You are on page 1of 8

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

JOURNAL READING
“Temuan Karsinoma Konjungtiva In Situ Yang Mengalami Inflamasi Dan
Pterigium Primer”

“Coincidence of Inflamed Conjunctival Carcinoma in situ and Primary


Pterygium”

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Kesehatan Mata
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Diajukan Kepada :

Pembimbing : dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M

Disusun Oleh :
Maharani H2A013025

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Mata


FAKULTAS KEDOKTERAN – UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SEMARANG
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
PERIODE 2 Mei – 28 Mei 2017
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN
ILMU KESEHATAN MATA

Journal Reading dengan judul :


“Temuan Karsinoma Konjungtiva In Situ Yang Mengalami Inflamasi Dan
Pterigium Primer”

“Coincidence of Inflamed Conjunctival Carcinoma in situ and Primary


Pterygium”

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Kesehatan Mata
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh:

Maharani
H2A013025

Telah disetujui oleh Pembimbing:

Nama pembimbing

dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M


“ TEMUAN KARSINOMA KONJUNGTIVA IN SITU YANG
MENGALAMI INFLAMASI DAN PTERIGIUM PRIMER”

KATA KUNCI: Pterigium–Karsinoma in situ–Interferon alfa-2b –Histopatologi.


ABSTRAK
LATAR BELAKANG: Kami melaporkan sebuah kasus langka karsinoma in situ
(KIS) yang disertai dengan pterigium primer melalui temuan angiografik dan
histopatologi.
KASUS: Seorang pria berusia 78 tahun datang dengan pterigium dan tumor
berwarna keputihan yang terletak disamping pterigium pada mata kanannya.
Angiografi hijau indosianin menunjukkan bahwa pembuluh darah penutrisi
didalam pterigium primer menyebar ke tumor keputihan tersebut. Jaringan tumor
dan pterigium diangkat melalui prosedur operasi. Secara histologi, jaringan yang
diangkat menunjukkan tampilan karsinoma in situ seperti metaplasia skuamosa.
Terdapat infiltrasi sel inflamasi yang jelas didalam tumor dan dibawah epitelium.
Dilakukan pemberian interferon alfa-2b topikal 4 kali sehari selama 2 bulan.
Keadaan pasien baik tanpa adanya rekurensi lokal tumor atau metastasis distal
hingga follow-up 54 bulan setelah operasi.
Kesimpulan: Dikarenakan karsinoma in situ dapat muncul berdekatan dengan
jaringan pterigium, diperlukan follow-up jangka panjang pada pasien dengan
pterigium.

PENDAHULUAN
Neoplasia intraepitelial konjungtiva terdiri dari displasia dan karsinoma in
situ [1]. Sinar ultraviolet dan infeksi virus seperti human papillomavirus dan
human immunodeficiency virus memainkan peran penting dalam patogenesis
keganasan epitel konjungtiva [2-4]. Pterigium merupakan invasi proliferasi dari
jaringan (sub) konjungtiva yang tidak normal diikuti dengan reaksi inflamasi
kronis. Keganasan epitel konjungtiva memiliki hubungan erat dengan pterigium
dikarenakan adanya fakta yang menunjukkan bahwa terdapat berbagai protein
serupa yang juga ditunjukkan pada kedua sel epitel [5] dan karsinoma in situ
dapat ditemukan bersamaan dengan pterigium [6]. Namun, tidak terdapat adanya
laporan yang menunjukkan bukti bahwa karsinoma in situ mungkin timbul dari
pterigium primer itu sendiri atau dari jaringan yang berdekatan lainnya.
Disini kami melaporkan sebuah kasus langka karsinoma in situ yang
disertai dengan pterigium primer yang menunjukkan tampilan infiltrasi sel
inflamasi dari pengamatan angiografik dan histopatologi.

LAPORAN KASUS
Seorang pria berusia 78 tahun datang dengan nodul konjungtiva pada mata
kanannya. Ia memiliki riwayat diabetes, hipertensi, dan perdarahan serebral. Ia
telah berada dalam pengawasan medis akibat katarak dan glaukoma yang
dimilikinya sejak Februari 2012 oleh oftalmologis di dekat tempat tinggalnya.
Pada Juli 2012, dilakukan primer lampu celah (slit lamp) pada mata kanan yang
menunjukkan adanya pterigium nasal primer yang tumbuh menuju kornea. Empat
bulan kemudian, diamati adanya peninggian lesi pada sisi atas pterigium. Sejak
peninggian lesi menjadi lebih tebal dengan permukaan kasar dan telah mencapai
kornea, ia dirujuk ke departemen kami pada 26 Februari 2013. Ketajaman
visusnya adalah 0.4 (0.5 x cyl -3.00DA x30) OD dan 0.3 (0.4 x cyl -1.50DA x70)
OS dengan tekanan intraokuler normal. Hasil pemeriksaan dengan lampu celah
menunjukkan bahwa jaringan pterigium primer terletak pada limbus kornea
nasalis, dimana lesi berwarna keputihan dan menonjol dengan permukaan ireguler
menempel dengan sisi atas pterigium (Gambar 1a). Angiografi hijau indosianin
pada segmen anterior (IA) menunjukkan bahwa massa putih tersebut diberi nutrisi
oleh pembuluh darah baru yang berasal dari pembuluh darah episklera (Gambar
1b, kepala panah) sama halnya dengan cabang pembuluh darah yang berasal dari
jaringan pterigium (Gambar 1b, panah). Tidak ditemukan adanya lesi tumor lain
kecuali pada mata kanan yang ditunjukkan melalui modalitas pencitraan sistemik.
Gambar 1. Pemeriksaan lampu celah (slit lamp) (a) dan segmen anterior IA (b)
pada kasus tumor konjungtiva. a Gambaran pada pemeriksaan lampu celah
menunjukkan bahwa jaringan pterigium primer terletak di limbus kornea nasalis,
dimana lesi berwarna keputihan dan menonjol dengan permukaan ireguler
menempel dengan sisi atas pterigium b IA menunjukkan bahwa massa putih
tersebut diberi nutrisi oleh pembuluh darah baru yang berasal dari pembuluh
darah episklera (kepala panah) sama halnya dengan cabang pembuluh darah yang
berasal dari jaringan pterigium (panah).

Nodul keputihan tersebut secara klinis didiagnosis sebagai karsinoma in


situ yang melekat dengan pterigium primer. Kedua lesi diangkat dengan batas
pinggir yang aman (diukur hingga 3 mm), yang direkonstruksi dengan flap
rotasional konjungtiva pada 21 Maret 2013. Temuan histologi dari jaringan yang
telah diangkat secara operatif tersebut dinilai sebagai karsinoma in situ sama
halnya dengan metaplasia skuamosa (Gambar 2a, tanda bintang). Selain itu,
terdapat agregasi dari banyak limfosit yang membentuk folikel limfoid dibawah
epitel (Gambar 2a, panah). Pada pembesaran yang tinggi, infiltrasi netrofil dapat
terlihat didalam jaringan karsinomatosa (Gambar 2b). Batas pinggir operasi pada
kornea tidak be bas dari sel tumor. Digunakan tetes mata interferon topikal (IFN)
alfa-2b sebagai terapi tambahan paskaoperasi 4 kali sehari selama 2 bulan. Pada 5
Juni 2013, dilakukan biopsi dari limbus kornea di tempat awal tumor terletak.
Terapi tetes mata IFN topikal dihentikan segera setelah tidak ditemukan adanya
sel tumor berdasarkan pemeriksaan histologi. Keadaan pasien baik tanpa adanya
rekurensi lokal tumor atau metastasis distal hingga Desember 2015.
Gambar 2. Temuan histopatologi pada jaringan tumor konjungtiva yang diangkat.
a Pewarnaan hematoksilin dan eosin menunjukkan karsinoma in situ sama halnya
dengan metaplasia skuamosa. Terdapat agregasi banyak sel limfoid yang
membentuk folikel limfoid dibawah epitel (panah) dimana terdapat metaplasia
skuamosa (bintang). b Pada pembesaran yang tinggi, terdapat peningkatan
infiltrasi netrofil yang banyak pada jaringan karsinomatosa. Skala = 50 μm.

DISKUSI
Terdapat dua kemungkinan patogenesis karsinoma in situ dalam kasus ini:
karsinoma in situ dapat berasal dari pterigium primer atau dapat timbul de novo di
dekat pterigium yang kemudian menyebabkan progresi pterigium primer. Pada
kasus yang terakhir, terdapat beberapa pengamatan unik terkait timbulnya
karsinoma in situ bersamaan dengan pterigium: secara klinis, pasien kami telah
berada dibawah pengawasan dokter mata cukup sering akibat glaukoma dan lesi
berwarna keputihan yang pada awalnya tampak pada sisi atas pterigium primer,
yang menjadi karsinoma in situ kemudian. IA menunjukkan bahwa pembuluh
darah yang berasal dari pterigium primer menyebar ke tumor keputihan tersebut.
Selain itu, secara histologi, jaringan karsinoma intraepitelial tampak bersamaan
dengan metaplasia skuamosa yang serupa dengan pterigium. Kasus ini
menunjukkan adanya infiltrasi sel radang yang banyak di dalam jaringan kanker
dan stroma subepitel. Oleh karena itu, kami ingin mendiagnosa tumor sebagai
“karsinoma in situ yang meradang” pada kasus ini. Meski karsinoma in situ yang
diamati pada kasus ini memiliki hubungan erat dengan pterigium primer
berdasarkan pemeriksaan histologi dan angiografi, sepertinya sulit untuk
menentukan apakah karsinoma in situ benar berasal dari pterigium primer.
Reseksi komplit dianjurkan sebagai rekomendasi tatalaksana konvensional
karsinoma in situ. Dalam beberapa tahun terakhir, kemoterapi lokal dengan IFN
alfa-2b telah bermanfaat sebagai terapi tambahan untuk reseksi surgikal pada
kasus karsinoma in situ. Pada kasus kami, jika batas tepi kornea dari reseksi tumor
tidak bebas dari sel tumor, pemberian IFN alfa-2b ditambahkan selama 2 bulan
setelah operasi. Terapi tambahan tidak diperlukan selama periode follow-up
sekitar 54 bulan setelah operasi. Pada kesimpulannya, kami menampilkan sebuah
kasus langka dari karsinoma in situ inflamasi yang berasal dari pterigium primer,
yang ditatalaksana dengan reseksi surgikal dan pemberian IFN topikal
paskaoperasi. Dikarenakan karsinoma in situ dapat timbul berdekatan dengan
jaringan pterigium, diperlukan follow-up jangka panjang pada pasien dengan
pterigium.

PERNYATAAN ETIS
Penulis tidak memiliki konflik etik yang perlu dipaparkan.

PERNYATAAN TERBUKA
Tidak ada satupun penulis yang memiliki kepentingan terkait publikasi laporan
ini.

Referensi

1. Lee GA, Hirst LW: Ocular surface squamous neoplasia. Surv Ophthalmol
1995;39:429–450.

2. Lee GA, Williams G, Hirst LW, et al: Risk factors in the development of ocular
surface epithelial dysplasia. Ophthalmology 1994;101:360–364.

3. Scott IU, Karo CL, Nuovo GJ: Human papillomavirus 16 and 18 expression in
conjunctival intraepithelial neoplasia. Ophthalmology 2002;109:542–547.
4. Karp CL, Scott IU, Chang TS, et al: Conjunctival intraepithelial neoplasia. A
possible marker for human immunodeficiency virus infection? Arch
Ophthalmol 1996;114:257–261.

5. Detorakis ET, Zaravinos A, Spandidos DA: Growth factor expression in


ophthalmic pterygia and normal conjunctiva. Int J Mol Med 2010;25:513–516.

6. Oellers P, Karp CL, Sheth A, et al: Prevalence, treatment, and outcomes of


coexistent ocular surface squamous neoplasia and pterygium. Ophthalmology
2013;120:443–654.

7. Schechter BA, Koreishi AF, Karp CL: Long-term follow up of conjunctival and
corneal intraepithelial neoplasia treated with topical interferon alfa-2b.
Ophthalmology 2008;115:1291–1296.

8. Birkholz ES, Goins KM, Sutphin JE, et al: Treatment of ocular surface
squamous cell intraepithelial neoplasia with and without mitomycin C. Cornea
2011;30:37–41.

You might also like