You are on page 1of 13

Makhluk-Makhluk Ghaib dalam al-Qur’an: Kajian

atas Hakikat dan Perannya dalam


Kehidupan Manusia
Maizuddin M. Nur

Kepercayaan kepada makhluk-makhluk ghaib merupakan bagian yang tak


terpisahkan dari kehidupan manusia. Tidak hanya masyarakat nomad dan primitif
yang mempercayainya, tetapi juga masyarakat modern. Masyarakat Arab nomaden
yang hampir tidak memperdulikan kepercayaan kepada tuhan-tuhan, meyakini
sepenuhnya makhluk ghaib semisal jin. Pada masyarakat modern, kepercayaan
kepada makhluk semisal malakaikat dan jin telah dikemas dalam film-film, seperti
“City of Angles”, “To Meet Jo Black” atau sinetron-sinetron yang menarik untuk
dinikmati.

Secara tersamar, di antara makhluk-makhluk ghaib ini ditakuti, karena mereka


diyakini dapat mencelakakan manusia. Perannya dalam membentuk laku manusia
dianggap sangat kuat hingga diyakini bahwa setiap kejahatan dan dosa yang
dilakukan manusia tak pernah lepas dari peran dan andil mereka. Dan akhirnya
sebagian dari mereka dianggap sebagai sumber dosa dan kejahatan. Kepercayaan
seperti ini membuat orang mudah melemparkan tanggung jawab atas kejahatan dan
dosa yang dilakukannya. Lebih jauh, keyakinan seperti ini akan menimbulkan
pesimisme filosofis dalam menanggulangi dan mengurangi dosa serta kejahatan.
Tetapi, sebagian dari makhluk ini diyakini pula dapat membantu manusia.

Kepercayaan kepada makhluk-makhluk ghaib dan perannya dalam kehidupan


manusia, terutama bagi kaum muslim, tak dapat dilepaskan dari al-Qur’an sebagai
kitab petunjuk mereka. Al-Qur’an dalam pembicaannya memang menyebut-nyebut
makhluk ghaib dengan beberapa nama seperti malaikat, ruh, ruh al-amin, jin, iblis,
dan syaitan. Uniknya sebagian dari makhluk ini terkadang dinyatakan sebagai
person, tapi pada kali yang lain dinyatakan sebagai sebuah prinsip atau kekuatan
objektif, serta sebagai simbol. Demikian pula penyebutan mereka, di antaranya
sangat sering disebut pada ayat-ayat periode Mekah dan hampir tidak ditemukan lagi
pada ayat-ayat periode Madinah.

Akan tetapi, pertanyaan bagaimana sebetulnya peran makhluk-makhluk ghaib ini


dalam kehidupan manusia, baik itu dari sisi bentuk peran maupun kekuatan peran itu
sendiri, tentu merupakan pertanyaan paling penting dan memerlukan kajian yang
serius. Sebab manusia sendiri seperti yang dikatakan Murtadha Muthahari (Murtadha
Muthahari: 1998: 138) adalah kelompok makhluk yang membawa serta dalam
dirinya suatu peran yang lebih efektif dan luas, sehingga secara spontan manusia
dapat mewujudkan nasibnya sendiri, di mana peran ini dilakukan secara sadar dan
melalui kehendak bebasnya.

Alam Ghaib dan Makhluknya


Secara garis besar, al-Qur’an membagi alam menjadi dua alam yang berbeda, yakni
alam syahadah dan alam ghaib (16: 8; 33: 63; 39: 46). Alam yang disebut pertama
adalah alam yang berada dalam kurungan wilayah pengalaman empiris dan inderawi,
sedang yang kedua adalah alam yang berada di luar jangkauan inderawi. Tetapi,
sesungguhnya perbedaan kedua alam ini, seperti yang ditulis Toshihiko Izutsu, hanya
akan memiliki makna dalam kaitannya dengan kemampuan epistimologis dasar
pikiran manusia. (Toshihiko Izutsu: 199) Dengan demikian, kegaiban hanya
dipandang dari sisi manusia, tidak di sisi Tuhan, karena al-Qur’an berulang kali
menyatakan bahwa Tuhan mengetahui yang ghaib.

Para saintis melalui perhitungan matematis berkesimpulan bahwa alam ghaib yang
mereka sebut dengan alam kembaran (shadow world) sebenarnya berada di seliling
kita dengan hukum alam yang tidak mesti sama dengan alam manusia. Ia tidak dapat
dilihat, tetapi bisa dihubungi dengan medan gaya gravitasi. Ada kemungkinan bahwa
tidak hanya satu alam saja yang menjadi kembaran, tetapi beberapa alam. Namun
demikian tidak dapat dipastikan berapa jumlah alam tersebut secara eksak. (Achmad
Baiquni, 1994: ). Yang jelas, pemakaian kata alam dalam bentuk plural oleh al-
Qur’an mengindikasikan jumlah alam yang banyak.

Sama dengan alam manusia, alam kembaran yang bersifat ghaib juga dihuni oleh
makhluk-makhluk yang tentu bersifat ghaib. Makhluk-makhluk ini memiliki identitas
sendiri. Selaras dengan alamnya yang bersifat ghaib, dan hukum alam yang tidak
sama dengan alam manusia, maka makhluk-makhluknya pun bersifat spiritual dan
berkekuatan supernatural. Apa yang membuat kekuatan mereka bersifat supernatural,
adalah kekuatan yang tidak terikat, tetapi bebas dari batas-batas yang berlaku bagi
tindakan natural. Jadi, berbeda dengan manusia yang satu saat secara pasti sampai
pada batas kemampuannya dalam menghadapi dunia alamiah. Ide-ide dan tujuannya
pun harus tetap dilaksanakan dengan tindakan material, di dalam dunia materi yang
sangat terbatas. Makhluk-makhluk spiritual ini dapat hidup lebih lama, juga dapat
hadir dalam alam walaupun itu bukan menjadi bagian darinya. Mereka tidak konstan
sebab mereka dapat berada dimana saja, kapan saja dan bisa melakukan banyak hal.
Karena itu kekuatan mereka jauh berada di atas kekuatan manusia yang terikat
dengan batas-batas dunia materi. Itu sebabnya kita mendapati al-Qur’an menyatakan
bahwa malaikat memiliki kecepatan menempuh jarak yang sangat luar biasa
cepatnya (QS. 70: 4; 79: 3) Demikian pula jin yang menunjukkan kekuatan dirinya
kepada Sulaiman untuk membawa singgasana ratu Balqis sebelum Sulaiman bangkit
dari tempat duduknya (QS. 27: 39). Mereka memiliki kekuatan fisik yang dahsyat
termasuk kesanggupan untuk menghilang. Akhirnya, hanya kekuatan spritual lain
yang dapat membatasi kemampuan mereka.

Hakikat Makhluk-Makhluk Ghaib

Dari beberapa pembicaraan al-Qur’an tentang makhluk-makhluk ghaib ini, kita dapat
mengelompokkan mereka dalam beberapa katagori, yakni yang berbentuk person,
fungsi/kekuatan objektif, dan simbol.
A. Person

Person adalah materi yang mengambil bentuk diri pribadi atau jisim yang hidup,
bersifat eksistensial dan mutlak, bukan hanya kondisi-kondisi. Ia adalah entitas yang
khusus dan terorganisasi. Ia bersifat mutlak, karena keberadaannya cukup dengan
dirinya sendiri, tanpa harus dikaitkan dengan sesuatu yang lain, yakni bahwa zat dan
sifat yang ada pada dirinya cukup untuk dapat diasumsikan sebagai sebuah entitas
yang terorganisir. Sebagai person, ia bersifat aktif; mempunyai kehendak, tujuan dan
kekuatan untuk mencapai tujuan. Ia juga memiliki mempunyai identitas sendiri yang
berbeda antara satu dengan lainnya.

Berkenaan dengan malaikat, ruh, jin dan iblis, tampaknya kita punya cukup alasan
yang kuat untuk mengatakan bahwa malaikat, jin dan iblis adalah person bukan
hanya fungsi atau simbol. Malaikat yang disebut al-Qur’an sebanyak 88 kali
misalnya, baik dalam bentuk tunggal maupun jamak, selalu dinyatakan dalam bentuk
person. Di samping itu malaikat juga memiliki nama-nama. (QS. 66: 6). Dengan
demikian, penafsiran yang menyatakan bahwa malaikat sebagai sebagai bayang-
bayang ilmiah, hukum alam, bisikan hati nurani, atau sebagai bintang-bintang planet
(satelit planet) (Muhammad Husein al-Dzahabi, 1976: ), sangat sulit untuk diterima.
Demikiran pula dengan jin, sangat tegas sekali digambarkan sebagai person.
Beberapa orang di antaranya dikatakan al-Qur’an menjadi pekerja-pekerja yang
mengabdi pada kerajaan Sulaiman yang membantu membuat gedung-gedung tinggi
dan menyelam mutiara. (QS. 21: 82). Sementara iblis yang merupakan salah satu jin
tentu berbentuk person pula.

Malaikat, sebagai makhluk yang berbentuk person, dalam pandangan al-Qur’an


tidaklah dapat diidentifikasikan secara kasar seperti konsep yang diterima
masyarakat Arab sebelum Muhammad (QS. 25: 7; 6: 8-9); yakni sebagai manusia
yang berjalan di bumi bersama-sama mereka dengan sedikit perbedaan yang tampak
di luar kebiasaan. Mereka adalah makhluk-makhluk langit yang mulia (QS. 21: 26
selalu mengabdi kepada Allah. Dalam pengabdiannya kepada Tuhan, mereka
melakukan banyak tugas, dari tugas yang berada dalam wilayah otoritas tasyri’,
seperti bertasbih memuji Tuhan (QS. 2: 30; 7: 206; 40: 7; 42: 5); memberikan ilham
(QS. 16:2), meneguhkan hati orang mukmin (QS. 8: 12); menjadi kawan (QS. 40: 31-
32) dan memohon ampun bagi orang-orang mukmin (QS. 42: 5), maupun tugas
dalam wilayah takwiniy yang berkaitan dengan kebersinambungan dan pengaturan
alam, seperti mencabut nyawa. (QS. 4:97; 6: 61; 6: 28 dan 32; 32: 11; 47: 27; 79: 1-
2). Dalam pengabdiannya mereka sama sekali tidak punya keinginan lain kecuali
pengabdian itu, dan karenanya secara otomatis ia adalah baik. (QS. 6: 49; 21: 27; 66:
6)

Tampaknya cukup beralasan sekali ketika teori kejatuhan malaikat tidak diterima
oleh umumnya para teolog. Bahwa cerita tentang malaikat yang tak puas dengan
eksistensinya seperti dua malaikat Harut dan Marut yang minta izin kepada Tuhan
untuk menjadi manusia dan tinggal di bumi, atau seperti apa yang digambarkan
dalam film City of Angels, yaitu seorang malaikat yang terdampar di kaki seorang
wanita disebabkan keinginan menjadi manusia, sangat bertentangan dengan apa yang
digambarkan al-Qur’an tentang malaikat. Malaikat dalam gambaran al-Qur’an sama
sekali tidak punya instink lain keculai mengabdi kepada Tuhan.

Akan halnya Jibril dan Mikail, dua nama makhluk spiritual yang pernah disebut al-
Qur’an, bukanlah seperti anggapan umum bahwa ia adalah malaikat biasa. Sangat
jarang sekali al-Qur’an menyamakan keduanya dengan malaikat. Bahkan kita punya
cukup alasan untuk membedakannya dengan malaikat: Barangsiapa yang menjadi
musuh Allah; malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka
sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir. (QS. 2: 98). Bandingkan pula
dengan Surat al-Tahrim: 4. Bila malaikat tidak pernah dinyatakan menyampaikan
wahyu kepada rasul-rasul, maka Jibril sangat sering disebut sebagai pembawa wahyu
Allah. Sering kali ia disebut dengan nama lain; ruh al-amin (ruh yang dipercaya).
ruh al-qudus (ruh yang suci). (QS. 26: 193; 16: 102; 2: 87, 253; 5: 110).

Namun demikian perlu dicatat bahwa kita juga tidak bisa membuat dikotomi yang
sangat tajam antara malaikat dengan Jibril dan Mikail. Sebab, seringkali al-Qur’an
menyebut malaikat-malaikat dan ruh secara bersamaan. (QS. 9: 74: 70: 4; 78: 38).
Paling tidak dapat dikatakan bahwa Jibril dan Mikail merupakan ruh-ruh Supra
Angelik, malaikat yang paling mulia, mempunyai kekuatan lebih, dekat dengan Allah
dan ditaati di alam malaikat (QS. al-Takwir/81: 19-24).

Ruh, meskipun dalam banyak tempat, dapat dipandang beralasan ketika diidentikkan
dengan Jibrilkarena sebagian besar kata ruh diungkapkan dalam kaitannya dengan
wahyu dan Rasul-rasul terutama sekali Muhammaddan karena itu ia mesti
mengambil bentuk person, namun tidak selamanya demikian. Dalam proses
penciptaan Adam dan turunannya, ruh disebut-sebut sebagai bagian yang paling
penting dari manusia, karena ia menjadikan manusia hidup (QS. 15: 29 dan 38: 72)
(QS. 32: 9).

Dari sini mungkin dapat dijelaskan bahwa ruh adalah sebuah substansi yang berdiri
sendiri yang berhubungan dengan tubuh, baik itu tubuh yang dapat diindera, seperti
manusia dan binatang, maupun yang tidak, seperti jin, iblis dan barangkali juga
malaikat. Namun penjelesan seperti ini pun tampaknya masih menjadi masalah
karena dalam dua ayat yang lain ruh lebih tepat dimaknai dengan inspirasi (QS. 16:
2; 58: 22). Dalam artian ini, maka ruh tidak dapat dipandang sebagai person, tetapi
lebih bersifat kekuatan objektif. Akan tetapi, bahwa kata ruh dalam al-Qur’an lebih
dominan digambarkan sebagai person adalah satu kenyataan.

Jin adalah makhluk yang kurang lebih sejajar dengan manusia, karena sangat sering
diungkapkan al-Qur’an bersama-sama manusia (QS.6: 130; 7: 38, 179; 17: 88; 27:
17; 41: 25, 29; 46: 18; 55: 33, 39, 56, 74)kecuali bersifat spiritual dan diciptakan
dari api, jelas sekali bahwa ia adalah pribadi-pribadi yang diberi taklif (QS. 51: 56).
Pemberian taklif ini mengindikasikan bahwa jin memiliki atribut yang berfungsi
mewadahi taklif, yakni nafsu sebagai daya penggerak, akal sebagai pengendali dan
agama sebagai pembimbing. (QS. 55: 56 dan 74; 72: 1; 72: 4; 55: 33: 7: 179). Itu
sebabnya ketika serombongan jin mendengarkan bacaan al-Qur’an mereka dapat
merasakan keajaiban yang luar biasa (QS. 72: 1). Meskipun demikian, jin juga
memiliki tingkat kekuatan akal yang berbeda-beda. Karena itu, sebagaimana
pengakuan jin sendiri, di antara mereka ada yang beriman dan ada pula yang
durhaka. (QS. 72: 11)

Akan tetapi, dibanding manusia, tampaknya jin memiliki kekuatan akal yang lebih
rendah. Ketika Allah membandingkan manusia dengan malaikat, termasuk juga
Iblisjin yang pernah tergabung dalam aktivitas malaikatternyata manusia lebih
unggul karena memiliki pengetahuan yang lebih kreatif. (QS. 1: 31-32). Dan itu pula
sebabnya manusia yang dipilih untuk menjadi khlalifah di bumi (QS. 2: 30), yang
memikul amanah yang sangat mulia (QS. 33: 72) bukan jin yang juga mempunyai
akal dan lebih awal diciptakan Tuhan dari manusia.( QS. 15: 27).

Tetapi, apakah penciptaan jin yang lebih awal dari manusia dan tingkat akal yang
berada di bawah manusia dapat dianggap stase awal dalam peristiwa penciptaan
manusia, tak dapat dipastikan dengan jelas. Mungkin sisi yang paling jelas
tampaknya bahwa jin, mungkin disebabkan ia diciptakan dari api, memiliki
kecenderungan yang lebih besar kepada kejahatan. Sementara manusia adalah
ciptaan Tuhan yang terbaik (QS. 95: 4) yang diciptakan dalam keseimbangan
(QS.82: 7).

Menarik untuk dicatat pernyataan al-Qur’an bahwa jin tidak pernah lagi bisa
mendengarkan perbincangan di Dewan Tinggi langit, meminjam istilah Fazlur
Rahman, meskipun telah mencoba mencapai langit. (QS. 72: 8; 15: 17). Dari sini
dapat dinyatakan bahwa meskipun jin dan malaikat sama-sama berada di alam
spiritual (ghaib), namun jin tak dapat mendengarkan berita-berita yang
diperbincangkan malaikat. Dengan demikian, alam malaikat adalah alam ghaib bagi
jin. Pernyataan bahwa jin jahat dapat menyisipkan sesuatu ke dalam pesan-pesan
(wahyu) yang disampaikan Jibril kepada rasul atau nabi, sama sekali sangat sulit
untuk diterima.

Iblis adalah jin yang secara tersendiri pernah disebutkan al-Qur’an (QS. 27: 39 dan
18: 51). Tetapi ia disebut-sebut al-Qur’an karena kedurhakaannya dan aktivitasnya
yang kontra produktif terhadap manusia. Ia bukanlah malaikat, atau malaikat yang
paling mulia yang membangkang dan terusir dari surga seperti yang ditulis dalam
sebagian besar tafsir klasik (Lihat misalnya al-Thabariy, 1983: 224) yang diayakni
pula oleh beberapa orientalis seperti Montgomery Watt (Montgomery Watt: 1991:
246). Hal ini dikarenakan beberapa alasan: (1) al-Qur’an berulang kali menyatakan
malaikat tidak punya keinginan lain kecuali mengabdi kepada Tuhan, dan karena itu
otomatis ia adalah baik. (2) Secara tegas al-Qur’an menyatakan bahwa iblis adalah
jin. iblis adalah dari golongan jin dan ia membangkang terhadap perintah Tuhannya.
(QS. 18: 50)

Adapun perintah sujud kepada Adam bersama malaikat dikarenakan iblis pernah
tergabung dalam aktivitas malaikat. Karena itu, mungkin sekali iblis inilah yang
dikatakan al-Qur’an jin yang dulu pernah berada di Dewan Tinggi langit yang dapat
mendengarkan berita-berita langit tetapi sekarang tidak bisa lagi mendapatkan berita
itu meskipun itu dilakukan dengan mencuri-curi. (QS. 72: 9-10)

B. Fungsi/Kekuatan Objektif

Fungsi atau kekuatan objektif adalah sifat. Ia bukan materi yang berbentuk jisim atau
melibat entitas yang terorganisir. Ia bukan sesuatu yang mutlak tetapi relatif. Ia tidak
bisa ada karena dirinya sendiri, tetapi realitasnya berkaitan dengan sesuatu yang lain,
dengan serangkaian syarat, baik itu materi maupun sifat lainya. Sebuah sifat jahat
misalnya, baru dapat dikatakan bila kita melakukan analogi dengan sesuatu yang
lebih baik.

Syaitan, yang seluruh aktivitasnya sangat kontraproduktif bagi manusia: membujuk


(QS. 14: 22), menghadang (QS. 7: 17); menyesatkan (QS, 32: 39), berkhianat (QS.
17: 64; 4: 120) dan menjadi musuh manusia (QS. 12: 5; 17: 53), terkadang
digambarkan al-Qur’an sebagai person yang tak dapat dipandang sebagai kiasan, tapi
pada kali yang lain dinyatakan sebagai sebuah fungsi yang dapat dipandang sebagai
kiasan. Sebagai contoh, dalam kisah Sulaiman dikatakan bahwa beberapa syaitan
telah mengabdi kepadanya dan mendapat tugas membantu menyelam untuk
mendapatkan mutiara-mutiara serta pekerjaan-pekerjaan lainnya (QS. 21: 82) Tapi
dalam beberapa ayat lain terlihat syaitan menggantikan penyebutan iblis, jin dan
manusia. Dalam kisah penciptaan Adam, pada mulanya ia dinyatakan sebagai iblis,
tetapi setelah tidak mau sujud kepada Adam, lalu terlibat dialog dengan Tuhan, dan
akhirnya menggoda Adam, ia disebut-sebut sebagai syaitan. (QS. 2: 34-36. Lihat
pula QS. 6: 112; 2: 14). Tetapi, kecenderungan besar dari ayat-ayat al-Qur’an yang
dipahami mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa ia adalah fungsi/kekuatan
objektif yang dipersonifiksasikan. Agaknya personifikasi ini merupakan satu hal tak
terelakkan, karena fungsi ketika berhubungan dengan pribadi tentu mengalami
personifikasi. Dengan demikian, syaitan-syaitan yang dinyatakan secara tersendiri
sebagai person memiliki kemungkinan besar untuk dipahami sebagai jin atau
manusia.

Dari sini, dapat dinyatakan bahwa syaitan sebenarnya “tidak ada”, yakni bahwa
syaitan bukanlah person yang berbeda dengan makhluk-makhluk spiritual lain, dan
yang ada dan disebut syaitan adalah jin dan manusia yang berperilaku menyimpang
dari apa yang digariskan Tuhan dan menyesatkan manusia lainnya.

Karena perannya yang kontra produktif, bagi manusia, syaitan sebagai fungsi atau
kekuatan objektif dari kejahatan dapat berada dalam dirinya. Itu sebabnya al-Qur’an
dalam ungkapannya pada beberapa tempat menyatakan aktivitas syaitan berada
dalam diri manusia itu sendiri yang mempengaruhi hati dan pikiran manusia melalui
sugesti. (QS. 7: 20) Dan pada saat yang sama al-Qur’an juga mengatakan bahwa
nafsu manusia juga memberikan sugesti kepada manusia untuk melakukan kejahatan
(QS. 12: 53), maka bagi manusia, syaitan tampaknya identik dengan keakuan
manusia yang negatif. Tetapi, ketika diposisikan dengan manusia, maka syaitan dapat
juga berada di luar diri manusia yang mempengaruhi dan mengajaknya kepada
kesesatan. Itu sebabnya al-Qur’an juga mengingatkan bahwa manusia senantiasa
harus sadar akan sugesti syaitan yang berada di luar diri manusia (QS. 114: 1-6).

C. Simbol

Simbol adalah wadah dari sebuah penampakan ide-ide atau karakter-karakater


tertentu. Simbol memeliki arti penting karena dalam bentuknya yang sederhana ia
dapat mewakili berbagai karakter dari sebuah pribadi, bahkan sebuah bangsa. Tak
dapat dipungkiri hampir manusia yang berada dalam satu komunitas, mulai dari
komunitas yang diikat oleh geografis sampai komunitas yang diikat oleh idiologi.

Begitu pentingnya sebuah simbol hingga al-Qur’an juga ikut menggunakannya.


Salah satu simbol yang digambarkan al-Qur’an adalah thaghut. Dalam pernyataan-
pernyataannya terutama pada periode Madinah kata thaghut tampaknya digunakan
sebagai sebuah simbol yang mewakili segala karakter yang berlawanan dengan
keinginan Tuhan. (QS. 2: 256; 4: 50; 16: 36).

Dari beberapa ayat yang dikutip di atas tampak bahwa thaghut diposisikan
berseberangan dengan Tuhan. Tetapi, berbeda dengan syaitanmeskipun syaitan
sendiri merupakan bagian dari thaghutia lebih tampak sebagai sebuah objek yang
berada di luar diri manusia. Maka dalam artian ini, ia termasuk berhala-berhala dan
apa saja.

PERAN MAKHLUK-MAKHLUK GHAIB DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

Dapat dikatakan bahwa hampir seluruh pernyataan al-Qur’an tentang makhluk-


makhluk spiritual, baik yang berbentuk person, fungsi ataupun simbol, berkaitan
dengan manusia. Tetapi, ini tidak berarti bahwa keberadaannya sangat terkait dengan
kehadiran manusia. Mereka bukanlah makhluk-makhluk yang sengaja diciptakan
untuk mengambil peran dalam kehidupan manusia. Makhluk-makhluk spiritual
tersebut merupakan pendahulu-pendahulu manusia dalam ciptaan Tuhan.

A. Bentuk Peran

Seperti yang dapat kita simpulkan dari ayat-ayat sebelumnya, bahwa sebagian di
antara makhluk-makhluk spiritual itu memiliki peran produktif dan peran
kontraproduktif, tetapi haruslah dipahami bahwa peran itu dalam bentuk spiritual,
yakni pemberian semacam isnpirasi yang berfungsi sebagai sugesti yang terjadi
secara mental, dimana selanjutnya sugesti membentuk suatu pandangan atau
keyakinan terhadap dunia yang dinikmatinya. Demikian ketika dalam perang Badar
Tuhan memerintahkan malaikat untuk memberikan sugesti membakar semangat
orang-orang mukmin mencapai kemenangan. Dan sebaliknya memberikan sugesti
yang membuat hati orang-orang kafir menjadi takut (QS. 8: 12). Penyebutan 1000
malaikat yang membantusebanding dengan kekuatan musuhdalam pertempuran
tersebut, sesungguhnya merupakan kabar gembira yang menentramkan hati.(QS. 8:
10). Semangat dan kekuatan moril yang tertanam dalam diri orang mukmin yang
dikobarkan Nabi (QS. 8: 65-66). Inilah yang mengerakkan seluruh kekuatan materil
manusia yang terpendam, sehingga ketika mengangkat dan mengayunkan pedang
seperti bukan tangan mereka lagi yang mengayunkannya. “Ingatlah, ketika Tuhanmu
mewahyukan kepada para malaikat: Aku bersama kamu. Teguhkanlah pendirian
orang -orang yang beriman. Akan Ku-tanamkan rasa gentar ke dalam hati orang-
orang kafir itu. Pukullah bagian atas leher mereka dan pukul pula setiap ujung jari
mereka. (QS. 8: 12). Sebenarnya bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan
Alllah juga yang telah membunuh mereka. Juga bukan kamu yang melempakan
ketika kamu melempar, melainkan Tuhan juga. (QS. 8: 17).

Demikian pula halnya dengan peran kontraproduktif yang dimainkan Iblis yang
dianggap sebagai sumber dosa dan malapetaka bagi manusia. Peran yang dimainkan
Iblis tak lebih dari pemberian sugesti; bujukan (taswil) godaan (waswas, QS. 20:
112; 114: 5) dan memperlihatkan sesuatu seakan-akan baik (tazwin QS. 15: 39; 27:
23; 29: 38). Ia tidak punya otoritas memaksa manusia melakukan kejahatan dan
kezaliman, wilayah kerjanya terbatas pada pikiran.

Berkenaan dengan peran produktif malaikat seperti yang telah dijelaskan adalah
pertolongan-pertolongan ghaib. Barangkali pertolongan inilah yang dimaksud al-
Qur’an dengan pernyataannya “kepada-Mu lah kami meminta pertolongan” (QS. 1:
5). Secara umum dari pernyataan al-Qur’an dapat digambarkan bahwa pertolongan
ghaib ini mengambil dua bentuk, yakni: dalam bentuk penyiapan kondisi yang
kondusif untuk menerima pertolongan, dan dalam bentuk hidayah spiritual. “Jika
kamu menolong agama Allah, niscaya Dia menolongmu dan meneguhkan
kedudukanmu” (QS. 47: 7). “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari
keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan
Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang-oran yang berbuat baik.” (QS. 29:
69).

Meskipun al-Qur’an secara umum menggambarkan peran yang dimainkan makhluk


spiritual berupa pemberian inspirasi dan oleh karenanya hanya terbatas pada pikiran,
namun terutama jin pernah pula diyatakan perannya dalam bentuk fisis. Seperti yang
pernah dikutip bahwa jin telah ikut andil membagun kota (QS. 21: 82), maka
tampaknya peran tersebut hanya terabatas pada manusia-manusia pilihan atau
manusia tertentu.

B. Kekuatan Peran

Tetapi, peran yang dimainkan makhluk spiritual sesungguhnya berawal dari manusia.
Ia tidak hadir begitu saja memainkan perannya terhadap manusia, tetapi sejauh mana
manusia menyiapkan kondisi yang kondusif bagi kehadirannya. Seperti yang dapat
ditangkap dari al-Qur’an, bahwa manusia dapat berada dalam kondisi jiwa yang
stabil yang disebut al-Qur’an dengan takwa, dan kondisi dimana manusia berada
dalam tensi moral tertentu atau dalam ketidakstabilan. Kondisi yang paling stabil
merupakan ruang yang kondusif bagi kehadiran isnpirasi malaikat, tetapi sangat tidak
kondusif bagi kehadiran ispirasi Iblis.

Sesungguhnya orang-orang yang berkata bahwa Tuhan kami adalah Allah


kemudian konsekuen dengan pendirian mereka itu, maka malaikat akan turun
kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan
janganlah kamu merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan
(memperoleh) syurga yang telah dijanjikan Allah kepada mereka. Kamilah
pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalam
kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula)
didalamnya apa yang kamu minta(QS. 41: 30-31)

Dari sini terlihat bahwa peran produktif dan peran kontraproduktif makhluk-makhluk
ghaib terkait dengan syarat-syarat tertentu. Bagi kehadiran peran produktif malaikat,
manusia harus bersikap aktif yakni harus berusaha secara terus menerus membangun
relasi yang harmonis dengan Tuhan. Tetapi sesungguhnya ini tidaklah sulit
dilakukan. Langkah awal dapat dilakukan dengan mengabdi kepada masyarakat,
membantu orang lemah, berbuat kebajikan kepada siapa saja dan lain-lain
semisalnya. Berbeda halnya dengan peran kontra produktif iblis/setan, hanya dengan
bersifat pasif dan membiarkan diri tenggalam dalam situasi moral yang buruk, peran
tersebut dapat saja hadir dengan sendirinya.

Bagi iblis, kondisi yang paling kondusif adalah ketika manusia berada dalam tensi-
tensi moral yang tidak terjaga, terutama sekali ketika manusia berada dalam dua
kondisi yang sangat sering diungkapkan al-Qur’an, yakni pikiran terpecah-pecah
akibat kepicikan (dha’f) dan kesempitan pikiran (qathr) yang bersumber pada sikap
melupakan Tuhan, misalnya ketika manusia dihadapkan kepada kesulitan-kesulitan
hidup yang terlalu kompleks bagi daya penampungannya; dan dalam keadaan karena
hambatan berfikir yang terutama sekali berakar dari kesombongan. Itu sebabnya al-
Qur’an tak henti-hentinya menyerukan agar manusia harus selalu menempatkan
dirinya dalam aksi-aksi moral yang seimbang dan integral yang dalam terminologi
al-Qur’an disebut dengan taqwa. Jadi, kesimpulannya adalah bahwa peran iblis dan
syaitan sesungguhnya datang setelah manusia berada dalam kondisi moral yang
sangat buruk.

Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (al-
Qur’an), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan
itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya
syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan
mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. (43: 36-37).
Tidakkah kamu lihat, bahwasanya Kami telah mengirimkan syaitan-syatian
itu kepada orang-orang kafir untuk menghasung mereka berbuat maksiat
dengan sungguh-sungguh? (QS. 19: 83)
Karenanya, keliru sekali jika manusia menyalahkan syaitan atau iblis yang membawa
mereka melakukan kejahatan. Sebab inspirasi syaitan datang belakangan setelah
moral manusia berada dalam kondisi yang sangat buruk. Lagi pula syaitan hanyalah
sebuah kekuatan yang mengobarkan kecenderungan-kecenderungan jahat dalam diri
manusia. Jadi bahaya yang sesungguhnya tidaklah terletak pada sugesti yang
dimainkan syaitan, tetapi sikap manusia yang pasif yang membiarkan dirinya berada
dalam situasi moral yang sangat buruk yang merupakan situasi kondusif bagi
kehadiran insipirasi iblis/syaitan.

Iblis/syaitan sebenarnya tidak kuat, tetapi “sesungguhnya sangat lemah sekali”.(QS.


4: 76). Ia tidak memiliki otoritas memaksa manusia, tatapi hanyalah mempengaruhi
pikiran manusia seperti pengakuannya sendiri: “Sekali-kali tidak ada kekuasaan
bagiku terhadapmu, melainkan aku sekedar menyeru dan kamu menjawab seruanku
itu. Maka janganlah kamu mencercaku, tetapi cercalah dirimu” (QS. 14: 22). Tetapi,
kecenderungan jahat yang ada dalam diri manusia (QS. 91: 8) dibiarkan berkembang
akan menjadikan syaitan semakin kuat mempengaruhi manuasia. Kekuatan perannya
tergantung pada kondisi mental manusia. Semakin tidak stabil tensi-tensi moral
manusia, maka akan semakin kuat pula kekuatan peran iblis/syaitan. Karena itu,
manusia memiliki kebebasan yang mutlak dalam menentukan sikapnya. Bila ia tidak
menginginkan aliansi yang kuat dengan syaitan, maka ia harus serius memperbaiki
relasi dengan Tuhan secara berkesinambungan dan mengembangkan kecenderungan-
kecederungan baik dalam dirinya.

Konsep penyesatan manusia oleh iblis/syaitan digambarkan al-Qur’an bersifat


terbatas pada wilayah perundangan (tasyri’) dan taklifi. Iblis/syaitan tidak memiliki
otoritas takwiniy, baik dalam arti memaksa manusia melakukan kejahatan atau
menciptakan kejahatan, bencana dan yang semisalnya. Berbeda dengan malaikat
yang punya pengaruh terhadap kebersinambungan alam dimana kepada mereka
dinisbatkan sebagian pengaturan alam. Jadi syaitan/iblis dalam pandangan al-Qur’an
tidak sama dengan Ahriman dalam ajaran Zoroaster yang kepadanya dinisbatkan
semua kejahatan, bencana, keburukan atau bahkan penyakit-penyakit yang
menyengsarakan manusia. Dengan demikian, tentu iblis atau syaitan jelas tidak bisa
diposisikan vis a vis dengan Tuhan atau malaikat, yakni sebagai kutub yang
berlawanan dan berhadapan hingga membentuk alam menjadi dua bagian yakni
kebaikan dan kejahatan. Bahwa al-Qur’an menyebut iblis sebagai musuh
Allahkarena ia selalu mengajak kepada kejahatan, sementara Allah mengajak
manusia kepada kebaikanadalah bersifat metaforis sebab bagaimanapun Allah dan
malaikat berada sangat jauh dalam otoritasnya. Yang menjadi objek syaitan adalah
manusia. Dan yang memberikan jabatan menyesatkan pada syaitan/iblis adalah Allah
sendiri. Allah berfirman: Keluarlah dari syurga, karena sesungguhnya kamu
terkutuk, dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai kiamat (QS. 15:
33-34).

Ketika manusia memberikan sebuah ruang bagi kehadiran salah satu inspirasi dalam
dirinya, baik inspirasi malaikat yang produktif atau sebaliknya inspirasi Iblis yang
kontraproduktif, maka sulit bagi yang lain untuk menempati ruang tersebut. Semakin
kondusif ruang tersebut bagi salah satu inspirasi, maka kehadiran inspirasi lain akan
semakin sangat sulit. Itu sebabnya kita menemukan al-Qur’an menyatakan
keputusasaan Iblis terhadap orang-orang yang takwa dan ikhlas (QS. 15: 40), atau
pernyataan al-Qur’an yang menyatakan: “syaitan benar-benar menghalangi manusia
dari jalan yang benar” (QS. 43: 37), bahkan “tidak mendapat petunjuk selamanya,
meskipun kamu telah mengingatkannya” (QS. 18: 57) “hati mereka telah terkunci
sama sekali” (QS. 2: 4). hingga tidak lagi bisa mendengarkan pengajaran Tuhan”
(QS. 18: 57). Cukup beralasan pula kiranya Fazlur Rahman menyatakan bahwa al-
Qur’an memperlihat sebuah hukum psikologis bahwa bilamana seseorang sekali
melakukan kebaikan atau kejahatan maka kesempatanya untuk mengulangi
perbuatan yang serupa semakin bertambah dan untuk melakukan perbuatan yang
berlawanan semakin berkurang; dengan terus menerus mengerjakan kebaikan atau
kejahatan maka seorang manusia hampir tidak dapat melakukan perbuatan yang
berlawanan, bahkan untuk sekedar memikirkannya. (Fazlur Rahman, 1983:. 30).

C. Makna Peran

Adalah benar bahwa al-Qur’an berulang kali menyatakan mereka berperan dalam
kehidupan manusia. Tetapi, apakah tujuan al-Qur’an hanya membicarakan dan
menggambarkan person-person dengan berbagai perannya. Al-Qur’an sebagai
petunjuk sesungguhnya bertujuan ingin menempatkan pandangan manusia terhadap
dirinya dan alam lingkungannya dalam koridor tauhid dan; ingin menunjukkan
realitas sesungguhnya dari kehidupan yang dijalaninya di dunia. Itu sebabnya, Adam,
moyang manusia sejak awal telah diberikan pengalaman yang berkenaan dengan
kehidupan yang dijalaninya, yakni kehidupan yang penuh dengan kesenganan,
kebahagiaan, perlindungan Tuhan, dan juga kehidupan yang penuh dengan tantangan
dan godaan sehingga ia dan pasangannya harus menerima akibatnya.

Aktivitas malaikat yang produktif; selalu menebarkan kebaikan, bertasbih memuji


Tuhan (QS. 2: 30; 7: 206; 40: 7; 42: 5); menguhkan hati orang mukmin (QS. 8: 12);
menjadi kawan (QS. 40: 31-32) dan memohon ampun bagi orang-orang mukmin
(QS. 42: 5) sesungguhnya dinyatakan al-Qur’an dalam rangka membentuk
pandangan manusia yang luas, yang optimis dalam memandang dunia, sehingga
pelayanan manusia terhadap jenisnya, keinginan untuk membangun dunia yang
damai disertai dengan kehangatan hati dan cita-cita yang tinggi. Dan pada saat yang
sama juga menjadi semacam patokan moral untuk kebaikan dan kesucian.

Demikian pula dengan aktivitas atau peran iblis/syaitan yang kontraproduktif;


menyertai orang kafir dan selalu membisikkan kejahatan (QS.15: 33-40) dan
pengkhianat manusia (25: 29), dan lain-lain sebagainya merupakan gambaran realitas
dunia yang akan dijalani manusia dengan penuh rintangan dan godaan. Dari sini
diharapkan manusia agar selalu mendengarkan hati nuraninya secara terus menerus
dan menjaga tensi-tensi moralnya untuk selalu berada dalam kondisi yang integral.
Dan akhirnya Iblis/syaitan bagi manusia dihubungkan dengan keangkaraamurkaan .

PENUTUP
Pernyataan al-Qur’an yang selintas tampak “membingungkan” karena terkadang
menggambarkan sebagian dari makhluk ghaib sebagai person dan pada kali yang lain
sebagai sebuah fungsi atau kekuatan objektif bukanlah berarti bahwa al-Qur’an tidak
konsisten dengan apa yang dibicarakannya. Tetapi adalah wajar sebab sebagai firman
Allah Yang Maha Ghaib al-Qur’an telah memasuki wilayah historis yang berada
dalam batasan-batasan kultural manusia, terutama sekali kultur di dalam milieu mana
ia diturunkan. Karena itu sekali lagi adalah untuk menampilkan dirinya dalam
batasan-batasan kultural manusia dan dapat dipahami oleh berbagai lapisan dan
tingkat rasio.

Sebegitu jauh al-Qur’an menggambarkan makhluk-makhluk ghaib, bukanlah tanpa


tujuan sama sekali. Bagi al-Qur’an apa pun yang dijelaskannya merupakan upaya
untuk menyibakkan pandangan manusia terhadap realitas-realitas kebenaran agar
memahami kebesaran Tuhan yang Maha Besar dan Maha Ghaib. Makhluk-makhluk
ghaib yang bersifat spiritual dan berkekuatan supernatural merupakan bagian dari
alam semesta. Memahami fenomena alam, termasuk alam ghaib dapat mengantarkan
manusia menyadari bahwa di balik “tirai” alam semesta ini ada Zat Yang Maha
Kuasa.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Qur’an al-Karim, Dar al-Rasyid, Beirut, t.t.

Abd al-Baqiy, Muhammad Fu’ad, Mu’jam Mufradad li Alfazh al-Qur’an, Dar al-Ihya
al-Turats, al-Arabiy, Beirut, 1992
Ali, Yusuf, The Holy Qur’an: English Translation of The Meaning and
Commentary, Oxford, Landon, 1974
C.E. Bosworth (Ed.), The Encyclopaedia of Islam, Vol. II dan VI, E.J. Brill, Leiden,
1991
Chittick, William C, Vision of Islam, St. Paul, Minnesota: Paragon Hause, 1994.
Departemen Agama, RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Toha Putra, Semarang, 1989
Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-
Qur’an, Tiara Wicana Yogya, Yogyakarta, 1997
Muthahari, Murtadha, Keadilan Ilahi, Mizan, Bandung, 1992.
—————————-, Perspektif Al-Qur’an tentangManusia dan Agama, Mizan,
Bandung, 1995
al-Raghib al-Isfahaniy, Mu’jam Murfadad fi Alfazh al-Qur’an, Dar al-Firkri, Beirut,
1972
Rahman, Fazlur, Tema Pokok al-Qur’an (judul asli: Major Themes of The Qur’an),
Pustaka, Bandung, 1993
al-Thabari, Ibnu Jarir, Jami’ Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Dar al-Fir, Beirut, 1984,
W. Montgomery Watt, Pengantar Studi al-Qur’an (judul asli: Bel’s Introduction to
The Qur’an), Jakarta, Rajawali Press, 1991

You might also like