You are on page 1of 23

REFERAT

AIRWAY MANAGEMENT

Disusun Oleh :

Adlia Ulfa Syafira 1618012


Amri Yusuf 1618012030
Audya Pratiwi Putri R 1618012041
Dea Gratia Saragih 1618012
I Made Afryan SL 1618012063
Stevi Erhadestria 1618012044

Pembimbing
dr. Dendy Maulana, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

Bila terjadi henti nafas primer, jantung dapat terus memompa darah selama beberapa
menit dan sisa O2 yang ada dalam paru dan darah akan terus beredar ke otak dan organ vital
lain. Penanganan dini pada korban dengan henti napas atau sumbatan jalan napas dapat
mencegah henti jantung. Bila terjadi henti jantung primer, O2 tidak beredar dan O2 yang
tersisa dalam organ vital akan habis dalam beberapa detik. Henti jantung dapat disertai oleh
fenomena listri berikut: fibrilasi ventrikuler takikardi ventrikular, asistole ventrikular atau
disosiasi elektromekanis.
Penilaian terhadap bantuan hidup dasar sangat penting. Tindakan resusitasi (yaitu
posisi, pembukaanjalan napas, napas buatan dan kompresi dada luar) dilakukan kalau
memang betul dibutuhkan. Ini ditentukan penilaian yang tepat. Setiap langkah ABC,
resusitasi jantung paru dimulai dengan: penentuan tidak ada respon, tidak ada napas, dan
tidak ada nadi.
Pada korban yang tiba-tiba kolaps, kesadarannya harus segera dihentikan dengan
tindakan ”goncangan dan teriak” yang terdiri dari: menggoncangkan korban dngan lembut
dan memanggil dengan keras-keras. Bila tidak dijumpai tanggapan, hendaknya korban
diletakkan dala posisi terlentang dan ABC bantuan hidup dasar hendaknya dilakukan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian

Airway Manajement ialah memastikan jalan napas terbuka. tindakan paling penting untuk
keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkang saluran pernapasan. Dengan tujuan untuk
menjamin jalan masuknya udara ke paru secara normal sehingga menjamin kecukupan
oksigenase tubuh.
Menurut The Commite on Trauma: American College of Surgeon (Yayasan Essentia
Medica, 1983: 20; Hendrotomo, 1986: 497) tindakan paling penting untuk keberhasilan
resusitasi adalah segera melapangkang saluran pernapasan, yaitu dengan cara:
a. Triple manuver

Pada Triple Airway Manuever terdapat tiga perlakuan yaitu:


 Kepala ditengadahkan dengan satu tangan berada di bawah leher, sedangkan tangan
yang lain pada dahi. Leher diangkat dengan satu tangan dan kepala ditengadahkan ke
belakang oleh tangan yang lain
 Menarik rahang bawah ke depan, atau keduanya, akan mencegah obtruksi hipofarings
oleh dasar lidah. Kedua gerakan ini meregangkan jaringan antara larings dan rahang
bawah.
 Menarik / mengangkat dasar lidah dari dinding pharyinx posterior.

b. Manuver Heimlich

Manuever Heimlich (The Committee on Trauma: American College of Surgeon (Yayasan


Essentia Medica, 1983: 22) ini merupakan metode yang paling efektif untuk mengatasi
obstruksi saluran pernapasan atas akibat makanan atau benda asing yang terperangkap dalam
pharynx posterior atau glottis.

3
2. Anatomi

Batas hipofaring disebelah superior adalah tepi atas epiglottis, batas anterior ialah
laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra cervical. Bila
hipofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau
dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak
dibawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekuangan yang
dibentuk oleh ligamentum glossoepiglotika medial dan ligamnetum glossoepiglotika lateral

4
pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil”, sebab pada beberapa orang kadang-
kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Dibawah valekula terdapat epiglottis yang berfungsi untuk melindungi glottis ketika
menelan minuman atau bolus makanan.
Berikut gambaran anatominya

Daerah yang sering mengalami sumbatan jalan napas adalah hipofaring, terjadi pada
pasien koma ketika otot lidah dan leher yang lemas tidak dapat mengangkat dasar lidah dari
dinding belakang faring. Ini terjadi jika kepala pada posisi fleksi atau posisi tengah. Oleh
karena itu ekstensi kepala merupakan langkah pertama yang terpenting dalam resusitasi,
karena gerakan ini akan meregangkan struktur leher anterior sehingga dasar lidah akan
terangkat dari dinding belakang faring. Kadang-kadang sebagai tambahan diperlukan
pendorongan mandibula kedepan untuk meregangkan leher anterior, lebih-lebih jika
sumbatan hidung memerlukan pembukaan mulut. Hal ini akan mengurangi regangan struktur

5
leher tadi. Kombinasi ekstensi kepala, pendorongan mandibula kedepan dan pembukaan
mulut merupakan ”gerak jalan napas tripel”. Pada kira-kira 1/3 pasien yang tidak sadar
rongga hidung tersumbat selama ekspirasi karena palatum molle bertindak sebagai katup.
Selain itu rongga hidung dapat tersumbat oleh kongesti, darah atau lendir Jika dagu terjatuh,
maka usaha inspirasi dapat ”menghisap” dasar lidah ke posisi yang menyumbat jalan napas.
Sumbatan jalan napas oleh dasar lidah bergantung kepada posisi kepala dan mandibula serta
dapat saja terjadi lateral, terlentang atau telungkup. Walaupun gravitasi dapat menolong
drainase benda asing cair, gravitasi ini tidak akan meringankan sumbatan jaringan lunak
hipofaring, sehingga gerak mengangkat dasar lidah seperti diterangkan diatas tetap
diperlukan.
Penyebab lain sumbatan jalan napas adalah benda asing, seperti muntahan atau daah
dijalan napas atas yang tidak dapat ditelan atau dibatukkan keluar oleh pasien yang tidak
sadar. Laringospame biasanya disebabkan oleh rangsangan jalan nafas atas pada pasien
stupor atau koma dangkal. Sumbatan jalan nafas bawah dapat disebabkan oleh
bronkospasme, sekresi bronkus, sembeb mukosa, inhalasi isi lambung atau benda asing.
Sumbatan jalan nafas dapat total atau partial.
Tanda-tanda obstruksi partial:
1. Stridor (nafasnya berbunyi), terdengar seperti ngorok, bunyi kumur-kumur
atau melengking.
2. Retraksi otot dada kedalam didaerah supraclavicular, suprasternal, sela iga
dan epigastrium selama inspirasi
3. Nafas paradoksal (pada waktu inspirasi dinding dada menjadi cekung/datar
bukannya mengembang/ membesar).
4. Balon cadangan pada mesin anestesi kembang kempisnya melemah.
5. Nafas makin berat dan sulit (kerja otot-otot nafas meningkat).
6. Sianosis, merupakan tanda hipoksemia akibat obstruksi jalan nafas yang lebih
berat.

Tanda-tanda obstruksi total:


Serupa dengan obstruksi partial, akan tetapi gejalanya lebih hebat dan stridor justru
menghilang
1. Retarksi lebih jelas
2. gerak paradoksal lebih jelas
3. Kerja otot nafas tambahan meningkat dan makin jelas.
6
4. Balon cadangan tidak kembang kempis lagi.
5. Sianosis lebih cepat timbul.
Sumbatan total tidak berbunyi dan menyebabkan asfiksia (hipoksemia ditambah
hiperkarbia), henti nafas dan henti jantung (jika tidak dikoreksi) dalam waktu 5 – 10 menit.
Sumbatan partial berisik dan harus pula dikoreksi segera, karena dapat menyebabkan
kerusakan otak hipoksik, sembab otak atau paru dan penyulit lain serta dapat menyebabkan
kepayahan, henti nafasdan henti jantung sekunder.

3. Airway Management
a. Tindakan penguasaan jalan nafas darurat.

Letakkan pasien pada posisi terlentang pada alas keras ubin atau selipkan papan kalau
pasien diatas kasur. Jika tonus otot menghilang, lidah akan menyumbat faring dan epiglotis
akan menyumbat laring. Lidah dan epiglotis penyebab utama tersumbatnya jalan nafas pada
pasien tidak sadar. Untuk menghindari hal ini dilakukan beberapa tindakan, yaitu:
1. Perasat kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift manuever)
Perasat ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan penolong
mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan lain mendorong dagu
dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap keatas dan epiglotis terbuka,
sniffing position, posisi hitup.

chin lift

Head-tilt

7
2. Perasat dorong rahang bawah (jaw thrust manuever)
Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangakat didorong kedepan pada
sendinya tanpa menggerakkan kepala leher. Karena lidah melekat pada rahang bawah,
maka lidah ikut tertarik dan jalan nafas terbuka.

Jika henti jantung terjadi diluar rumah sakit, letakkan pasien dalam posisi terlentang,
lakukan ”manuever triple airway” (kepala tengadah, rahang didorong kedepan, mulut dibuka)
dan kalau rongga mulut ada cairan, lendir atau benda asing lainnya, bersihkan dahulu
sebelum memberikan nafas buatan.
Pasien tidak sadar hendaknya diletakan horisontal, tetapi kalau diperlukan
pembersihan jalan nafas maka pasien dapat diletakkan dengan posisi kepala dibawah (head
down tilt) untuk mengeluarkan benda asing cair oleh gravitasi. Jangan meletakkan pasien
pada posisi telungkup karena muka sukar dicapai, menyebabkan sumbatan mekanis dan
mengurang kekembungan dada.
Posisi lurus terlentang ditopang dianjurkan utnuk pasien koma diawasi yang
memerlukan resusitasi. Peninggian bahu dengan meletakkan bantal atau handuk yang dilipat
dibawahnya mempermudah ekstensi kepala. Akan tetapi jangan sekali-kali meletakkan bantal
dibawah kepala pasienyang tidak sadar (dapat menyebabkan leher fleksi sehingga
menyebabkan sumbatan hipofaring) kecuali pada intubasi trakea.
Pada kasus trauma pertahankanlah kepala-leher-dada pada satu garis lurus.
Ekstensikan kepala sedang, jangan maksimum. Jangan memutar kepala korban kesamping,
jangan memfleksikan kepalanya. Jika korban harus dimiringkan untuk membersihkan jalan
nafasnya, pertahankanlah kepala-leher-dada tetap dalam satu garis lurus, sementara penolong
lain memiringkan korban Posisi mantap dianjurkan utnuk pasien koma bernafas spontan.

8
b. Pengelolaan Jalan Napas (Airway Management) dengan Alat

Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas pada pasien yang dianestesi
menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior faring.
Mengubah posisi kepala atau jaw thrust merupakan teknik yang disukai untuk membebaskan
jalan nafas. Untuk mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan (artificial airway)
dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk menimbulkan adanya aliran udara antara

lidah dengan dinding faring bagian posterior (Gambar 5-4). Pasien yang sadar atau dalam
anestesi ringan dapat terjadi batuk atau spasme laring pada saat memasang jalan nafas
artifisial bila refleks laring masih intact. Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi
dengan penekanan refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah dengan
spatel lidah. Oral airway dewasa umumnya berukuran kecil (80 mm/Guedel No 3), medium
(90 mm/Guedel no 4), dan besar (100 mm/Guedel no 5).

Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang hidung ke
lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway. Disebabkan adanya
resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan pada pasien yang diberi antikoagulan
atau anak dengan adenoid. Juga, nasal airway jangan digunakan pada pasien dengan fraktur
basis cranii. Setiap pipa yang dimasukkan melalui hidung (nasal airway, pipa nasogastrik,
pipa nasotrakheal) harus dilubrikasi.Nasal airway lebih ditoleransi daripada oral airway pada
pasien dengan anestesi ringan.

9
a) Face Mask Design dan Teknik

Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas anestesi dari
sistem breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan rapat (gambar 5-5).
Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien. Orifisium face mask dapat
disambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui konektor. Face mask yang transparan dapat
mengobservasi uap gas ekspirasi dan muntahan. Facemask yang dibuat dari karet berwarna
hitam cukup lunak untuk menyesuaikan dengan bentuk muka yang tidak umum. Retaining
hook dipakai untuk mengkaitkan head scrap sehingga face mask tidak perlu terus dipegang.
Beberapa macam mask untuk pediatrik di disain untuk mengurangi dead space.
Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face mask yang
rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat dapat menyebabkan
reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup, hal ini menunjukkan adanya kebocoran
sekeliling face mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit breathing yang tinggi dengan pergerakan
dada dan suara pernafasan yang minimal menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.

Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan untuk
melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memeras breathing bag. Face mask
dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada badan face mask dengan ibu jari dan
telunjuk. Jari tengah dan jari manis menarik mandibula untuk ekstensi joint atlantooccipital.
Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan pada jaringan lunak yang menopang dasar

10
lidah karena dapat terjadi obstruksi jalan nafas. Jari kelingking ditempatkan dibawah
sudut jaw dan digunakan untuk jaw thrust manuver yang paling penting untuk dapat
melakukan ventilasi pasien.
Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw thrust yang
adekuat dan face mask yang rapat. Karena itu diperlukan seorang asisten untuk memompa
bag (gambar 5-8). Obstruksi selama ekspirasi dapat disebabkan karena tekanan kuat dari face
mask atau efek ball-valve dari jaw thrust. Kadang-kadang sulit memasang face maks rapat
kemuka. Membiarkan gigi palsu pada tempatnya (tapi tidak dianjurkan) atau memasukkan
gulungan kasa ke rongga mulut mungkin dapat menolong mengatasi kesulitan ini. Ventilasi
tekanan normalnya jangan melebihi 20 cm H2O untuk mencegah masuknya udara ke
lambung.
Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask dan oral atau
nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat menimbulkan cedera
akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Bila face mask dan ikatan mask
digunakan dalam jangka lama maka posisi harus sering dirubah untuk menghindari cedera.
Hindari tekanan pada mata, dan mata harus diplester untuk menghindari resiko aberasi
kornea.

b) Teknik dan Bentuk Laryngeal Mask Airway (LMA)

Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face mask dan TT


selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan TT pada pasien
dengan difficult airway, dan untuk membantu ventilasi selama bronchoscopy fiberoptic, juga
pemasangan bronkhoskop. LMA memiliki kelebihan istimewa dalam menentukan
penanganan kesulitan jalan nafas dibandingkan combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa
digunakan: LMA yang dapat dipakai ulang, LMA yang tidak dapat dipakai ulang, ProSeal
LMA yang memiliki lubang untuk memasukkan pipa nasogastrik dan dapat digunakan
ventilasi tekanan positif, dan Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi bagi pasien
dengan jalan nafas yang sulit.

11
LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian proksimal
dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15 mm, dan dibagian distal
terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat pipa. Balon dikempiskan
dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara membuta ke hipofaring, sekali telah
dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di muara laring. Pemasangannya
memerlukan anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk memasukan oral airway. Posisi
ideal dari balon adalah dasar lidah di bagian superior, sinus pyriforme dilateral, dan spincter
oesopagus bagian atas di inferior. Jika esophagus terletak di rim balon, distensi lambung atau
regurgitasi masih mungkin terjadi. Variasi anatomi mencegah fungsi LMA yang adekuat pada
beberapa pasien. Akan tetapi, jika LMA tidak berfungsi semestinya dan setelah mencoba
memperbaiki masih tidak baik, kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain yang
ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Karena penutupan oleh epiglotis atau ujung balon
merupakan penyebab kegagalan terbanyak, maka memasukkan LMA dengan penglihatan
secara langsung dengan laringoskop atau bronchoskop fiberoptik (FOB) menguntungkan
pada kasus yang sulit. Demikian juga, sebagian balon digembungkan sebelum insersi dapat
sangat membantu. Pipa di plester seperti halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi
faring (tapi tidak terhadap regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada
tempatnya sampai reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai dengan batuk
atau membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai lagi, dapat di autoklaf,
dibuat dari karet silikon (bebas latek) dan tersedia dalam berbagai ukuran (tabel 5-3).

12
LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT. Kontraindikasi
untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya abses), sumbatan faring,
lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau komplians paru rendah
(misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih
besar dari 30 cm H2O. Secara tradisional, LMA dihindari pada pasien dengan bronkhospasme
aatau resistensi jalan nafas tinggi, akan tetapi, bukti-bukti baru menunjukkan bahwa karena
tidak ditempatkan dalam trakhea, penggunaan LMA dihubungkan dengan kejadian
bronchospasme lebih kurang dari pada dengan TT. Walaupun hal ini nyata tidak sebagai
penganti untuk trakheal intubasi, LMA membuktikan sangat membantu terutama pada pasien
dengan jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat diventilasi atau diintubasi) disebabkan mudah
untuk memasangnya dan angka keberhasilannya relatif besar (95-99%). LMA telah
digunakan sebagai pipa untuk jalur stylet ( gum elastik, bougie), ventilasi jet stylet, fleksibel
FOB, atau TT diameter kecil (6,0 mm).
Tersedia LMA yang telah dimodifikasi untuk memfasilitasi penempatan TT yang
lebih besar dengan atau tanpa menggunakan FOB. Pemasukannya dapat dilakukan dibawah
anestesi topikal dan blok saraf laringeal bilateral jika jalan nafas harus bebas seraya
pasiennya sadar.

13
c) Esophageal – Tracheal Combitube (ETC)
1) Teknik & Bentuk Pipa

Pipa kombinasi esophagus – tracheal (ETC) terbuat dari gabungan 2 pipa, masing-
masing dengan konektor 15 mm pada ujung proksimalnya. Pipa biru yang lebih panjang
ujung distalnya ditutup. Pipa yang tranparant berukuran yang lebih pendek punya ujung distal
terbuka dan tidak ada sisi yang perporasi. ETC ini biasanya dipasangkan secara buta melalui
mulut dan dimasukkan sampai 2 lingkaran hitam pada batang batas antara gigi atas dan
bawah. ETC mempunyai 2 balon untuk digembungkan, 100 ml untuk balon prosikmal dan 15
ml untuk balon distal, keduanya harus dikembungkan secara penuh setelah pemasangan. Pipa
yang bening yang lebih pendek dapat digunakan untuk dekompresi lambung. Pilihan lain, jika
ETC masuk ke dalam trakhea, ventilasi melalui pipa yang bening akan langsung gas ke
trachea. Meskipun pipa kombinasi masih rerdaftar sebagai pilihan untuk penanganan jalan
nafas yang sulit dalam algoritma Advanced Cardiac Life Support, biasanya jarang digunakan
oleh dokter anestesi yang lebih suka memakai LMA atau alat lain untuk penanganan pasien
dengan jalan nafas yang sulit.

2) Pipa Tracheal (TT)

TT digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung ke dalam trachea dan


mengijinkan untuk kontrol ventilasi dan oksigenasi. Pabrik menentukan standar TT
(American National Standards for Anesthetic Equipment; ANSI Z-79). TT kebanyakan
terbuat dari polyvinylchloride. Pada masa lalu, TT diberi tanda “IT” atau “Z-79” untuk
indikasi ini telah dicoba untuk memastikan tidak beracun. Bentuk dan kekakuan dari TT
dapat dirubah dengan pemasangan mandren. Ujung pipa diruncingkan untuk membantu
penglihatan dan pemasangan melalui pita suara. Pipa Murphy memiliki sebuah lubang (mata
Murphy) untuk mengurangi resiko sumbatan pada bagian distal tube bila menempel dengan
carina atau trachea.
Tahanan aliran udara terutama tergantung dari diameter pipa, tapi ini juga dipengaruhi
oleh panjang pipa dan lengkungannya. Ukuran TT biasanya dipola dalam milimeter untuk
diameter internal atau yang tidak umum dalam scala Prancis (diameter external dalam
milimeter dikalikan dengan 3). Pemilihan pipa selalu hasil kompromi antara memaksimalkan
flow dengan pipa ukuran besar dan meminimalkan trauma jalan nafas dengan ukuran pipa
yang kecil.
Kebanyakan TT dewasa memiliki sistem pengembungan balon yang terdiri dari katup,

14
balon petunjuk (pilot balloon), pipa pengembangkan balon, dan balon (cuff). Katup
mencegah udara keluar setelah balon dikembungkan. Balon petunjuk memberikan petunjuk
kasar dari balon yang digembungkan. Inflating tube dihubungkan dengan klep. Dengan
membuat trakhea yang rapat, balon TT mengijinkan dilakukannya ventilasi tekanan positif
dan mengurangi kemungkinan aspirasi. Pipa yang tidak berbalon biasanya digunakan untuk
anak-anak untuk meminimalkan resiko dari cedera karena tekanan dan post intubasi croup.

Ada 2 tipe balon TT yaitu balon dengan tekanan tinggi volume rendah dan tekanan
rendah volume tinggi. Balon tekanan tinggi dikaitkan dengan besarnya iskhemia mukosa
trachea dan kurang nyaman untuk intubasi pada waktu lama. Balon tekanan rendah dapat
meningkatkan kemungkinan nyeri tenggorokan (luas area kontak mukosa), aspirasi, ekstubasi
spontan, dan pemasangan yang sulit ( karena adanya floppy cuff). Meskipun demikian,
karena insidensi rendah dari kerusakan mukosa, balon tekanan rendah lebih dianjurkan.
Tekanan balon tergantung dari beberapa faktor: volume pengembangan, diameter
balon yang berhubungan dengan trachea, trachea dan komplians balon, dan tekanan intratorak
(tekanan balon dapat meningkat pada saat batuk). Tekanan balon dapat menaik selama
anetesi umum sebagai hasil dari difusi dari N2O dari mukosa tracheal ke balon TT.
TT telah dimodifikasi untuk berbagai penggunaan khusus. Pipa yang lentur, spiral,
wire – reinforced TT (armored tubes), tidak kinking dipakai pada operasi kepala dan leher,
atau pada pasien dengan posisi telungkup. Jika pipa lapis baja menjadi kinking akibat tekanan
yang ekstrim ( contoh pasien bangun dan menggigit pipa), lumen pipa akan tetutup dan pipa
TT harus diganti. Pipa khusus lainnya termasuk pipa mikrolaringeal, RAE tube, dan lubang
pipa ganda (double lumen tube). Semua TT memiliki garis yang dilekatkan dan bersifat
radiogopak yang mengijinkan dapat dilihatnya ETT pada trachea.

15
3) Rigid Laryngoscope

Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas intubasi
trachea. Handle biasanya berisi batre untuk cahaya bola lampu pada ujung blade, atau untuk
energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade. Cahaya dari bundle fiberoptik
tertuju langsung dan tidak tersebar.

Laringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan diruang MRI.
Blade Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk lurus. Pemilihan dari blade
tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien. Disebabkan karena tidak ada blade
yang cocok untuk semua situasi, klinisi harus familier dan ahli dengan bentuk blade yang
beragam.

16
4) Laringoskop Khusus

Dalam 15 tahun terakhir, terdapat 2 laringskop baru yang telah dibuat, untuk
membantu dokter anestesi menjamin jalan nafas pada pasien dengan jalan nafas yang sulit-
Laringokop Bullard dan laringoskop Wu

Keduanya memiliki sumber cahaya fiberoptic dan blade yang melengkung dengan
ujung yang panjang, dan didisain untuk membantu melihat muara glotis pada pasien dengan
lidah besar atau yang memiliki muara glotis sangat anterior. Banyak dokter anestesi percaya
bahwa alat ini untuk mengantisipasi pasien yang memiliki jalan nafas sulit. Bagaimanapun
juga, seperti halnya alat-alat lain yang digunakan jalan nafas pasien, pengalaman
penggunaannya harus dilakukan pada pasien normal sebelum digunakan pada saat penting
dan memergensi pada pasien dengan jalan nafas sulit.

17
5) Flexible Fiberoptic Bronchoscope (FOB)

Dalam beberapa situasi, -misalnya pasien dengan tulang cervical yang tidak stabil,
pergerakan yang terbatas pada temporo mandibular join, atau dengan kelainan kongenital
atau kelainan didapat pada jalan nafas atas- laringoskopi langsung dengan penggunakan rigid
laringoskop mungkin tidak dipertimbangkan atau tidak dimungkinkan. Suatu FOB yang
feksibelmemungkin visualisasi tidak langsung dari laring dalam beberapa kasus atau untuk
beberapa situasi dimana direncanakan intubasi sadar (awake intubation). FOB dibuat dari
fiberglass ini mengalirkan cahaya dan gambar oleh refleksi internal-contohnya sorotan
cahaya akan terjebak dalam fiber dan terlihat tidak berubah pada sisi yang berlawanan.
Pemasangan pipa berisi 2 bundel dari fiber, masing-masing berisi 10.000 – 15.000 fiber. Satu
bundel menyalurkan cahaya dari sumber cahaya ( sumber cahaya bundel) yang terdapat diluar
alat atau berada dalam handle yang memberikan gambaran resolusi tinggi.

Manipulasi langsung untuk memasangkan pipa dilakukan dengan kawat yang kaku.
Saluran aspirasi digunakan untuk suction dari sekresi, insuflasi oksigen atau penyemprotan
anestesi lokal. Saluran aspirasi sulit untuk dibersihkan, akan tetapi, sebagai sumber infeksi
sehingga memerlukan kehati-hatian pada pembersihan dan sterilisasi telah digunakan.

18
Indikasi dan kontraindikasi Intubasi
Indikasi intubasi endotrakeal yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan saluran
udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang, meminimalkan risiko
aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan gawat atau pasien
dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi yang tidak adekuat, ventilasi
dengan thoracoabdominal pada saat pembedahan, menjamin fleksibilitas posisi,
memberikan jarak anestesi dari kepala, memungkinkan berbagai posisi
(misalnya,tengkurap, duduk, lateral, kepala ke bawah), menjaga darah dan sekresi keluar
dari trakea selama operasi saluran napas, Perawatan kritis : mempertahankan saluran
napas yang adekuat, melindungi terhadap aspirasi paru, kebutuhan untuk mengontrol dan
mengeluarkan sekret pulmonal. Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah : trauma
servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat
sulit untuk dilakukan intubasi.2
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani
operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter
maksimal dari pipa yang digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh
karenanya tahanan jalan napas menjadi cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada
saat ini sudah jarang dilakukan untuk intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan
jalan napas serta risiko terjadinya sinusitis. Teknik ini bermanfaat apabila urgensi
pengelolaan airway tidak memungkinkan foto servikal. Intubasi nasotrakeal secara
membuta (blind nasotrakeal intubation) memerlukan penderita yang masih bernafas
spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita yang apnea. Makin
dalam penderita bernafas, makin mudah mengikuti aliran udara sampai ke dalam laring.
Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii,
khususnya pada tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis.2
Indikasi intubasi fiber optik yaitu kesulitan intubasi (riwayat sulit dilakukan
intubasi, adanya bukti pemeriksaan fisik sulit untuk dilakukan intubasi), diduga adanya
kelainan pada saluran napas atas, trakea stenosis dan kompresi, menghindari ekstensi
leher (insufisiensi arteri vertebra, leher yang tidak stabil), resiko tinggi kerusakan gigi
(gigi goyang atau gigi rapuh), dan intubasi pada keadaan sadar.2

19
Kesulitan Intubasi
Sehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat sebelum intubasi seperti
riwayat anestesi, alergi obat, dan penyakit lain yang dapat menghalangi akses jalan
napas.8 Pemeriksaan jalan napas melibatkan pemeriksaan keadaan gigi; gigi terutama
ompong, gigi seri atas dan juga gigi seri menonjol. Visualisasi dari orofaring yang paling
sering diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi Mallampati Modifikasi. Sistem ini
didasarkan pada visualisasi orofaring. Pasien duduk membuka mulutnya dan menjulurkan
lidah.9,10

Klasifikasi Mallampati :
Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula
Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
Mallampati 4 : Palatum durum saja
Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya diperkirakan mudah
intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit.10
Selain sistem klasifikasi Mallampati, temuan fisik lainnya telah terbukti menjadi
prediktor yang baik dari kesulitan saluran nafas. Wilson dkk menggunakan analisis
diskriminan linier, dimasukkan lima variable : Berat badan, kepala dan gerakan leher,
gerakan rahang, sudut mandibula, dan gigi ke dalam sistem penilaian yang diperkirakan
75% dari intubasi sulit pada kriteria risiko = 2.11 Faktor lain yang digunakan untuk
memprediksi kesulitan intubasi meliputi :
 Lidah besar
 Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
 Mandibula menonjol
 Maksila atau gigi depan menonjol
 Mobilitas leher terbatas
 Pertumbuhan gigi tidak lengkap
 Langit-langit mulut sempit
20
 Pembukaan mulut kecil
 Anafilaksis saluran napas
 Arthritis dan ankilosis cervical
 Sindrom kongenital (Klippel-Feil (leher pendek, leher menyatu), Pierre Robin
(micrognathia, belahanlangit-langit, glossoptosis),Treacher Collins
(mandibulofacialdysostosis)
 Endokrinopati (Kegemukan, Acromegali, Hipotiroid macroglossia,Gondok)
 Infeksi (Ludwig angina (abses pada dasar mulut), peritonsillar abses, retropharyngeal
abses,epiglottitis)
 Massa pada mediastinum
 Myopati menunjukkan myotoniaatau trismus
 Jaringan parut luka bakar atau radiasi
 Trauma dan hematoma
 Tumor dan kista
 Benda asing pada jalan napas
 Kebocoran di sekitar masker wajah (edentulous, hidung datar, besar wajah dan kepala,
Kumis, jenggot
 Nasogastrik tube
 Kurangnya keterampilan, pengalaman, atau terburu-buru. 2,11,12,13,14,15

Gambar Kesulitan Intubasi Trakea 16


Kelas 1: sebagian besar glotis terlihat, kelas 2 : hanya ekstremitas posterior glotis dan
epiglotis tampak; kelas 3: tidak ada bagian dari glottis terlihat, hanya epiglotis terlihat; Kelas
4: tidak bahkan epiglotis terlihat. Kelas 1 dan 2 dianggap sebagai 'mudah' dan kelas 3 dan 4
sebagai 'sulit'.

21
Komplikasi Intubasi
1. Selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis ( hipertensi-takikardi)
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
2. Setelah intubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glotis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, trakea

22
DA FTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu dasar Anestesi in Petunjuk Praktis
Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.
2. Roberts F, Kestin I. Respiratory Physiology in Update in Anesthesia 12th ed. 2000.
3. Stock MC. Respiratory Function in Anesthesia in Barash PG, Cullen BF, Stelting RK,
editors. Clinical Anesthesia 5th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins;
2006, p. 791-811.
4. Galvin I, Drummond GB, Nirmalan M. Distribution of blood flow and ventilation in
the lung: gravity is not the only factor. British Journal of Anaesthesia; 2007, 98: 420-
8.
5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical Anesthesilogy
4th ed. McGraw-Hill; 2007.

23

You might also like