You are on page 1of 4

‘AGAMA CINTA’ DAN RELIGIO PERENNIS

Oleh: Syamsuddin Arif (Peneliti di INSIST Kuala Lumpur)

Ketika perang Qadisiyyah meletus, Khalifah ‘Umar bin Khattab menulis surat kepada
panglimanya, Sa‘ad bin Abi Waqqas, supaya menaklukkan Hilwan, sebuah propinsi di
Irak. Maka dikirimlah 300 personel kavaleri di bawah komando Nadhlah bin
Mu‘awiyah al-Ansari. Hari itu, setelah dengan mudah menguasai seluruh propinsi,
mereka menyaksikan suatu kejadian luar biasa. Saat itu masuk waktu maghrib dan
Nadhlah pun naik ke sebuah tempat yang agak tinggi di lereng bukit untuk
mengumandangkan azan. Anehnya, setiapkali Nadhlah selesai mengumandangkan
kalimat azannya, spontan terdengar suara seseorang menjawabnya. “Allahu akbar!”
laung Nadhlah, “Kabbarta kabiran, ya Nadhlah!” sahut orang itu. “Asyhadu alla ilaha
illa Allah” dijawab dengan “Kalimatul ikhlas, ya Nadhlah!”. Lalu ketika dilaungkan
“Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, suara misterius itu menyahut, “Huwa ad-
dinu, wa huwa alladzi basysyarana bihi ‘Isa ibnu Maryam ‘alayhima as-salam, wa ‘ala
ra’si ummatihi taqumu as-sa‘ah!” Nadhlah menyambung azannya, “Hayya ‘ala ash-
shalah!” lalu dijawabnya, “Thuba liman masya ilayha wa waazhaba ‘alayha!”,
sedangkan “Hayya ‘ala al-falah!” dijawab dengan “Qad aflaha man ajaaba
Muhammadan shallallahu ‘alayhi wa sallam, wa huwa al-baqa’ li ummatihi”. Dan
laungan “La ilaha illa Allah” disambut dengan “Akhlashta al-ikhlash, ya Nadhlah,
faharrama Allah jasadaka ‘ala an-naar!”
Selesai azan, Nadhlah yang tentu saja tidak gentar, meskipun cukup heran,
lantas berseru: “Siapakah engkau, hai orang yang dikasihi Allah!? Apakah engkau
Malaikat, jin penghuni di sini, atau seorang hamba Allah (dari golongan manusia)?
Engkau telah memperdengarkan pada kami suaramu, maka tunjukkanlah pada kami
dirimu! karena kami ini datang atas perintah Allah dan Rasulullah saw. dan atas
instruksi Umar bin Khattab!” Lalu tiba-tiba terdengar suara gemuruh seperti gempa
bumi kemudian bukit itu terbelah, dan dari situ muncul seorang berambut dan
berjenggot serba putih. Setelah memberi salam, orang misterius tersebut
memperkenalkan dirinya: “Saya Zurayb bin Bartsamla, orang yang disuruh tinggal di
bukit ini oleh hamba yang saleh ‘Isa bin Maryam alayhima as-salam dan didoakan
oleh beliau dapat berumur panjang untuk menunggu turunnya beliau dari langit,
dimana beliau akan memusnahkan babi, menghancurkan salib dan berlepas diri dari
agama kaum Nasrani (yatabarra’ mimma nahalathu an-nashara ).”
Kisah sejarah ini diriwiyatkan oleh Syaikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi dalam
kitabnya, al-Futuhat al-Makkiyyah, bab 36 (fi ma‘rifat al-Isawiyyin wa aqthabihim wa
ushulihim). Lalu apa relevansi kisah tersebut? Menurut Ibnu Arabi, berdasarkan
riwayat ini jelas sekali bahwa pengikut Nabi Isa yang murni tidak hanya mengimani
kenabian Muhammad saw. tapi juga beribadah menurut syari‘atnya. Ini karena
dengan kedatangan sang Nabi terakhir, syari'at agama-agama sebelumnya otomatis
tidak berlaku lagi. Fa inna syari‘ata Muhammad saw. naasikhah!, tegas Ibnu Arabi,
seraya mengutip hadis Rasulullah, “Seandainya Nabi Musa hidup saat ini, maka
beliau pun tidak dapat tidak mesti mengikutiku (Law kana Musa hayyan ma wasi‘ahu
illa an yattabi‘ani).” Di sini nampak cukup jelas sikap dan posisi Ibnu Arabi terhadap
agama pra-Islam.
Ironisnya, sejak beberapa dekade yang lalu hingga sekarang, tokoh Sufi yang
berasal dari Andalusia ini oleh sementara ‘kalangan’ acapkali ‘diklaim’ sebagai
pelopor gagasan Islam inklusif. Nama beliau kerap ‘dicatut’ untuk menjustifikasi ide
pluralisme agama. Tidak hanya itu, Syaikh tasawuf ini bahkan ‘dijadikan bemper’
untuk melegitimasi asumsi para penganut ‘agama perennial’ (religio perennis) bahwa
dalam aspek esoteris dan pada dataran transenden, semua agama adalah sama,
karena semuanya sama benarnya, sama sumbernya (Tuhan), dan sama misinya
(pesan moral, perdamaian, dsb). Dengan kata lain, seperti diungkapkan oleh
Nurcholish Madjid (dalam kata pengantarnya untuk buku Tiga Agama Satu Tuhan ,
hal. xix), “Setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan
yang sama.” Sebagaimana kita ketahui, pemahaman semacam ini dipopulerkan oleh
F. Schuon, S.H. Nasr, W.C. Chittick dalam tulisan-tulisan mereka yang kini nampak
mulai mendapat tempat di Indonesia. Untuk mendukung klaimnya, biasanya
‘kalangan’ ini mengutip tiga bait puisi Ibn Arabi dalam karya kontroversialnya,
Tarjuman al-Asywaq, yang berbunyi: “Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk
dan rupa; ia merupakan padang rumput bagi menjangan, biara bagi para rahib, kuil
anjungan berhala, ka‘bah tempat orang bertawaf, batu tulis Taurat, dan mushaf bagi
al-Qur’an. Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemanapun
langkahnya; demikianlah agama dan keimananku.” Seolah membenarkan asumsinya
sendiri (self-fulfilling prophecy), Nasr menyimpulkan bahwa disinilah Ibnu Arabi
“came to realize that the divinely revealed paths lead to the same summit” (Lihat:
Three Muslim Sages [Delmar, New York: Caravan Books, 1964], hlm.118).
Sekilas memang nampak meyakinkan. Akan tetapi sebenarnya kaum
transendentalis [sengaja?] tidak mengemukakan---kalau bukan justru
menyembunyikan---fakta bahwa Ibnu Arabi telah menjelaskan maksud semua
ungkapannya dalam syarah yang ditulisnya sendiri, yaitu Dzakha’ir al-A‘laq syarh
Tarjuman al-Asywaq (ed.Dr.M.‘Alamuddin asy-Syaqiri, Cairo: Ein for Human and
Social Studies, 1995, hlm.245-6). Di situ dinyatakan bahwa yang beliau maksudkan
dengan ‘agama cinta’ adalah agama Nabi Muhammad saw., merujuk kepada firman
Allah dalam al-Quran 3 (Ali Imran):31, “Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian
betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku!---niscaya Allah akan mencintai
kalian.” Dan memang dalam kitab Futuhat-nya (bab 178, fi Maqam al-Mahabbah),
Ibn Arabi dengan gamblang menerangkan apa yang beliau fahami tentang cinta
dalam ayat tersebut. Berdasarkan objeknya, terdapat empat jenis cinta, kata beliau:
(1) cinta kepada Tuhan (hubb ilahi); (2) cinta spiritual (hubb ruhani); (3) cinta alami
(hubb thabi‘i); dan terakhir (4) cinta material (hubb ‘unsuri). Setelah menguraikan
tipologi cinta tersebut, Ibn Arabi dengan tegas menyatakan bahwa cinta kepada
Tuhan harus dibuktikan dengan mengikuti syari‘at dan sunnah Rasul-Nya saw (al-
ittiba‘ li-rasulihi saw. fima syara‘a). Jadi, ‘agama cinta’ yang beliau maksudkan adalah
Islam, yaitu agama syari‘at dan sunnah Nabi Muhammad saw., dan bukan ‘la religion
du coeur’ versi Schuon dan para pengikutnya itu.
Selain bait puisi di atas, kaum Transendentalis juga giat mencari pernyataan-
pernyataan Ibn Arabi yang dapat di‘plintir’ to serve their own purposes. Ini biasanya
disertai dengan tafsiran seenaknya yang sesungguhnya merupakan ekspresi ke‘sok
tahu’an belaka dan murni reka-reka (conjecture) , sebagaimana terungkap dalam
kalimat “perhaps Ibn Arabi would also accept”, “may be that”, “Ibn Arabi might
reply” dsb. (Lihat Chittick, “A Religious Approach to Religious Diversity” dalam buku
Religion of the Heart: Essays presented to Frithjof Schuon on his eightieth Birthday,
ed. S.H. Nasr dan W. Stoddart, Washington, D.C.: Foundation for Traditional Studies,
1991). Lebih parah lagi---dan ini yang perlu diwaspadai dan dikritisi---adalah praktek
menggunting dan membuang bagian dari teks yang tidak mendukung asumsi
mereka. Sebagai contoh, ketika mengutip sebuah paragraf dari Futuhat (bab )
yang mengungkapkan pendapat Ibnu Arabi mengenai status agama-agama lain
dalam hubungannya dengan Islam, Chittick tidak memuatnya secara utuh. “All the
revealed religions (shara’i‘) are lights. Among these religions, the revealed religion of
Muhammad is like the light of the sun among the lights of the stars. When the sun
appears, the lights of the stars are hidden, and their lights are included in the light of
the sun. Their being hidden is like the abrogation of the other revealed religions that
takes place through Muhammad’s revealed religion. Nevertheless, they do in fact
exist, just as the existence of the light of the stars is actualized. This explains why
we have been required in our all-inclusive religion to have faith in the truth of all the
messengers and all the revealed religions. They are not rendered null (batil) by
abrogation---that is the opinion of the ignorant.” (Lihat: Imaginal Worlds: Ibn Arabi
and the Problem of Religious Diversity, New York: State University of New York
Press, 1994, hlm.125).
Dengan [sengaja?] berhenti di situ, Chittick memberi kesan seolah-olah Ibnu
Arabi menolak pendapat mayoritas kaum Muslimin bahwa semua agama samawi pra-
Islam dengan sendirinya terabrogasi dengan datangnya Islam. Padahal maksud
pernyataan Ibn Arabi adalah semua agama dan kitab suci yang dibawa oleh para
rasul pada zaman dahulu harus diakui kebenarannya dalam konteks sejarah masing-
masing---yakni sebelum Nabi Muhammad saw. muncul. Dan ini merupakan bagian
dari rukun iman. Akan tetapi tidak berarti bahwa validitas tersebut berkelanjutan
setelah kedatangan Rasulullah saw. atau bahkan sampai sekarang. “Nabi Isa pun,
seandainya sekarang ini turun, niscaya tidak akan mengimami kita kecuali dengan
mengikut sunnah kita [Ummat Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu
perkara kecuali dengan syari‘at kita.” (Wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa
minna, ay bi sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi syar‘ina), demikian tegas Ibn Arabi
(Lihat: Futuhat, bab 36). Lebih jauh, dengan kutipan yang tidak komplit itu Chittick
berusaha menggiring pada para pembaca agar meyakini bahwa Ibnu Arabi adalah
seorang penganut pluralisme dan transendentalist seperti dirinya. Sambungan
pernyataan Ibnu Arabi yang dipotong oleh Chittick dalam kutipan tersebut di atas
berbunyi: “Maka berbagai jalan [agama] semuanya bermuara pada jalan [agama]
Nabi [Muhammad] saw. Karena itu, seandainya para rasul berada di zaman beliau,
niscaya mereka mengikuti beliau sebagaimana syari‘at mereka ikut syari‘at beliau”
(Fa raja‘at ath-thuruq kulluha nazhiratan ila thariq an-Nabiy shallallahu ‘alayhi wa
sallama, fa law kanat ar-rusul fi zamanihi latabi‘uhu kama tabi‘at syara’i‘uhum
syar‘ahu).
Bagaimana dengan ayat yang mengatakan bahwa Allah telah menciptakan
syari‘at dan jalan untuk masing-masing kalian (QS al-Ma’idah 48: likullin ja‘alna
minkum syir‘atan wa minhajan) . Menurut Ibnu Arabi, kata ganti orang kedua dalam
bentuk jamak (“kum”) dalam konteks ayat tersebut merujuk kepada para Nabi,
bukan umat mereka. Sebab jika ia ditujukan kepada umat mereka, niscaya Allah
tidak mengutus lebih dari seorang rasul untuk suatu umat. Dan jika kata “kalian”
disitu difahami sekaligus untuk para rasul serta umat mereka, maka kita telah
menta’wilkannya secara gegabah. Jadi maksud ayat tersebut, menurut Ibnu Arabi,
bukan membenarkan semua jalan menuju Tuhan, atau menyamakan status semua
agama. Sebaliknya, terdapat garis demarkasi yang jelas antara hak dan batil, iman
dan kufur, tawhid dan syirik, dst. Kalau tidak, lanjut Ibnu Arabi, niscaya Nabi saw.
tidak akan berdakwah mengajak orang masuk Islam, niscaya orang yang pindah
agama (yartadid ‘an dinihi) tak disebut kafir (QS 2:217) dan niscaya tidak keluar
perintah membunuh orang yang murtad (hadis: “man baddala dinahu fa-qtuluhu”).
Oleh sebab itu, Ibnu Arabi menambahkan, orang Yahudi atau Nasrani yang masuk
Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama mereka memang
mengharuskan beriman kepada dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw.
(Selengkapnya dapat dilihat di Futuhat, bab 495, fi Ma‘rifati hal quthb kana
manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fayamut wa huwa kafir”).

You might also like