterior tanpa adanya gangguan medis


primer, pasien dapat diperlakukan ssebagai pasien rawat jalan dan diberitahu
untuk duduk tegak dengan tenang sepanjang hari, serta kepala ditinggikan pada
malam hari. Pasien tua dengan kemunduran fisik harus dirawat di rumah sakit.

b) Perdarahan Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab perdarahan hebat
dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Penanganan
epistaksis posterior antara lain adalah tampon hidung posterior Tampon Hidung
Posterior
Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon
posterior (tampon Bellocq). Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus
atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di
satu sisi dan sebuah di sisi berlawanan.

14
Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan
bantuan kateter karet yang dimasukan dari lubang hidung sampai tampak di
orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang
tampon Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai
benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari
telunjuk untuk dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada
perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua
benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan
nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap ditempatnya.
Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien.
Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-
hati mencabut tampon karena dapat menyebabkan laserasi mukosa.
Tamponade dengan berbagai balon hidung komersial yang dimasukkan
lewat depan dan kemudian ditiup, dapat pula dilakukan. Beberapa pabrik
membuat balon dengan dua ruang terpisah, yang satu berfungsi sebagai tampon
anterior, dan yang satunya sebagai tampon posterior. Suatu kateter Folay no.14
biasa dengan suatu kantung 15cc juga dapat dimasukan tranasal, dikembangkan
dan ditarik rapat pada koana posterior. Posisi kateter dapat dipertahankan dengan
suatu klem umbilicus. Yang paling sering dilakukan adalah memasukan suatu
kateter melalui hidung, ditangkap pada faring dan kemudian dikeluarkan lewat
mulut. Dua benang yang melekat pada tampon diikatkan pada kateter yang
menjulur dari mulut. Tali ketiga yang melekat pada tampon dibiarkan

15
menggantung dalam faring sebagai tali penarik. Kateter kemudian ditarik keluar
melalui hidung depan untuk menempatkan tampon pada koana. Jika perlu, tampon
dapat dibantu penempatannya dengan jari dokter hingga berada diatas palatum
mole. Posisi tampon harus cukup kuat dan tidak boleh menekan palatum mole.
Sementara tegangan dipertahankan melalui kedua tali yang keluar dari hidung
depan, dokter harus menempatkan tampon anterior diantara kedua tali dan kedua
tali diikatkan simpul pada gulungan kasa kecil. Kedua tali harus dikeluarkan lewat
lubang hidung yang sama dan tidak diikatkan pada kolumela, hal ini dapat
menimbulkan nekrosis jaringan lunak. Pasien yang memasang tampon harus
dirawat dirumah sakit.
Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma,
digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri,
dan tampon posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring. Sebagai pengganti
tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan balon. Akhir-akhir ini
juga banyak tersedia tampon buatan pabrik dengan balon yang khusus untuk
hidung atau tampon dari bahan gel hemostatik. Dengan semakin meningkatnya
pemakaian endoskop, akhir-akhir ini juga dikembangkan teknik kauterisasi atau
ligasi a. sfenopalatina dengan panduan endoskop.
 Ligasi Pembuluh Spesifik
Bila tampon posterior dan anterior gagal mengendalikan epistaksis, maka
perlu dilakukan ligase arteri spesifik. Arteri tersebut antara lain arteri karotis
eksterna, arteri maksilaris interna dengan cabang terminusnya, arteri sfenopalatina
dan arteri etmoidalis posterior anterior.

16
III.2.7. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau
sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis.
Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran
napas bagian bawah, nekrosis septum, aspirasim sinusitis, eksaserbasi dari sleep
obstructive apnea, hipoksia, syok, anemia, hipotensi, iskemia serebri, insufisiensi
koroner, sampai infark miokard dan hingga kematian. Dalam hal ini pemberian
infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu
diberikan antibiotik.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media,
septikemia atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan
antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon
harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru. Selain itu
dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba
Eustachius, dan air mata berdarah (bloody tears), akibat mengalirnya darah secara
retrograd melalui duktus nasolakrimalis. Pemasangan tampon posterior (tampon
Belloq) dapat menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut bibir, jika benang
yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau
tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan
nekrosis mukosa hidung dan septum.

17
BAB III
STATUS PASIEN

II.1. IDENTITAS PASIEN


• Nama : An.C
• Usia : 11 tahun
• Jenis Kelamin : Perempuan
• Alamat : Mertoyudan
• Pekerjaan : Pelajar
• Agama : Islam
• Status : Belum Menikah

II.2. ANAMNESIS
• Keluhan Utama : mimisan
• Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli RST dr.Soedjono pada hari tanggal 25 Maret 2014 .
Pasien mengeluh mimisan yang keluar dari kedua lubang hidung sejak satu
hari yang lalu. Untuk mengelap darahnya kurang lebih 10 lembar tisu.
perdarahan tidak berlangsung terus menerus dan berhenti sendirinya
dengan memencet hidung. Pasien tidak merasa darah tertelan ke
tenggorokan.
Pasien memiliki kebiasaan mengorek – ngorek hidung . Pasien
menyangkal mengeluarkan ingus dengan keras sebelum keluhan tersebut
muncul ataupun kemasukan benda asing ke dalam hidung. Pasien juga
tidak mengeluhkan adanya nyeri, demam, batuk , pilek, hidung sering
tersumbat sebelum keluhan tersebut muncul. Riwayat perdarahan pada
gusi atau perdarahan pada bagian tubuh lainnya disangkal oleh pasien.

 Riwayat Penyakit Dahulu


Sebelumnya belum pernah seperti ini,
penyakit kelainan darah (-), riwayat trauma pada wajah/hidung (-),
alergi (-)

18
 Riwayat Pengobatan
Tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan antikoagulan seperti aspirin, dan
belum pernah diobati

 Riwayat Penyakit Keluarga:


Dikeluarga tidak ada yang seperti ini
Alergi (-)

 Riwayat Sosial Ekonomi


Kesan ekonomi cukup

II.3. PEMERIKSAAN FISIK


Status generalisata
 Keadaan umum : baik
 Kesadaran : Compos mentis
 Tanda Vital :
TD : 110/70 mmHg
N : 80 x/min
S : 36.5oC
RR : 22 x/min
 Status gizi : Cukup

Status lokalis (THT)


Kepala & leher :
• Kepala : mesocephal
• Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
• Wajah : simetris
• Leher : pembesaran kelenjar limfe (-)
Gigi dan mulut
 Gigi geligi : normal
 Lidah : normal, kotor (-), tremor (-)
 Pipi: edema (-), nyeri (-)

19
TELINGA
Bagian Auricula Dextra Sinistra
Bentuk normal, Bentuk normal
Auricula nyeri tarik (-) nyeri tarik (-)
nyeri tragus (-) nyeri tragus (-)
Bengkak (-) Bengkak (-)
Pre auricular nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)
fistula (-) fistula (-)
Bengkak (-) Bengkak (-)
Retro auricular
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Bengkak (-) Bengkak (-),
Mastoid
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Serumen (+) Serumen (+)
CAE hiperemis (-) hiperemis (-)
Sekret (-) Sekret (-)
Intak Intak
Membran
putih mengkilat putih mengkilat
timpani
refleks cahaya (+) refleks cahaya (+)

HIDUNG DAN SINUS PARANASAL


Luar: Kanan Kiri
Bentuk Normal Normal
Sinus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Inflamasi/tumor (-) (-)

Rhinoskopi Anterior Kanan Kiri


Sekret (-) (-)
Mukosa hiperemis (+) hiperemis (+)
edema (-) edema (-)

20
basah (-) basah (-)
pucat (-) pucat (-)
Konka Media hipertrofi (-) hipertrofi (-)
hiperemis (-) hiperemis (-)
Konka Inferior hipertrofi (-) hipertrofi (-)
hiperemis (-) hiperemis (-)
Tumor (-) (-)
Septum Deviasi (-)
darah (-) (-)
Bekuan darah (+) (-)
Massa (-) (-)

TENGGOROKAN
Lidah Ulcus (-) Stomatitis (-)
Uvula Bentuk normal, di tengah, hiperemis (-)
Tonsil Dextra Sinistra
Ukuran T1 T1
Permukaan Rata Rata
Warna Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Kripte Melebar (-) Melebar (-)
Detritus (-) (-)
Faring  Mukosa hiperemis (-), dinding rata, granular (-)

II.4. RINGKASAN
o Anamnesis
o Anamnesis
o Epistaksis (+), pada kedua lubang hidung, dapat berhenti sendiri
dengan melakukan tekanan pada hidung
o Riwayat mengorek-ngorek lubang hidung
o Seperti ini baru pertama kali
o Trauma hidung (-)

21
o Penyakit kelainan darah (-)
o Riw konsumsi obat-obatan seperti aspirin (-)
o Pemeriksaan Fisik
o Pada pemeriksaan hidung ditemukan darah dan bekuan darah di
cavum nasi di daerah pleksus kiesselbach
o Pemeriksaan Fisik
o Rhinoskopi anterior :
o Mukosa hiperemis, ditemukan bekuan darah

II.5. USULAN PEMERIKSAAN


 Darah Lengkap
 CT/BT

II.6. DIAGNOSIS BANDING


 Epistaksis anterior
 Epistaksis posterior

II.7. DIAGNOSIS SEMENTARA


Epistaksis Anterior

II.8. USULAN TERAPI:


 Nonmedikamentosa
o Penekanan pada hidung selama 10-15 menit
o Membuang gumpalan darah dari hidung lalu tentukan lokasi
perdarahannya.
 Medikamentosa
o Salep antibiotik : mopirocin 2% (0,5 g pada setiap lubang hidung
selama 5 hari)

II.9. EDUKASI
 Segera hubungi dokter apabila terjadi mimisan kembali

22
II.10. PROGNOSA:
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionales : dubia ad bonam

23
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien datang ke poli RST dr.Soedjono pada hari tanggal 25 Maret 2014 .
Pasien mengeluh mimisan yang keluar dari kedua lubang hidung sejak satu hari
yang lalu. Untuk mengelap darahnya kurang lebih 10 lembar tisu. perdarahan
tidak berlangsung terus menerus dan berhenti sendirinya dengan memencet
hidung. Pasien tidak merasa darah tertelan ke tenggorokan. Pasien memiliki
kebiasaan mengorek – ngorek hidung . Pasien menyangkal mengeluarkan ingus
dengan keras sebelum keluhan tersebut muncul ataupun kemasukan benda asing
ke dalam hidung. Pasien juga tidak mengeluhkan adanya nyeri, demam, batuk ,
pilek, hidung sering tersumbat sebelum keluhan tersebut muncul. Riwayat
perdarahan pada gusi atau perdarahan pada bagian tubuh lainnya disangkal oleh
pasien.
Sebelumnya belum pernah seperti ini Hipertensi (+)penyakit kelainan
darah (-), riwayat trauma pada wajah/hidung (-), alergi (-). Tidak sedang
mengkonsumsi obat-obatan antikoagulan seperti aspirin, dan belum pernah diobati
Dikeluarga tidak ada yang seperti ini, Alergi (-)
Pemeriksaan hidung ditemukan mukosa hidung hiperemis dan adanya
bekuan darah.
Maka dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka dapat diambil
diagnosis sementara yaitu epistaksis anterior.
Mekanisme epistaksis dari pasien adalah :
Riwayat kebiasaan mengorek lubang hidung

Pleksus kiesselbach pada anak letaknya lebih superfisial , anterior dan mempunyai
struktur yang lebih tipis

P. darah mudah pecah

Epistaksis

24
DAFTAR PUSTAKA

Efiaty A.S. dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Ed 6. Jakarta. 2007
Higler, B.A. Buku Ajar Penyakit THT Boies Ed.6. Jakarta
Moore,K.L.dkk. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta.2000
FKUI. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. FKUI. Jakarta.2007
ISO Indonesia Volume 43. Jakarta. 2008

25

You might also like