You are on page 1of 9

Aswaja Menurut KH Hasyim Asy'ari dan KH Aqil Sirodj

IN KARYA ILMIAH - ON THURSDAY, JANUARY 03, 2013 - 7 COMMENTS

ASWAJA MENURUT KH HASYIM ASY’ARI DAN

MENURUT KH SAID AQIL SIRODJ

I. Pendahuluan

Islam telah mengisaratkan adanya firqah-firqah yang akan terjadi dalam kehidupan umat manusia,
termasuk firqah dalam Islam. Setidaknya terdapat 14 hadits yang menjelaskan hal tersebut, diantaranya
hadits yang diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi;Artinya; Dari Sufyan al-Tsauri… Nabi Saw. Bersabda:“…
Sesungguhnya Bani Israil itu terpecah menjadi tujuh puluh dua aliran, dan umatku akan terpecah
menjadi tujuh puluh tiga aliran. Semua aliran itu akan masuk neraka, kecuali satu. Para sahabat
bertanya: “Siapakah satu aliran itu ya Rasulallah? (mereka itu adalah aliran yang mengikuti) apa yang aku
lakukan dan para sahabatku.(Ahli Sunnah wal Jama’ah)

Dalam firqah-firqah tersebut semuanya akan celaka kecuali golongan yang berkometmen melaksanakan
segala amaliyah Nabi dan para sahabatnya. Lafadz “Mă Ana ‘alaihi wa Ashhăbĭ” disebut dengan Ahli
Sunnah wal Jama’ah, yang berarti penganut Sunnah Nabi Muhammad dan Jama’ah (sahabat-
sahabatnya).[1] Dalam hal ini pernyataan tersebut hingga saat ini masih begitu aktual, karena masing-
masing kelompok merasa sebagai ahlu sunnah wal jama’ah dan pantas sebagai kelompok yang masuk
surga.

Aswaja adalah kepanjangan kata dari “Ahlussunnah waljamaah”. Ahlussunnah berarti orang-orang yang
menganut atau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, dan waljamaah berarti mayoritas umat atau
mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi definisi Ahlussunnah waljamaah yaitu; “ Orang-orang
yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat (maa ana alaihi wa ashhabi), baik
di dalam syariat (hukum Islam) maupun akidah dan tasawuf”.

Dalam konteks di Indonesia, Aswaja identik dengan golongan “Islam Tradisional” atau lebih spesifik lagi
golongan Nahdlatul Ulama’ (NU) yang secara konsisten telah melaksanakan amaliyahnya berdasarkan
tekstualitas hadits di atas. Disamping itu NU sebagai penerus ajaran Aswaja yang telah dibawa oleh
ajaran Wali Songo merupakan salah satu golongan umat Islam tradisional yang terbesar bukan hanya di
Indonesia melainkan terbesar di dunia.
NU dalam mengusung Aswaja disamping karena sesuai dengan hadits juga secara prinsipil termotivasi
dengan dua faktor; a). Adanya ancaman “Internasional”, terjadinya perebutan kekuasaan dari penguasa
Mekkah Syarif Husain (yang moderat) direbut oleh Abd. Al-‘Aziz ibn Sa’ud (pengikut kaum Wahabi,
pengikut sekte puritan yang paling dogmatis dalam Islam yang terkenal keras dan mengancam keyakinan
“Islam Tradisional” dalam beribadah di tanah suci Mekkah. b). Adanya gerakan Serikat Islam (SI) dan
Muhammadiyah yang memiliki pemahaman berbeda dengan golongan “Islam Tradisional”, dan tidak bisa
membawa aspirasi “Islam Tradisional” dalam kancah Internasional (Mekkah), sehingga terbentuklah
komite Hijaz yang berlanjut dengan berdirinya “Nahdlatoel Oelama” di Surabaya 31 Januari 1926.[2]

Kalau ditelusuri secara mendalam, paham Aswaja sesungguhnya telah lama masuk ke Indonesia
bersamaan dengan masuknya Islam. Islam sendiri masuk ke Indonesia sejak zaman Khulafaur Rasyidin
tepatnya pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Penyebaran Islam di Indonesia masuk melalui dua jalur
utama yaitu Jalur Selatan yang bermadzhab Syafi’i (Arab, Yaman, India, Pakistan, Bangladesh, Malaka,
Indonesia) dan Jalur Utara (Jalur Sutara) yang bermadzhab Hanafi (Turki, persia, Kazakhstan, Uzbekistan,
Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia).

Penyebaran Islam semakin berhasil, khususnya di Pulau Jawa sejak abad ke-13 oleh Walisongo. Dari
murid -murid Walisongo inilah kemudian secara turun temurun menghasilkan ulam-ulama besar di
wilayah Nusantara seperti Syaikhuna Kholil Bangkalan (Madura), Syaikh Arsyad Al Banjari (Banjar,
Kalimantan, Syaikh Yusuf Sulawesi, dan tak ketinggalanan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari yang
nantinya sebagai pendiri utama jam’iyah Nahdlatul Ulama’.

Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) sebagai bagaian dari kajian keislaman merupakan
upaya yang mendudukkan aswaja secara proporsional dan profesional, bukannya semata-mata untuk
mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik
karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat
dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya
tertentu.

Oleh sebab itulah, penulis tertarik untuk mengupas tentang pemahaman Aswaja dari sudut pandang KH
Hasyim Asy’ari dan dari sudut pandang KH Said Aqil Siradj dalam sebuah makalah.

II. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang penulis uraikan di atas, dapat dikemukakan rumusan masalahnya sebagai
berikut:

1. Bagaimana pengertian dan Sejarah Perkembangan Aswaja?

2. Bagaimana Aswaja Menurut KH Hasyim Asy’ari dan KH Said Aqil Siroj?


III. Pembahasan

Dari rumusan masalah diatas, maka dalam pembahasan makalah ini akan terfokus pada:

1. Pengertian dan Sejarah Aswaja

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa Aswaja bukanlah sebuah paham (mazhab)
keagamaan, melainkan Aswaja adalah sebuah manhaj Al fikr (metode berpikir), tapi tidak sedikit
diantara kita khususnya kaum nahdhiyyin (kader NU) yang menganggap bahwa Aswaja adalah sebuah
mazhab dan idiologi yang Qot’I, sehingga tidak heran timbul sebuah pertanyaan yang sedikit nyeleneh
tetapi logis “Mengapa Aswaja menghambat perkembangan intelektual masyarakat?” dampaknya adalah
paradigma jumud (mandeg), kaku dan eksklusif. Kalau kita pahami Aswaja adalah sebuah mazhab
bagaimana mungkin dalam satu mazhab kok mengandung beberapa mazhab dan bagaimana mungkin
dalam satu ideologi ada doktrin yang kontradiktif antara doktrin imam satu dengan imam yang lain.

a. Pengertian Aswaja

Ahlu sunnah waljamaah berasal dari kata Ahlun yang artinya keluarga, golongan atau pengikut.
Ahlussunnah berarti orang orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau amal perbuatan
Nabi Muhammad SAW.) Sedangkan Wal Jama’ah memiliki arti Mayoritas ulama dan jama’ah umat Islam
pengikut sunnah Rasul. Dengan demikian secara bahasa aswaja berarti orang-orang atau mayoritas para
‘Ulama atau umat Islam yang mengikuti sunnah Rasul dan para Sahabat atau para ‘Ulama.

Sedangkan secara Istilah Berarti golongan umat Islam yang dalam bidang Tauhid menganut pemikiran
Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi, sedangkan dalam bidang ilmu fiqih menganut
Imam Madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) serta dalam bidang tasawuf menganut pada Imam Al
Ghazali dan Imam Junaid al Baghdadi. Nahdlatul Ulama sebagai Jamiyyah Diniyyah Islamiyyah berakidah
Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jamā’ah mengikuti salah satu madzhab empat : Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali.[3]

Dalam pengertian yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa ahlusunnah waljama’ah adalah paham
yang dalam masalah aqidah mengikuti Imam Abu Musa Al Asyari dan Abu Mansur Al Maturidi. Dalam
praktek peribadatan mengikuti salah satu empat madzhab yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali, dan dalam bertawasuf mengikuti Imam Abu Qosim Al Junaidi dan Imam Abu Hamid Al Gozali.

Kalau kita mempelajari Ahlussunnah dengan sebenarnya, batasan seperti itu nampak begitu simple dan
sederhana, karena pengertian tersebut menciptakan definisi yang sangat eksklusif Untuk mengkaji secara
mendalam, terlebih dahulu harus kita tekankan bahwa Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) sesungguhnya
bukanlah madzhab, Aswaja hanyalah sebuah manhaj Al fikr (cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh
para sahabat dan muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral
dalam mensikapi situasi politik ketika itu. Meski demikian, bukan berarti dalam kedudukannya sebagai
Manhaj Al fikr sekalipun merupakan produk yang bersih dari realitas sosio-kultural maupun sosio politik
yang melingkupinya.
Salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi, oleh karena itu
Aswaja tidaklah jumud, tidak kaku, tidak eksklusif, dan juga tidak elitis, apa lagi ekstrim. Sebaliknya
Aswaja bisa berkembang dan sekaligus dimungkinkan bisa mendobrak kemapanan yang sudah kondusif.
Tentunya perubahan tersebut harus tetap mengacu pada paradigma dan prinsip al-sholih wa al-ahslah.

Karena implementasi dari qaidah al-muhafadhoh ala qodim al-sholih wa al-akhdzu bi al jadid alashlah.
Adalah menyamakan langkah sesuai dengan kondisi yang berkembang pada masa kini dan masa yang
akan datang. Yakni pemekaran relevansi implementatif pemikiran dan gerakan kongkrit ke dalam semua
sektor dan bidang kehidupan baik, aqidah, syariah, akhlaq, sosial budaya, ekonomi, politik, pendidikan
dan lain sebagainya. Semua itu dilakukan sebagaim wujud dari upaya untuk senantiasa melaksanakan
ajaran Islam dengan sungguh-sungguh.

b. Sejarah Perkembangan

Istilah ahlussunnah waljamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW maupun di masa
pemerintahan al-khulafa’ al-rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani Umayah (41-133
H /611-750 M). Terma Ahlus sunnah wal jama’ah sebetulnya merupakan diksi baru, atau sekurang-
kurangnya tidak pernah digunakan sebelumnya di masa Nabi dan pada periode Sahabat.[4] Bahkan bila
dirunut dari catatan, kata ini belum dipakai pada kurun masa tabi’in (masa Sahabat) dan/atau tabi’ut
tabi’in (masa sesudah periode tabi’in).

Pada masa Al-Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) umpamanya, orang yang disebut-sebut sebagai
pelopor mazhab Ahlus sunnah wal jama’ah itu, istilah ini belum digunakan. Sebagai terminologi, Ahlus
sunnah wal jama’ah baru diperkenalkan hampir empat ratus tahun pasca meninggalnya Nabi Saw, oleh
para Ashab Asy’ari (pengikut Abu Hasan Al-Asy’ari) seperti Al-Baqillani (w. 403 H), Al-Baghdadi (w. 429 H),
Al-Juwaini (w. 478 H), Al-Ghazali (w.505 H), Al-Syahrastani (w. 548 H), dan al-Razi (w. 606 H).

Memang jauh sebelum itu kata sunnah dan jama’ah sudah lazim dipakai dalam tulisan-tulisan arab,
meski bukan sebagai terminologi dan bahkan sebagai sebutan bagi sebuah mazhab keyakinan. Ini
misalnya terlihat dalam surat-surat Al-Ma’mun kepada gubernurnya Ishaq ibn Ibrahim pada tahun 218 H,
sebelum Al-Asy’ari sendiri lahir, tercantum kutipan kalimat wa nasabu anfusahum ilas sunnah (mereka
mempertalikan diri dengansunnah), dan kalimat ahlul haq wad din wal jama’ah (ahli kebenaran, agama
dan jama’ah)[5].

Pemakaian Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai sebutan bagi kelompok keagamaan justru diketahui lebih
belakangan, sewaktu Az-Zabidi menyebutkan dalamIthaf Sadatul Muttaqin, penjelasan atau syarah dari
Ihya Ulumuddinnya Al-Ghazali:idza uthliqa uthliqa ahlus sunnah fal muradu bihi al-asya’irah wal
maturidiyah (jika disebutkan ahlussunnah, maka yang dimaksud adalah pengikut Al-Asy’ari dan Al-
Maturidi).

Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni dibidang teologi kemudian juga
berkembang dalam bidang lain yang menjadi cirri khas aliran ini, baik dibidang fiqh dan tasawuf.
sehingga menjadi istilah, jika disebut akidah sunni (ahlussunnah waljamaah) yang dimaksud adalah
pengikut Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni, yaitu pengikut madzhab yang empat ( Hanafi,
Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang menggunakan rujukan alqur’an, al-hadits, ijma’ dan qiyas. Atau juga
Tasawuf Sunni, yang dimaksud adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi,
Imam Al-Hawi, Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at, hakikat
dan makrifaat.

Penyebaran dan pertumbuhan Islam di Nusantara terletak di pundak para Ulama’. Mereka membentuk
kader-kader yang akan bertugas sebagai mubaligh ke daerah-daerah yang lebih luas. Cara ini dilakukan di
dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pondok di Jawa, dayah di Aceh, surau di Minangkabau.
Dunia pemikiran Islam di Indonesia bagaimanapun juga mempunyai akar pemikiran yang bersumber di
pusat dunia Islam tersebut sebelumnya.[6]

Di Indonesia sendiri, cikal-bakal berdirinya perkumpulan para ulama kemudian menjelma menjadi
Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) tidak terlepas dari sejarah Khilafah. Ketika itu, tanggal 3 Maret
1924, Majelis Nasional yang bersidang di Ankara mengambil keputusan, “Khalifah telah berakhir tugas-
tugasnya. Khilafah telah dihapuskan karena Khilafah, pemerintahan dan republik, semuanya menjadi
satu gabungan dalam berbagai pengertian dan konsepnya.”Keputusan tersebut mengguncang umat
Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Untuk merespon peristiwa itu, sebuah Komite Khilafah (Comite Chilafat) didirikan di Surabaya tanggal 4
Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari
Sarikat Islam dan wakil ketua KH A. Wahab Hasbullah dari golongan tradisi (yang kemudian melahirkan
NU). Tujuannya untuk membahas undangan kongres Kekhilafahan di Kairo (Bandera Islam, 16 Oktober
1924). Kemudian pada Desember 1924 berlangsung Kongres al-Islam yang diselenggarakan oleh Komite
Khilafah Pusat (Centraal Comite Chilafat). Kongres memutuskan untuk mengirim delegasi ke Konferensi
Khilafah di Kairo untuk menyampaikan proposal Khilafah. Setelah itu, diadakan lagi Kongres al-Islam di
Yogyakarta pada 21-27 Agustus 1925.

Lahirnya NU sendiri, yang merupakan kelanjutan dari Komite Merembuk Hijaz, yang tujuannya untuk
melobi Ibnu Suud, penguasa Saudi saat itu, untuk mengakomodasi pemahaman umat yang bermazhab,
jelas tidak terlepas dari sejarah keruntuhan Khilafah. Ibnu Suud sendiri adalah pengganti Syarif Husain,
penguasa Arab yang lebih dulu membelot dari Khilafah Utsmaniyah. Jadi, secara historis lahirnya NU
tidak terlepas dari persoalan Khilafah. Di sisi lain, NU sejak kelahirannya tidak berpaham sekular dan
tidak pula anti formalisasi. Bahkan NU memandang formalisasi syariah menjadi sebuah kebutuhan.
Hanya saja, yang ditempuh NU dalam melakukan upaya formalisasi bukanlah cara-cara paksaan dan
kekerasan, tetapi menggunakan cara gradual yang mengarah pada penyadaran.

Hal ini karena sepak terjang NU senantiasa berpegang pada kaidah fiqhiyah seperti: mâ lâ yudraku kulluh
lâ yutraku kulluh (apa yang tidak bisa dicapai semua janganlah kemudian meninggalkan semua); dar’al-
mafâsid muqaddamun ‘ala jalb al mashâlih (mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil
kemaslahatan). Sejarah NU menjadi bukti bahwa sejak kelahirannya NU justru concern pada perjuangan
formalisasi Islam.[7]
Oleh sebab itulah tidak mengherankan jika kemudian NU bisa diterima umat Islam Indonesia, bahkan
bisa berkembang pesat menjadi salah satu paham terbesar yang dianut oleh umat Islam terutama yang
dianggap Islam tradisional.

2. Aswaja Menurut KH Hasyim Asy’ari dan KH Said Aqil Siroj

Adapun penjelasannya dari Aswaja menurut sudut pandang KH Hasyim Asy’ari dan KH Said Aqil Siradj
adalah sebagai berikut:

a. Aswaja Menurut KH Hasyim Asy’ari

KH. Hasyim Asy’ari, merupakan Rais Akbar Nahdlatul Ulama’. Beliau memberikan tashawur (gambaran)
tentang ahlussunnah waljamaah sebagaimana ditegaskan dalam al-qanun al-asasi, bahwa faham
ahlussunnah waljamaah versi Nahdlatul Ulama’ yaitu mengikuti Abu Hasan al-asy’ari dan Abu Manshur
al-Maturidi secara teologis, mengikuti salah satu empat madzhab fiqh ( Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hanbali) secara fiqhiyah, dan bertashawuf sebagaimana yang difahami oleh Imam al-Ghazali atau Imam
Junaid al-Baghdadi.

Penjelasan KH. Hasyim Asy’ari tentang ahlussunnah waljamaah versi Nahdlatul Ulama’ dapat difahami
sebagai berikut:

1. Penjelasan aswaja KH Hasyim Asy’ari, jangan dilihat dari pandangan ta’rif menurut ilmu Manthiq
yang harus jami’ wa mani’ ( ‫ )جامع مانع‬tapi itu merupakan gambaran (‫ )تصــور‬yang akan lebih mudah
kepada masyarakat untuk bisa mendaptkan pembenaran dan pemahaman secara jelas ( ‫)تصــد يق‬.
Karena secara definitif tentang ahlussunnah waljamaah para ulama berbeda secara redaksional tapi
muaranya sama yaitu maa ana alaihi wa ashabii.

2. Penjelasan aswaja versi KH. Hasyim Asy’ari, merupakan implimentasi dari sejarah berdirinya
kelompok ahlussunnah waljamaah sejak masa pemerintahan Abbasiyah yang kemudian terakumulasi
menjadi firqah yang berteologi Asy’ariyah dan Maturidiyah, berfiqh madzhab yang empat dan
bertashuwf al-Ghazali dan Junai al-Baghdadi

3. Merupakan “Perlawanan” terhadap gerakan ‘wahabiyah’ (islam modernis) di Indonesia waktu itu
yang mengumandangkan konsep kembali kepada al-quran dan as-sunnah, dalam arti anti madzhab, anti
taqlid, dan anti TBC. ( tahayyul, bid’ah dan khurafaat). Sehingga dari penjelasan aswaja versi NU dapat
difahami bahwa untuk memahami al-qur’an dan As-sunnah perlu penafsiran para Ulama yang memang
ahlinya. Karena sedikit sekali kaum m uslimin mampu berijtihad, bahkan kebanyakan mereka itu
muqallid atau muttabi’ baik mengakui atau tidak.[8]

Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka KH. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi
(prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. Kedua kitab tersebut,
kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU, yang dijadikan dasar dan rujukan sebagai warga NU dalam
berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan po1itik.

Khusus Untuk membentengi keyakinan warga NU agar tidak terkontaminasi oleh paham-paham sesat
yang dikampanyekan oleh kalangan modernis, KH Hasyim Asy'ari menulis kitab risalah ahlusunah
waljamaah yang secara khusus menjelaskan soal bid’ah dan sunah. Sikap lentur NU sebagai titik
pertemuan pemahaman akidah, fikih, dan tasawuf versi ahlusunah waljamaah telah berhasil
memproduksi pemikiran keagamaan yang fleksibel, mapan, dan mudah diamalkan pengikutnya.[9]

Dalam perkembangannya kemudian para Ulama’ NU di Indonesia menganggap bahwa Aswaja yang
diajarkan oleh KH Hasyim Asy’ari sebagai upaya pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip
tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang) serta ta’addul (Keadilan). Prinsip-
prinsip tersebut merupakan landasan dasar dalam mengimplimentasikan Aswaja.

b. Aswaja Menurut KH Said Aqil Siroj

Seiring dengan derasnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang menuntut kita agar
terus memacu diri mengkaji Ahlussunah Wal Jama’ah dari berbagai aspeknya, agar warga nahdliyin dapat
memahami dan memperdalam, menghayati dan mengejawantahkan warisan ulama al salaf al salih yang
berserakan dalam tumpukan kutub al turast.[10]

Nahdlatul Ulama’ dalam menjalankan paham ahlusunah waljamaah pada dasarnya menganut lima
prinsip. Yakni, at-Tawazun (keseimbangan), at-Tasamuh (toleran), at-Tawasuth (moderat), at-Ta'adul
(patuh pada hukum), dan amar makruf nahi mungkar. Dalam masalah sikap toleran pernah dicontohkan
oleh pendiri NU KH Hasyim Asy'ari saat muncul perdebatan tentang perlunya negara Islam atau tidak di
Indonesia. Kakek mantan Presiden Abdurrahman Wahid itu mengatakan, selama umat Islam diakui
keberadaan dan peribadatannya, negara Islam atau bukan, tidak menjadi soal. Sebab, negara Islam
bukan persoalan final dan masih menjadi perdebatan[11]

Lain dengan para Ulama’ NU di Indonesia yang menganggap Aswaja sebagai upaya pembakuan atau
menginstitusikan prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang) serta
ta’addul (Keadilan). Maka Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan Aswaja adalah sebagai metode
berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berdasarkan atas dasar
modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka
memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print) yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan
dunia modern.

Hal yang mendasari imunitas (daya tahan) keberadaan paham Ahlus sunnah wal jama’ah adalah
sebagaimana dikutip oleh Said Aqil Siradj, bahwa Ahlus sunnah wal jama’ah adalah “Ahlu minhajil fikri
ad-dini al-musytamili ‘ala syu’uunil hayati wa muqtadhayatiha al-qa’imi ‘ala asasit tawassuthu wat
tawazzuni wat ta’adduli wat tasamuh”, atau “orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang
mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga
keseimbangan dan toleransi”.[12]

Prinsip dasar yang menjadi ciri khas paham Ahlus sunnah wal jama’ah adalah tawassuth, tawazzun wat
ta’adul, dan tasamuh; moderat, seimbang dan netral, serta toleran. Sikap pertengahan seperti inilah yang
dinilai paling selamat, selain bahwa Allah telah menjelaskan bahwa umat Nabi Muhammad
adalahummat wasath, umat pertengahan yang adil (QS. Al-Baqarah : 143).

Harus diakui bahwa pandangan Said Aqil Siradj tentang Aswaja yang dijadikan sebagai manhaj al fikr
memang banyak mendapatkan tentangan dari berbagai pihak. Apalagi sejak kyai Said mengeluarkan
karyanya yang berjudul “Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis”.

Meskipun banyak sekali yang menentang pemikiran Said Aqil Sirodj dalam memahami Aswaja dalam
konteks saat ini, akan tetapi harus diakui bahwa paradigma yang digunakan Said Aqil Siradj dalam
menafsiri Aswaja patut untuk dihormati. Karena yang dilakukan merupakan wujud tafsir dalam
memahami Aswaja di era Globalisasi.

IV. Penutup

Dari pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Ahlu sunnah waljamaah berasal dari kata Ahlun yang artinya keluarga, golongan atau pengikut.
Ahlussunnah berarti orang orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau amal perbuatan
Nabi Muhammad SAW.) Sedangkan Wal Jama’ah memiliki arti Mayoritas ulama dan jama’ah umat Islam
pengikut sunnah Rasul. Aswaja berarti orang-orang atau mayoritas para ‘Ulama atau umat Islam yang
mengikuti sunnah Rasul dan para Sahabat atau para ‘Ulama.

2. Aswaja menurut:

a. KH. Hasyim Asyari’ adalah suatu paham berteologi Asy’ariyah dan Maturidiyah, berfiqh madzhab
yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali) dan bertashuwf al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi.
Selain itu dalam mengimplementasikan Aswaja adalah dengan prinsip at-Tawazun (keseimbangan), at-
Tasamuh (toleran), at-Tawasuth (moderat), at-Ta'adul (patuh pada hokum/adil), dan amar makruf nahi
mungkar.

b. KH. Said Aqil Siradj memandang Aswaja adalah sebagai Manhaj al Fikr (landasan berpikir). Dalam
hal inilah Aswaja dapat dipahami sebagai sesuatu yang bisa ditafsiri secara kontekstual dan lebih
modern.
Demikian makalah ini kami susun, penulis yakin bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini. Oleh sebab itulah kritik dan saran senantiasa kami nantikan demi perbaikan pada
penyusunan makalah yang lain. Dan semoga makalah ini bermanfaat, amien.

[1] Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama;ah, (Jakarta, Pustaka Tarbiyah, 1983), hlm. 16.

[2] Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relsi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta, LkiS,
1994), hlm. 31-32

[3] Ali Khaidar, Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia; Pendekatan Fiqih dalam Politik, (Jakarta: Gramedia,
1995), hlm. 69-70.

[4] Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis, (Jakarta: Pustaka Cendikia Muda,
2008), hlm. 6.

[5] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Pres, 2008),
hlm. 65.

[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Jaya, 2001), hlm. 195-197.

[7] Ainul, Yaqin, Warga NU, Aktivis Lembaga Kajian Islam Hanif (L-Jihan) Sidogiri.com

[8] KH. Hasyim Asy’ari, Al-Qanun Al-Asasi; Risalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,terjemah oleh Zainul
Hakim, (Jember: Darus Sholah, 2006).

[9] Marwan Ja’far, Ahlussunnah Wal Jama’ah; Telaah Historis dan Kontekstual, (Yogyakarta: LKiS, 2010),
Cet. Pertama, hlm. 81.

[10] Said Aqil Siraj dalam Muhammad Idrus Ramli, Pengantar Sejarah Ahlussunah Wal Jama’ah (Jakarta:
Khalista, 2011).

[11] Marwan Ja’far, Op.cit, hlm. 81.

[12] Said Aqil Siraj, Op.cit, hlm. 8.

You might also like