You are on page 1of 30

CASE REPORT

“SEORANG PEREMPUAN USIA 62 TAHUN


DENGAN SEPTUM NASI DEVIASI”

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan


Pendidikan Dokter Umum Stase Ilmu Penyakit THT

Disusun Oleh:

Auliya Rohmani, S. Ked


J510181086

Pembimbing:

KRH. Dr. H. Djoko Shindusakti Widyodiningrat, Sp. THT-KL, MBA.,


MARS., M. Si., Audiologist
DR. Dr. H. Iwan SetiawanAdji, Sp. THT-KL
Dr. Dimas Adi Nugroho, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN UMUM ILMU PENYAKIT THT


RSUD KABUPATEN KARANGANYAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
CASE REPORT

“SEORANG PEREMPUAN USIA 62 TAHUN


DENGAN SEPTUM NASI DEVIASI”

Disusun Oleh :
Auliya Rohmani, S. Ked
J510181086

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing I
KRH. dr. H. Djoko Sindhusakti Widyodiningrat, Sp.THT - KL (K), MBA.,

MARS., M.Si, Audiologist

(.............................................)

Pembimbing II

Dr. dr. H. Iwan Setiawan Adji, Sp. THT – KL (.............................................)

Pembimbing III

dr. Dimas Adi Nugroho, Sp. THT – KL (……………………………)


BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. S
Umur : 62 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Karanganyar
Tanggal Masuk RS : 21 Mei 2018

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama

Hidung kiri tersumbat

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poli Klinik THT RSUD Karanganyar dengan


keluhan hidung kiri terasa menyumbat sejak ± 3 bulan yang lalu.
Keluhan dirasakan menetap dengan intensitas yang sama. Hidung kiri
tersumbat dirasakan tidak membaik dengan perubahan posisi. Selain itu,
pasien juga mengeluhkan nyeri kepala bagian kiri yang dirasakan
menjalar ke lengan kiri. Keluhan demam (-), batuk (-), pilek (-), serta
keluhan telinga (-).

C. Riwayat Penyakit Dahulu

 Sakit Serupa : diakui sejak 3 bulan yang lalu


 Hipertensi : disangkal
 Diabetes Melitus : disangkal
 Alergi : disangkal
 Asma : disangkal
 Trauma : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga

 Keluhan serupa : disangkal


 Hipertensi : disangkal
 Diabetes Melitus : disangkal
 Asma : disangkal
 Alergi : disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis

- Keadaan umum : Baik


- Kesadaran : Compos Mentis
- Vital Sign :
 Tekanan darah : 130/90 mmHg
 Nadi : 84 kali/ menit
 Suhu : 36,3 oC
 RR : 18 kali/menit

A. Pemeriksaan Fisik Generalis

1. Kepala/Leher : normocephal, nafas cuping hidung (-), sianosis (-),

peningkatan JVP (-)

2. Mata : konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)


3. Thoraks
a. Paru
 Inspeksi: gerakan nafas simetris (+), retraksi interkosta (-/-)
 Palpasi : fremitus normal (+/+), ketertinggalan gerak (-/-)
 Perkusi : sonor di seluruh lapang paru (+/+)
 Auskultasi: suara dasar vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
wheezing (-/-)
b. Jantung
 Inspeksi: iktus cordis tidak terlihat (+)
 Palpasi : iktus cordis teraba di SIC V linea midklavikularis
sinistra (+)
 Perkusi : batas jantung tidak membesar,
Batas kanan jantung
o Atas : SIC II dextra di sisi lateral linea parasternalis
dextra
o Bawah: SIC IV dextra di sisi lateral linea parasternalis
dextra
Batas kiri jantung
o Atas : SIC II sinistra di sisi lateral linea parasternalis
sinistra
o Bawah: SIC V sinistra 1 jari di sisi medial linea
midklavikularis sinistra
 Auskultasi: suara Jantung I-II reguler (+), murmur (-),
gallop (-)
4. Abdomen
 Inspeksi : distensi (-), massa (-)
 Auskultasi : peristaltik (+), bising usus normal
 Perkusi : timpani pada semua regio (+), pekak pada hepar(+)
 Palpasi : supel (+), nyeri tekan (-), defans muscular (-),
hepar dan lien tak teraba
5. Ekstremitas
 Atas : edema (-/-), luka terbuka (-/-), akral dingin (-/-), CRT <
2 detik (+/+)
 Bawah: edema (-/-), luka terbuka (-/-), akral dingin (-/-), CRT <
2 detik (+/+)

B. Status Lokalis
1. Telinga

Bagian Telinga
Pemeriksaan
Telinga Kanan Telinga Kiri
Inspeksi Bentuk telinga normal, Bentuk telinga normal,
deformitas (-), bekas deformitas (-),bekas
luka (-), bengkak (-), luka (-), bengkak (-),
hiperemis (-),sekret (-) hiperemis (-),sekret (-)
Palpasi Tragus pain (-) Tragus pain (-)
Hiperemis (-), serumen Hiperemis (-), serumen
Otoskopi (-), membrana timpani (-), membrana timpani
intake, cone of light (+) intake, cone of light (+)

2. Hidung
- Inspeksi : deformitas (-), bekas luka (-), sekret (-), edema (-)
- Palpasi : krepitasi (-), nyeri tekan (+)

a.Pemeriksaan
Hidung Kanan Hidung Kiri
Hidung
Hidung luar Bentuk normal, hiperemi Bentuk normal, hiperemi
(-), deformitas (-), nyeri (-), deformitas (-), nyeri
tekan (-), krepitasi (-) tekan (+), krepitasi (-)
b. Rinoskopi Anterior

Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)


Cavum nasi Bentuk (normal), Bentuk (normal),
hiperemia (-) hiperemia (-)
Meatus nasi Mukosa hiperemis (-),
Mukosa hiperemis (-),
media sekret (-), massa (-).
sekret (-), massa (-).
Konka nasi Hipertrofi (-), mukosa Hipertrofi (-), mukosa
inferior hiperemi (-), sekret hiperemi (-), sekret
mukopurulen (-) mukopurulen (-)
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan Deviasi (+), perdarahan
(-), ulkus (-) (-), ulkus (-)
c. Rinoskopi Posterior Muara tuba eustachii
tampak tidak ada oklusi

Tidak tampak
pemebesaran kelenjar
adenoid

Konka superior dalam


batas normal

Tidak tampak ada massa

3. Pemeriksaan Rongga Mulut & Orofaring

Inspeksi : Mukosa faring hiperemis (-), tonsil


membesar (-) T1-T1,
tonsil hiperemis (-), kripte melebar (-),
detritus (-), uvula
terletak di tengah, palatum mole dalam batas
normal

Palpasi : limfadenopati (-), nyeri tekan (-)

Laring (laringoskopi indirek)


Epiglotis : dbn
Aritenoid : dbn
Plika vokalis : dbn
Gerak plika vokalis : dbn
Subglotis : dbn
Tumor :-
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium Darah
Darah Rutin Nilai Nilai Normal Satuan
Hematologi
Hemoglobin 12 12.0-16.0 g/Dl
Hematocrit 38.8 37.0-47.0 Vol%
Leukosit 5.23 5-10 10^6/uL
Trombosit 255 150-300 Mm3
Eritrosit 4.51 4.0-5.0 10^6/uL
MCV 90.6 82.0-92.0 Fl
MCH 28.2 27.0-31.0 Pg
MCHC 31.7 32.0-37.0 g/dL
Hitung Jenis
Gran 53.3 50.0-70.0 %
Limfosit 30 25.0-40.0 %
Monosit 4.7 3.0-9.0 %
Eosinofil 2.1 0.5-5.0 %
Basofil 0.3 0.0-1.0 %
2. Rontgen Sinus Paranasal

a. Tampak pembesaran konka nasal


b. Deviasi minimal semptum nasi ke kiri
c. Sinus maksilla kanan tampak suram
d. Sinus ethmoidales kanan kiri tampak suram
3. Foto thorax
Cor : Dalam Batas Normal
Paru : gambaran bronkopneumonia

4. Pre op

A. Resume Pemeriksaan
1. Anamnesis
Keluhan hidung kiri dirasakan tersumbat
2. Pemeriksaan Fisik
Nyeri tekan hidung luar kiri (+), septum nasi deviasi (+)
B. Diagnosis Banding
1. Suspect sinusitis kronik
2. Polip nasi
C. Diagnosis
Septum nasi deviasi
D. Terapi
 Operatif:
Koreksi septum
 Terapi post operasi:
- Inf. RL 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 2x500mg
- Inj. Dexamethason 3x1 amp
- Inj. Santagesik 3x500mg
E. Prognosis
Dubia ad bonam
F. Edukasi
1. Sehabis operasi sementara bernafas dari mulut dahulu
2. Sehabis operasi sementara makan makanan yang lembut
3. Jaga kebersihan mulut
4. Bed rest

BAB II

SEPTUM DEVIASI

A. Anatomi dan Fisiologi


1. Struktur Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid menonjol pada garis tengah di antara
pipi dengan bibir atas. Struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga
bagian, yaitu yang paling atas berupa kubah tulang yang tak dapat
digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan, dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan. Berikut bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
a. Pangkal hidung (bridge),
b. Dorsum nasi
c. Puncak hidung
d. Ala nasi
e. Kolumela
f. Lubang hidung (nares anterior).
Gambar 1. Kerangka Tulang dan Tulang Rawan Hidung Luar

Hidung luar dibentuk oleh 1/3 atas kerangka tulang dan 2/3 bawah
tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil
yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari (Gambar 1) :
a. Tulang hidung (os nasal),
b. Prosesus frontalis os maksila
c. Prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yang terletak di bagian bawah hidung (Gambar 1), yaitu :
a. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
b. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago alar mayor
c. Beberapa pasang kartilago alar minor
d. Tepi anterior kartilago septum.

Gambar 2. Septum Nasi

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke


belakang yang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi
kavum nasi kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan
disebut nares anterior dan lubang bagian belakang disebut nares posterior
(koana) yang menghubungkan antara kavum nasi dengan nasofaring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh
kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut
panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding,
yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.

Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh


tulang dan tulang rawan (Gambar 2). Bagian tulang rawan adalah kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Sedangkan bagian tulang
adalah :
a. lamina perpendikularis os etmoid
b. os vomer
c. krista nasalis os maksila
d. krista nasalis os palatina
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi pula oleh
mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut
agger nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi
sebagian besar dinding lateral hidung.

Gambar 3. Dinding Lateral Cavum Nasi

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan


letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ia
lah konka media, yang lebih kecil lagi ialah konka superior, dan yang
terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini bersifat rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila
dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga


sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada 3 meatus,
yaitu :

a. Meatus nasi inferior

Terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding


lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)
duktus nasolakrimalis.

b. Meatus nasi medius

Terletak di antara konka nasalis media dan inferior. Pada meatus


medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid
anterior

c. Meatus nasi superior.

Meatus superior merupakan ruang di antara konka superior dan konka


media. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan
sinus sfenoid.

Dinding inferior rongga hidung merupakan dasar rongga hidung dan


dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap
hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis
merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini
berlubang-lubang (kribrosa/saringan) sebagai tempat masuknya serabut-
serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk
oleh os sfenoid.

2. Kompleks Ostiomeatal (KOM)


Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding
lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea.
Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah :
a. prosesus unsinatus
b. infundibulum etmoid
c. hiatus semilunaris
d. bula etmoid
e. agger nasi
f. resesus frontal

Gambar 4. Kompleks Ostiomeatal (KOM)


KOM merupakan unit fungsional yang berfungsi sebagai tempat ventilasi
dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior, yaitu sinus maksila,
sinus frontal, dan sinus etmoidalis superior.
3. Persarafan Hidung

Gambar 5. Persarafan Hidung


Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris
dari n. etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris,
yang berasal dari n. oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian
besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion
sfenopalatina.
Ganglion sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.
Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n. maksila (N.V-2),
serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut-
serabut simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Sedangkan fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini
turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan
kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius
di daerah sepertiga atas hidung.
4. Pendarahan Hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a.
etmoidalis anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika
dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan
dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a. palatina
mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina
bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari
cabang-cabang a. fasialis.

Gambar 6. Pendarahan Hidung

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang


a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina
mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung), terutama pada
anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan


berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga
ke intrakranial.
5. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan
fungsional dibagi atas mukosa pernapasan dan mukosa penghidu. Mukosa
pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh cilliated pseudostratified collumnar
epithellium yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan
kadang-kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam
keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut
lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar
seruminosa submukosa.

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang


penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum
nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa
mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk
mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul
dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia
dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret
kental dan obat-obatan.

Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka


superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh
pseudostratified columnar non-ciliated epithellium. Epitelnya dibentuk
oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor
penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.

Di bawah lapisan epitel terdapat tunika propria yang banyak


mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas.
Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria,
tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan
perdarahan pada anyaman kapiler periglanduler dan subepitel. Pembuluh
eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang
besar, yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastin dan otot polos. Pada
bagian ujungnya, sinusoid mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid
akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam, lalu ke
venula. Dengan susunan demikian, mukosa hidung menyerupai jaringan
kavernosa yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut.
Vasokonstriksi dan vasodilatasi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf
otonom.
6. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :
a. Fungsi Respirasi
1) Mengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk
mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi
ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara
(humadifikasi) oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir
jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan
pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
Selain itu mengatur kondisi udara dengan mengatur suhu. Fungsi ini
dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel
dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga
radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu
udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.

2) Penyaring udara
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu
dan bakteri dan dilakukan oleh :
a) Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b) Silia
c) Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat
pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan
dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan
ke nasofaring oleh gerakan silia.
d) Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.
3) Penyeimbang dalam pertukaran tekanan
4) Mekanisme imunologik lokal
b. Fungsi penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara
difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.
c. Fungsi fonetik
1) Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau.
2) Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m, n,
ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka,
palatum molle turun untuk aliran udara.
d. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma.
e. Reflek nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Contohnya, iritasi
mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan napas terhenti.
Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan
pankreas.

B. Definisi dan Klasifikasi


Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Pada kondisi ini,
tonjolan tulang rawan septum terletak pada sisi kanan atau kiri sehingga
rongga hidung asimetris. Deviasi septum yang ringan tidak akan
mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat akan menyebabkan
penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian dapat terjadi gangguan
fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi. Bentuk-bentuk dari deformitas
septum nasi berdasarkan lokasinya, yaitu :

1. Spina dan Krista


Merupakan penonjolan tajam tulang atau tulang rawan septum yang dapat
terjadi pada pertemuan vomer di bawah dengan kartilago septum dan atau
os ethmoid di atasnya. Bila memanjang dari depan ke belakang disebut
krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina. Tipe deformitas ini
biasanya merupakan hasil dari kekuatan kompresi vertikal.

2. Deviasi
Lesi ini lebih karakteristik dengan penonjolan berbentuk ‘C’ atau ‘S’ yang
dapat terjadi pada bidang horisontal atau vertikal dan biasanya mengenai
kartilago maupun tulang.

3. Dislokasi
Batas bawah kartilago septum bergeser dari posisi medialnya dan
menonjol ke salah satu lubang hidung. Septum deviasi sering disertai
dengan kelainan pada struktur sekitarnya.

4. Sinekia
Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka di
hadapannya. Bentuk ini akan menambah beratnya obstruksi.
Sedangkan menurut Mladina dibagi atas beberapa klasifikasi
berdasarkan letak deviasi, yaitu :
1. Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
2. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun
masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus media).
4. Tipe IV : “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).
5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi
lain masih normal.
6. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga
menunjukkan rongga yang asimetri.
7. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.
Gambar 7. Klasifikasi Deviasi Septum Nasi Menurut Mladina
Jin RH dkk membagi deviasi septum berdasarkan berat atau ringannya
keluhan :
1) Ringan : Deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada
bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung.
2) Sedang
Deviasi kurang dari setangah rongga hidung tetapi ada sedikit bagian
septum yang menyentuh dinding lateral hidung.
3) Berat
Deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral hidung
C. Etiologi
1. Trauma
Trauma adalah penyebab yang paling sering, dapat terjadi saat :
a. Janin intrauterin
Posisi intrauterin yang abnormal dapat menyebabkan tekanan pada
hidung dan rahang atas, sehingga dapat terjadi pergeseran septum
b. Kelahiran (partus)
Tekanan torsi pada hidung saat kelahiran (partus) dapat menambah
trauma pada septum
c. sesudah lahir
Resiko terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak langsung
(tinju, karate, judo) dan tidak menggunakan helm atau sabuk pengaman
ketika berkendara.
2. Ketidakseimbangan pertumbuhan
Tulang rawan septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior dan
inferior telah menetap. Selain itu, karena perbedaan pertumbuhan antara
dasar tulang tengkorak dan palatu menyebabkan septum nasi melengkung.
3. Faktor ras
Ras kaukasia lebih banya dari pada ras negro
4. Faktor herediter

D. Manifestasi Klinis
Gejala yang sering timbul pada septum deviasi adalah sumbatan hidung.
Sumbatan dapat terjadi unilateral maupun bilateral, sebab pada sisi deviasi
sisi hidung yang mengalami deviasi terdapat konka yang hipotrofi, sedangkan
pada sisi sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi sebagai akibat mekanisme
kompensasi. Keluhan lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata.
Selain itu, penciuman juga bisa terganggu apabila terdapat deviasi pada
bagian atas septum. Deviasi septum juga dapat menyumbat ostium sinus
sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis.

Jadi deviasi septum dapat menyebabkan satu atau lebih dari gejala
berikut ini :

1. Sumbatan pada salah satu atau kedua nostril


2. Kongesti nasalis biasanya pada salah satu sisi
3. Perdarahan hidung (epistaksis)
4. Simptom dari infeksi sinus (sinusitis) seperti discharge nasal, nyeri
(mungkin karena tekanan dari pembesaran konka menekan ostia dari sinus
sehingga drainage menjadi sulit), vaccum headache dan nyeri neuralgia.
5. Kadang-kadang juga nyeri pada wajah, sakit kepala, dan postnasal drip.
6. Mengorok saat tidur (noisy breathing during sleep), terutama pada bayi
dan anak.
7. Kesulitan dalam merasakan bau karena aliran udara tidak mencapai area
olfaktori
E. Diagnosis
Diagnosis deviasi septum ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik
dan penunjang.

1. Anamnesis
Keluhan yang paling sering terjadi adalah sumbatan hidung, bisa
unilateral atau bilateral. Keluhan lain seperti rasa nyeri di kepala dan di
sekitar mata, gangguan penciuman, sinusitis, otitis media berulang. Pada
deviasi bentuk spina keluhan dapat berupa epistaksis. Perlu juga
ditanyakan mengenai riwayat trauma.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dijumpai adanya penonjolan
septum ke arah deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi ringan,
hasil pemeriksaan bisa normal. Akan tetap untuk pertama-tama penting
melihat vestibulum nasi tanpa spekulum, karena ujung spekulum dapat
menutupi deviasi bagian kaudal.
Pemeriksaan juga dilakukan terhadap dinding lateral hidung untuk
menentukan besarnya konka. Piramid hidung, palatum, dan gigi juga
diperiksa karena struktur-struktur ini sering terjadi gangguan yang
berhubungan dengan deformitas septum.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan radiologi untuk
memastikan diagnosisnya.
a. Rontgen kepala posisi antero-posterior tampak septum nasi yang
bengkok.
b. Pemeriksaan nasoendoskopi dilakukan bila memungkinkan untuk
menilai deviasi septum bagian posterior atau untuk melihat robekan
mukosa.
c. Pemeriksaan X-ray sinus paranasal bila dicurigai terdapat komplikasi
sinus paranasal.

F. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Pada prinsipnya terapi medikamentosa hanya bersifat simptomatis,
tergantung pada gejala yang dikeluhkan oleh pasien. Terapi
medikamentosa dapat diberikan pada pasien dengan keluhan ringan,
sedangkan keluhan berat dilakukan koreksi septum. Kelompok obat yang
dapat diberikan pada deviasi septum adalah :
a. Dekongestan : untuk mengurangi hidung tersumbat dan menjamin
terbukanya jalan nafas pada kedua sisi
b. Analgetik : untuk mengurangi rasa sakit
2. Pembedahan
a. Septoplasti (Reposisi Septum)
Pada operasi ini, tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian
yang berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat
dicegah komplikasi yang mungkin timbul pada operasi reseksi
submukosa, seperti terjadinya perforasi septum dan saddle nose.
Operasi ini juga tidak berpengaruh banyak terhadap pertumbuhan wajah
pada anak-anak.
Septoplasty merupakan operasi pilihan (i) pada anak-anak, (ii) dapat
dikombinasi dengan rhinoplasty, dan (iii) dilakukan bila terjadi
dislokasi pada bagian caudal dari kartilago septum. Operasi ini juga
dapat dikerjakan bersama dengan reseksi septum bagian tengah atau
posterior.
b. Reseksi submukosa (Sub-Mucous Resection)

Pada operasi ini, mukoperikondrium dan mukoperiosteum kedua


sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau
tulang rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga
mukoperikondrium dan mukoperiosteum sisi kiri dan kanan akan
langsung bertemu di garis tengah.
Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi, seperti
terjadinya hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung,
oleh karena bagian atas tulang rawan septum terlalu banyak diangkat.
Tindakan operasi ini sebaiknya tidak dilakukan pada anak-anak karena
dapat mempengaruhi pertumbuhan wajah dan menyebabkan runtuhnya
dorsum nasi.
G. Komplikasi
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor
predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga menyebabkan
ruang hidung sempit, yang dapat membentuk polip. Sedangkan komplikasi
post-operasi, diantaranya :
1. Perdarahan pasca operasi (Post-operative haemorrhage)
Hal ini biasanya terjadi akibat insisi pada hidung atau berasal dari
perdarahan pada membran mukosa.
2. Septal haematoma
Terjadi sebagai akibat trauma saat operasi sehingga menyebabkan
pembuluh darah submukosa pecah dan terjadilah pengumpulan darah.
Hal ini umumnya terjadi segera setelah operasi dilakukan
3. Septum perforasi (Septal perforation)

Paling sering terjadi pada bagian kartilago anterior akibat dari pasca
operasi (terutama Sub-Mucous Resection)
4. Deformitas eksternal (External deformity)
Karena kehilangan tulang rawan septum yang berlebih, memungkinkan
dorsum nasi runtuh karena kurangnya penopang. Jika terjadi akan sulit
diperbaiki
5. Anosmia
Biasanya jarang, tapi ketika terjadi tidak bisa diobati

H. Prognosis
Prognosis pada pasien deviasi septum setelah menjalani operasi cukup baik
dan pasien dalam 10-20 hari dapat melakukan aktivitas sebagaimana
biasanya. Hanya saja pasien harus memperhatikan perawatan setelah operasi
dilakukan. Termasuk juga pasien harus juga menghindari trauma pada daerah
hidung.

BAB III

ANALISA KASUS

Berdasarkan hasil anamnesa didapatkan bahwa pasien mengeluhkan hidung


kiri terasa menyumbat sejak ± 3 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan menetap
dengan intensitas yang sama. Hidung kiri tersumbat dirasakan tidak membaik
dengan perubahan posisi. Selain itu, pasien juga mengeluhkan nyeri kepala bagian
kiri yang dirasakan menjalar ke lengan kiri. Keluhan demam (-), batuk (-), pilek
(-), serta keluhan telinga (-). Riwayat trauma disangkal oleh pasien.

Untuk mengkonfimasi diagnosa pada pasien, maka perlu dilakukan


pemeriksaan fisik terutama pemeriksaan fisik pada hidung. Berdasarkan hasil
pemeriksaan fisik pasien, didapatkan deviasi septum ke kiri. Temuan klinis ini
merupakan pemeriksaan fisik yang sering ditemukan pada penderita deviasi
septum. Adanya deviasi septum karena terjadi peralihan posisi septum nasi dari
letaknya yang berada di garis medial tubuh. Pada kondisi ini, tonjolan tulang
rawan septum terletak pada sisi kiri sehingga rongga hidung asimetris. Akibat
rongga kiri mengecil atau menyempit menyebabkan pasokan oksigen ke paru-paru
tidak cukup sehingga terjadi sensasi hidung tersumbat.

Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik tersebut, kemungkinan diagnosa


pada pasien ini adalah deviasi septum. Dimana sesuai teori bahwa pasien dengan
deviasi septum ditandai dengan sumbatan hidung unilateral maupun bilateral.
Gejala penyerta yang ditunjukkan pada pasien deviasi septum dapat berbeda-beda
sesuai dengan efek yang ditimbulkan dari septum deviasi. Keluhan karena
sumbatan seperti anosmia karena aliran udara yang tidak mencapai area olfaktori,
epistaksis karena sekresi yang mengering berlebihan. Selain itu serangan berulang
dari tenggorakan yang sakit, common cold, tonsilitis dan bronkitis karena
pernafasan mulut dan akibat keringnya mulut, faring, dan laring. Otitis media akut
akibat dari infeksi sekunder telinga pada Catarrh tuba eustachii. Apabila sumbatan
terjadi bilateral, maka salah satu sisi yang tersumbat terjadi hipertrofi konka
inferior akibat kompensasi, hipertrofi konka inferior menekan pada pembukaan
sinus, sehingga bisa terjadi sinusitis berulang (nasal discharge, nyeri).

Selain itu, pemeriksaan penunjang juga dapat dilakukan untuk lebih


memastikan diagnosa deviasi septum. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
adalah rontgen sinus paranasal, karena pada pasien memiliki gejala dari salah satu
gejala sinusitis sehingga ingin melihat apakah terdapat sinusitis pada rongga sinus,
selain itu rontgen sinus paranasal bisa digunakan untuk melihat deviasi septum.
Hasil rontgen paranasal pasien didapatkan pembesaran konka nasal, deviasi
minimal semptum nasi ke kiri, sinus maksilla kanan tampak suram, serta sinus
ethmoidales kanan kiri tampak suram.

Terapi medikamentosa hanya mengurangi gejala dan tidak dapat


menyembuhan deviasi septum. Maka tindakan operasi dapat dilakukan bila pasien
mengalami keluhan sedang dan berat, karena jika tidak menimbulkan keluhan
maka tidak memerlukan terapi. Tindakan operasi septum biasanya dilakukan
setelah umur 17 tahun sehingga tidak menginterfensi pertumbuhan tulang nasal.
DAFTAR PUSTAKA

Adams, G.L., Boeis, L.R. and Higler, P.A (2015) BOEIS Buku Ajar Penyakit
THT, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Bull PD. The Nasal Septum. In : Lecture Notes on Diseases of The Ear, Nose and
Throat. Ninth Edition. USA : Blackwell Science Ltd. 2002 : p. 81-85.
FK UI (2012) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokan,
Jakarta: Badan Penerbit FK UI.
Hans, S. A., 2016. Self Assessment & Review ENT. 7th edition ed. New Delhi:
Jaypee Brother Medical Publisher.
Moore L, Keith., F. Dalley, Arthur. (2006) Clinically Oriented Anatomy : Penerbit
Lippincott Williams & Wilkins.
Munir, N. & Clarke, R., 2013. Ear, Nose, and Throat at a Glance. First edition ed.
West Sussex: Blackwell's Publishing.
Tuli , B., 2013. Text Book of Ear, Nose, and Throat. Second edition ed. New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers.
Widjoseno-Gardjito, editor. Kepala dan Leher. Dalam : Sjamsuhidajat R, Win

de Jong, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Cetakan I. Jakarta : EGC.
2005 : hlm 365-366.

You might also like