You are on page 1of 57

BAB I

PENDAHULUAN

Abses hepar didefinisikan sebagai kumpulan material purulen pada parenkim hepar
yang dapat disebabkan oleh bakteri, parasit, jamur, atau infeksi gabungan. Penyakit ini terjadi
diseluruh dunia.1 Menurut Singh, abses hepar adalah kavitas supuratif di hepar yang
dihasilkan dari invasi dan multiplikasi mikroorganisme yang memasuki hepar secara langsung
melalui bagian pembuluh darah yang rusak atau melalui sistem duktus biliaris. 2 Abses hepar
amubik adalah abses hepar yang disebabkan oleh Entamoeba Histolytica, protozoa yang
didapat melalui pencernaan makanan dan minuman yang terkontaminasi.3

Terdapat dua jenis abses hepar yaitu abses hepar amubik (AHA) dan abses hepar
piogenik (AHP).4 Abses hepar ditemukan lebih banyak pada laki-laki pada rentang usia 20-40
tahun. Walaupun demikian, abses hepar dapat mengenai seluruh rentang usia. 60% abses
hepar merupakan soliter dan paling banyak berlokasi pada lobus kanan hepar. 2 Dari seluruh
kasus abses hepar, dua pertiga kasus yang terjadi di negara-negara berkembang disebabkan
oleh amubik dan tiga perempat kasus di negara-negara maju merupakan piogenik. 1 AHA
paling banyak terjadi di negara berkembang dengan angka kejadian 3-9% dari seluruh kasus
amubiasis sedangkan AHP lebih sering terjadi pada dewasa muda pada rentang usia 50-60
tahun. Suatu penelitian di India menujukan dari 47 kasus abses hepar, 37 (78,7%) merupakan
AHA dan 10 (21,3%) merupakan AHP.5 AHA lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan
wanita dengan perbandingan 10:1. Penyebab dari AHA adalah E. histolytica, protozoa ini
telah mengenai 500 juta jiwa dan menyebabkan penyakit endemis di banyak negara di seluruh
dunia. Angka kejadian AHA meningkat hingga 3-20 kali lipat pada pasien usia lanjut, pasien
dengan imunokompromis, kelainan imunitas, pasien yang melakukan perjalanan ke daerah
endemis.3

Insiden abses hepar tersebar diseluruh dunia, dapat mengenai seluruh rentang usia dan
jenis kelamin, baik pria dan wanita. Abses hepar amubik menjadi penyebab yang penting atas
mortalitas dan morbiditas di negara-negara tropis dan subtropis. Abses hepar amubik
merupakan penyakit yang berpotensi menyebabkan kematian jika tidak didiagnosis dan
diterapi dengan tepat. Laporan kasus abses hepar amubik ini dibuat untuk memudahkan
pembaca dalam mengerti dan memahami penyakit abses hepar dan dapat membantu
dikemudian hari.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTIFIKASI
Nama : Zainudin Daud
Usia : 56 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Remifa RT 13, RW 002 No 562, Kertapati
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Buruh Bangunan
Pendidikan : SMP
MRS : 13 Oktober 2016
No. Rekmed : 527699

2.2 ANAMNESIS (Autoanamnesis dan Alloanamnesis pada tanggal 24 Oktober 2016,


pukul 11.00 WIB)
Keluhan Utama :
Nyeri perut kanan atas sejak ± 1 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
Keluhan Tambahan:
Demam sejak 3 hari SMRS.

Riwayat Perjalanan Penyakit:


± 3 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh demam tinggi yang
timbul secara tiba-tiba terus menerus, menggigil (+), keringat dingin (-), mimisan (-),
gusi berdarah (-), bintik-bintik merah di kulit (-), sakit kepala (-), sakit di belakang bola
mata (-), nyeri perut (-), mual (-), muntah (-), nafsu makan menurun (+), lemas (+),
nyeri menelan (-), baju terasa longgar (-), batuk (-), pilek (-), sesak (-), nyeri dada (-),
BAB keras (-), BAB cair (-), BAB berdarah atau hitam (-), BAB seperti dempul (-),
nyeri saat BAK (-), mengedan saat BAK (-), BAK berpasir (-), BAK seperti teh tua,
BAK berdarah (-), BAK berbusa (-), nyeri pinggang (-), riwayat melakukan perjalanan
ke luar kota (-). Os kemudian berobat ke klinik dokter dan diberikan 3 macam jenis obat
namun pasien tidak ingat nama obatnya. Keluhan tidak berkurang.
± 1 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh nyeri perut sebelah kanan
atas yang muncul secara tiba-tiba, nyeri seperti ditusuk-tusuk (-), nyeri seperti terbakar
(-), nyeri menjalar ke punggung hingga belikat (+), nyeri semakin berat jika berubah
posisi atau bergerak (+), nyeri dipengaruhi konsumsi makanan (-), pasien berjalan
sambil membungkuk menahan sakit (-). Demam tinggi (+), terus menerus, menurun bila
meminum obat penurun panas dari dokter namun kemudian naik lagi, menggigil (+),

2
berkeringat (+), mual (-), muntah (-), BAB keras (-), BAB cair (-), BAB berdarah atau
hitam (-), BAB seperti dempul, BAK nyeri (-), mengedan saat BAK (-), BAK berpasir
(-), BAK seperti teh tua, BAK berdarah (-), BAK berbusa (-), nyeri pinggang (-), sesak
(-), nyeri dada (-), nafsu makan menurun (+), baju terasa longgar (-). Pasien kemudian
dibawa ke IGD RSUD Palembang Bari.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat nyeri perut kanan atas sebelumnya disangkal.
Riwayat menderita sakit kuning sebelumnya disangkal.
Riwayat sakit maag sebelumnya ada
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat darah tinggi disangkal
Riwayat diare sebelumnya disangkal

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Riwayat keluarga yang menderita penyakit keganasan disangkal.

Riwayat Sosial Ekonomi, Pekerjaan dan Kebiasaan


Os seorang buruh bangunan dengan pendapatan rata-rata perbulan berkisar Rp.
2.000.000, os menikah 1x, istri os tidak bekerja, Os mempunyai 4 orang anak, os tinggal
dirumah sendiri. Os biasa merokok 1 bungkus/hari, minum teh 3x/hari setiap minum teh
1 gelas, minum jamu 1x/minggu jamu pegal linu, Os juga pernah mengkonsumsi
alkohol 30 tahun yang lalu selama 2 tahun sebanyak 1 botol/hari. Riwayat konsumsi
obat-obatan terlarang disangkal. Os tidak mempunyai jam tidur yang teratur, berkisar 5-
7 jam/hari.

Riwayat Gizi
Sebelum sakit, pasien makan teratur 3x sehari. Banyaknya setiap kali makan ± 1 piring.
Jenis makanan yang bervariasi. Nasi/lontong/ubi + lauk pauk berupa ikan/tahu/
tempe/telur + sayur-sayuran berupa sayur bayam/ katu/ sayur asam. Minum ± 6 gelas
sedang/hari. Nafsu makan baik dan pencernaan dalam keadaan baik. Berat badan
sebelum sakit 50 kg.
Saat sakit, pasien makan 2x sehari. Banyaknya setiap kali makan ± 3-4 sendok makan.
Minum 2 gelas belimbing/hari. Nafsu makan berkurang. Berat badan saat sakit 48 kg.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK (24 Oktober 2016, pukul 11.30 WIB)


KEADAAN UMUM
Keadaan umum : Sakit sedang, lemas
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 110/60 mmHg (lengan kanan, posisi tidur)

3
Nadi : 72 x/menit, reguler, isi cukup
Pernafasan : 24 x/menit, Tipe pernapasan torako-abdominal
Suhu : 36,6 0C (aksila)
Berat Badan : 48 kg
Tinggi Badan : 160 cm
IMT : 18,75 (Normoweight)
VAS :6

KEADAAN SPESIFIK
Kepala
Bentuk : normosefali
Ekspresi : wajar
Rambut : hitam, lurus dan tidak mudah dicabut
Alopesia : (-)
Deformitas : (-)
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan : (-)
Wajah sembab : (-)

Mata
Eksoftalmus : (-)
Endoftalmus : (-)
Palpebral : edema (-), xanthelasma (-)
Konjungtiva palpebra : pucat (+)
Sklera : ikterik (-)
Kornea : katarak (-)
Pupil : bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, reflek cahaya (+/+)

Hidung
Sekret : (-)
Epistaksis : (-)

Telinga
Meatus akustikus eksternus : lapang
Nyeri tekan : processus mastoideus (-/-), tragus (-/-)
Nyeri tarik : aurikula (-/-)
Sekret : (-)
Pendengaran : Baik

Mulut
Higiene : baik
Bibir : cheilitis (+), rhagaden (-),sianosis (-),
Lidah : kotor (-), atrofi papil (-)
Tonsil : T2-T2
Mukosa
Mulut : basah, stomatitis (-), ulkus (-)
Gusi : hipertrofi (-), berdarah (-), stomatitis (-)
Faring hiperemis : (-)
Gigi : karies (+)
Bau Pernapasan : normal
4
Leher
Inspeksi : trakea deviasi (-)
Palpasi : pembesaran kelenjar tiroid/struma (-)
Auskultasi : bruit (-)
Tekanan vena jugularis : (5-2) cmH2O.
Dada
Inspeksi : bentuk dada normal, sela iga melebar (-), retraksi dinding dada (-),
spider nevi (-), venektasi (-), ginekomastia (-).
Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-)

Paru-paru (Anterior)
Inspeksi
Statis : kanan sama dengan kiri
Dinamis : kanan sama dengan kiri
Palpasi : stremfemitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Paru-paru (Posterior)
Inspeksi
Statis : kanan sama dengan kiri
Dinamis : kanan sama dengan kiri
Palpasi : stremfemitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru.
Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas ICS II linea parasternalis dextra,
Batas kanan linea sternalis dextra,
Batas kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-)
HR 72 x/menit, irama reguler
Abdomen
Inspeksi : datar, umbilikus tidak menonjol, venektasi (-), skar (-).
Palpasi : lemas, nyeri tekan (+) pada regio kanan atas, hepar teraba
3 jari dibawah arkus costae, tepi tumpul, konsistensi lunak,
permukaan licin, fluktuasi sulit dinilai, lien tidak teraba.
Ballotement ginjal (-), Ludwig sign (+)
Perkusi : timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA(-)
Auskultasi : bising usus normal, Bruit (-)

Ekstremitas
Inspeksi
Superior : deformitas (-), kemerahan (-), edema (-/-), koilonikia (-),
sianosis (-), jari tabuh (-), palmar eritem (-), kulit lembab,
5
Flapping tremor (-), onikomikosis (-)
Inferior : deformitas (-), kemerahan (-), edema pretibial (-/-), koilonikia
(-), sianosis (-), jari tabuh (-), onikomikosis (-)
Palpasi
Superior : akral hangat (+/+), Edema (-/-), krepitasi (-/-)
Inferior : akral hangat (+/+), Edema pretibial (-/-), krepitasi (-/-)

ROM
Superior : kekuatan 5, rom aktif pasif luas.
Inferior : kekuatan 5, rom aktif pasif luas.

Alat Kelamin
Tidak diperiksa

Kulit
Kulit : sawo matang
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : (-)
Jaringan parut : (-)
Turgor : baik
Keringat : baik
Pertumbuhan rambut: dalam batas normal
Lapisan lemak : tipis
Ikterus : (-)
Lembab/kering : kering

Kelenjar Getah Bening (KGB)


Tidak terdapat pembesaran KGB pada regio periaurikular, submandibula,
servikal anterior dan posterior, supraklavikula, infraklavikulla, axilla, dan inguinal.

Pembuluh Darah
a.temporalis, a.carotis, a.brakhialis, a.femoralis, a.poplitea, a.tibialis posterior,
a.dorsalis pedis : teraba

Status Neurologis
Tidak diperiksa

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (tanggal 13 Oktober 2016):
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hemoglobin 11,7 g/dl 12,6-17,40 g/dL

RBC - 4,40-6,30x106/mm3

Leukosit 20,4x103/mm3 4,73-10,89x103/mm3

Hematokrit 37% 41 - 51%

6
Trombosit 245x103/µL 170-396x103/µL

Diffcount 0/2/86/9/3 0-1/1-6/50-70/20-40/2-8

Laboratorium (tanggal 19 Oktober 2016):


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hemoglobin 11,5* g/dl 12,6-17,40 g/dL

RBC - 4,40-6,30 x106/mm3

Leukosit 24,9 x103*/mm3 4,73-10,89 x103/mm3

Hematokrit 36%* 41 - 51%

Trombosit 435 x103/µL 170-396 x103/µL

Diffcount 0/1/1/85/6/7 0-1/1-6/50-70/20-40/2-8

SGOT 61* U/L 0-38 U/L

SGPT 127* U/L 0-41 U/L

Bilirubin total 1,2 mg/dl <1,5 mg/dl

Bilirubin direk 0,9* mg/dl 0,1-0,5 mg/dl

Bilirubin indirek 0,3 mg/dl <1,0 mg/dl

Protein total 5,2* gr/dL 6,7-8,7 gr/dL

Albumin 2,9* gr/dL 3,8-5,1 gr/dL

Globulin 2,3 gr/dL 1,5-3 gr/dL

Rontgen Thorax

7
Pada pemeriksaan foto thorax didapatkan:
- Kualitas foto baik.
- CTR sulit dievaluasi, kesan jantung tidak membesar.
- Trakea. Mediastinum superior tidak melebar.
- Corakan bronkovaskuler tidak meningkat.
- Tidak tampak infiltrat/nodul di kedua lapangan paru.
- Tampak perselubungan homogen pada 1/3 bawah lapang paru kanan
- Tampak elevasi hemidiafragma kanan setinggi costa VII posterior, diafragma kiri
normal, sudut costophrenicus kanan tumpul, sudut costophrenicus kiri normal.
- Tulang-tulang dan jaringan lunak baik.
Kesan:
- Elevasi hemidiafragma kanan setinggi costa VII posterior
- Kemungkinan massa pada 1/3 lapang bawah paru kanan belum dapat disingkirkan

USG (27 September 2016)

8
Pada pemeriksaan USG abdomen didapatkan:
- Hepar : Ukuran membesar, parenkim halus, heterogen, tepi tumpul,
permukaan rata, SOL (-), CBD tidak melebar
- Asites (-)
- Lien : ukuran dan bentuk normal
- Gall blader : ukuran dan bentuk normal, isi kosong, dinding tipis
- Ren dex-sin : ukuran dan bentuk normal, pelebaran pelvicocalycus (-), cortex dan
medulla batas jelas, batu (-)
Kesan: Abses hepar multiple lobus kanan

2.5 Diagnosis Kerja


Abses Hepar Piogenik dengan VAS 6

2.6 Diagnosis Banding


Abses Hepar Amubik dengan VAS 6
Hepatoma dengan VAS 6

2.7 Penatalaksanaan
Non Farmakologis:
 Istirahat
 Edukasi
 Diet tinggi protein
Farmakologis:

9
 IVFD NaCL 0,9% gtt xx/m
 Injeksi Ceftriakson 2x1 gr
 Infus Metronidazol 3x500 mg
 Vip Albumin 3x1 tab P/O
 Neurodex 1x1 tab P/O
 Curcuma 3x1 tab P/O
 PCT 3x500 mg prn (bila suhu >38,5oC)

2.8 Rencana Pemeriksaan


 Pemeriksaan lab AFP, INR dan LDH
 USG Abdomen
 CT Scan Abdomen
 Biopsi

2.9 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam

10
2.10 Follow Up
Tanggal P
25/10/2016 S : Nyeri perut kanan atas Non Farmakologi :
O:
Istirahat
Sens : compos mentis
TD : 110/70 mmHg Edukasi
Nadi : 78 x/m
Diet tinggi protein
RR : 20 x/m
Temp : 36.9ºC
VAS 6
Farmakologi :
Kepala :
konjungtiva palpebra pucat (+/+),  IVFD NaCL 0,9% gtt
sklera ikterik (-).
xx/m
Leher :
JVP (5-2) cmH2O,  Injeksi Ceftriakson
Pemb KGB (-) 2x1 gr
Thorax :  Infus Metronidazol
I : spider nevi (-), ginekomastia (-)
Pulmo : 3x500 mg
I : Statis kanan sama dengan kiri, dinamis kanan  Vip Albumin 3x1 tab

sama dengan kiri, retraksi (-) P/O


P : Stemfremitus kanan sama dengan kiri,  Neurodex 1x1 tab P/O
 Curcuma 3x1 tab P/O
pelebaran sela iga (-)
 PCT 3x500 mg prn
P : Sonor (+) di kedua lapang paru,
A : Vesikuler (+) menurun pada apex paru (bila suhu >38,5oC)
dextra, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor : BJ I-II normal, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen :
Datar, umbilicus cekung, venektasi (-), skar (-),
lemas, nyeri tekan (+) pada regio kanan atas,
hepar teraba 3 jari dibawah arkus costae, tepi
tumpul, konsistensi lunak, permukaan licin,
fluktuasi sulit dinilai, lien tidak teraba.
Ballotement ginjal (-), Ludwig sign (+),
Timpani, shifting dullness (-), Bising usus
normal, Bruit (-)
Ekstremitas : Akral hangat (+/+), palmar eritem
11
(-/-), edema (-)
Hasil Laboratorium:
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 10,6* g/dl 12,6-17,40 g/dL
4,40-6,30
RBC -
x106/mm3
4,73-10,89
Leukosit 13,4 x103*/mm3
x103/mm3
Hematokrit 33%* 41 - 51%
Trombosit 900 x103/µL 170-396 x103/µL
0-1/1-6/50-70/20-
Diffcount 0/2/2/73/13/10
40/2-8
SGOT 30 U/L 0-38 U/L
SGPT 40 U/L 0-41 U/L
Bilirubin total 0,6 mg/dl <1,5 mg/dl
Bilirubin direk 0,2 mg/dl 0,1-0,5 mg/dl
Bilirubin
0,4 mg/dl <1,0 mg/dl
indirek
Protein total 6,5 gr/dL 6,7-8,7 gr/dL
Albumin 2,8 gr/dL 3,8-5,1 gr/dL
Globulin 3,7 gr/dL 1,5-3 gr/dL
Waktu
2 menit 1-6 menit
perdarahan
Waktu
9 menit 10-15 menit
pembekuan

A:
Abses Hepar Piogenik dengan VAS 6

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III.1. Anatomi hepar


Hepar merupakan organ terbesar didalam tubuh. Hepar bertektur lunak dan lentur,
terletak dibagian atas kavitas abdominalis tepat dibawah diafragma. Sebagian besar hepar
terletak dibawah arkus kosta dextra dan diafragma memisahkan hepar dari pleura, paru-paru,
perikardium, dan jantung. Organ ini dibungkus oleh jaringan ikat dan terletak pada kuadran
kanan atas, yaitu didaerah hipokondriak kanan sampai epigastrium. Permukaan atas hepar
yang cembung melengkung pada permukaan bawah kubah diafragma. Permukaan postero-

12
inferior atau permukaan visera membentuk cetakan visera yang berdekatan dan oleh karena
itu bentuknya tidak teratur, permukaan ini berhubungan dengan lambung, duodenum, fleksura
colli dekstra, ginjal kanan, kelenjar suprarenalis dan kandung empedu.6

Gambar 1. Anatomi hepar.6


Hepar terdiri dari tiga lobus yaitu lobus kanan, lobus kiri yang dihubungkan oleh
ligamentum falciforme. Lobus kanan terbagi menjadi lobus quadratus dan lobus kaudatus oleh
adanya vesika biliaris dan fisura untuk ligamentum venosum. Porta hepatis terdapat pada
permukaan posteroinferior, dan terletak diantara lobus kaudatus dan lobus quadratus. Lobus
kanan dengan kiri dipisahkan oleh vena hepatika media. Lobus kanan terdiri dari segmen
anterior dan posterior yang dipisahkan oleh vena hepatika kanan. Lobus kiri terletak di
epigastrium dan hipokondrium kiri, dan terdiri dari segmen medial dan lateral yang
dipisahkan oleh vena hepatika kiri, ligamentum teres dan fusiform. Lobus kaudatus
merupakan lobus terkecil, terletak di permukaan posterosuperior lobus kanan, dipisahkan dari
lobus kiri oleh ligamentum venosum.6
Hepar merupakan suatu organ yang memiliki dua sistem anatomi segmental yang
diperkenalkan oleh Bismuth-Couinaud pada tahun 1954, yang membagi hepar menjadi 8
segmen, berdasarkan vena porta dan vena hepatika. Tiga cabang utama dari vena hepatika
membagi hepar secara vertikal dan oblik serta garis yang melewati percabangan vena porta
kanan dan kiri membagi hepar secara transversal. Segmen 1, menunjukkan lobus kaudatus,
karena vaskularisasi segmen ini pada posisi yang unik dan mendapatkan perdarahan dari
cabang utama dari vena porta dan dari cabang kanan dan kiri. Terlebih lagi, drainase pada
segmen 1 tidak masuk ke dalam vena hepatika melainkan ke vena kava inferior.Lobus kanan
dan kiri dipisahkan oleh vena hepatika media dan vesika felea. Segmen posterior lobus kanan
(6 dan 7) mendapat suplai darah dari cabang posterior vena porta kanan. Segmen anterior (5
dan 8) mendapat suplai darah dari cabang anterior vena porta kanan. Bidang transversal

13
membagi heparpada tingkat bifurkasio vena porta menjadi cabang kanan kiri. Lobus kiri
terbentuk mulai segmen 2 sampai 4. Vena hepatika terletak di antara segmen. Vena hepatika
sinistra membagi lobus kiri hepar menjadi segmen lateral (2 dan 3) dan medial (4). Vena
hepatika dekstra membagi lobus kanan hepar menjadi segmen anterior dan posterior.7
Hepar merupakan suatu organ yang memiliki dua aliran darah, dimana 30 % nya
disuplai oleh arteri hepatika dan 70 % dari vena porta. Arteri hepatika membawa darah
teroksigenasi ke hepar sedangkan vena porta membawa darah venosa yang kaya akan hasil
pencernaan yang telah diabsorbsi dari saluran cerna. Arteri hepatika dan vena porta
bercabang-cabang paralel satu sama lain. Tumor- tumor hepar pada umumnya mendapat
vaskularisasi dari arteri hepatika. Darah arteri dan vena vena masuk ke vena centralis dari
setiap lobulus hepar melalui sinusoid hepar. Vena centralis mengalirkan darah ke vena
hepatika kanan kiri, dan vena ini meninggalkan permukaan posterior hepar dan bermuara
langsung ke dalam vena cava inferior. 6

III.2. Entamoeba histolytica


III.2.1 Hospes
Manusia merupakan satu-satunya hospes parasit ini. Walaupun beberapa binatang
yaitu anjing, kucing, tikus dan monyet dapat diinfeksi secara eksperimental dengan
E.histolytica, hubungan dengan penularan zoonisasi masih belum jelas.8
III.2.1. Morfologi dan daur hidup
E.histolytica mempunyai 2 stadium yaitu trofozoit dan kista. Bila kista matang
tertelan, kista tersebut tiba dilambung masih dalam keadaan utuh karena dinding kista tahan
terhadap asam lambung. Dirongga terminal usus halus, dinding kista dicernakan, terjadi
ekskistasi dan keluarlah stadium trofozoit yang masuk kerongga usus besar. Dari satu kista
yang mengandung 4 buah inti, akan terbentuk 8 buah trofozoit. Stadium trofozoit berukuran
10-60 mikron, mempunyai inti entamoba yang terdapat di endoplasma. Ektoplasma bening
homogeny terdapat dibagian tepi sel dapat dilihat dengan nyata. Pseudopodium yang dibentuk
dari ektoplasma besar dan lebar seperti daun, dibentuk dengan mendadak, pergerakannya
cepat dan menuju suatu arah. Endoplasma berbutir halus, biasanya mengandung bakteri.8

14
Gambar 2. Siklus hidup E.histolytica.8
Stadium trofozoit dapat bersifat pathogen dan menginvasi jaringan usus besar. Dengan
aliran darah menyebar ke jaringan hati, paru, otak, kulit dan vagina. Hal tersebut disebabkan
sifatnya yang dapat merusak jaringan. Stadium trofozoit berkembang biak secara belah
pasang. Pada tinja segar, pseudopodium terlihat dibentuk perlahan-lahan sehingga
pergerakkannya lambat. Stadium kista dibentuk dari stadium trofozoit yang berada dirongga
usus besar. Di usus besar, trofozoit berubah menjadi prekist yang berinti satu kemudian
membelah menjadi berinti 2 dan akhirnya berinti 4 yang dikeluarkan bersama tinja. Dalam
tinja, stadium ini biasanya berinti 1 atau 4 kadang-kadang terdapat yang berinti 2. Pada kista
matang, benda kromatoid dan vakuol glikogen biasanya tidak ada lagi. Stadium kista tidak
pathogen tetapi merupakan stadium yang infektif. Infeksi terjadi dengan menelan kista
matang. Infeksi yang disebabkan oleh E.histolytica dapat ditetapkan dengan menemukan
stadium kista atau trofozoit dalam tinja. Stadium trofozoit ditemukan pada tinja yang
konsistensinya lembek atau cair, sedangkan stadium kista biasanya ditemukan pada tinja
padat.8

III.3. Abses hepar piogenik


III.3.1. Definisi
Abses hati adalah rongga patologis yang timbul dalam jaringan hati akibat infeksi
bakteri, parasit, jamur, yang bersumber dari saluran cerna, yang ditandai adanya proses
supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi,
atau sel darah di dalam parenkim hati. Abses hati dapat terbentuk soliter atau multipel dari

15
penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam
rongga peritoneum.4
Abses hati piogenik adalah proses supuratif yang terjadi pada jaringan hati yang
disebabkan oleh invasi bakteri melalui aliran darah, sistem bilier, maupun penetrasi langsung.9
III.3.2. Epidemiologi
Sekitar 48% kasus abses viseral adalah AHP dan merupakan 13% dari keseluruhan
kasus abses intra-abdominal. Median umur adalah 44 tahun, tidak terdapat perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. Data menunjukan di Taiwan memiliki insiden tertinggi yaitu 17,6
kasus per 100.000 penduduk. Setiap tahun 7-20 per 100.000 kasus AHP dirawat di rumah
sakit. Pada otopsi, didapatkan 0,29-1,4% kasus AHP. Hampir 50% kasus merupakan abses
multipel. Pada abses tunggal, 75% terletak di lobus kanan. 20% di lobus kiri, dan 5% pada
kauda. Faktor risiko terjadinya AHP adalah diabetes mellitus, penyakit dasar pada organ
hepatobilier dan pankreas, serta transplantasi hati. Sekitar 15-25% kasus AHP terjadi pada
pasien dengan DM, 7% pada pasien dengan bacteremia portal, dan sekitar 50-60% dengan
obstruksi bilier. 9
III.3.3. Etiologi
Kebanyakan AHP merupakan akibat infeksi dari tempat lain, dimana sumber infeksi
umumnya berasal dari infeksi organ intraabdomen lain. Kolangitis yang disebabkan oleh batu
maupun striktur merupakan penyebab tersering. Terdapat 15% kasus yang sumber infeksinya
tidak diketahui (abses kriptogenik). Saat ini ditemukan 45-75% AHP disebabkan oleh bakteri
anaerobik ataupun infeksi campuran bakteri aerobic dan anaerobik. Bakteriodes dan
Fusobakterium merupakan bakteri anaerobic penyebab AHP terbanyak. Infeksi polimikrobial
umumnya disebabkan oleh bakteri anaerobik. 9
Tabel 1. Sumber infeksi dan penyebab APH. 9
Saluran empedu Penyebaran langsung
Batu empedu Empiema kandung empedu
Kolangiokarsinoma Perforasi ulkus peptikum
Striktur Abses subfrenik
Vena porta Trauma
Appendisitis Iatrogenik
Divertikulitis Biopsi hati
Penyakit Crohn Block biliary stent
Arteri hepatika Kriptogenik
Infeksi gigi Kista hati terinfeksi
Endokarditis bakterial

16
Escherichia coli dan Klebsiella pneumonia merupakan kuman yang paling banyak
diisolasi pada kelompok bakteri aerobic gram negatif. Klebsiella terutama ditemukan pada
pasien AHP dengan diabetes dan intoleransi glukosa. Pada kelompok bakteri gram positif,
AStafilokokus merupakan bakteri yang paling seirng ditemukan pada infeksi monomikrobial.
Streptokokus dan Enterokokus paling sering ditemukan pada infeksi polimikrobial. Pada
suatu studi besar, ditemukan S. aureus dan Streptokokus beta hemolitikus merupaka bakteri
penyebab AHP pada trauma, streptokokus grup D, K. pneumonia, dan Klostridium sp.
berhubungan dengan infeksi sistem bilier, serta Bakterioides dan Klostridium sp. berhubungan
dengan penyakit kolon. 9

Tabel 2. Mikroba Patogen pada Abses Hepar Piogenik. 9


Bakteri aerobik gram negatif Bakteri anaerobik
Escherichia coli Anaerobic streptokokus
Klebsiella pneumoniae Bacetriodes sp.
Pseudomonas aeruginosa Fusobacterium sp.
Proteus dp. Peptostreptokokus sp.
Enterobacter sp. Prevotella sp.
Ctrobacter feundii Actinomyces sp.
Morganella sp Eubacterium
Serratia sp. Propionibacterium acnes
Haemophilus sp. Clostridium sp.
Legionella pneumophilia Lactobacillus sp.
Yersinia sp. Preptokokus sp.
Bakteri aerobik gram positif
Viridans streptococci Eubakterium sp.
Staphylococcus aureus Sphaerophous sp.
Capynocytophaga sp. (facultatively
anaerobic)
Enterococcus sp. Bakteri mikroaerofilik
Streptokokus beta hemolitikus Streptokokus milleri grup
Lain-lain
Streptokokus pneumonia Mycobacterium sp.
Listenia monositogen Chlamidya sp.
Candida sp.
Kriptokokus sp.
Verticillium sp.

III.3.4. Patogensis
Infeksi menyebar kehati melalui aliran vena porta, arteri, saluran empedu, ataupun
infeksi secara langsung melalui penetrasi jaringan dari fokus infeksi yang berdekatan.
Sebelum era antibiotik, penyebab tersering adalah apendisitis dan pileflebitis (thrombosis
supuratif pada vena porta). Saat ini, infeksi yang berasal dari sistem bilier merupakan
penyebab terbanyak terjadinay AHP, diikuti oleh abses kriptogenik. 9
17
Abses hati piogenik dapat juga merupakan komplikasi lanjutan tindakan endoscopy
sphincterotomy untuk mengatasi batu saluran empedu, ataupun komplikasi lanjut yang terjadi
3-6 minggu setelah dilakukan biliary-intestinal anastomoses. Di Asia Timur dan Asia
Tenggara, AHP dapat merupakan komplikasi dari kolangitis piogenik rekuren yang ditandai
dengan adanya episode kolangitis yang berulang, pembentukan batu intrahepatic, ataupun
adanya infeksi parasite pada sistem bilier. 9

III.3.5. Gejala dan tanda


Gambaran klinis klasik AHP adalah demam dan nyeri perut kanan atas. Demam tinggi yang
naik turun disertai dengan menggigil merupakan keluhan terbanyak. Nyeri perut kanan atas
biasanya menetap dan dapat menyebar ke bahu kanan. Kebanyakan pasien mengalami
keadaan ini kurang dari dua minggu, sebelum pergi berobat. Gejala tidak khas lainnya
meliputi keringat malam, muntah, anoreksia, kelemahan umum, dan penurunan berat badan.
Sekitar 1/3 kasus disertai dengan diare dan ¼ kasus mengeluhkan adanya batuk yang tidak
produktif. Pasien juga mungkin datang dengan keluhan pada sumber infeksi primernya,
misalnya apendisitis atau diverticulitis, sebelum gejala AHP berkembang. 9
Onset penyakit biasanya terjadi akut. Onset yang tersamar dapat terjadi pada orang
tua. Onset pada abses tunggal biasanya gradual dan umumnya merupakan abses kriptogenik.
Gambaran klinis pada abses mulipel biasanya menunjukan gambaran akut dan biasanya
penyebab primernya diketahui. 9
Pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran hati disertai nyeri pada kuadran kanan atas.
Ikterik dijumpai apabila penyakit telah lanjut. Beberapa pasien tidak mengeluhkan nyeri perut
kuadran kanan atas ataupun tidak didapatkan hepatomegaly, biasanya gambaran klinis
menunjukan fever of origin (FUO). Adanya kelainan pada paru kanan berupa pekak pada
perkusi dan penurunan suara nafas dijumpai bila proses penyakit terjadi pada segmen superior
lobus kanan. Pada pemeriksaan fisik paru ditemukan kelainan pada sekitar 20-30% kasus.
Anemia dan dehidrasi juga merupakan tanda fisik yang sering ditemukan. 9

III.3.6. Diagnosis
Pemeriksaan Pencitraan
Saat ini, pemeriksaan pencitraan merupakan modalitas penting untuk menegakkan diagnosis
AHP. Adanya temuan klinis meliputi demam, nyeri perut kanan atas, pembesaran hati yang
disertai nyeri tekan menjadi alasan untuk dilakukan pemeriksaan pencitraan lebih lanjut

18
meliputi pemeriksaan ultrasonografi (USG), computerized tomography scan (CT scan), serta
magnetic resonance imaging (MRI). Pemeriksaan pencitraan dapat membedakan AHP dari
kolesistitis, obstruksi saluran empedu, maupun pankreatitis. Penggunaan zat kontras
technetium 99m-sulfur colloid sebelum pemeriksaan USG dan CT sensitif untuk mengetahui
adanya lesi dengan ukuran <3cm, serta dapat memprediksi lokalisasi untuk dilakukan aspirasi
perkutaneus maupun drainase.
Pemeriksaan USG memperlihatkan adanya lesi hipoekoik, kadang-kadang dapat ditemukan
internal eko. Namun demikian, lesi yang terletak pada bagian atas lobus kanan sulit untuk
diidentifikasi. Gambaran AHP dengan CT menunjukkan gambaran lesi densitas rendah,
penggunaan kontras memperlihatkan peripheral enhancement. Pemeriksaan CT juga dapat
menunjukkan sumber infeksi intrahepatik dari AHP, misalnya apendisitis maupun diverkulitis.
Walaupun pemeriksaan CT dan USG dapat membedakan abses dari obstruksi saluran empedu,
namun tidak dapat membedakan AHP dari abses hati amebik (AHA). Pemeriksaan dengan
MRI, walaupun masih sedikit digunakan, lebih sensitif untuk menentukan AHP.
Kebanyakan abses, baik AHP maupun AHA, terletak pada lobus kanan. adanya abses multipel
sangat mencurigakan suatu AHP. Tumor hati yang telah mengalami nekrosis serta infeksi
sekunder, seringkali memberikan gambaran USG seperti AHP, pemeriksaan rontgen dada
dapat ditemukan adanya elevasi hemidiafragma kanan serta atelektasis
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaa laboratorium didapati kelainan meliputi anemia ringan, lekositosis dengan
netrofilia, serta peningkatan laju endap darah. Dapat juga ditemukan perubahan fungsi hati,
yaitu peningkatan kadar serum alkali fosfatase. Adanya antibodi antiamubik penting untuk
membedakan AHA dari AHP. Lebih dari 90% pasien dengan AHA memiliki antibodi
antiamubik titer tinggi terhadap entamoeba histolytica.
Elemen kunci untuk diagnosis AHP adalah ditemukannya agen penyebab, baik melalui kultur
darah maupun kultur pus dari aspirasi abses. Kultur darah positif pada 50% kasus. Pada
aspirasi abses, spesimen yang berasal dari AHP berwarna kekuningan ataupun kehijauan serta
berbau busuk. Spesimen yang berasal dari AHA berwarna merah kecoklatan. Dengan
pengecatan gram, pada AHA ditandai dengan adanya netrofil tanpa bakteri kecuali bila telah
terjadi infeksi sekunder. Sementara pada AHP, selalu terdapat bakteri.

Tabel 3. Perbandingan Abses Hepar Piogenik dan Abses Hati Amubik


Abses hepar piogenik Abses hepar amubik
Demografi Usia 50-70 tahun, pria = perempuan Usia 20-40 tahun, pria > perempuan
19
(>10:1)
Faktor resiko Infeksi bakteri akut, khususnya Bepergian atau menetap didaerah
intraabdomen, obstruksi biliary, endemic
diabetes melitus

Gejala klinis Nyeri perut kuadran kanan atas, Akut : demam tinggi, menggigil,
demam, menggigil, rigor, lemah, nyeri abdomen, sepsis.
Sub akut : penurunan berat badan,
malaise, anoreksia, penurunan berat
demam dan nyeri abdomen relative
badan, diare, batuk, nyeri dada
jarang.
pleuritik.
Khas: taka da gejala kolonisasi usus
dan colitis
Tanda klinis Hepatomegali disertai nyeri tekan, Nyeri tekan perut kanan atas
massa abdomen, icterus bervariasi

laboratorium Lekositosis, anemia,


peningkatan Serologi amuba positif (70-95%).
Lekositosis bervariasi dan anemia,
enzim-enzi hati (alkali fosfatase
tidak ditemukan eosinophilia, alkali
melebihi aminotranferase), peningkatan
fosfatase meningkat, namun
bilirubin, hipoalbuminemia. Kultur
aminotransferase biasanya normal
darah positif (50-60%)

Pencitraan Abses multifocal (50%), biasanya Khas : abses tunggal (80%)


Biasanya lobus kanan, oval,
lobus kanan, tepi irregular.
bersepta wall en hancement pada
CT scan dengan kontras intravena
Cairan Purulent, tampak kuman pada Konsistensi dan warna bervariasi,
aspirasi pewarnaan gram, kultur positif (80%). steril, tropozoit jarang ditemukan.

III.3.7. Penatalaksanaan dan Pencegahan


Tatalaksana
Abses hati piogenik10,11
 Pencegahan dengan mengatasi penyakit bilier akut dan infeksi abdomen dengan adekuat
 Tirah baring, diet tinggi kalori tinggi protein
 Antibiotika spektrum luas atau sesuai hasil kultur kuman:
- Kombinasi antibiotik sebaiknya terdiri dari golongan inhibitor beta laktamase generasi
I atau III dengan/atau tanpa aminoglikosida. Pasien yang tidak dapat mengkonsumsi
golongan beta Iaktamase dapat diganti dengan fluorokuinolon.

20
- Kombinasi Iain terdiri dari golongan ampisilin, aminoglikosida (jika dicurigai adanya
sumber infeksi dari sistem bilierJ, atau sefalosporin generasi III (jika dicurigai adanya
sumber infeksi dari kolon) dan klindamisin atau metronidazol (untuk bakteri anaerob).
- Jika dalam waktu 4-72 jambelum ada pebaikan klinis,maka antibiotika diganti dengan
antibiotika yang sesuai hasil kultur sensitifitas. Pengobatan secara parenteral selama
minimal 14hari lalu dapat diubah menjadi oral sampai 6 minggu kemudian. Jika
diketahui jenis kuman streptokokus, antibiotik oral dosis tinggi diberikan sampai 6
bulan.
 Drainase terbuka cairan abses terutama pada kasus yang gagal dengan terapi konservatif
atau bila abses berukuran besar (> 5 cm). fika abses kecil dapat dilakukan aspirasi
berulang. Pada abses multipel, dilakukan aspirasi jika ukuran abses yang besar sedangkan
abses yang kecil akan menghilang dengan pemberian antibiotik.
 Surgical drainage: dilakukan jika drainase perkutaneus tidak komplit dilakukan, ikterik
yang persisten, gangguan ginjal, multiloculated abscess, atau adanya ruptur abses.

Pencegahan
Pencegahan terbaik adalah dengan mengetahui sedini mungkin sumber-sumber infeksi yang
dapat menyebabkan AHP, diikuti dengan penanganan yang tepat.

III.3.8. Prognosis
Dengan diagnosis yang cepat disertai penggunaan antibiotik pada tahap dini dan
drainase perkutaneus, angka kematian karena AHP telah jauh menurun. Angka kematian pada
negara maju sekitar 2-12%. Faktor utama penyebab kematian adalah pembedahan dengan
drainase terbuka, keganasan, serta infeksi dari kuman anaerobik. 9
Prognosis baik dengan harapan hidup lebih dari 90% bila abses tunggal dan terletak
pada lobus kanan. Namun, kematian dapat mencapat 100% pada AHP yang tidak diterapi.
Angka kematian tinggi juga disebabkan oleh infeksi polimikrobial, abses multipel terutama
dengan sumber infeksi pada sistem bilier, adanya disfungsi multiorgan, keganasan,
hiperbilirubinemia, hipoalbuminemia, adanya komplikasi efusi pleura terutama pada orang
tua serta sepsis. 9

III.4. Abses Hepar Amubik


III.4.1. Definisi
Abses hati adalah rongga patologis yang timbul dalam jaringan hati akibat infeksi
bakteri, parasit, jamur, yang bersumber dari saluran cerna, yang ditandai adanya proses
21
supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi,
atau sel darah di dalam parenkim hati. Abses hati dapat terbentuk soliter atau multipel dari
penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam
rongga peritoneum.10,11,12,13
Abses hati amuba adalah penimbunan atau akumulasi debris nekro-inflamatori
purulent didalam parenkim hati yang disebabkan oleh amuba terutama entamoeba
hystolytica.14

III.4.2. Epidemiologi
Amubiasis terjadi pada 10% dari populasi dunia dan paling umum didaerah tropis dan
subtropik. Penyakit ini sering diderita oleh orang muda dan sering pada etnik hispanik dewasa
(92%). Terjadi 10 kali lebih umum pada pria seperti pada wanita dan jarang terjadi pada anak-
anak. Amebiasis merupakan infeksi tertinggi ketiga penyebab kematian setelah
schistosomiasis dan malaria.15
Daerah endemisnya meliputi afrika, asia tenggara, meksiki, Venezuela, dan kolombia.
Insiden abses hati amuba di Amerika Serikat mancapai 0,05% sedangkan di India dan Mesir
mencapai 10%-30% pertahun dengan perbandingan laki-laki : perempuan sebesar 3:1 sampai
dengan 22:1.15
Insiden abses hati amebik di RS di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien pertahun.
Penelitian epidemiologi di Indonesia menunjukkan penderita abses hati amebik pada pria
memiliki rasio 3,4-8,5 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita.16

III.4.3. Pathogenesis
Selama siklus hidupnya, entamoeba hystolytica dapat berbentuk sebagai
trophozoitatau bentuk kista. Setelah menginfeksi kista amuba melewati saluran pencernaan
dan menjadi tropozoit diusus besar, tropozoit kemudian melekat ke sel epitel dan mukosa
kolon dengan Gal dimana mereka menginvasi mukosa. Lesi awalnya berupa mikroulserasi
mukosa caecum, kolon sigmoid dan rectum yang mengeluarkan eritrosit, sel inflamasi dan sel
epitel. Ulserasi yang meluas ke submukosa menghasilkan ulser khas berbentuk termos (flask-
shaped) yang berisi tropozoit dibatas jaringan mati dan sehat. Orhanisme dibawah oleh
sirkulasi vena portal ke hati, tempat abses dapat berkembang. Entamoeba hystolytica sangat
resisten terhadap lisis yang dimediasi komplemen, oleh karena itu dapat bertahan di aliran
darah. Terkadang organisme ini menginvasi organ selain hat dan dapat membuat absesdalam
paru-paru atau otak. Pecahnya abses hati amuba kedalam pleura, perikard dan ruang

22
peritoneal juga dapat terjadi. Didalam hati, E.histolytica mengeluarkan enzim proteolitik yang
berfungsi melisiskan jaringan pejamu. Lesi pada hari berupa “well demarcated abscess”
mengandung jaringan nekrotik dan biasanya mengenai lobus kanan hati. Respon awal pejamu
adalah migrasi sel-sel PMN. Amuba juga memiliki kemampuan melisiskan PMN dengan
enzim proteolitiknya, sehingga terjadi lah destruksi jaringan. Abses hati mengandug debris
aseluler dan tropozoit hanya dapat ditemukan pada tepi lesi.16
III.4.4. Gejala dan tanda
Abses hati amuba lebih sering dikaitkan dengan presentasi klinis yang akut
dibandingkan abses piogenik hati. Gejala rata-rata telah terjadi dua minggu pada saat
diagnosis dibuat. Dapat terjadi sebuah periode laten antara infeksi hati usus dan selanjutnya
sampai bertahun-tahun, dan kurang dari 10% pasien melaporkan riwayat diare berdarah
dengan disentri amuba.17
Nyeri perut kanan atas dirasakan pada 75-90% pasien, lebih berat dibandingkan
piogenik terutama dikuadran kanan atas. Kadang nyeri disertai mual, muntah, anoreksia,
penurunan berat badan, kelemahan tubuh dan pembesaran hati yang juga terus nyeri. Nyeri
spontan perut kanan atas disertai dengan jalan membungkuk kedepan dengan kedua tangan
diletakkan diatasnya merupakan gambaran klinis khas yang sering dijumpai. 20% penderita
penderita dengan kecurigaan abses hati amuba mempunyai riwayat penyakit diare atau
disentri.16
Demam umum terjadi, tetapi mungkin pula polanya intermiten. Malaise, myalgia,
arthralgia umum terjadi. Icterus jarang ditemukan dan bila da menandakan prognosis yang
buruk. Gejala dan tanda paru dapat terjadi, tetapi pericardial rub terdengar di hati. Gambaran
laboratorium mirip dengan yang ditemukan di abses piogenik. Koinfeksi dengan bakteri
pathogen jarang ditemukan. Komplikasi yang jarang terjadi adalah pecah di intra-peritoneal,
intratorakal, dan pericardial serta kegagalan multiorgan. 14

III.4.5. Diagnosis
Anamesis dan pemerikasaan fisik memberikan petunjuk penting dalam menegakkan
diagnosis. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah laboratorium, tes
serologi, kultur darah, kultur cairan aspirasi dan pencitraan (USG, CT scan).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan temperature, pembesaran hati dan
nyeri tekan. Jaundice cukup jarang didapatkan, tetapi jika didapatkan maka harus diduga
danya obstruksi traktus biliaris atau penyakit hati kronik sebelumnya. Organisme diisolasi
dari tinja pada 50% pasien. Aspirasi pada abses amuba harus dilakukan jika diagnosis masih

23
belum jelas dengan gambaran pasta coklat kemerahan berbau sedikit. tropozoit hanya
didapatkan pada 20% aspirasi. Hasil foto toraks abnormal didapatkan pada 50-80% pasien
dengan gambaran ateletaksis paru lobus kanan bawah, efusi pleura kanan, dan kenaikan
hemidiafragma kanan.17
USG abdomen merupakan pilihan utama untuk tes awal karena non invasive dan
sensitivitasnya tinggi (80-90%) untuk mendapatkan lesi hipoekoik dengan internal echoes.
CT scan kontras digunakan terutama untuk mendiagnosis abses yang lebih kecil, dapat
melihat seluruh kapitas peritoneal yang mungkin dapat memberikan informasi tentang lesi
primer. MRI tidak memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan CT scan, tetapi
berguna jika hasil masih diragukan, diagnosis membutuhkan potongan koronal atau sagittal
dan untuk pasien yang intoleran terhadap kontras. Pencitraan hepar tidak bisa membedakan
abses hati amuba dengan piogenik. Abses amuba umumnya menyerang lobus kanan hepar
dekat diafragma dan biasanya tunggal.17
Tes serologi yang bisa digunakan meliputi ELISA, indirect hemagglutination,
cellulose acetate precipitin, counterimmunoelectrophoresis, immunofluorescent antibody, dan
tes rapid latex agglutination. Hasil tes serologi harus diinterpretasikan dengan klinis pasien
karena kadar serum antibody mungkin masih tinggi selama beberapa tahun setelah perbaikan.
Sensitivitas tes lebih kurang 95% dan spesifitasnya lebih dari 95%. Hasil negative palsu
mungkin terjadi dalam 10 hari pertama infeksi. Tes berbasis PCR untuk mendeteksi DNA
amuba dan pemeriksaan ELISA untuk mendeteksi antigen amuba pada serum sudah sering
dilakukan pada penelitian.17
Sherlock membuat kriteria diagnosis abses hati amuba yaitu:
1. Adanya riwayat dari daerah endemik
2. Pembesaran hati pada laki-laki muda
3. Respon baik terhadap metronidazole
4. Leukositosis tanpa anemia pada riwayat sakit yang tidak lama dan leukositosis dengan
pada riwayat sakit yang lama
5. Ada dugaan amubiasis pada pemeriksaan foto toraks PA dan lateral
6. Pada pemeriksaan scan didapatkan filling defect
7. Tes flourescen antibody amuba positif
Bila ke 7 kriteria tersebut dipenuhi maka diagnosis abses hati sudah hampir pasti dapat
ditegakkan.

III.4.6. Diagnosis banding


- Abses hati piogenik
- Keganasan pada hati
- Kista hepar
24
III.4.7. Penatalaksanaan dan Pencegahan
Medikamentosa
- Jika didapatkan pasien mudah yang telah melakukan perjalanan ke daerah endemic, pada
pencitraan didapatkan lesi tunggal, pasien tidak terliaht toksik, dengan dugaan kuat abses
amuba, maka pemeriksaan feses harus dilakukan untuk mencari kista dan tropozoit amuba
dan serum harus diperikasa antibody E.hystolitica.
- Terapi dimulai dengan metronidazole 3 x 750 mg per oral selama 7-10 hari atau
nitoimidazole kerja panjang (tinidazole 2 gram PO dan omidazole 2 gram PO) dilaporkan
efektif sebagai terapi dosis tunggal. Terapi kemudian dilanjutkan dengan preparat
lumenalamubisida untuk eradikasi kista dan mencegah tansmisi lebih lanjut yaitu
lodoquinol 3 x 650 mg selama 20 hari, diloxanide furoate 3 x 500 mg selama 10 hari,
aminosidine (paromomcin 25-35 mg/kg perhari TID selama 7-10 hari). Lebih dari 90%
pasien mengalami respons yang dramatis dengan terapi metronidazole, baik berupa
penurunan nyeri maupun demam dalam 72 jam.
- Paromomycin 25-35 mg/kg/hari per oral terbagi dalam 3 dosis selama 7 hari atau lini
kedua diloksanide furoate 3 x 500 mg per oral selama 10 hari
- Emetine dan chloroquine dapat digunakan sebagai terapi alternative, tetapi sebaiknya
dihindari sebisa mungkin karena efek kardiovaskular dan gastrointestinal, selain karena
tingginya angka relaps (choloquine phosphate 100 mg diberikan oral selama 2 hari dan
dilanjutkan dengan 500 mg diberikan oral selama 2-3 minggu, perbaikan klinis diharapkan
selama 3 hari)

Aspirasi jarum perkutan


Indikasi aspirasi jarum perkutan:
- Resiko tinggi untuk terjadinya rupture abses yang didefinisikan dengan ukuran kavitas
lebih dari 5 cm
- Abses pada lobus kiri hati yang dihubungkan dengan mortalitas tinggi dan frekuensi tinggi
bocor keperitoneum atau pericardium.
- Tak ada respon klinis terhadap terapi dalam 3-5 hari
- Untuk menyingkirkan kemungkinan abses piogenik, khususnya pasien dengan lesi
multiple.

Drainasse perkutan

25
Drainase perkutan abses dilakukan dengan tuntunan USG abdomen atau CT scan abdomen.
Penyulit yang dapat terjadi: perdarahan, perforasi organ intra abdomen, infeksi, ataupun
terjadi kesalahan dalam penempatan kateter untuk draine.

Drainase secara operasi


Tindakan ini sekarang jarang dikerjakan kecuali pada kasus tertentu seperti abses dengan
ancaman rupture atau secara teknis susah dicapai atau gagal dengan aspirasi biasa/drainase
perkutan.

Reseksi hati
Berdasarkan kesepakatan PEGI dan PPHI disurabaya pada tahun 1996:
- Abses hati dengan diameter 1-5 cm, terapi medikamentosa, bila respon negative dilakukan
aspirasi.
- Abses hati dengan diameter 5-8 cm, terapi aspirasi berulang.
- Abses hati dengan diameter >8 cm, drainase perkutan.

Pencegahan
Infeksi amuba disebarkan melalui konsumsi makanan atau air yang tercear dengan kista.
Karena pembawa asimtomatik dapat mengeluarkan hingga 15 juta kista perhari, pencegahan
infeksi membutuhkan sanitasi yang memadai dan pemberantasan pembawa kista. Pada daerah
berisiko tinggi, infeksi dapat diminimalkan dengan menghindari konsumsi buah dan sayuran
yang tidak dikupas dan penggunaan air kemasan. Karena kista tahan terhadap klor, desinfeksi
oleh iodine dianjurkan. Sampai saat ini tidak ada profilaksis yang efektif.

III.4.8. Komplikasi
1. Ruptur abses kedalam
- Region toraks, menyebabkan fistula hepatobronkial, abses paru, empyema ameba (20-
30%)
- Pericardium, menyebabkan gagal jantung, pericarditis, tamponade jantung
- Peritoneum, menyebabkan peritonitis.
2. Infeksi sekunder (biasanya setelah tindakan aspirasi)
3. Jarang: gagal hati fulminem, hemobilia, obstruksi vena kava inferior, sindrom budd-chiari,
abses cerebri 0,1%.

III.4.9. Prognosis
- Abses hati amuba merupakan penyakit yang sangat treatable
- Angka kematiannya <1% bila tanpa penyulit
26
- Penegakkan diagnosis yang terlambat dapat memberikan penyulit abses rupture sehingga
meningkatkan angka kematian: rupture kedalam peritoneum angka kematian 20%, ruptur
kedalam pericardium angka kematian 32-100%.

BAB IV
ANALISIS KASUS

Indentifikasi pasien laki-laki atas nama Tn. ZD, 56 tahun, bekerja sebagai buruh
serabutan. Pasien datang dengan keluhan utama nyeri perut kanan atas yang semakin hebat
semenjak 1 hari SMRS dan keluhan tambahan demam sejak 3 hari SMRS. 3 hari SMRS,
pasien mengeluh demam tinggi yang timbul secara tiba-tiba terus menerus, menggigil (+),

27
badan lemas (+), nafsu makan menurun (+), pasien kemudian berobat ke klinik dokter dan
diberikan 3 macam jenis obat namun pasien tidak ingat nama obatnya. Keluhan tidak
berkurang. 1 hari SMRS pasien mengeluh nyeri perut sebelah kanan atas yang muncul secara
tiba-tiba, nyeri menjalar ke punggung hingga belikat (+), nyeri semakin berat jika berubah
posisi atau bergerak (+), demam tinggi (+), terus menerus, menurun bila meminum obat
pennurun panas dari dokter namun kemudian naik lagi, menggigil (+), berkeringat (+), nafsu
makan menurun (+), badan lemas (+). Pasien kemudian dibawa ke IGD RSUD Palembang
Bari. Pasien merupakan seorang buruh bangunan dengan status sosial ekonomi rendah. Pasien
biasa merokok 1 bungkus/hari, minum teh 3x/hari setiap minum teh 1 gelas, minum jamu
1x/minggu jamu pegal linu, Pasien juga pernah mengkonsumsi alkohol 30 tahun yang lalu
selama 2 tahun sebanyak 1 botol/hari.

Berdasarkan keluhan utama dapat diperkirakan penyakit yang mungkin diderita


menyerang organ dengan penjalaran nyeri ke regio hipokondrium dextra di antaranya adalah
hepar, kantung empedu, pankreas, ginjal kanan, ureter kanan, atau duodenum. Keluhan utama
berupa nyeri perut sebelah kanan atas yang muncul secara tiba-tiba dan menjalar ke punggung
hingga belikat sejak 1 hari SMRS. Keluhan tambahan berupa demam tinggi yang timbul
secara tiba-tiba dan terus menerus, penurunan nafsu makan, dan badan lemas. Kemungkinan
penyakit yang diderita dapat berupa; abses hepar, kolelithiasis, kolesistitis, dan keganasan.

Tabel 1. Perbandingan berdasarkan manifestasi dan riwayat perjalanan penyakit

Kolesistitis19 Hepatoselular
Abses hepar1 Kolelithiasis18
karsinoma20
Nyeri abdomen Kolik bilier. Nyeri akut, Nyeri perut bagian atas. Nyeri di regio
(99%) di regio meningkat dalam 10-20 Nyeri biasanya dimulai hipokondrium dextra
hipokondrium menit, menetap dalam pada regio epigastrik dan
dextra. 1-5 jam lalu berkurang. terlokalisasi ke regio
Nyeri menjalar ke hipokondrium dextra.
skapula pada regio Nyeri dapat menjalar ke
hipokondrium dextra bahu kanan atau scapula.
atau epigastrium Nyeri persisten selama
(T8/9). Keluhan lebih dari 6 jam.
bersifat episodik
Demam (94%). Demam Demam Anemia
Demam tidak
terlalu tinggi.
Anoreksia (93%) Menggigil Mual dan muntah Penurunan berat badan
28
Mual/muntah Mual muntah Asimptomatik Tanda-tanda sirosis
(54%)
Penurunan berat Kuning Riwayat menderita batu Tanda-tanda hipertensi
badan (40%) empedu porta

Tabel 2. Perbandingan berdasarkan faktor risiko terhadap penyakit

Hepatoselular
Abses hepar Kolelitiasis23 Kolesistitis24
karsinoma

Jenis kelamin laki- Jenis kelamin laki- Jenis kelamin antara Jenis kelamin laki-
laki1 laki.22 pria dan wanita masih laki.
diperdebatkan.

Abses Hepar Ras hispanik dan Rentang usia 43-50 Usia > 60 tahun
Amubik: usia < 40 negro antara usia 45- tahun
tahun 65 tahun.22

Abses Hepar
Piogenik: usia 50-60
tahun.4

Negara berkembang Negara berkembang Daerah pedesaan Penyakit


dan status sosial dan status sosial memiliki angka kardiovaskular
ekonomi.1 ekonomi yang kejadian yang lebih
rendah.22 tinggi.

Riwayat Higienitas.4 Hepatitis B.20 Gaya hidup dan Diabetes mellitus


riwayat konsumsi
makanan.

Appendisitis.21 Hepatitis C.20 Indeks massa tubuh. Riwayat stroke


iskemik atau
perdarahan serebral

Alkohol (72%).1 Sirosis alkoholik.20 Alkohol. Riwayat


kolelithiasis

Diabetes (9%).1 Genetik Sindroma metabolik. Penyakit hati kronik


hemokromatosis.20

Bakteremi Sirosis bilier Penggunaan


sistemik.21 primer.20 kontrasepsi dan terapi 29
pengganti hormone.
n. MCM, 29 tahun
datang dengan keluhan
nyeri perut kanan atas
semakin hebat sejak 1
hari SMRS.
± 10 hari SMRS os
mengeluh nyeri perut
kanan atas, nyeri
dirasakan terus
menerus, nyeri
dirasakan seperti
ditusuk-tusuk, nyeri
yang dirasakan tidak
menjalar, demam (+)
hilang timbul
30
dan tidak terlalu tinggi,
menggigil (-), mual (-),
muntah (-), badan terasa
lemas (+), pandangan
berkunang-kunang (-),
penurunan nafsu makan
(+), BAK tidak ada
kelainan, BAB tidak ada
kelainan., os mengirah
sakit maag dan
membeli obat promag
di warung, tetapi
nyeri tidak
berkurang.
n. MCM, 29 tahun
datang dengan keluhan
31
nyeri perut kanan atas
semakin hebat sejak 1
hari SMRS.
± 10 hari SMRS os
mengeluh nyeri perut
kanan atas, nyeri
dirasakan terus
menerus, nyeri
dirasakan seperti
ditusuk-tusuk, nyeri
yang dirasakan tidak
menjalar, demam (+)
hilang timbul
dan tidak terlalu tinggi,
menggigil (-), mual (-),

32
muntah (-), badan terasa
lemas (+), pandangan
berkunang-kunang (-),
penurunan nafsu makan
(+), BAK tidak ada
kelainan, BAB tidak ada
kelainan., os mengirah
sakit maag dan
membeli obat promag
di warung, tetapi
nyeri tidak
berkurang.
n. MCM, 29 tahun
datang dengan keluhan
nyeri perut kanan atas
semakin hebat sejak 1
33
hari SMRS.
± 10 hari SMRS os
mengeluh nyeri perut
kanan atas, nyeri
dirasakan terus
menerus, nyeri
dirasakan seperti
ditusuk-tusuk, nyeri
yang dirasakan tidak
menjalar, demam (+)
hilang timbul
dan tidak terlalu tinggi,
menggigil (-), mual (-),
muntah (-), badan terasa
lemas (+), pandangan

34
berkunang-kunang (-),
penurunan nafsu makan
(+), BAK tidak ada
kelainan, BAB tidak ada
kelainan., os mengirah
sakit maag dan
membeli obat promag
di warung, tetapi
nyeri tidak
berkurang.
Dari tabel perbandingan manifestasi di atas, kita dapat menyingkirkan kemungkinan
kolelithiasis dan kolesistitis karena sifat nyeri yang tidak sesuai dengan deskripsi pasien.
Sedangkan dari tabel perbandingan faktor risiko dapat diambil kesimpulan bahwa
kemungkinan penyakit yang diderita pasien adalah abses hepar. Manifestasi dan identifikasi
faktor risiko mendukung penegakan diagnosis abses hepar, diagnosis ini akan dikonfirmasi
dengan pemeriksaan fisik dan penunjang

Dari pemeriksaan fisik umum didapatkan kesadaran kompos mentis, tekanan darah
110/60 mmHg, nadi 72 x/m, laju pernafasan 24 x/m, suhu 36,6°C, VAS 6, IMT= 18,75
(normoweight). Pada pemeriksaan spesifik didapatkan konjungtiva pucat, pada pemeriksaan
abdomen didapatkan palpasi hepar teraba 3 jari dibawah arkus kosta, konsistensi kenyal, tepi
tumpul, permukaan rata, nyeri tekan (+) pada regio kanan atas, fluktuasi sulit dinilai, lien
tidak teraba, Ludwig’s sign positif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ghosh di India
pada 200 pasien dengan abses hepar, didapatkan bahwa klinis yang paling sering ditemukan
35
pada pasien abses hepar adalah hepatomegali (89%), pucat (39%), efusi pleura (30%), kuning
(26%), splenomegali (10%), dan asites (9%). Penemuan pada pasien sesuai dengan
kepustakaan.1
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai SGOT dan SGPT meningkat, hal ini
menunjukan terjadi gangguan pada fungsi hati. Leukosit meningkat menandakan terjadi suatu
proses infeksi. Suatu kepustakaan mengatakan bahwa gambaran laboratorium pada abses
hepar berupa leukositosis yang diikuti dengan anemia ringan merupakan penemuan yang
paling sering. Peningkatan alkalin fosfatase dan transaminase juga menjadi salah satu
gambaran laboratorium pasien dengan abses hepar.4 Pada penelitian yang dilakukan Ghosh,
didapatkan bahwa tiga perempat pasien memberikan indikator sepsis seperti peningkatan TLC
(thin layer chromatography) dan albumin yang rendah.1

Tabel 3. Hasil pemeriksaan laboratorium (13 Oktober 2016)


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 11,7 g/dl 12,6-17,40 g/dL
RBC - 4,40-6,30x106/mm3
Leukosit 20,4x103/mm3 4,73-10,89x103/mm3
Hematokrit 37% 41 - 51%
Trombosit 245x103/µL 170-396x103/µL
Diffcount 0/2/86/9/3 0-1/1-6/50-70/20-40/2-8

Tabel 4. Hasil pemeriksaan laboratorium (19 Oktober 2016)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Hemoglobin 11,5* g/dl 12,6-17,40 g/dL
Leukosit 24,9 x103*/mm3 4,73-10,89 x103/mm3
Hematokrit 36%* 41 - 51%
Trombosit 435 x103/µL 170-396 x103/µL
Diffcount 0/1/1/85/6/7 0-1/1-6/50-70/20-40/2-8
SGOT 61* U/L 0-38 U/L
SGPT 127* U/L 0-41 U/L
Bilirubin total 1,2 mg/dl <1,5 mg/dl
Bilirubin direk 0,9* mg/dl 0,1-0,5 mg/dl
Bilirubin indirek 0,3 mg/dl <1,0 mg/dl
Protein total 5,2* gr/dL 6,7-8,7 gr/dL
Albumin 2,9* gr/dL 3,8-5,1 gr/dL
Globulin 2,3 gr/dL 1,5-3 gr/dL
Pemeriksaan penunjang lainnya berupa USG abdomen, pada pemeriksaan USG
abdomen didapatkan;

- Hepar : Ukuran membesar, parenkim halus, heterogen, tepi


tumpul, permukaan rata, SOL (-), CBD tidak melebar
- Lien dan kandung kemih : ukuran dan bentuk normal
- Renal dextra et sinistra : ukuran dan bentuk normal
36
Kesan: Abses hepar multiple lobus kanan

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, dapat ditarik


kesimpulan bahwa pasien menderita abses hepar. Abses hepar sendiri dibagi menjadi dua
yaitu abses hepar amubik dan piogenik. Perbedaan antara kedua abses hepar ini akan
dijelaskan sebagaimana dalam tabel berikut

Tabel 4. Perbandingan abses hepar piogenik dan abses hepar amubik.4,17

Abses Hepar Piogenik Abses Hepar Amubik


Usia 50-60 tahun Usia < 40 tahun
Jenis kelamin laki-laki = perempuan Jenis kelamin laki-laki > perempuan
Demografi
(10:1)
Negara-negara maju Negara-negara berkembang
Infeksi bakteri, khususnya di Bepergian ke daerah endemis
intraabdomen
Faktor risiko Obstruksi bilier akibat peradangan atau Tingkat kebersihan dan saniasi yang
mayor keganasan dan intervensi bilier rendah
Sebagai kriptogenik terutama pada
DM, sirosis, dan immunokompromis
Demam dan menggigil (92-99%). Nyeri perut regio kanan atas dengan
Nyeri kuadran kanan atas (89%), atau tanpa demam dan menggigil.
batuk, diare, lemah, malaise, anorexia, Malaise, demam ringan, anorexia. Onset
Gejala dan penurunan berat badan. dapat akut (abses dan diare terjadi
tanda klinis Hepatomegali, ikterus (25%) bersamaan), subakut (penurunan berat
badan, demam, nyeri relatif jarang) atau
kronik.
Hepatomegali, anemia, ikterus (25%)
Lekositosis, anemia, peningkatan
enzim-enzim hati (alkaline fosfatase
Serologi amuba positif (70-95%)
melebihi transaminase), peningkatan
bilirubin, hipoalbuminemia.
Laboratorium
Leukositosis bervariasi dan anemia,
tidak ditemukan eosinofilia, alkali
Kultur darah positif (50-60%)
fosfatase meningkat namun
aminotransferase biasaya normal.
Abses multifokal (50%) Abses tunggal (80%)
Biasanya lobus kanan Biasanya lobus kanan
Pencitraan Tepi irreguler “Rounded” atau oval, bersepta
“well enhancement” pada CT scan
dengan kontras intravena
Cairan aspirasi Purulen Konsistensi dan warna bervariasi
37
Tampak kuman pada pewarnaan gram Steril
Kultur positif (80%) Tropozoit jarang ditemukan

Berdasarkan perbandingan diatas, kemungkinan pasien menderita abses hepar tipe


amubik. Hanya saja, diagnosis ini perlu dipastikan dengan pencitraan dan pemeriksaan cairan
aspirasi atau tes serologi amuba spesifik, tes tinja untuk amuba, atau kultus pus.

Tatalaksana pada pasien berupa terapi nonfarmakologi dan farmakologi. Terapi non
farmakologi berupa istirahat, diet seimbang, dan edukasi. Infeksi amuba disebarkan melalui
makanan atau air yang tercemar dengan kista. Karier dapat mengeluarkan kista hingga 15 juta
perhari. Maka dari itu, edukasi perlu ditekankan terhadap faktor risiko penyakit yang dapat
dimodifikasi oleh pasien yaitu peningkatan kebersihan pribadi dan sanitasi lingkungan. Pada
daerah endemis, infeksi dapat diminimalkan dengan menghindari konsumsi buah dan sayuran
yang tidak dikupas dan penggunaan air kemasan. Kista tahan terhadap pemberian klor
sehingga penggunaan iodine lebih dianjurkan.17 Hingga saat ini belum ada tindakan
profilaksis yang efektif. Terapi farmakologi berupa IVFD NaCL 0,9% gtt xx/m, Injeksi
Ceftriakson 2x1 gr, Infus Metronidazol 3x500 mg, Vip Albumin 3x1 tab P/O, Neurodex 1x1
tab P/O, Curcuma 3x1 tab P/O, PCT 3x500 mg prn (bila suhu >38,5oC). Rencana aspirasi
abses jika terdapat indikasi berupa;17
- Risiko tinggi terjadinya ruptur abses yang didefinisikan dengan ukuran kavitas lebih
dari 5 cm
- Abses pada lobus kiri hati yang dihubungkan dengan mortalitas tinggi dan frekuensi
tinggi bocor ke peritoneum atau pericardium
- Tak ada respon klinis terhadap terapi dalam 3-5 hari
- Untuk menyingkirkan kemungkinan abses piogenik, khususnya pasien dengan lesi
multipel.

Pada pasien belum ditemukan penyulit dan abses tidak ruptur yang dapat bocor
menuju peritoneum atau perikardium, dimana hal ini dapat meningkatkan angka mortalitas.
Dengan penatalaksanaan yang tepat, pasien memiliki prognosis yang baik.

Pemilihan metronidazol didasarkan pada penggunaan metronidazol sebagai agen


antimikrobial yang telah digunakan selama lebih dari 45 tahun. Metronidazol dipilih karena
terjangkau, aktivitas yang baik dalam melawan bakteri anaerobik, farmakokinetik dan
farmakodinamik yang sesuai, dan efek samping minor. Administrasi metronidazol oral baik
diabsorbsi oleh tubuh dan konsentrasi puncak plasmanya adalah 1-2 jam setelah administrasi.

38
Senyawa induk dan metabolit metronidazol memiliki aktivitas bakterisidal melawan sebagian
besar rantai bakteri anaerobik, kecuali C. difficile, dan aktivitas trikomonosidal secara in vitro.
Metronidazol tergolong aman dan memiliki tingkat efek samping ringan hingga sedang.
Biasanya efek samping berupa keluhan saluran pencernaan, keluhan yang lebih berat seperti
kejang atau neuropati perifer jarang ditemukan.25

DAFTAR PUSTAKA

1. Ghosh, S., Sharma S., Gadpayle, A.K., Gupta, H. K., Mahajan, R. K., Sahoo, R.,
Kumar, N. Clinical, laboratory, and management profile in patients of liver abscess
from Northern India. J Trop Med. 2014. p. 1-3.

2. Singh, S., Chaudhary, P., Saxena, N., Khandelwal, S., Poddar, D. D., Biswal, U. C..
Treatment of liver abscess: prospective randomized comparison of catheter drainage
and needle aspiration. Ann Gastroenterol. 2013: 26: 1-2.

3. Anesi, J. A., Gluckman, S. Amebic liver abscess. Clin Liver Dis. 2015: 6 (2): 41.

4. Rajagopalan, B. S., Langer, C. V. Hepatic abscess. Armed Forces Med J India. 2012. p.
271-5.

5. Das, A. K., Saikia, A. M., Saikia, A. M., Dutta, N. Clinico-epidemiological profile of


patients with liver abscess: A hospital based study. Indian Journal of Basic Applied
Medical Research. IJBAMR. 2015: 5 (1): 17.

39
6. Snell RS. 2011. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta:EGC

7. Grainger RG,Alison DJ, adam.A, Dixon AK. 2003. Diagnostic Radiology A Texbook
of Medical Imaging. 4th edition . Churchill Livingstone :1237–72

8. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. 2009. Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

9. Waleleng, B. J., Wenas, N. T., Rotty, L. Abses Hati Piogenik. Dalam: Setiati, S., Alwi,
I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M. K., Setiyohadi, B., Syam, A. F., editor. Buku ajar
ilmu penyakit dalam Jilid III. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing. 2014. hal. 4130.

10. Sherlock S, Dooley J Tumours of the Gollblodder ond Bile Ducts. ln:: Dooley J, Lok
A, Burroughs A, Heothcote . Diseases of the Liver ond biliary System. l2 thed. UK:
Blockwell Science. P.632-659.

11. Kim AY, Chung RT. Bacterial, Parasitic, and Fungal Infections of the Liver, Including
Liver Abscess. ln: Feldmon M, Friedmon L, Brondt L. Sleisenger ond Fordtron's
Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology/Diagnosis/Management. 9 th ed.
USA: Elsevier. Chopter 82.

12. Nozir NT, Penfield JD, Hojjor V. Pyogenic liver abscess. Cleveland Clinic Journal of
Medicine July 20lO vol. 777 426-427. Diunduh dari http://www.ccjm.org/contentlTT
17 l426.full

13. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary D L. Abses Hati. Dalam:


Penatalksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktik Klinis Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: InternaPublishing. 2015, hal:
217-222

14. Kim AY, Chung RT. Bacterial, Parasitic, and Fungal Infections of the Liver, Including
Liver Abscess. . ln: Feldman M, Friedman L, Brandt L. Sleisenger and Fordtran's,
2010, Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology/Diagnosis/Management.
9rh ed. USA: Elsevier. Chapter 82.

15. Reed SL, 2010, Amebiasis and infection with free-living amebas. In: Harrison’s
Gastroenterology and Hepatology. McGraw-Hill Company.

16. Sulaiman, Akbar, Lesmana dan Noer. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jakarta:
Jayabadi

17. Nusti, I. A. Abses Hati Amubik. Dalam: Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W.,
Simadibrata, M. K., Setiyohadi, B., Syam, A. F., editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam
Jilid III. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing. 2014. hal. 4130.

18. Abraham, S., Rivero, H. G., Erlikh, I. V., Griffith, L. F., Kondamudi, V. K. Surgical
and nonsurgical management of gallstones. Am Fam Physician. 2014: 89 (10): 795-6.

40
19. Steel, P. A. D., Acute cholecystitis and biliary colic. 28 September 2016.
http://emedicine.medscape.com/article/1950020-overview

20. Serag, H. B. E., Marrero, J. A., Rudolph, L., Reddy, K. R. Diagnosis and treatment of
hepatocellular carcinoma. Gastroenterology. 2008; 134: 1752.

21. Peralta, Ruben. Liver abscess. 28 September 2016.


http://misc.medscape.com/pi/iphone/medscapeapp/html/A188802-business.html

22. Mittal, S., Serag, H. B. E. Epidemiology of HCC: consider the population. J Clin
Gastroenterol. 2013; 47 (0): S2.

23. Zamani, F., Sohrabi, M., Alipour, A., Motamed, N., Saeedian, F. S., Pirzad, R., Abedi,
K., et al. Prevalence and risk factors of cholelithiasis in amol city, northern iran: a
population based study. Arch Iran Med. 2014; 17 (11): 750.

24. Cho, J. Y., Han, H. S., Yoon, Y. S., Ahn, K. S. Risk factors for acute cholecystitis and a
complicated clinical course in patients with symptomatic cholelithiasis. Arch Surg.
2010: 145 (4): 329-30.

25. Lofmark, S., Edlund, C., Nord, C. E. Metronidazole is still the drug of choice for
treatment of anaerobic infections. Clin Infect Dis. 2010; 50: S16.-7.

11. Sulaiman, Akbar,


Lesmana dan Noer.
2007. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Hati. Jakarta:
Jayabadi
12. Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, Simadibrata

41
M, Setiyohadi B, Syam
AF. 2014. Buku
Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Interna
Publishing.
13. Hughes MA, Petri
WA. 2000. Amebic liver
abscess. infectious
Disease Clinics of
North America
14. Abraham, S., Rivero,
H. G., Erlikh, I. V.,
Griffith, L. F., Kondamudi,
V. K. Surgical
and nonsurgical
management of
42
gallstones. Am Fam
Physician. 2014: 89 (10):
795-6.
15. Steel, P. A. D., Acute
cholecystitis and biliary
colic. 28 September
2016.
http://emedicine.medsca
pe.com/article/1950020-
overview
16. Serag, H. B. E.,
Marrero, J. A., Rudolph,
L., Reddy, K. R.
Diagnosis and treatment
of

43
hepatocellular
carcinoma.
Gastroenterology. 2008;
134: 1752.
17. Peralta, Ruben. Liver
abscess. 28 September
2016.
http://misc.medscape.co
m/pi/iphone/medscapea
pp/html/A188802-
business.html
18. Mittal, S., Serag, H.
B. E. Epidemiology of
HCC: consider the
population. J Clin

44
Gastroenterol. 2013; 47
(0): S2.
19. Zamani, F., Sohrabi,
M., Alipour, A.,
Motamed, N., Saeedian,
F. S., Pirzad, R., Abedi,
K., et al. Prevalence and
risk factors of
cholelithiasis in amol
city, northern iran: a
population based study.
Arch Iran Med. 2014; 17
(11): 750.
20. Cho, J. Y., Han, H. S.,
Yoon, Y. S., Ahn, K. S.

45
Risk factors for acute
cholecystitis and
a complicated clinical
course in patients with
symptomatic
cholelithiasis. Arch Surg.
2010: 145 (4): 329-30.
21. Lofmark, S., Edlund,
C., Nord, C. E.
Metronidazole is still the
drug of choice for
treatment of anaerobic
infections. Clin Infect
Dis. 2010; 50: S16.-7.
11. Sulaiman, Akbar,
Lesmana dan Noer.
46
2007. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Hati. Jakarta:
Jayabadi
12. Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, Simadibrata
M, Setiyohadi B, Syam
AF. 2014. Buku
Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Interna
Publishing.
13. Hughes MA, Petri
WA. 2000. Amebic liver
abscess. infectious
Disease Clinics of
North America

47
14. Abraham, S., Rivero,
H. G., Erlikh, I. V.,
Griffith, L. F., Kondamudi,
V. K. Surgical
and nonsurgical
management of
gallstones. Am Fam
Physician. 2014: 89 (10):
795-6.
15. Steel, P. A. D., Acute
cholecystitis and biliary
colic. 28 September
2016.
http://emedicine.medsca
pe.com/article/1950020-
overview
48
16. Serag, H. B. E.,
Marrero, J. A., Rudolph,
L., Reddy, K. R.
Diagnosis and treatment
of
hepatocellular
carcinoma.
Gastroenterology. 2008;
134: 1752.
17. Peralta, Ruben. Liver
abscess. 28 September
2016.
http://misc.medscape.co
m/pi/iphone/medscapea
pp/html/A188802-
business.html
49
18. Mittal, S., Serag, H.
B. E. Epidemiology of
HCC: consider the
population. J Clin
Gastroenterol. 2013; 47
(0): S2.
19. Zamani, F., Sohrabi,
M., Alipour, A.,
Motamed, N., Saeedian,
F. S., Pirzad, R., Abedi,
K., et al. Prevalence and
risk factors of
cholelithiasis in amol
city, northern iran: a

50
population based study.
Arch Iran Med. 2014; 17
(11): 750.
20. Cho, J. Y., Han, H. S.,
Yoon, Y. S., Ahn, K. S.
Risk factors for acute
cholecystitis and
a complicated clinical
course in patients with
symptomatic
cholelithiasis. Arch Surg.
2010: 145 (4): 329-30.
21. Lofmark, S., Edlund,
C., Nord, C. E.
Metronidazole is still the
drug of choice for
51
treatment of anaerobic
infections. Clin Infect
Dis. 2010; 50: S16.-7.
11. Sulaiman, Akbar,
Lesmana dan Noer.
2007. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Hati. Jakarta:
Jayabadi
12. Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, Simadibrata
M, Setiyohadi B, Syam
AF. 2014. Buku
Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Interna
Publishing.

52
13. Hughes MA, Petri
WA. 2000. Amebic liver
abscess. infectious
Disease Clinics of
North America
14. Abraham, S., Rivero,
H. G., Erlikh, I. V.,
Griffith, L. F., Kondamudi,
V. K. Surgical
and nonsurgical
management of
gallstones. Am Fam
Physician. 2014: 89 (10):
795-6.
15. Steel, P. A. D., Acute
cholecystitis and biliary
53
colic. 28 September
2016.
http://emedicine.medsca
pe.com/article/1950020-
overview
16. Serag, H. B. E.,
Marrero, J. A., Rudolph,
L., Reddy, K. R.
Diagnosis and treatment
of
hepatocellular
carcinoma.
Gastroenterology. 2008;
134: 1752.

54
17. Peralta, Ruben. Liver
abscess. 28 September
2016.
http://misc.medscape.co
m/pi/iphone/medscapea
pp/html/A188802-
business.html
18. Mittal, S., Serag, H.
B. E. Epidemiology of
HCC: consider the
population. J Clin
Gastroenterol. 2013; 47
(0): S2.
19. Zamani, F., Sohrabi,
M., Alipour, A.,

55
Motamed, N., Saeedian,
F. S., Pirzad, R., Abedi,
K., et al. Prevalence and
risk factors of
cholelithiasis in amol
city, northern iran: a
population based study.
Arch Iran Med. 2014; 17
(11): 750.
20. Cho, J. Y., Han, H. S.,
Yoon, Y. S., Ahn, K. S.
Risk factors for acute
cholecystitis and
a complicated clinical
course in patients with

56
symptomatic
cholelithiasis. Arch Surg.
2010: 145 (4): 329-30.
21. Lofmark, S., Edlund,
C., Nord, C. E.
Metronidazole is still the
drug of choice for
treatment of anaerobic
infections. Clin Infect
Dis. 2010; 50: S16.-7

57

You might also like