You are on page 1of 15

PENGARUH PETERNAKAN (RUMINANSIA) TERHADAP PERUBAHAN

IKLIM

Julius Bili
1711010001

Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)

Perubahan iklim global merupakan salah satu tantangan bagi manusia sebagai
penghuni bumi. Manusia dapat memberikan pengaruh negatif atau positif terhadap
kelestarian alam, tergantung pada aktivitasnya. Hal ini setara dengan pernyataan
ADHI (2010) bahwa meningkatnya gas rumah kaca disebabkan oleh kegiatan
manusia dalam memproduksi gas rumah kaca (GRK) lebih besar dari kemampuan
lingkungan dalam memperbaiki dirinya. Secara alami, GRK dapat didaur ulang oleh
lingkungan sehingga jumlahnya seimbang. Oleh adanya kegiatan manusia, GRK yang
dihasilkan melebihi kemampuan lingkungan untuk mendaur ulang sehingga GRK
terkumpul di atmosfir. Peningkatan emisi gas CO2, CH4 dan N2O di atmosfir
menyebabkan berbagai masalah antara lain terjadinya perubahan sifat iklim yang
berdampak pada perubahan cuaca.
Tahun 2006, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan laporan berjudul
Livestock’s Long Shadow yang disusul pada tahun 2008 dengan judul Kick the Habit.
Pada kedua laporan masing-masing setebal 400-an dan 200-an halaman tersebut
dikatakan bahwa industri peternakan menyumbang 18% GRK berupa karbondioksida
(CO2), metana (CH4), dan dinitro oksida (N2O), jauh lebih besar dari sumbangan gas
rumah kaca (karbondioksida) dari seluruh moda transportasi di dunia yang ‘hanya’
13,5%. Selain itu, perubahan tanah yang berhubungan dengan peternakan menambah
2,4 triliun ton CO2 ke udara setiap tahun. Sementara itu, penggunaan lahan dunia
sangat tidak proporsional yaitu 15 juta km2 lahan pertanian untuk pangan sedangkan
30 juta km2 lahan untuk penggembalaan ternak (FAO, 2011).

Emisi dari CO2 yang merupakan penyumbang gas rumah kaca terbesar di
atmosfir, kurang lebih 55% dari emisi global. Gas ini dapat berada di atmosfir selama
50 hingga 200 tahun. Artinya kondisi emisi hari ini akan berdampak panjang pada
iklim berabad-abad lamanya. Produksi ternak berkontribusi 12% emisi GRK dalam
bentuk CH4, N2O dan CO2. Ternak monogastrik menyumbangkan dalam bentuk
N2O dan CO2, sedangkan ternak ruminansia dalam bentuk CH4 (MARYONO,
2010). Tanpa mitigasi signifikan untuk mengurangi emisi, maka pada tahun 2100 di
daerah yang terkena dampak kekeringan akan terjadi dua kali lipat (SANDERSON et
al., 2006). Lebih jauh dikatakan bahwa pada tahun 2100, sekitar setengah dari
permukaan tanah di planet ini akan kekeringan. Beberapa negara kurang berkembang
mungkin akan sangat terpengaruh, yaitu kondisinya memburuk antara lain di Afrika,
Amerika Selatan dan sebagian Asia Tenggara.
Limbah Ternak Ruminansia

Usaha peternakan mempunyai prospek untuk dikembangkan karena tingginya


permintaan akan produk peternakan. Usaha peternakan juga memberi keuntungan
yang cukup tinggi dan menjadi sumber pendapatan bagi banyak masyarakat di
perdesaaan di Indonesia. Namun demikian, sebagaimana usaha lainnya, usaha
peternakan juga menghasilkan limbah yang dapat menjadi sumber pencemaran.

Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari species ternak, besar
usaha, tipe usaha dan model kandang. Kotoran sapi yang terdiri dari feces dan urine
merupakan limbah ternak yang terbanyak dihasilkan dan sebagian besar manure
dihasilkan oleh ternak ruminansia seperti sapi, kerbau kambing, dan domba.
Umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak perah menghasilkan 2 kg
limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi menghasilkan 25 kg feses
(Sihombing, 2000).
Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan
seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk ternak,
dan sebagainya. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses,
urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, isi
rumen, dan lain-lain (Sihombing, 2000). Semakin berkembangnya usaha peternakan,
limbah yang dihasilkan semakin meningkat.

Menurut Soehadji (1992), limbah peternakan meliputi semua kotoran yang


dihasilkan dari suatu kegiatan usaha peternakan baik berupa limbah padat dan cairan,
gas, maupun sisa pakan. Limbah padat merupakan semua limbah yang berbentuk
padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang mati, atau isi perut dari
pemotongan ternak). Limbah cair adalah semua limbah yang berbentuk cairan atau
dalam fase cairan (air seni atau urine, air dari pencucian kandang serta peralatan).
Sedangkan limbah gas adalah semua limbah berbentuk gas atau dalam fase gas.

Pencemaran karena gas metan menyebabkan bau yang tidak enak bagi
lingkungan sekitar. Gas metan (CH4) berasal dari proses pencernaan ternak
ruminansia. Gas metan ini adalah salah satu gas yang bertanggung jawab terhadap
pemanasan global dan perusakan ozon, dengan laju 1 % per tahun dan terus
meningkat. Apalagi di Indonesia, emisi metan per unit pakan atau laju konversi metan
lebih besar karena kualitas hijauan pakan yang diberikan rendah. Semakin tinggi
jumlah pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi produksi metan (Suryahadi
dkk., 2002).
Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk
mendorong kehidupan jasad renik yang dapat menimbulkan pencemaran. Suatu studi
mengenai pencemaran air oleh limbah peternakan melaporkan bahwa total sapi
dengan berat badannya 5.000 kg selama satu hari, produksi manurenya dapat
7
mencemari 9.084 x 10 m3 air. Selain melalui air, limbah peternakan sering
mencemari lingkungan secara biologis yaitu sebagai media untuk berkembang
biaknya lalat. Kandungan air manure antara 27-86 % merupakan media yang paling
baik untuk pertumbuhan dan perkembangan larva lalat, sementara kandungan air
manure 65-85 % merupakan media yang optimal untuk bertelur lalat.

Kehadiran limbah ternak dalam keadaan keringpun dapat menimbulkan


pencemaran yaitu dengan menimbulkan debu. Pencemaran udara di lingkungan
penggemukan sapi yang paling hebat ialah sekitar pukul 18.00, kandungan debu pada
saat tersebut lebih dari 6000 mg/m3, jadi sudah melewati ambang batas yang dapat
ditolelir untuk kesegaran udara di lingkungan (3000 mg/m3).

Salah satu akibat dari pencemaran air oleh limbah ternak ruminansia ialah
meningkatnya kadar nitrogen. Senyawa nitrogen sebagai polutan mempunyai efek
polusi yang spesifik, dimana kehadirannya dapat menimbulkan konsekuensi
penurunan kualitas perairan sebagai akibat terjadinya proses eutrofikasi, penurunan
konsentrasi oksigen terlarut sebagai hasil proses nitrifikasi yang terjadi di dalam air
yang dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan biota air (Farida, 1978).
Peranan Sektor Peternakan (Ruminansia)

Aspek yang turut mempengaruhi besar kecilnya emisi gas adalah budidaya
ternak, antara lain mencakup tatalaksana perkandangan, pemberian pakan, sanitasi
dan pemanfaatan kotoran.

 Perkandangan
Pada umumnya peternak memelihara ternak sapi perah dengan cara
dikandangkan yang letaknya tidak jauh dari rumah. Ukuran kandang ada yang
sesuai dengan standar kebutuhan ruang ternak, setapi ada juga yang kurang,
dengan model kandang floor. Dengan mengandangkan ternak, kotoran bisa
terkumpul di satu tempat, sehingga memudahkan untuk mengelolanya.
Sebaliknya jika digembalakan, maka kotoran akan terpencar dan sulit untuk
mengelolanya. Sistem ini yang menambah tingginya emisi gas metana, sesuai
dengan pernyataan MC CRABB et al (2007), bahwa produksi metana dari ternak
ruminansia umumnya lebih tinggi pada sistem pemeliharaan ekstensif
dibandingkan dengan yang dikandangkan dan pemberian pakan yang lebih
berkualitas.
 Jenis Pakan Ternak
Hilangnya energy selama metabolisme pakan terjadi melalui proses yang unik
untuk ternak ruminansia. Ketika selulosa dan pati yang terdegradasi di usus
ternak digunakan sebagai sumber energi, beberapa karbon hilang melalui mulut
sebagai metana melalui bersendawa. Jumlah metana dipancarkan tergantung pada
efisiensi dari ternak tersebut yakni ditentukan oleh jenis ternaknya serta
komposisi dan derajat pengolahan pakan. Pengurangan emisi metana dari ternak
ruminansia juga dapat dilakukan dengan memodifikasi komposisi tanaman pakan
ternak, yaitu melalui peningkatan kecernaan dan kandungan gula dari rumput
dan meningkatkan kandungan senyawa yang mempengaruhi pemecahan protein
dalam rumen, tetapi tetap meningkatkan produksi daging dan susu berbarengan
dengan berkurangnya pengeluaran nitrogen melalui tinja (ABBERTON et al.,
2007). SUARNA (2011) menyatakan bahwa peran tanaman pakan dalam
mitigasi dapat dilakukan dengan meningkatkan luasan tutupan lahan.
Jenis pakan yang diberikan berpengaruh pada gas metana yang diproduksi.
Pemilihan jenis pakan sangat menentukan besar kecilnya gas metana yang
dihasilkan ternak. Peningkatan efisiensi pakan pada sapi signifikan berpengaruh
pada pengurangan emisi gas rumah kaca dan meningkatkan produktivitas.
Umumnya, ternak diberi rumput alam, limbah pertanian tanaman pangan atau
limbah industri. Walaupun demikian, di beberapa tempat mengalami
permasalahan ketersediaan pakan hijauan, terutama untuk kawasan peternakan
rakyat. Di Bogor, penggunaan rumput sebagai sumber hijauan pakan sudah
digantikan dengan penggunaan limbah pasar dan limbah pertanian. Limbah pasar
dikumpulkan sendiri oleh peternak. Limbah pasar yang digunakan antara lain
daun kol, kulit jagung dan sisa limbah pasar lainnya. Pakan konsentrat diberikan
terutama untuk sapi-sapi perah yang sedang berproduksi dan sapi dara,
sedangkan untuk sapi kering kadang-kadang tidak diberikan pakan konsentrat.
 Pengelolaan Limbah Ternak
Pada umumnya, peternak telah memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk
kandang, untuk digunakan sendiri di lahan tanaman pangan maupun untuk dijual.
Beberapa peternak kecil, tidak menjual kotoran tersebut, namun cukup diberikan
cuma-Cuma bagi yang memerlukannya yang umumnya petani di daerahnya
sendiri. Walaupun demikian masih ada juga peternak yang tidak memanfaatkan
sendiri maupun tidak menjualnya. Kelompok peternak ini menumpukkan kotoran
ternaknya di sembarang tempat di sekitarnya atau membuangnya ke sungai.
Perilaku peternak ini akan mencemari sungai dan sekaligus mengganggu
pengguna sungai, karena di beberapa tempat sungai masih digunakan sebagai
sumber air untuk keperluan rumah tangga. Kesadaran akan perlunya pembuangan
ke tempat khusus perlu disosialisasikan berkenaan dengan adanya global
warming dari emisi GRK yang dikeluarkan dari kotoran ternak tersebut.
Dampak Lingkungan dari Industri Peternakan

Kehilangan Keanekaragaman Hayati


 Kerusakan yang disebabkan oleh produksi peternakan mengancam flora
dan fauna di seluruh dunia. Gaya hidup nabati di seluruh dunia
diperhitungkan dapat mencegah lebih dari 60% kehilangan keragaman
hayati.
(Rethinking Global Biodiversity Strategies, Netherlands Environmental
Assessment Agency, 2010)
 Contoh: Di Mongolia, 82% dari keseluruhan area tanah ditujukan sebagai
padang rumput permanen bagi hewan ternak untuk merumput, yang
merupakan ancaman tunggal terbesar bagi kehilangan keragaman hayati di
Mongolia dan seluruh Asia Tengah. (UN FAO)

Penggundulan Hutan
 Peningkatan peternakan merupakan salah satu penyebab utama penggundulan
hutan (UN FAO, 2006)
 Sejak 1990-an sekitar 90% penggundulan hutan Amazon dikarenakan
pembersihan lahan untuk tempat merumput sapi atau menanam makanan
untuk peternakan
 Di Queensland, Australia, 91% dari pembersihan seluruh pohon dalami
periode 20 tahun lebih telah dilakukan untuk tempat merumput
peternakan (recent report on a 20-year study commissioned by the
Queensland government by Mr. Gerald Bisshop, retired principal scientist of
the Queensland Department of Environment and Resources Management)
Penggurunan
 Penggurunan disebabkan oleh penggembalaan ternak yang berlebihan dan
perluasan dari area menanam sumber makanan bagi peternakan. (TPN3
Rangeland Management in Arid Areas including the fixation of sand dunes,
UNCCD, 2003) Lebih dari 50% erosi tanah di Amerika Serikat disebabkan
oleh peternakan, yang menyebabkan penggurunan
 Lebih dari 50% erosi tanah di Amerika Serikat disebabkan oleh peternakan,
yang menyebabkan penggurunan.
 Sekitar 75 juta ton humus tererosi setiap tahunnya dikarenakan
kesalahan manajemen pertanian, perubahan iklim, dan penggembalaan
ternak. Hanya di Amerika Serikat saja, 54% humus habis karena
penggembalaan yang berlebihan, dengan lebih dari 100 ton humus hilang
per hektar setiap tahunnya.
(A study presented by Professor John Crawford at the recent Carbon Farming
Conference held in New South Wales, Australia)
 Pada 2010, Irak, China, Chad, Australia dan Mongolia, di antara negara
lainnya, dilaporkan mengalami kekeringan yang parah, dengan
penggembalaan peternakan membuat kondisi semakin parah.

Penyakit
 Lebih dari 65% penyakit menular manusia diketahui ditularkan melalui
hewan. Kondisi yang kotor dan tidak manusiawi dari pabrik peternakan
menjadi pusat bakteri dan virus yang mematikan seperti flu burung dan flu
babi.
 Penyakit lainnya yang berhubungan dengan memakan daging: TBC, listeria,
penyakit Crohn, penyakit sapi gila, campylobacter, Staphylococcus aureus,
penyakit makanan-dan-mulut, HIV, wabah radang paru-paru 2009 yang
berjangkit di China.
 Antibiotik yang dipakai teratur dalam peternakan menyebabkan bakteri
bermutasi, menjadi penyakit yang kebal obat.

Emisi Gas Rumah Kaca


 Peternakan dan produknya bertanggung jawab atas setidaknya 51% seluruh
emisi gas rumah kaca. (Goodland, Anhang, 2009)
 Aerosol, atau partikel yang dilepaskan bersamaan dengan CO2 dari bahan
bakar fosil meskipun mengganggu aspek kesehatan, tetapi memiliki efek
mendinginkan yang menyeimbangkan efek pemanasan CO2. Oleh karena itu,
emisi peternakan telah memainkan peran yang lebih besar dalam pemanasan
global selama ini. (Mohr, 2009)
 METANA Metana yang hampir 100 kali lebih berdaya daripada CO2 selama
periode 5 tahun,17 namun menghilang dari atmosfer jauh lebih cepat
dibandingkan dengan CO2 yang butuh waktu berabad-abad atau ribuan
tahun. Sumber metana terbesar yang disebabkan oleh manusia adalah
peternakan.
 Emisi METANA dari peternakan diremehkan.
Berdasarkan perhitungan ulang, para peneliti Amerika Serikat dari Universitas
Missouri telah menyimpulkan bahwa jumlah metana yang dipancarkan dari
kotoran peternakan sapi dan babi dapat menjadi lebih tinggi sebanyak 65%
dari yang diperhitungkan sebelumnya.
 OZON DI PERMUKAAN TANAH (TROFOSFER) adalah gas rumah kaca
yang paling umum ketiga setelah karbon dioksida dan metana. Makanan
hewan yang difermentasikan menghasilkan gas ozon yang berbahaya, dan
pada tingkat regional lebih tinggi dari tingkat yang dipancarkan oleh mobil.
 KARBON HITAM, (4.470 kali lebih berdaya daripada CO2), terutama
dihasilkan dari hutan dan padang rumput yang dibakar demi peternakan,
bertanggung jawab atas 50% peningkatan total temperatur di Arktik dan
percepatan terhadap mencairnya lapisan es di penjuru dunia. Karbon hitam
tertinggal di atmosfer hanya selama beberapa hari atau minggu, jadi
mengurangi emisi ini dapat menjadi jawaban cepat yang efektif untuk
memperlambat pemanasan dalam waktu dekat ini. (Nature Geoscience)
 DINITROGEN OKSIDA adalah gas rumah kaca dengan potensi sekitar 300
kali lebih panas daripada CO2. Enam puluh lima persen dari emisi dinitrogen
oksida di dunia berasal dari industri peternakan.

Penggunaan Tanah
 Produksi peternakan menggunakan 70% dari seluruh tanah pertanian dan 30%
permukaan tanah tanpa-es di planet ini. (Livestock’s Long Shadow, UN FAO,
2006)

Kerusakan Lautan
 Sektor peternakan adalah sumber polusi gizi terbesar, yang menyebabkan
perkembangan alga beracun dan penyusutan oksigen, menyebabkan “zona
mati” di laut yang tidak mampu untuk mendukung makhluk laut apapun.
(Livestock’s Long Shadow, UN FAO, 2006)
 90% dari semua ikan besar telah menghilang dari lautan, sebagian besar
akibat kelebihan penangkapan ikan. (Nature Journal, Myers & Worm,
Dalhousie Univ, May 15, 2003)
 Perikanan (peternakan ikan), bertanggung jawab terhadap 50% dari konsumsi
ikan dan kerang secara global, yang mengancam ikan liar. (Proceedings of the
National Academy of Sciences, 2009)
 Contoh: Diperlukan 5 pon ikan liar untuk menghasilkan 1 pon salmon.
(Naylor. Stanford's Woods Institute for the Environment and Freeman Spogli
Institute for International Studies)
 Sepertiga sampai setengah dari penangkapan ikan global digunakan sebagai
pangan ternak (babi dan ayam). (Annual Review of Environment and
Resources, Sea Shepherd)

Polusi
 Dari semua sektor, industri daging adalah sumber polusi air terbesar. Limbah
ternak yang berlebihan dan tidak diatur, pupuk kimia, pestisida, antibiotik,
dan zat pencemar terkait ternak meracuni saluran air.
 Industri peternakan menghasilkan 64% dari semua amonia, yang
menyebabkan hujan asam dan hidrogen sulfida, jenis gas yang berbahaya.
 Satu peternakan menghasilkan lebih banyak limbah dan polusi dibanding
seluruh limbah kota Houston, Texas, AS.
 Pada tahun 1996, industri sapi, babi dan ayam AS menghasilkan 1,4 miliar ton
limbah ternak, atau 130 kali lebih banyak daripada yang diproduksi oleh
keseluruhan populasi manusia.
 Kotoran ternak sudah dikenal sebagai penyebab utama baik itu polusi air
tanah dan pemanasan atmosfer. Terlebih lagi, kebocoran kotoran dan pupuk
pertanian lainnya bertanggung jawab terhadap sekitar 230 penyusutan oksigen
di zona-zona mati di sepanjang pesisir AS saja.
 Contoh: Zona mati di Teluk Meksiko yang dihasilkan akibat limbah ternak
adalah salah satu yang terbesar di dunia sebesar lebih dari 8.000 mil persegi.
 Penyebaran danau kotoran Rodrigo de Freitas di Brasil pada bulan Februari
2010 menyebabkan ikan mati lemas dan kematian sebanyak 80 ton ikan.
 Perikanan mencemari lingkungan dengan ganggang beracun dan bahan kimia
seperti pestisida dan antibiotik. (WWF)
Pemakaian Sumber Daya Berlebihan
 Bahan Bakar. Satu potong daging sapi panggang seberat 6 ons memerlukan
16 kali energi bahan bakar fosil lebih banyak daripada satu hidangan vegan
berisi tiga jenis sayuran dan nasi. (NYTimes)
 Satu kilogram daging sapi setara dengan berkendara sejauh 250 kilometer dan
menyalakan lampu 100-watt selama 20 hari tanpa henti. ( (National Institute
of Livestock and Grassland Science in Japan)
 Emisi. Emisi pola makan daging setara dengan mengendarai mobil sejauh
4.758 kilometer – 17 kali dari emisi pola makan vegan organik, yang hanya
setara dengan 281 kilometer berkendara. Dengan kata lain, pola makan vegan
organik menghasilkan 94% lebih sedikit polusi dibanding pola makan daging.
(Institute for Ecological Economy Research in Germany)
 Tanah. Satu orang pemakan daging memerlukan dua hektar (10 km persegi) –
yaitu empat ekar tanah – untuk mendukungnya. Tapi dua hektar yang sama,
atau empat ekar tanah, bisa mendukung gaya hidup sehat dari 80 orang vegan.
 Makanan. Saat ini, 80% anak-anak yang kelaparan tinggal di negara-negara
yang mengekspor hasil pertanian yang biasanya dijadikan makanan ternak.
 Dua pertiga ekspor biji-bijian AS digunakan untuk memberi makan ternak
bukannya untuk memberi makan manusia.
 Memproduksi 1 kilogram daging sapi memerlukan 7 kilogram biji-bijian
untuk makanannya yang bisa digunakan secara langsung untuk konsumsi
manusia, sementara menghasilkan kurang dari sepertiga jumlah protein dari
biji-bijian itu.
 Sekitar 40% persediaan biji-bijian dunia diberikan kepada ternak dan 85%
dari kedelai kaya protein dunia diberikan untuk makanan sapi dan hewan
lainnya..
 Air. Satu orang menggunakan lebih dari 15.000 liter air perharinya untuk pola
makan daging, ini 15 kali lebih banyak dibanding pemakaian air vegan.
Kekurangan Air
 Menurut Stockholm International Water Institute, pertanian bertanggung
jawab terhadap 70% dari semua pemakaian air, sebagian besar untuk produksi
daging.
 Memerlukan lebih dari 200.000 liter air untuk memproduksi 1 kilogram
daging sapi, tapi hanya perlu 2.000 liter untuk memproduksi 1 kilogram
kedelai, 900 liter untuk menghasilkan gandum, dan 650 liter untuk
menghasilkan jagung. (Pimentel D, Berger B, Filiberto D, et al. (2004) Water
Resources, Agriculture, and the Environment)
PUSTAKA

Aldrian dkk, 2011. Adaptasi Dan Mitigasi Perubahan Iklim Di Indonesia. Pusat
Perubahan Iklim dan Kualitas Udara. Kedeputian Bidang Klimatologi Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika

Anonimous, 2009. Pencemaran Akibat Limbah Peternakan.


http://kalimantankita.blogspot.co.id/2009/05/pencemaran-akibat-limbah
peternakan-dan.html [19 Maret 2018]

Hashim, 2015. Kecelaruan iklim global. Pusat Pengajian Sosial, Pembangunan dan
Persekitaran, Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan
Malaysia

Herawati, 2012. Refleksi Sosial Dari Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca Pada Sektor
Peternakan Di Indonesia. Wartazoa vol. 22 No. 1 tahun 2012. Balai
Penelitian Ternak : Bogor

You might also like