You are on page 1of 2

Menggali Karakter Hukum Progresif

Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, Prof. Satjipto Rahardjo menyebut deep ecology. Hukum tak
semata untuk manusia.

Pertanyaan tentang apa sebenarnya hukum progresif dan posisinya dalam aliran hukum yang
berkembang mengemuka dalam Konsorsium Hukum Progresif yang berlangsung selama dua hari
di Semarang, 29-30 November 2013. Lebih dari enam puluh makalah disampaikan dalam
perhelatan itu, semua mencoba menggambarkan wujud hukum progresif dalam berbagai bidang.
Bahkan seorang peserta bertanya dalam forum apa sebenarnya hukum progresif, karena ternyata
masing-masing orang menafsirkan hukum progresif itu berdasarkan versinya.

Pada penutupan acara, Direktur Satjipto Rahardjo Institute, Prof. Suteki, mengatakan tak mudah
menjawab hukum progresif per definisi karena ia adalah hukum yang terus berkembang.
Almarhum Prof. Tjip menyebut hukum itu berkualitas sebagai ilmu yang senantiasa mengalami
pembentukan, legal science is always in the making. Hukum progresif adalah gerakan
pembebasan karena ia bersifat cair dan senantiasa gelisah melakukan pencarian dari satu
kebenaran ke kebenaran selanjutnya.

Hukum progresif memang telah berkembang sedemikian rupa sejak Satjipto Rahardjo
menggagasnya. Gagasan itu pertama-tama didasari keprihatinan terhadap kontribusi rendah ilmu
hukum di Indonesia untuk mencerahkan bangsa keluar dari krisis, termasuk krisis di bidang
hukum.

Murid-murid Prof. Satjipto, yang kemudian dikenal sebagai kaum Tjipian, meneruskan gagasan
almarhum. Bertahun-tahun pemikiran Prof. Tjip dibahas selama itu pula muncul pertanyaan
tentang karakter, elemen dasar, ciri, atau apapun namanya hukum progresif.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM Yogyakarta yang juga Wakil Menteri Hukum dan HAM,
Denny Indrayana, mengelaborasi pikiran-pikiran hukum progresif ke dalam 13 karakter.
Antara lain hukum progresif bukan hanya teks, tetapi juga konteks. Hukum progresif
mendudukkan kepastian, keadilan dan kemanfaatan dalam satu garis. Jadi, hukum yang
terlalu kaku akan cenderung tidak adil. Hukum progresif bukan hanya taat pada formal
prosedural birokratis tetapi juga material-substantif. Tetapi yang tak kalah penting adalah
karakter hukum progresif yang berpegang teguh pada hati nurani dan menolak hamba
materi. “Hukum itu harus berhati nurani,” kata Guru Besar Universitas Parahyangan
Bandung, B. Arief Sidharta.

Dosen Universitas Nusa Cendana Kupang, Bernard L. Tanya mengingatkan hukum


progresif adalah hukum dengan semangat berbuat yang terbaik bagi masyarakat, bangsa,
dan negara. Hukum progresif menghendaki manusia jujur. Berani keluar dari tatanan
merupakan salah satu cara mencari dan membebaskan, karena bagi Prof. Tjip, ilmu
hukum progresif adalah tipe ilmu yang selalu gelisah melakukan pencarian dan
pembebasan.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD juga mengakui hukum progresif sulit
dibuat per definisi. Bagi seorang hakim, hukum progresif adalah hukum yang bertumpu pada
keyakinan hakim, dimana hakim tidak terbelenggu pada rumusan Undang-Undang. Mengunakan
hukum progresif, seorang hakim berani mencari dan memberikan keadilan dengan melanggar
Undang-Undang. Apalagi, tak selamanya Undang-Undang bersifat adil.

Salah satu contoh Undang-Undang yang tidak adil adalah UU Pemilu yang hanya mengizinkan
partai politik yang punya kursi di DPR yang boleh ikut pemilu pada 2009. Aturan semacam itu
dinilai Mahfud sebagai bentuk kolusi yang tidak memberikan rasa keadilan. Walhasil,
Mahkamah Konstitusi menggunakan optik hukum progresif untuk membatalkan regulasi itu.

Jaksa KPK, Yudi Kristiana, memberi contoh lain. Penanganan kasus korupsi Angelina Sondakh
juga bermuatan hukum progresif. Dari pesan blackberry yang didasap KPK, kata dia, tak ada
kata-kata uang. Yang ada istilah apel Malang dan apel Washington. Tetapi penyidik meyakini
maksud istilah itu adalah uang karena ada proses penyerahan (levering) dan ucapan terima kasih
antara pemberi dan penerima. Yudi memuji hakim agung yang menghukum Angie 12 tahun
penjara sebagai hakim yang berpikiran hukum progresif.

Hukum progresif memandang bahwa hukum itu untuk manusia. Jadi hukum untuk
membahagiakan manusia, hukum untuk mengabdi untuk kepentingan manusia. Bukan manusia
untuk hukum. Tetapi akademisi hukum, Sidharta, mengatakan Prof. Satjipto terutama pada
tahun-tahun akhir hayatnya menyinggung apa yang disebut deep ecology. Konsep ini
mengandung arti bahwa hukum bukan lagi semata untuk manusia, tetapi untuk untuk
membahagiakan semua makhluk hidup. “Itu berarti hukum untuk semua mahluk hidup,” kata
dosen Universitas Tarumanegara itu.

You might also like