You are on page 1of 21

LAPORAN KASUS

ILMU PENYAKIT THT

Faringitis Kronis

Dokter Pembimbing

Dr. Abdi Bumi Suryanto, Sp.THT

Disusun Oleh

Natanael Petra 112017195

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT

RS IMANUEL WAY HALIM

Periode 21 Mei 2018 – 22 Juni 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

JAKARTA

2018
i

STATUS PASIEN

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT IMANUEL WAY HALIM

Nama : Natanael Petra Tanda Tangan:

Nim : 11-2017-195

Dr Pembimbing / Penguji : dr Abdi Bumi Suryanto Sp.THT

IDENTITAS PASIEN

Nama : TN. W.H Jenis Kelamin : Laki - Laki


Tempat/tanggal lahir : Banyumas 9 Kebangsaan : Indonesia
Oktober 1982 (35 tahun)
Status Perkawinan : Sudah Menikah Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta Pendidikan : -
Alamat : Jl Raden Pemuda gang damai Tanggal Masuk Rumah Sakit : 26 Mei
Gunung salak, way halim, Bandar 2018
Lampung

ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis
Tanggal : 26/05/2018 Jam : 10.00 WIB

Keluhan utama :
Sakit tenggorokan sejak 1 bulan SMRS
Riwayat perjalanan penyakit (RPS):

Sejak 1 bulan SMRS pasien mulai merasakan sakit di tenggorokannya. Sakit yang
dirasakan hilang timbul, terutama timbul setelah makan.. Sakit tenggorokan di katakatan pasien
juga sering timbul jika terpapar debu atau asap. Pasien merasakan ada yang mengganjal di dalam
tenggorokannya., tenggorokan tidak gatal dan tidak ada nafas berbau. Tidak ada riwayat trauma
pada tenggorokan pasien.

1 hari SMRS, pasien mulai batuk-batuk. Batuk yang dirasakan hilang timbul dan
diperburuk oleh paparan debu dan asap. Batuk pada pasien tidak disertai dengan darah, jenis batuk
kering dan tidak beriak. Tidak ada riwayat penurunan berat badan yang mendadak pada pasien
dalam 1 bulan ini. Tidak ada riwayat demam pada pasien dalam 1 bulan ini. Tidak ada
pilek,mual,muntah atau gangguan pendengaran pada pasien. Pasien tidak sulit untuk makan atau
minum, masih bisa menggerakkan mulut untuk mengunyah dengan baik.

Sebelum ini pasien pernah mengalami keluhan yang sama sejak 1 tahun yang lalu. Keluhan
membaik 3 bulan kemudian setelah mendapatkan pengobatan di rumah sakit. Pasien sering dan
suka makan makanan yang pedas dan minum minuman bersoda, walaupun saat keluhan
tenggorokan pasien timbul. Pasien juga kurang minum air terutama sewaktu bulan puasa ini.
Pasien sering mengkonsumsi minuman ber ‘es’. Pasien tidak ada riwayat merokok, minum alkohol
dan menyangkal adanya riwayat alergi sejak kecil dan maag.

Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)

Riwayat alergi : Tidak ada

Riwayat trauma : Tidak ada

Riwayat lain : Kencing manis (-) darah tinggi (-)


Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)

Pasien menyatakan tidak ada riwayat alergi maupun asma dalam keluarganya.

PEMERIKSAAN FISIK

Status General

 Keadaan umum : tampak sakit ringan


 Kesadaran : compos mentis
 Status Gizi : cukup
 Nadi : 87 x/menit
 Tensi : 110/70 mmHg
 Suhu : 37,3 0 C
 RR : 21 x/menit

Kepala dan Leher


 Kepala : normosefali
 Wajah : simetris
 Leher anterior : KGB tidak teraba membesar
 Leher posterior: KGB tidak teraba membesar

TELINGA

KANAN KIRI
Bentuk daun telinga Normotia Normotia
Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
Radang, tumor Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Penarikan daun telinga Tidak ada Tidak ada
Kelainan pre, infra, Abses (-), hiperemis (-), nyeri Abses (-), hiperemis (-), nyeri
retroaurikuler tekan (-), benjolan (-) tekan (-), benjolan (-)
Region Mastoid Abses (-),nyeri tekan (-) Abses (-), nyeri tekan (-)
Liang telinga Lapang, furunkel (-), jaringan Sempit, furunkel (-), jaringan
granulasi (-), serumen (-), granulasi (-), serumen (-),
sekret (-) hiperemis (-), sekret (-), darah (-), hiperemis
edema (-). (-), edema (-).
Membran timpani Utuh, reflek cahaya (+), Utuh, reflek cahaya (+),
Hiperemis(-), perforasi (-) Hiperemis(-), perforasi (-)

TES PENALA

Tes tidak dilakukan

KANAN KIRI

Rinne - -

Weber - -

Swabach - -

Penala yang dipakai - -


HIDUNG

HIDUNG KANAN KIRI


Vestibulum Tampak bulu hidung Tampak bulu hidung
Sekret (-) Sekret (-)
Furunkel (-) Furunkel (-)
Krusta (-) Krusta(-)
Cavum nasi Lapang Lapang
Sekret (-) Sekret (-)
Konka inferior Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)
Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Sekret (-) Sekret (-)
Konka medius Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)
Sekret (-) Sekret (-)
Meatus nasi medius Tidak tampak Tidak tampak
Sulit dinilai Sulit dinilai
Sinus frontalis Tidak ada Tidak ada
(nyeri tekan + nyeri ketuk)
Sinus maksilaris Tidak ada Tidak ada
( nyeri tekan + nyeri ketuk)
Septum nasi Simetris , tidak ada deviasi Simetris , tidak ada deviasi

RHINOPHARYNX

 Koana : Tidak dilakukan


 Septum nasi posterior : Tidak dilakukan
 Muara tuba eustachius : Tidak dilakukan
 Tuba eustachius : Tidak dilakukan
 Torus tubarius : Tidak dilakukan
 Post nasal drip : Tidak dilakukan

PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI

 Sinus frontalis kanan : Negatif


 Sinus frontalis kiri : Negatif
 Sinus maxillaris kanan : Negatif
 Sinus maxillaris kiri, grade : Negatif

TENGGOROK

FARING

 Dinding faring : Hiperemis (+), mukosa tidak rata, granul (+), post nasal drip (-) penebalan
dinding lateral faring , lendir mukoid (-)
 Arcus : Hiperemis (+) simetris
 Tonsil : T1-T1
 Uvula : Bentuk normal, di garis median, hiperemis (-)
 Gigi : Semua gigi dalam batas normal

LARYNX
 Epiglottis : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Plica aryepiglottis :Tidak dilakukan pemeriksaan
 Arytenoids : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Ventricular band : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Pita suara : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Rima glotidis : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Cincin trachea : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Sinus piriformis : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Kelenjar limfe : Tidak dilakukan pemeriksaan
RESUME

Dari anamnesa didapatkan keluhan :

Sejak 1 bulan SMRS pasien mulai merasakan sakit di tenggorokannya. Sakit yang dirasakan hilang
timbul, terutama timbul setelah makan. Sakitnya seperti panas di tenggorokan. Sakit
tenggorokannya juga sering timbul jika terpapar debu atau asap. Pasien juga merasakan seperti
mengganjal di dalam tenggorokannya. 1 hari SMRS, pasien mulai batuk-batuk. Batuk yang
dirasakan hilang timbul dan diperburuk oleh paparan debu dan asap. Suara pasien juga mulai serak
dan sulit untuk berbicara. Kepala pasien juga sering sakit dalam 1 bulan ini dan badan terasa panas
dingin. Sebelum ini pasien pernah mengalami keluhan yang sama sejak 1 tahun yang lalu. Keluhan
membaik 3 bulan kemudian selepas mendapatkan pengobatan di rumah sakit. Pasien sering dan
suka makan makanan yang pedas dan minum minuman bersoda dan es, walaupun saat keluhan
tenggorokan pasien timbul. Pasien juga kurang minum air terutama sewaktu bulan puasa ini

Dari pemeriksaan didapatkan pada :

Telinga kanan

Tidak ditemukan kelainan

Hidung

Tidak ditemukan kelainan.

Tenggorok

Dinding faring hiperemis, terlihat banyak granul di permukaan dinding faring dan post nasal drip
(-) lendir mukoid (-) Arcus faring hiperemis. Pada pemeriksaan laring kelihatan epiglotis hingga
sinus piriformis hiperemis.
WORKING DIAGNOSIS

Faringitis Kronik

Dasar yang mendukung :

 Sakit tenggorokan hilang timbul dalam 1 bulan


 Pernah mengalami gejala yang sama 1 tahun yang lalu
 Terdapat faktor predisposisi/ pencetus : debu, asap, makan pedas dan minum soda dan es
 Pemeriksaan fisik : dinding dan arcus faring hiperemis, terlihat banyak granul dan post
nasal drip (-) penebalan dinding lateral faring

Dasar yang tidak mendukung

 Tenggorokan tidak gatal dan tidak beriak


 Disertai batuk kering tidak berdahak

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

Faringitis Kronik Atrofi

Dasar yang mendukung :

 Sakit tenggorokan hilang timbul dalam 1 bulan


 Pernah mengalami gejala yang sama 1 tahun yang lalu
 Tenggorokan terasa kering
 Dinding faring dan sekitar hiperemis

Dasar yang tidak mendukung:

 Mulut tidak berbau


 Tidak tampak lapisan lendir yang kental
 Dinding lateral faring tidak atrofi
 Mukosa tampak tebal dan bergranul
PROGNOSIS

Ad vitam : Ad Bonam

Ad fungsionam : Ad Bonam

Ad sanationam : Ad Bonam

PENATALAKSANAAN

Faringitis kronis hiperplastik

Medikamentosa :

EDUKASI

 Kontrol ke spesialis THT seminggu kemudian.

 Minum air yang banyak dan sering

 Diet lunak dan tidak keras

 Menghindari iritan seperti paparan debu atau asap dengan memakai masker di
persekitarannya

 Mengurangkan makanan yang bisa merusak mukosa tenggorokan seperti makanan pedas,
soda, atau minum es.
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Anatomi Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti corong dengan bagian
atas yang besar dan bagian bawah yang sempit. Faring merupakan ruang utama traktus
resporatorius dan traktus digestivus. Kantong fibromuskuler ini mulai dari dasar tengkorak dan
terus menyambung ke esophagus hingga setinggi vertebra servikalis ke-6.1
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa ±14 cm dan bagian ini merupakan
bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh selaput lendir, fasia
faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.2
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang (longitudinal).
Otot-otot yang sirkular terdiri dari M.Konstriktor faring superior, media dan inferior. Otot-otot ini
terletak ini terletak di sebelah luar dan berbentuk seperti kipas dengan tiap bagian bawahnya
menutupi sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu
sama lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat. Kerja otot konstriktor ini adalah untuk
mengecilkan lumen faring dan otot-otot ini dipersarafi oleh Nervus Vagus.3

Gambar : Otot-otot Faring dan Esofagus


Berdasarkan letaknya maka faring dapat dibagi menjadi Nasofaring, Orofaring dan
Laringofaring (Hipofaring).
Gambar: Anatomi Nasofaring, Orofaring dan Hypoparing

Nasofaring merupakan bagian tertinggi dari faring, adapun batas-batas dari nasofaring ini
antara lain : - batas atas : Basis Kranii
- batas bawah : Palatum mole
- batas depan : rongga hidung
- batas belakang : vertebra servikal
Nasofaring yang relatif kecil mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur
penting seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang
disebut fossa Rosenmuller, kantong ranthke, yang merupakan invaginasi struktur embrional
hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba
Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh Nervus Glossopharyngeus, Nervus Vags
dan Nervus Asesorius spinal saraf cranial dan vena jugularis interna, bagian petrosus os temporalis
dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius.1,3
Orofaring disebut juga mesofaring, karena terletak diantara nasofaring dan laringofaring.
Dengan batas-batas dari orofaring ini antara lain, yaitu : - batas atas : palatum mole
- batas bawah : tepi atas epiglottis
- batas depan : rongga mulut
- batas belakang : vertebra servikalis
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine,
fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.
Laringofaring (hipofaring) merupakan bagian terbawah dari faring. Dengan batas-batas
dari laringofaring antara lain, yaitu : - batas atas : epiglotis
- batas bawah : kartilago krikodea
- batas depan : laring
- batas belakang : vertebra servikalis1,3

1.2 Fisiologi Faring


Fungsi faring yang terutama adalah ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi
suara dan artikulasi.4

1.2.1. Fungsi Menelan

Menurut kamus deglutasi atau deglutition diterjemahkan sebagai proses memasukkan


makanan kedalam tubuh melalui mulut “the process of taking food into the body through the
mouth”.

Proses menelan merupakan suatu proses yang kompleks, yang memerlukan setiap organ yang
berperan harus bekerja secara terintegrasi dan berkesinambungan. Dalam proses menelan ini
diperlukan kerjasama yang baik dari 6 syaraf cranial, 4 syaraf servikal dan lebih dari 30 pasang
otot menelan.4

Pada proses menelan terjadi pemindahan bolus makanan dari rongga mulut ke dalam lambung.
Secara klinis terjadinya gangguan pada deglutasi disebut disfagia yaitu terjadi kegagalan
memindahkan bolus makanan dari rongga mulut sampai ke lambung.2
Gambar : Proses Menelan
1.2.2. Fungsi Faring Dalam Proses Bicara

Percakapan digunakan untuk berkomunikasi antar individu Untuk menyempurnakan


proses percakapan ini, diperlukan aktivitas otot. Bagian penting dalam percakapan dan bahasa
adalah cerebral cortex yang berkembang sejak lahir dan memperlihatkan perbedaan pada orang
dewasa. Perbedaan ini memperlihatkan bahwa pengalaman phonetic bukan hal yang perlu untuk
perkembangan area pusat saraf dalam sistem percakapan.

Otot-otot yang mengkomando organ bicara diatur oleh motor nuclei di otak, dengan
produksi suara diatur oleh control pusat di bagian rostral otak.

Respirasi. Proses bicara diawali oleh sifat energi dalam aliran dari udara. Pada bicara yang normal,
aparatus pernapasan selama ekshalasi menyediakan aliran berkesinambungan dari udara dengan
volume yang cukup dan tekanan (di bawah kontrol volunteer adekuat) untuk phonasi. Aliran dari
udara dimodifikasi dalam fungsinya dari paru-paru oleh fasial dan struktur oral dan memberikan
peningkatan terhadap simbol suara yang dikenal sebagai bicara.2
1.3. Definisi
Faringitis adalah peradangan dinding faring yang dapat disebabkan akibat infeksi maupun
non infeksi.
1.4. Etiologi
Banyak microorganism yang dapat menyebabkan faringitis, virus (40-60%) bakteri (5-
40%). Respiratory viruses merupakan penyebab faringitis yang paling banyak teridentifikasi
dengan Rhinovirus (±20%) dan coronaviruses (±5%). Selain itu juga ada Influenza virus,
Parainfluenza virus, adenovirus, Herpes simplex virus type 1&2, Coxsackie virus A,
cytomegalovirus dan Epstein-Barr virus (EBV). Selain itu infeksi HIV juga dapat menyebabkan
terjadinya faringitis.5
. Group A streptococcus merupakan penyebab faringitis yang utama pada anak-anak bdan
orang dewasa. Bakteri penyebab faringitis yang lainnya (<1%) antara lain Neisseria gonorrhoeae,
Corynebacterium diptheriae, Corynebacterium ulcerans, Yersinia eneterolitica dan Treponema
pallidum, Mycobacterium tuberculosis.5
Faringitis dapat menular melalui droplet infection dari orang yang menderita faringitis.
Faktor resiko penyebab faringitis yaitu udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh, konsumsi
makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan.2

1.5 Patogenesis

Group A streptococcus memiliki sifat penularan yang tinggi dengan droplet udara yang
berasal dari pasien faringitis. Droplet ini dikeluarkan melalui batuk dan bersin. Jika bakteri ini
hinggap pada sel sehat, bakteri ini akan bermultiplikasi dan mensekresikan toksin. Toksin ini
menyebabkan kerusakan pada sel hidup dan inflamasi pada orofaring dan tonsil. Kerusakan
jaringan ini ditandai dengan adanya tampakan kemerahan pada faring Periode inkubasi faringitis
hingga gejala muncul yaitu sekitar 24 – 72 jam.6

Beberapa strain dari Group A streptococcus menghasilkan eksotoksin eritrogenik yang


menyebabkan bercak kemerahan pada kulit pada leher, dada, dan lengan. Bercak tersebut terjadi
sebagai akibat dari kumpulan darah pada pembuluh darah yang rusak akibat pengaruh toksin.
Faktor risiko dari faringitis yaitu.7
 Cuaca dingin dan musim flu
 Kontak dengan pasien penderita faringitis karena penyakit ini dapat menular melalui udara
 Merokok, atau terpajan oleh asap rokok
 Infeksi sinus yang berulang
 Alergi 2,4

1.6. Klasifikasi Faringitis


1.6.1. Faringitis Akut
a. Faringitis Viral
Rinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian akan menimbulkan
faringitis. Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorokan dan sulit menelan. Pada pemeriksaan
tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, Coxsachievirus, dan cytomegalovirus tidak
menghasilkan eksudat. Coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesicular di orofaring dan lesi kulit
berupa maculopapular rash.1,2,3

Gambar : Viral Pharyngitis


Adenovirus selain menimbulkan gejala faringitis, juga menimbulkan gejala konjungtivitis
terutama pada anak. Epstein-Barr virus (EBV) menyebabkan faringitis yang disertai produksi
eksudat pada faring yang banyak. Terdapat pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama
retroservikal dan hepatosplenomegali. Faringitis yang disebabkan HIV menimbulkan keluhan
nyeri tenggorok, nyeri menelan, mual dan demam. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis,
terdapat eksudat, limfadenopati akut di leher dan pasien tampak lemah. 1,3

b. Faringitis Bakterial
Nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang-kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi
dan jarang disertai dengan batuk. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil
hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak
petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri pada
penekanan.4.6

Gambar : Streptococcal Pharyngitis

Faringitis akibat infeksi bakteri streptococcus group A dapat diperkirakan dengan


menggunakan Centor criteria, yaitu : - demam
- Anterior Cervical lymphadenopathy
- Tonsillar exudates
- absence of cough
Tiap kriteria ini bila dijumpai diberi skor 1. bila skor 0-1 maka pasien tidak mengalami faringitis
akibat infeksi streptococcus group A, bila skor 1-3 maka pasien memiliki kemungkian 40%
terinfeksi streptococcus group A dan bila skor 4 pasien memiliki kemungkinan 50% terinfeksi
streptococcus group A.1,3

c. Faringitis Fungal
Keluhan nyeri tenggorokan dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di
orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis.

1.6.2. Faringitis Kronik


Terdapat dua bentuk faringitis kronik yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis
kronik atrofi. Faktor predisposisi proses radang kronik di faring adalah rhinitis kronik, sinusitis,
iritasi kronik oleh rokok, minum alcohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan debu.
Faktor lain penyebab terjadinya faringitis kronik adalah pasien yang bernafas melalui mulut karena
hidungnya tersumbat.6,7

a. Faringitis Kronik Hiperplastik


Pasien mengeluh mula-mula tenggorok kering gatal dan akhirnya batuk yang bereak. Pada
faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring. Tampak kelenjar
limfa di bawah mukosa faring dan lateral band hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa
dinding posterior tidak rata dan berglanular.

b. Faringitis Kronik Atrofi


Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada rhinitis atrofi,
udara pernafasan tidak diatur suhu serta kelembapannya sehingga menimbulkan rangsangan serta
infeksi pada faring. Pasien umumnya mengeluhkan tenggorokan kering dan tebal serta mulut
berbau. Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lender yang kental dan bila diangkat
tampak mukosa kering.
1.7. Gejala klinis
Gejala dan tanda yang ditimbulkan faringitis tergantung pada mikroorganisme yang
menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala-gejala seperti demam,
anorexia, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher, faring yang hiperemis, tonsil membesar,
pinggir palatum molle yang hiperemis, kelenjar limfe pada rahang bawah teraba dan nyeri bila
ditekan dan bila dilakukan pemeriksaan darah mungkin dijumpai peningkatan laju endap darah
dan leukosit.1,3
1.8 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis faringitis dapat dimulai dari anamnesa yang cermat dan
dilakukan pemeriksaan temperature tubuh dan evaluasi tenggorokan, sinus, telinga, hidung dan
leher. Pada faringitis dapat dijumpai faring yang hiperemis, eksudat, tonsil yang membesar dan
hiperemis, pembesaran kelenjar getah bening di leher.2,7

1.9 Pemeriksaan Penunjang


Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat membantu dalam penegakkan diagnose antara
lain yaitu :
- pemeriksaan darah lengkap
- GABHS rapid antigen detection test bila dicurigai faringitis akibat infeksi bakteri streptococcus
group A
- Throat culture
Namun pada umumnya peran diagnostic pada laboratorium dan radiologi terbatas.

1.10 Penatalaksanaan
Pada viral faringitis pasien dianjurkan untuk istirahat, minum yang cukup dan berkumur
dengan air yang hangat. Analgetika diberikan jika perlu. Antivirus metisoprinol (isoprenosine)
diberikan pada infeksi herpes simpleks dengan dosis 60-100mg/kgBB dibagi dalam 4-6kali
pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak <5tahun diberikan 50mg/kgBb dibagi dalam 4-
6 kali pemberian/hari.6,7
Pada faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya streptococcus group A
diberikan antibiotik yaitu Penicillin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau amoksisilin
50mg/kgBB dosis dibagi 3kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3x500mg selama 6-10 hari
atau eritromisin 4x500mg/hari. Selain antibiotik juga diberikan kortikosteroid karena steroid telah
menunjukan perbaikan klinis karena dapat menekan reaksi inflamasi. Steroid yang dapat diberikan
berupa deksametason 8-16mg/IM sekali dan pada anak-anak 0,08-0,3 mg/kgBB/IM sekali. dan
pada pasien dengan faringitis akibat bakteri dapat diberikan analgetik, antipiretik dan dianjurkan
pasien untuk berkumur-kumur dengan menggunakan air hangat atau antiseptik. 4,5
Pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan terapi lokal dengan melakukan kaustik faring
dengan memakai zat kimia larutan nitras argenti atau dengan listrik (electro cauter). Pengobatan
simptomatis diberikan obat kumur, jika diperlukan dapat diberikann obat batuk antitusif atau
ekspetoran. Penyakit pada hidung dan sinus paranasal harus diobati. Pada faringitis kronik atrofi
pengobatannya ditujukan pada rhinitis atrofi dan untuk faringitis kronik atrofi hanya ditambahkan
dengan obat kumur dan pasien disuruh menjaga kebersihan mulut.3,7
1.11. Prognosis
Umumnya prognosis pasien dengan faringitis adalah baik. Pasien dengan faringitis
biasanya sembuh dalam waktu 1-2 minggu.

1.12. Komplikasi
Komplikasi infeksi GABHS dapat berupa demam reumatik, dan abses peritonsiler.
• Komplikasi umum faringitis terutama tampak pada faringitis karena bakteri yaitu : sinusitis, otitis
media, epiglotitis, mastoiditis, dan pneumonia. Kekambuhan biasanya terjadi pada pasaien dengan
pengobatan yang tidak tuntas pada pengobatan dengan antibiotik, atau adanya paparan baru.1,3,6
• Demam rheumatic akut(3-5 minggu setelah infeksi), poststreptococcal glomerulonephritis, dan
toxic shock syndrome, peritonsiler abses
• Komplikasi infeks mononukleus meliputi: ruptur lien, hepatitis, Guillain Barré syndrome,
encephalitis, anemia hemolitik, myocarditis, B-cell lymphoma, dan karsinoma nasofaring.1,5
DAFTAR PUSTAKA

1. George . LA, Diseases of the Nasopharynx and Oropharinynx, ms 332-9 Boies


Fundamentals of Otolaryngology 6th Edition 2005
2. Dhingra PL on Diseases of Pharynx and Larynx, ms 525-8, Diseases of Ear, Nose and
Throat 5th Edition
3. Soepardi EA, Buku Ajar Ilmu KesehatanTelinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher
Edisi ke enam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 2018
4. Lalwani AK, Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and Neck 2nd Edition,
The McGraw-Hill Companies 2017
5. http://emedicine.medscape.com/article/764304 on Pharyngitis
6. Sosialisman & Helmi. 2001. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
7. Suardana, W. dkk. 2012. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Telinga, Hidung
dan Tenggorok RSUP Denpasar. Lab/UPF Telinga Hidung dan Tenggorok FK Unud.
Denpasar.

You might also like