You are on page 1of 27

http://jendela-fantasi.blogspot.

com/

Satu
IA ada di situ lagi, umpat Drew McCasslin dalam
hati sambil mengayunkan raketnya. Sudah ketiga kali-
nya dalam waktu seminggu ia menempati meja yang
sama di pelataran yang menjorok ke arah lapangan
tenis itu. Payung meja yang bercorak garis-garis cerah
itu hanya setengah menaungi wajahnya.
Meja itu masih belum ditempati sewaktu ia dan
Gary mulai main tadi. Namun ia tahu persis kapan wa-
nita itu melangkah keluar dari serambi yang merupa-
kan bagian dari bar di klub itu. Pukulan Drew luput
saat ia membiarkan perhatiannya terpecah pada cara
luwes wanita itu merapikan letak roknya waktu akan
duduk.
“Makin hari makin baik,” puji Gary saat mereka
bertemu di dekat net untuk mengatur napas, mereguk
Gatorade, dan menyeka keringat yang sudah tidak
mampu diserap lagi oleh ikat kepala mereka.
“Tapi masih belum cukup,” sahut Drew sebelum
menenggak isi botol minumannya. Saat mengangkat
botol, ia melirik ke arah si wanita yang duduk di pela-
taran di atas mereka. Wanita itu telah mengganggu
perhatiannya sejak hari pertama ia melihatnya di
sana.
Sekarang wanita itu mengetuk-ngetukkan pen-
sil ke atas sebuah notes, yang dianggap Drew sebagai
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
ciri khas dirinya. Apa sih yang ia tulis di atasnya?
Drew menurunkan botolnya perlahan-lahan, ma
tanya yang biru menyipit. Apakah wanita itu termasuk
salah satu reporter yang usil-usil itu? Mudah-mudah
an tidak. Tapi bukankah itu cara khas sebuah majalah
tabloid untuk memancing perhatiannya demi menda-
patkan sebuah kesempatan wawancara.
“Drew? Kau dengar apa yang kukatakan?”
“Ya?” Ia mengalihkan perhatiannya kembali ke-
pada lawan mainnya, yang begitu bersahabat. “Sorry.
Kau bilang apa?”
“Kubilang staminamu membaik sejak minggu
lalu. Kau sudah membuatku kelabakan tadi, tapi tam-
pangmu masih segar.”
Sudut mata Drew berkerut saat ia tersenyum,
menyamarkan garis-garis halus di wajahnya yang ke-
cokelatan. Sebuah senyuman yang mengingatkan akan
hari-hari sebelum ia mengenal apa arti sebuah tragedi
“Permainanmu bagus, tapi kau kan bukan Gerulaitis,
Borg, McEnroe, atau Tanner. Sorry, Sobat, tapi aku
masih tetap harus bekerja keras sebelum menghadapi
mereka. Dan itu akan memakan waktu. Ehm, aku tidak
bermaksud menyinggung perasaanmu.” Senyum yang
pernah terkenal itu mengembang lagi.
“Trims,” ujar Gary datar. “Aku sudah tidak sabar
menghadapi saat di mana aku kehabisan napas semen
tara kau masih memiliki cukup banyak energi untuk
melompati net begitu pertandingan usai.”
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
Drew menepuk pundak Gary “Begitu dong sema
ngatnya,” ujarnya, sambil memuntir raketnya dengan
lihai seolah benda itu kepanjangan dari lengannya.
Tepuk sorak antusias terdengar dari arah
sekelompok penonton wanita. Mereka bergerombol di
salah satu sisi pagar yang mengelilingi lapangan tenis
itu. Sorak sorai mereka semakin ramai saat Drew me-
langkah kembali ke garis belakang.
“Seluruh penggemarmu hari ini hadir semua
dan habis-habisan,” ujar Gary terkesan.
“Tak ada kerjaan!” gerutu Drew sambil memelo-
toti cewek-cewek yang menempel di pagar seperti
penghuni kebun binatang yang kelaparan. Dan dirinya
lah yang mereka anggap sebagai santapan. Drew me-
ngumpat, tapi mereka bukannya mundur malah sema-
kin menjadi. Mereka menyerukan kata-kata tak seno-
noh ke arahnya. Tanpa rasa malu salah seorang di an-
tara mereka menaikkan blus ketatnya untuk mema-
merkan tulisan “Drew McCasslin” dalam dekorasi bu-
nga, hati, dan burung-burung kecil yang ditato di atas
kulit tubuhnya. Seorang lagi memakai sebuah banda-
na di paha, persis seperti yang ia kenakan di kepala-
nya setiap kali bermain tenis. Drew membuang muka
dengan sebal.
Ia memaksa dirinya untuk berkonsentrasi pada
bola yang sedang dilambung-lambungkannya sambil
merencanakan pukulan serve-nya agar melewati net
ke pojok belakang garis lawan, dan agar bolanya jatuh
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
ke kiri, mengarah ke pukulan backhand Gary yang le-
mah. Salah seorang penggemamya menyoraki dirinya.
Drew mengertakkan giginya. Apa mereka tidak tahu
bahwa hal terakhir yang ia inginkan saat itu adalah
berurusan dengan seorang wanita? Ya Tuhan, Ellie
kan baru saja meninggal. . .
Sialan, McCasslin, jangan biarkan pikiranmu me-
lantur ke Ellie lagi, ujarnya dalam hati mengingatkan.
Ia tidak boleh melakukan hal itu, saat ia akan berkon-
sentrasi. . . atau seluruh permainannya akan kacau.
***
“Mr. McCasslin?”
“Saya sendiri,” sahutnya dalam nada ringan,
pada hari yang cerah dan indah itu.
“Anda sendirian?”
Drew masih sempat menjauhkan gagang pesa-
watnya dari telinganya dan menatap alat itu dengan
heran bercampur geli. Kemudian ia tertawa. “Ya, aku
cuma sendirian dengan putraku. Anda lagi iseng, ya?”
sahutnya. Sama sekali tidak terpintas dalam dirinya
betapa seriusnya tragedi yang kemudian harus dihada
pinya itu.
“Mr. McCasslin, aku Letnan Scott dari Honolulu
P.D. Telah terjadi sebuah kecelakaan.”
Drew tidak ingat banyak mengenai apa yang
terjadi setelah itu. . .
***
Ia menangkap bolanya dengan tangannya untuk
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
kemudian dilambung-lambungkannya ke atas seakan
ia sedang mencoba mereka-reka beratnya. Namun
yang sebetulnya ia lakukan adalah mencoba mengha-
pus bayangan yang sedang mengganggu konsentrasi-
nya, menghapus kenangan yang membuat pikirannya
menjadi kacau. Matanya melirik ke arah si wanita
yang masih duduk di pelataran itu. Wanita itu sedang
bertopang dagu sambil melamun. Sepertinya ia tidak
peduli pada apa yang sedang berlangsung di sekeliling
nya. Apakah ia tidak terganggu oleh suara ramai
cewek-cewek yang berkerumun di sisi lapangan itu?
Apakah keberadaan Drew sama sekali tak menggugah
rasa ingin tahunya sedikit pun?
Sepertinya memang tidak. Sekadar melirik ke
arah lapangan tenis pun tidak ia lakukan. Entah kena-
pa sikap tidak pedulinya itu membuat Drew menjadi
semakin penasaran—yang tentunya tidak masuk akal,
karena sejak Ellie meninggal tahun lalu, ia betul-betul
tidak ingin diganggu.
“Hei, Drew,” terdengar suara nyaring dari arah
para penggemarnya, “kalau kau sudah bosan main de-
ngan bolamu itu, kau boleh main dengan punyaku.”
Undangan itu begitu melecehkan di telinganya,
sehingga membuatnya marah. Dan ketika bolanya ke-
mudian melesat di udara, yang tampak hanyalah se-
buah kilasan. Permainan selanjutnya berlangsung de-
ngan amat sengit dan pada akhirnya ia hanya menyisa
kan dua angka saja untuk Gary.
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
Dengan napas terengah-engah Gary menyampir
kan handuk di lehernya. “Kalau aku tahu bahwa kau
cuma butuh digoda oleh cewek-cewek untuk bermain
seperti itu, aku sudah sewa mereka dari dulu-dulu.”
Drew meraih tasnya, setelah menutup ritsleting
sarung raketnya, dan beranjak ke tangga menuju ke
pelataran yang menghadap ke lapangan tenis. “Aku ya
kin mereka bisa kausewa kapan saja kau mau.”
“Jangan begitu sinis. Mereka kan penggemarmu”
“Rasanya lebih relevan punya penggemar yang
juga merangkap sebagai reporter atau kritikus olah
raga. Aku yakin tak satu pun dari mereka yang dapat
dimasukkan dalam kategori itu. Yang mereka lakukan
hanya menyatakan kepada dunia bahwa aku ini sudah
bukan apa-apa lagi. Bahwa karierku sudah berakhir.
Bahwa aku cuma seorang pemabuk.”
“Dulu kau memang banyak minum.”
Drew terenyak satu anak tangga di atas Gary. De
ngan marah ia memutar tubuhnya. Namun ekspresi di
wajah sobatnya itu begitu polos dan apa adanya. Dan
apa yang baru saja ia katakan itu memang benar.
Amarah Drew mereda. “Begitukah?” sahutnya sambil
menghela napas.
“Tapi sekarang sudah tidak lagi. Kini kau Drew
yang dulu. Pukulan-pukulanmu mematikan. Sial! Se-
tiap kali sebuah bola melayang ke arahku, aku merasa
seakan nyawaku yang mau kausambar.” Drew terta-
wa. “Manuver dan strategimu penuh perhitungan, dan
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
tidak menyia-nyiakan titik lemah kiri-ku.”
Sebuah senyum membayang di wajah Drew.
“Aku tidak sangka kau memperhatikan.”
“Dasar!”
Mereka tertawa akrab saat meneruskan langkah
menuju ke pelataran di atas mereka. Drew langsung
melihat bahwa wanita itu masih duduk di sana.
Berkas-berkas kertasnya berserakan di atas meja, dan
sebuah gelas berisi air mineral ada di dekat tangan ka-
nannya. Ia sedang mencorat-coret sebuah notes ber-
warna kuning. Drew harus melewati mejanya untuk
menuju ke tempat ia akan ganti pakaian. Ia hanya
akan menjadi pusat perhatian orang kalau ia mengam-
bil jalan lain.
Mereka hampir sampai di dekat mejanya saat
wanita itu tiba-tiba mengangkat wajahnya. Suatu gera
kan refleks, seakan kemunculan mereka mengganggu
konsentrasinya, sehingga mau tak mau ia harus meng-
alihkan perhatiannya dari pekerjaannya. Pandangan
mereka bertemu. Dampaknya membuat Drew menyi-
pitkan matanya dan telinganya tidak lagi menyimak
ocehan-ocehan Gary.
Wanita itu mengalihkan perhatiannya kembali
ke kertasnya, namun Drew masih sempat melihat bah
wa nuansa matanya adalah hijau memesona dengan
bingkai bulu mata berwarna gelap dan lentik.
Pada saat itulah ia memutuskan. Ia akan taruh-
an dengan dirinya sendiri. Kalau wanita itu masih di
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
sana saat ia keluar dari kamar ganti nanti, ia akan me-
negurnya. Kalau tidak, ya sudah. Ia tidak sungguh-
sungguh merasa butuh untuk berkenalan dengan se-
orang wanita, siapa pun wanita itu. Cuma yang ini
membuatnya sedikit penasaran. Dan kalau ia mau
jujur pada dirinya, alasan utama mengapa wanita ini
menggugah rasa ingin tahunya adalah karena sikap-
nya yang acuh tak acuh terhadap dirinya.
Ya, lihat saja nanti. Kalau ia masih ada di situ
saat ia keluar dari kamar ganti, Drew akan menyapa-
nya. Toh tidak ada salahnya.
Masih ada satu hal lagi, ujarnya dalam hati. Ja-
ngan mandi terlalu lama.
***
Jantung Arden berdegup dengan kerasnya.
Sudah lima menit berlalu sejak laki-laki itu le-
wat di dekatnya, sejak ia melihat wajahnya dari dekat
dan secara langsung untuk pertama kalinya. Degup
jantungnya masih juga belum reda. Ia melap keringat
ditelapak tangannya dengan tisu yang sudah meng-
gumpal di dalam genggamannya. Es batu di dalam ge-
lasnya berbunyi ramai saat ia meneguk sedikit dari air
mineralnya yang dipersegar irisan jeruk limau.
Laki-laki itu tadi menatapnya langsung ke mata-
nya. Mereka bertemu pandang. Sekilas. Namun ia me-
rasa dirinya seperti terkena sengatan listrik, karena se
betulnya memang ada sesuatu di antara mereka. Mes-
kipun mereka tidak mengenal satu sama lain, sesuatu
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
yang istimewa membuat mereka saling terikat seu-
mur hidup mereka.
Arden menoleh ke lapangan tenis di bawahnya,
tempat laki-laki itu baru saja bermain dengan bagus-
nya. Beberapa bulan sebelumnya ia tidak tahu banyak
mengenai olahraga tenis, terutama mengenai dunia
tenis profesional. Kini pengetahuannya mengenai per-
mainan itu hampir menyamai seorang pakar. Setidak-
nya kini ia tahu banyak sekali mengenai perjalanan
karier Drew McCasslin.
Sekelompok wanita yang terdiri atas empat
orang muncul di lapangan itu. Tampang mereka norak
sekali dalam pakaian tenis mereka yang bermerek
dan perhiasan emas berlian yang berlebihan. Arden
tersenyum begitu ia teringat akan usul Ronald agar ia
bergabung dalam tim tenis di klub daerah mereka di
Los Angeles.
“Tidak, Ron. Aku tidak suka olahraga. Dan aku
bukan tipe yang suka ikut-ikutan.”
“Kau memang lebih senang mendekam di dalam
rumah sepanjang hari sambil menulis puisi-puisi
pendek yang kemudian kausembunyikan supaya tidak
ada yang baca. Demi Tuhan, Arden, kau tidak perlu
menjadi jago tenis. Yang penting bisa mendukung
citra profesiku, belum lagi koneksi-koneksi yang bisa
kita peroleh kalau kau aktif di dalam klub itu. Kau
harus bergaul dengan istri para dokter lain.”
Ronald sendiri memilih bermain bridge, dan Ar-
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
den tidak pernah menjadi seorang pemain andalan.
Namun keikutsertaannya dalam klub tenis membuat-
nya diundang dalam semua turnamen yang disponsori
klubnya. Dan Ronald merasa puas bahwa Arden berga
ul dengan orang-orang yang ia anggap cocok sebagai
teman istri seorang dokter terkemuka.
Kemudian Joey muncul, dan Arden akhirnya
menemukan sebuah alasan yang dapat diterima untuk
meninggalkan kegiatan-kegiatan sosialnya. Joey bah-
kan menyediakan begitu banyak alasan untuk begitu
banyak hal baginya. Andaikata ia dapat melupakan be-
berapa di antaranya. Apakah putranya, putra kesaya-
ngannya yang manis dan masih begitu polos itu me-
ngerti tentang keputusan penting yang dapat mengu-
bah seluruh nasib mereka? Apakah putranya dapat
memaafkan apa yang ia sendiri tidak dapat maafkan?
Ia telah meminta maaf padanya pada hari peti
mungil yang mengenaskan itu diturunkan ke dalam
liangnya yang kecil. Ia juga telah memohon pengampu
nan dari Tuhan untuk kegetiran yang dirasakannya
saat menyaksikan bocah lucu yang cerdas itu makin
melemah kondisinya di atas tempat tidur rumah sakit,
sementara anak-anak lain yang lebih sehat bermain
dan berlarian dengan riang.
Sambil berusaha menepiskan kenangan sedih
itu, ia meminum seteguk air dan bersyukur karena
keberhasilan taktiknya menemui Drew McCasslin.
Sudah merupakan rahasia umum, sejak laki-laki ini
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
mengurung diri di rumahnya di pulau ini yang selalu
dijaga ketat, ia mengelak semua wawancara serta
menghindari publisitas dalam bentuk apa pun.
Sudah berhari-hari Arden memusatkan seluruh
pikirannya untuk menemukan suatu cara yang tepat
untuk dapat melakukan pendekatan. Selama perjalan-
annya yang panjang dan bahkan setelah ia tiba di
Maui, ia menjajaki setiap kemungkinan yang ada.
Satu-satunya perkembangan positif yang telah dicapai
nya adalah keberhasilannya memperoleh sebuah ka-
mar di tempat peristirahatan dan klub yang dikunju-
ngi Drew McCasslin setiap hari untuk latihan. Pimpin-
an tempat itu telah memberikan jaminan privasi pe-
nuh kepadanya. Dan hari ini, untuk pertama kali sejak
Arden diam-diam mengikuti gerak-geriknya, ia tidak
masuk ke ruang ganti itu melalui pintu yang mengha-
dap ke lapangan tenis.
Sekarang pilihan Arden adalah tetap bersikap te
nang sambil memastikan dirinya diperhatikan, kemu-
dian menunggu perkembangan selanjutnya. Ia akan
berpura-pura tidak peduli padanya. Tidak sulit untuk
melihat bahwa ulah para penggemarnya yang terlalu
antusias itu membuat Drew jengkel.
Instingnya mengatakan bahwa Drew McCasslin
sudah mulai menaruh perhatian padanya. Arden su-
dah memberikan kesan bahwa ia sama sekali tidak ter
tarik pada Drew, meskipun diam-diam ia mengikuti
setiap gerak-gerik Drew. Sesekali McCasslin melirik
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
ke arahnya, terutama setelah melakukan pukulan ba-
gus. Namun ia tidak sekalipun mendapatkan dirinya
sedang diperhatikan Arden. Selebriti seperti Drew
McCasslin tidak terbiasa dirinya tidak menjadi pusat
perhatian orang.
Penampilannya memang menarik. Rambut
pirangnya yang sedikit terlalu panjang, pantas untuk
wajahnya yang keren. Tubuhnya yang ramping tidak
memperlihatkan bekas-bekas ketergantungannya pa-
da alkohol. Lengan-lengan dan kakinya yang bernuan-
sa warna tropis, bergerak indah seperti sebuah mesin
yang habis diminyaki, betul-betul merupakan simbol
kemaskulinan. Dadanya sedikit lebih bidang diban-
dingkan para pemain tenis pada umumnya, namun
kekurangannya itu ternyata tidak mengganggu siapa
pun yang memperhatikan permainan otot-otot di
balik T-shirt putihnya.
Jelas bahwa setelah kematian istrinya yang tra-
gis, Drew McCasslin mengharapkan bahwa penampil-
an fisiknya tidak terlalu diperhatikan. Ya, Arden mera-
sa yakin bahwa taktiknya betul-betul tepat. Hari ini ia
sudah menyadari keberadaan dirinya. Mungkin be-
sok...
“Rupanya Anda punya banyak teman dan sau-
dara.”
Suara maskulin itu membuat Arden terkejut dan
menoleh. Pandangannya tertuju pada celana pendek
berwarna putih. Tiba-tiba ia merasa tidak enak.
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
Pelan-pelan ia mengangkat wajahnya, mengiku-
ti tubuh laki-laki yang mengenakan jaket nilon biru
laut yang dibiarkan setengah terbuka, dan menying-
kapkan dada kecokelatan yang ditumbuhi bulu-bulu
bernuansa keemasan. Senyumnya merupakan impian
para dokter gigi yang ahli merapikan gigi. Gigi-geligi
yang rata dan putih tertanam dalam rahang yang kuat.
Mata birunya ternyata memang memesona, seperti
yang selalu dikatakan orang.
“Maaf?” ujar Arden dalam nada yang ia harap-
kan tidak mengungkapkan perasaannya yang sesung-
guhnya.
“Sepertinya Anda sibuk sekali. Mungkin surat
rindu untuk orang-orang di rumah.”
Suaranya bersih, bernada bariton, tanpa aksen,
dan entah kenapa kesannya akrab sekali.
Arden tersenyum, begitu ingat bahwa ia harus
tetap tampil tenang sesuai dengan skenario. “Bukan
surat. Karena memang tidak ada yang merasa kehila-
ngan aku.”
“Kalau begitu tak ada yang akan berkeberatan
kalau aku duduk menemani Anda.”
“Mungkin aku yang akan berkeberatan.”
“Anda berkeberatan?”
Hati Arden melambung tinggi, meskipun ia
tidak berani memperlihatkannya. Karenanya dengan
tenang ia berkata, “Oh, tidak.”
Setelah menyusupkan tas kanvasnya ke bawah
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
kursi di seberang Arden, laki-laki itu duduk, kemudian
mengulurkan tangannya di atas hamparan kertas
yang memenuhi meja, untuk memperkenalkan diri.
“Drew McCasslin.”
Arden menyambut tangannya. “Arden Gentry.”
Mereka sedang saling menyentuh! Sambil melihat
tangan mereka yang masih saling berjabatan, Arden
mencoba menghayati kontak fisik pertama mereka
setelah...
“Anda sedang berlibur?” tanya McCasslin de-
ngan sopan.
Arden menarik tangannya dan kembali duduk di
kursinya, sambil mencoba mengatasi perasaan yang
sedikit mengusiknya. “Tidak sepenuhnya. Katakanlah
bekerja sambil berlibur.”
McCasslin melambai ke arah pelayan yang bera-
da di belakang meja bar. “Anda mau tambah?” tanya-
nya sambil menunjuk gelas Arden.
“Jus nenas boleh,” sahut Arden, sambil terse-
nyum.
“Anda betul-betul seorang turis. Anda belum
bosan dengan minuman itu.”
Andaikata laki-laki ini tidak begitu menarik saat
ia tersenyum, ujar Arden dalam hati. Daya tariknya
yang luar biasa mulai membuat perhatian Arden ter-
alih dari tujuan utamanya, yaitu untuk berkenalan
dengannya, untuk mendapat kepercayaannya, dan
kalau mungkin, untuk menjadi temannya.
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
“Segelas jus nenas, dan aku minta empat gelas
air,” ujar McCasslin kepada si pelayan.
“Baik, Mr. McCasslin. Permainan Anda bagus se-
kali hari ini.”
“Terima kasih. Tolong antarkan airnya segera.
Aku haus sekali.”
“Baik, Sir.”
“Permainan Anda memang bagus tadi,” ujar Ar-
den begitu si pelayan berlalu untuk memenuhi pesan-
an mereka.
Drew McCasslin menatap wajah Arden sebelum
ia berkata, “Aku tidak menyangka bahwa Anda mem-
perhatikan permainanku tadi.”
“Aku kan tidak buta ataupun tuli. Aku memang
tidak tahu banyak tentang tenis, tapi aku tahu bahwa
permainan Anda jauh lebih baik sekarang daripada
beberapa bulan yang lalu.”
“Kalau begitu Anda tahu siapa aku?”
“Ya. Aku pernah melihat penampilan Anda di te-
levisi sekali-dua kali.” Raut wajah laki-laki itu tiba-tiba
kecewa sekali. Arden tersenyum. “Anda seorang sele-
briti, Mr. McCasslin,” tambahnya. “Semua orang tahu
siapa Anda.”
“Tapi tidak semua orang menjadi lupa diri
begitu melihat aku di tempat umum.” Nadanya lembut
menantang.
“Seperti para penggemar Anda di bawah?” sahut
Arden sambil mengangguk ke arah pagar tempat ce-
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
wek-cewek itu berkumpul sebelumnya. Mereka sudah
bubar sekarang.
Drew McCasslin mengerang. “Anda percaya bah
wa aku memilih latihan di sini karena mereka menjan-
jikan privasi kepadaku? Selain itu lapangan mereka
memang yang terbaik di Maui. Cuma yang tidak kami
perhitungkan adalah bahwa para tamu di tempat per-
istirahatan ini juga dapat mengakses fasilitas itu. Begi-
tu mereka tahu bahwa aku mulai latihan...” Ia menghe-
la napas. “Yah, lihat saja apa yang terjadi.”
“Biasanya seseorang akan senang kalau disan-
jung-sanjung.”
Drew McCasslin mengernyitkan dahi, kemudian
cepat-cepat mengganti topik pembicaraan “Ngomong-
ngomong ini apa?” tanyanya sambil melihat ke kertas-
kertas yang berserakan di atas meja.
“Catatanku. Aku seorang penulis paro waktu.”
Drew McCasslin langsung menutup diri meski-
pun ia tidak beranjak dari situ. Ekspresi di matanya
menjadi dingin dan tidak simpatik. Lengkung bibirnya
yang sensual membentuk garis tipis. Dalam amarah, ja
ri-jarinya mencengkeram gelas berisi air dingin yang
baru saja diantarkan pelayan. “Begitu,” ujarnya dalam
nada tegang.
Arden mengalihkan perhatiannya dengan me-
mindahkan sehelai kertas dari bawah gelas jusnya.
“Kukira Anda salah menilai. Aku seorang penulis, bu-
kan reporter. Aku tidak punya maksud untuk mewa-
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
wancarai Anda. Lagi pula Anda yang memulai percaka
pan ini, bukan aku, Mr. McCasslin.”
Ketika tidak ada jawaban, Arden menaikkan bu-
lu matanya yang lebat dan bernuansa gelap, kemudian
ia menatap laki-laki itu. Drew McCasslin tampak terse
nyum, ramah tapi masih agak waswas seperti sebelum
nya, persis seperti dirinya sendiri. “Panggil aku Drew
saja.”
Drew McCasslin memilih untuk berdamai, dan
Ia menyambut ulurannya “Oke, Drew. Dan aku Arden.”
“Penulis apa? Novel?”
Arden tertawa. “Belum. Mungkin kelak. Seka-
rang aku baru mencoba untuk menjajaki semua ke-
mungkinan yang ada untuk menemukan arahku.
Sudah lama aku ingin kemari, tapi baru kesampaian
sekarang. Aku akan menulis beberapa artikel untuk
mensubsidi perjalananku. Dengan cara ini aku dapat
tinggal di sini lebih lama dan melihat lebih banyak
tanpa perlu mengkhawatirkan rekeningku di bank.”
Drew McCasslin menyukai nada suaranya, cara
kepalanya bergerak ke sana kemari saat ia berbicara.
Cara rambutnya yang berwarna gelap menyapu leher
dan pundaknya yang terbuka. Angin dari arah laut
mengembus ikal-ikal rambutnya yang kemerahan dari
mukanya, menyingkapkan kulit wajahnya yang sete-
lah cukup lama dibakar matahari kepulauan itu, se-
hingga bernuansa buah aprikot yang cantik. Arden
Gentry memiliki kulit yang lembut sekali. Seperti juga
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
rambutnya. Dan bibirnya.
Drew menelan ludahnya. “Artikel tentang apa?”
Arden menjelaskan bahwa ia sedang meliput
sesuatu untuk rubrik pariwisata majalah Los Angeles
Times, dan sebuah lagi untuk sebuah majalah mode. Ia
juga akan mewawancarai seorang ahli botani lokal
untuk sebuah penerbitan pertanaman. Drew hampir
tidak dapat berkonsentrasi pada apa yang dikatakan-
nya.
Untuk pertama kali setelah ia bertemu dengan
Ellie, ia menaruh perhatian kepada seorang wanita
lain. Hal itu cukup mengejutkan, karena tidak pernah
terpintas di dalam dirinya untuk terlibat dengan
seorang wanita lagi. Bukan berarti bahwa kesempatan
minum-minum bersama dan sekadar basa-basi ini
akan berlanjut. Namun perkenalannya dengan Arden
membuatnya merasa bahwa mungkin kelak ia dapat
menerima kematian Ellie dan kemudian menjalin su-
atu hubungan dengan seorang wanita lain.
Mau tidak mau keberadaan Arden Gentry meng-
gugah dirinya. Biar bagaimanapun ia bukan gay. Wani
ta ini betul-betul cantik. Dan sesuatu yang terpancar
dari dalam dirinya ia anggap menarik sekali. Ia menco
ba untuk berkonsentrasi dan menyimak apa yang dika
takannya dengan tidak membiarkan pikirannya sen-
diri melantur ke mana-mana.
Sejak Drew duduk di situ, ia telah mencoba
untuk tidak memikirkan apakah lekuk-lekuk tubuh
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
Arden yang indah di balik gaun bernuansa hijau itu
alami atau tidak. Ah, apa peduliku? Ia merasakan sesu-
atu di dalam dirinya yang semula ia anggap sudah ia
kuburkan bersama Ellie. Dan ia tidak tahu apakah ia
harus merasa malu atau justru senang bahwa ia dapat
merasakannya kembali.
Ia tidak pernah secara sungguh-sungguh mena-
ruh perhatian pada seorang wanita sejak terakhir kali
ia bercinta dengan Ellie. Sejauh ini tubuh yang terlalu
seksi tidak pernah membuatnya tergugah. Minatnya
terhadap wanita sebetulnya tidak jauh berbeda dari
laki-laki lain, namun kali ini... kali ini ada sesuatu yang
lain. Ia bukan hanya tertarik pada penampilan fisik
wanita ini, tapi juga kepribadiannya, kecerdasannya,
serta sikapnya yang tidak berlebihan menanggapi ke-
tenarannya.
Sifat usil yang pernah dimilikinya dulu tiba-tiba
muncul lagi. Ia mempertanyakan pada dirinya bagai-
mana tanggapan wanita ini kalau ia mendoyongkan
tubuhnya ke arahnya dan mengatakan, “Arden, jangan
tersinggung, ya? Untuk pertama kali sejak istriku
meninggal, aku tidak merasa jijik oleh cara tubuhku
bereaksi terhadap seorang wanita.”
Memang pernah ada beberapa wanita yang
mampir dalam kehidupannya. Sosok-sosok yang tidak
begitu jelas baginya. Tidak lebih dari itu. Teman-te
mannya yang bermaksud baik yang menyodorkannya
dengan anggapan bahwa wanita-wanita itu dapat me-
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
mulihkan kondisinya yang menurut mereka menge-
naskan. Saat itu ia juga suka mabuk dan kalau ingat
itu, ia merasa muak pada dirinya sendiri.
Suatu malam di Paris, setelah mempermalukan
dirinya sendiri di depan umum dengan cara tidak mau
menerima kekalahannya secara sportif dalam suatu
pertandingan, ia bertemu seorang wanita. Seorang pe-
lacur dari kelas yang paling rendah, yang ia jadikan
semacam hukuman bagi dirinya. Ganjarannya. Tapi ke
mudian setelah pikirannya menjadi lebih jernih kem-
bali, ia menangis dan memohon kepada Tuhan agar
dirinya tidak ditulari penyakit yang bisa mempermalu
kan dirinya.
Peristiwa itulah yang ia jadikan titik balik di da-
lam kehidupannya. Bab terakhir untuk menamatkan
riwayat Drew McCasslin. Ternyata tak seorang pun
dapat mengeluarkan dirinya dari dilema itu kecuali
dirinya sendiri.
Selain itu, kecuali ia sendiri, kan masih ada Matt
yang perlu ia pikirkan.
“Sudah berapa lama kau tinggal di pulau ini?”
Pertanyaan Arden menyentaknya kembali ke
masa kini yang jauh lebih menjanjikan. “Hampir selu-
ruh masa dewasaku. Setelah aku mulai menjuarai be-
berapa pertandingan dan menghasilkan uang. Tempat
ini ideal sekali untuk seorang bujangan. Aku tinggal di
Honolulu ketika aku bertemu dengan Ellie. Ia...”
Tiba-tiba ia berhenti. Ia mengalihkan matanya
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
ke gelasnya, dan pundaknya lunglai. “Aku tahu ten-
tang istrimu, Drew,” ujar Arden pelan. “Kau tidak usah
merasa bersalah untuk menyebut namanya.”
Drew melihat ke dalam mata wanita di depan-
nya, suatu pengertian yang berbeda dari rasa sekadar
ingin tahu yang biasanya ia baca di dalam wajah-wa
jah lain. Dan itu ternyata cukup baginya untuk mene-
ruskan ucapannya. “Ayahnya seorang perwira angkat-
an laut yang bertugas di Pearl. Eleanor Elizabeth Da-
vidson. Kukatakan padanya bahwa kombinasi nama
ibu negara dan ratu itu terlalu berat baginya, mengi-
ngat tubuhnya yang kecil mungil.”
“Karena itu kau memanggil dia Ellie.” Arden ter-
senyum.
“Ya... tapi orangtuanya tentu saja kurang suka,”
sahut Drew sambil tertawa. Ia meminum seteguk dari
gelasnya, kemudian membuat lingkaran-lingkaran ke-
cil pada embun yang menempel di gelas itu. “Setelah
itu, sesudah ia tiada, aku membutuhkan suatu peruba-
han suasana, karena itu aku pindah kemari, ke Maui,
yang lebih terisolir. Aku menginginkan lebih banyak
privasi untuk melindungi Matt dari orang-orang yang
suka usil.”
Tubuh Arden tidak bergerak. “Matt?”
“Putraku.” Wajah Drew tampak bersinar.
Arden merasa tenggorokannya seperti tersum-
bat dan jantungnya berdebar dengan lebih cepat, na-
mun ia toh bisa menjawab. “Oh ya. Aku juga pernah
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
membaca tentangnya.”
“Anak yang luar biasa. Paling pintar dan manis
di seluruh dunia. Tadi pagi...” Drew menelan kata-
katanya kembali. “Maaf. Aku menjadi terbawa begitu
mulai bercerita tentang dia.”
“Tidak apa, aku mengerti,” ujar Arden cepat-
cepat.
“Ya, tapi aku sering melantur. Pendek kata ia me
rupakan satu-satunya milikku dalam hidupku belaka-
ngan ini yang dapat kubanggakan. Kami tinggal di
pantai. Ia senang sekali di situ.”
Arden berusaha menguasai emosinya dengan
memandangi garis horizon. Bayangan matahari di atas
permukaan air laut tampak agak kabur. Dan meman-
dang dari tempat mereka duduk amat menyilaukan.
Pulau Molokai bernuansa biru keabuan berlatarkan
cakrawala barat laut. Pohon-pohon palem berayun
mengikuti alunan irama angin yang berembus lembut.
Gulungan ombak berbuih putih menerpa pantai pasir
sebelum akhirnya kembali mengikuti arus.
“Aku bisa mengerti mengapa kau suka tinggal di
sini. Suasananya memang indah.”
“Efeknya memang baik sekali bagiku. Memberi-
kan ketenangan baik secara jiwa maupun raga.”
Drew bertanya-tanya pada dirinya mengapa ia
begitu terbuka pada wanita ini. Ia tahu jawabannya.
Wanita yang penuh pengertian ini dapat dipercaya.
Sebuah alis lebat naik begitu sesuatu terpintas di da-
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
lam pikirannya. “Kau bilang tadi tidak ada yang akan
merasa kehilangan dirimu. Kau tidak menikah?”
“Tadinya, ya. Kemudian kami bercerai.”
“Anak-anak?”
“Seorang putra. Joey,” sahut Arden sambil mena
tapnya. “Ia sudah meninggal.”
Drew menggumamkan sesuatu sebelum meng-
hela napasnya, lalu berkata, “Aku menyesal sekali.
Aku tahu betapa menyakitkannya untuk diingatkan
kembali.”
“Tidak apa. Yang aku tidak sukai justru saat
teman-temanku berusaha untuk tidak menyinggung
segala hal tentang dirinya, seakan ia tidak pernah
ada.”
“Aku juga mengalami hal itu. Mereka menghin-
dari topik pembicaraan mengenai Ellie, seakan me-
reka khawatir bahwa air mataku akan jatuh berderai
dan mereka akan menjadi kebingungan.”
“Ya,” sahu Arden. “Aku ingin tetap mengenang
Joey. Anak yang cantik. Lucu. Manis.”
“Apa yang terjadi? Kecelakaan?”
“Tidak. Ketika berusia empat bulan, ia terserang
radang otak. Dan itu juga meyebabkan ginjalnya ru-
sak. Sejak itu ia menjadi pasien cuci darah, dan kukira
ia bisa hidup normal, tapi...” Suara Arden menghilang.
Untuk sesaat mereka sama-sama diam. Sama-sama ti-
dak mendengar suara-suara di sekitar mereka—gelak
tawa yang berasal dari sebuah meja di sisi lain pela-
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
taran itu, suara bising blender yang sedang digunakan
pelayan bar, dan jerit kemenangan dari lapangan tenis
di bawah. “Kondisinya terus merosot. Kemudian terja-
di komplikasi, dan sebelum tersedia organ yang cocok
untuk ditransplantasi, ia meninggal.“
“Suamimu?” tanya Drew hati-hati.
Sejak kapan Drew meraih tangannya? Arden ti-
dak ingat. Hanya tiba-tiba ia menyadari bahwa tangan
nya sudah berada di dalam genggamannya. “Kami
sudah bercerai sebelum Joey meninggal. Bisa dibilang
bahwa ia menyerahkan seluruh perawatan Joey kepa-
daku.”
“Mr. Gentry brengsek juga rupanya.”
Arden tertawa. Walaupun nama suaminya bu-
kan Gentry, namun ia sependapat dengan Drew. “Kau
benar, ia memang brengsek.”
Mereka tertawa pelan, sampai mereka menyada
ri situasi mereka. Suatu perasaan rikuh tiba-tiba me-
landa mereka berdua. Drew melepaskan tangannya,
kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah tasnya.
“Aku sudah cukup lama menyita perhatianmu dari
pekerjaanmu. Dan kebetulan aku harus menjaga Matt
sore ini supaya pengurus rumah tanggaku bisa pergi
belanja.”
“Kau punya pengurus rumah tangga untuk me-
ngasuh Matt? Apakah ia... cukup baik untuk anakmu?”
Rasa ingin tahunya membuatnya sedikit antusias.
“Aku sungguh-sungguh tidak tahu apa yang ha-
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
rus kulakukan tanpa dia. Mrs. Laani sudah bekerja un-
tuk kami sebelum Matt ada. Begitu Ellie meninggal, ia
mengambil alih urusan rumah tangga dan kemudian
tinggal bersama kami. Aku mempercayainya sepenuh-
nya.”
Arden dapat merasakan otot-otot tubuhnya
yang tadinya tegang menjadi rileks. “Kau beruntung
memiliki seseorang seperti dia.”
Drew berdiri dan mengulurkan tangannya. “Me-
nyenangkan sekali bisa berbincang-bincang dengan-
mu, Arden.”
Arden menerima uluran tangannya. “Sama-
sama.”
Drew tampak enggan melepaskan tangannya.
Dan ketika pada akhirnya ia melakukannya, ujung jari
nya dengan ringan menelusuri telapak tangan Arden
—tapi yang sebetulnya ingin ditelusurinya adalah pipi
Arden. “Kuharap liburanmu akan menyenangkan.”
Jantung Arden berdegup lebih cepat. “Terima
kasih.”
“Oke, sampai ketemu.”
“Sampai ketemu, Drew.”
Setelah tiga langkah, tiba-tiba Drew berhenti. Ia
menimbang-nimbang selama beberapa saat sebelum
memutar tubuhnya. Ia akan melakukan sesuatu yang
tidak pernah dilakukannya sejak ia berkenalan de-
ngan Ellie Davidson. Ia akan mengajak seorang wanita
lain berkencan dengannya.
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
“Ehm, begini, aku ingin tahu apakah kau masih
di sini besok.”
“Aku belum tahu,” sahut Arden dengan nada
tenang. Sebenarnya ia sedang menahan napasnya, dan
diam-diam melambungkan sebuah doa. “Kenapa?”
“Yah, Gary dan aku akan main besok pagi.” Ia
mengubah posisi berdirinya. “Aku baru berpikir, an-
daikata kau masih di sini, mungkin kau bisa menonton
sebentar permainan kami, kemudian kita makan siang
sama-sama di sekitar tempat ini.”
Arden menundukkan kepalanya. Nyaris saja ia
memejamkan matanya untuk mengungkapkan kegem-
biraannya.
“Tapi kalau kau...,” tambah Drew.
“Tidak,” sahut Arden cepat-cepat, sambil meng-
angkat wajahnya kembali. “Maksudku, baiklah.... Akan
menyenangkan sekali.”
“Bagus!” ujar Drew, rasa percaya dirinya tum-
buh kembali. Mengapa ia begitu berharap agar Arden
mau menerima undangannya? Ia bisa mengajak siapa
saja kapan pun ia mau. Dan tidak hanya sekadar untuk
makan siang saja. Tapi kenyataannya memang begitu.
“Kalau begitu kita bertemu di sini agak siang?” usul-
nya sambil mencoba mencuri pandang ke arah kaki-
kaki yang dengan rapi tersilang di bawah meja. Siapa
tahu pergelangan kakinya besar.
“Aku akan menunggu di sini.”
Pergelangan kakinya sempurna. “Bye.” Senyum-
http://jendela-fantasi.blogspot.com/
nya lebar sekali dan teramat menawan.
“Bye.” Arden berharap bahwa getar di bibirnya
tidak terlalu kelihatan saat ia membalas senyuman
itu.
Dengan langkah-langkah ringan dan sigap Drew
melintasi pelataran. Arden mengawasinya dari bela-
kang, sambil mengagumi gerakannya serta tubuhnya
yang atletis.
Ia menyukai laki-laki itu! Dan ia merasa bersyu-
kur karena hal itu. Drew seorang laki-laki yang baik.
Seorang laki-laki yang luar biasa. Bukan hanya seka-
dar seorang laki-laki. Bukan lagi sosok tanpa wajah
dan tanpa nama yang selama ini ada dalam benaknya.
Melainkan seorang laki-laki yang memiliki identitas
dan kepribadian. Seorang laki-laki yang tahu artinya
cinta dan kepedihan yang pernah dijalaninya dengan
penuh ketegaran.
Arden telah berhasil menggugah sesuatu di da-
lam diri laki-laki itu. Ia mulai merasa sedikit bersalah.
Apakah ia juga akan diundang makan siang bersama-
nya andaikata laki-laki itu tahu siapa dirinya sebenar-
nya. Apakah Drew juga akan seantusias Arden kalau ia
tahu bahwa Arden adalah wanita yang secara tidak ala
mi pernah mengandung anaknya? Apakah Drew juga
akan membuka dirinya andai ia terus terang menga-
takan padanya, “Akulah ibu yang disewa kau dan Ellie.
Akulah wanita yang mengandung anakmu.”?

You might also like