You are on page 1of 5

Agama sebagai Kontrol Sosial

Agama adalah salah satu institusi besar dalam kehidupan manusia (masyarakat).Agama
melalui postulat keagamaannya yang suci (ajaran agama) memiliki peran strategis dalam
mengontrol kehidupan sosial umat manusia.
Sistem sosial ada dengan maksud untuk menata kehidupan sosial yang lebik baik, tapi
mengingat agama bukanlah satu-satunya institusi sosial yang ada dimasyarakat, (juga ada
negara) maka dua intitusi besar tersbut meski berada pada posisi yang sejajar, saling
mengimbangi, dan mampu menjalin hubungan yang sifatnya harmonis. Namun faktanya tidak
demikian, berbicara hubungan agama dan negara akan ditemukan relung dimana terjadinya
sebuah ketimpangan dalam posisi keduanya. Agama kerap berada dibawah dominasi negara.
Sebagaimana disitir oleh Michel Lowy (2003) bahwa “perselisihan yang dipicu oleh
masalah agama, kini mengancam kehidupan berbangsa kita.Sejarah kemanusiaan hancur setelah
kobaran kebencian membakar perasaan masing-masing pemeluk agama.Jauh dari kebencian itu
semua, ada permasalahan mendasar yang terus menerus ditanam.Kekuasaan yang seharusnya
melindungi bersama-sama dengan kaum pemodal, telah meletakkan agama dibawah pengaruh
kekuasaannya.Agama dipaksa untuk melayani keperluan, baik penguasa maupun
pemodal.Adalah paradoksal melihat ketidakadilan, Agama tidak memebri reaksi. Sebaliknya
ketika kekuasaan berhasrat untuk mempertahankan kelestariannya, agama serta merta mencari
dasar teologis pembenarnya”1[1].
Rasanya tidak terlalu berlebihan apa yang disitir oleh Michel Lowy diatas, bila Mencoba
mencermati realita kehidupan sosial-keagamaan hari ini. Sebagai institusi yang memiliki peran
penting dalam mengontrol kehidupan sosial manusia, agama mesti melakukan reposisi agar
mampu mengoptimalkan fungsi kontrolnya dalam kehidupan sosial manusia.
Sejarah kemunculan agama-agama memberikan indikasi bahwasanya agama lahir
sebagai “kritik”atas realitas kehidupan sosial masyarakat.Dapat dikatakan, rata-rata kondisi
sosial masyarakat-dimana sebuah agama lahir-cenderung amoral dan semrawut.Logika
kehidupan kaum barbarian begitu dominan, kehidupan dibaluti dengan hukum rimba dimana
yang kuat menindas yang lemah. Dalam kondisi seperti inilah, keberadaan seseorang yang

1[1] Michael Lowy, 2003, Teologi Pembebasan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan insist
perduli dengan realitas tersebut akan menapaki jejak “mengembara” untuk menemukan
formulasi yang tepat agar dapat merubah kehidupan yang demikian. Orang-orang inilah yang
kemudian kita kenal sebagai Nabi, yang datang membawa spirit kebenaran atas nama Agama.
Proses kemunculan agama Budha misalkan, tidak jauh dari apa yang dipaparkan disatu
paragrap diatas, dimana Sidharta Gautama melakukan perjalanan panjang setelah ia melihat
realitas kehidupan manusia diluar istana (mengingat Sidharta adalah putra kerajaan). Dalam
perjalanan panjangnya ia kemudian menemukan konsep-konsep ilahiah untuk mengatasi
persoalan sosial dimasyarakatnya. Hasil “semedinya” itulah yang lalu didakwahkan kepada
masyarakat. Begitu pula dengan kemunculan agama Kong Hu Cu, Konfuse sebagai pembawa
ajaran agama Kong Hu Cu juga melakukan hal yang sama dengan Sidharta Gautama. Tak
terkecuali juga dengan Nabi Muhammad SAW, yang juga melakukan pertapaan di Gua Hira`
lantaran kemuakannya melihat kondisi sosial masyarakat Arab waktu itu. Dalam proses
penyendiriannya di Gua Hira` itulah ia lalu didatangi oleh malaikta Jibril yang membawakan
wahyu kepadanya. Hasil menyendirinya itulah yang ia sebarluaskan dimasyarakat Arab, dimana
pasca dakwahnya kondisi sosial masyarakat Arab dapat berubah menjadi lebih baik.
Saya tidak ingin mengekplorasi sejarah kemunculan dan perkembangan agama lebih
jauh, karena tentunya kita semua sudah sering dijejali oleh pengetahuan semacam itu.Tapi paling
tidak dari cerita sekilas diatas, kita bisa menemukan peran agama yang begitu mendasar dan
strategis dalam mengontrol bahkan merubah kehidupan sosial masyarakat.Fakta sejarah
(historical fact) diatas mampu mengarahkan kita pada sebuah pemahaman bahwasanya agama
lahir memang diperuntukkan untuk kepentingan manusia, sekaligus sebagai pegangan (way of
life) serta bimbingan bagi manusia dalam menjalani kehidupannya, agar terbentuk sebuah
kerangka kehidupan yang lebih baik, humanis, serta harmonis.Harapan seperti ini pantas kita
tanamkan dalam lubuk hati setiap manusia yang beragama.
Kondisi kehidupan sosial hari ini tidak jauh beda dengan masa-masa kemunculan agama-
agama. Tingginya angka kriminalitas, seringnya terjadi pemerkosaaan di angkutan umum,
banyaknya kasus pembunuhan, pencurian, trend seks bebas yang banyak terjadi dikalangan
remaja, bobroknya moralitas para pejabat dan elite politik, adalah indikasi-indikasi yang
mengarah pada perilaku kehidupan masyarakat primitif. Kondisi seperti ini sebenarnya adalah
muara tempat dimana agama seharusnya mampu menemukan posisinya untuk mengontrol
bahkan menyehatkan kehidupan sosial hari ini.
Yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah pada tingkat usaha agama dalam
merealisasi fungsi kontrolnya, mengingat agama bukanlah satu-satunya institusi sosial dalam
kahidupan manusia, tapi juga ada Negara di sisi lainnya. Berbicara peran agama pada tataran ini,
maka akan ditemukan titik perselisihan diantara keduanya. Terlebih lagi bila berbicara dalam
lokalitas keindonesiaan, dimana konteks kehidupan keberagamaan di Indonesia, selalu
merupakan bagian integral dari proses-proses politik.Konsekuensi ini muncul karena relasi
agama-negara sangat plastis yang memungkinkan agama selalu berada pada titik persinggungan
dengan politik (negara). Negara selalu berupaya untuk menunjukkan dirinya dalam setiap level
kehidupan masyarakat, termasuk agama2[2].
Usaha agama dalam menjalankan fungsi kontrol
a. Jalan Politik
Langkah politis kerap diambil agama (tokoh-tokoh agama) untuk menyalurkan fungsi
kontrolnya. Logikanya adalah ketika agama mampu meraih tampuk kekuasaan, maka dengan
sendirinya akan mendatangkan kemudahan dalam mengontrol laju kehidupan sosial masyarakat.
Tapi hal ini, dapat dikatakan belum mampu terealisasi, karena agama akan bersinggungan
dengan adanya perspektif negatif tatkala agama memasuki wilayah yang di cap “kotor” dan
penuh dengan kemunafikan ini.
Bahkan langkah ini kerap menjadi bumerang bagi eksistensi dan pencitraan agama sendiri,
karena kesan adanya “politisasi agama” akan begitu menguat di masyarakat. Agama hanya akan
dimanfaatkan sebagai media pendulang suara semata dalam sebuah kompetisi politik.
Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. John A Titaly, Th.D Bahwa “politisasi agama adalah upaya
mempergunakan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu, baik yang
dilakukan oleh perorangan maupun institusi tertentu.Itu bisa terjadi karena ada kerjasama dari
para pemimpin agama.pada umunya yang lebih diuntungkan dalam upaya seperti ini adalah para
politisinya ketimbang para pemimpin agamanya. Kalaupun para pemimpin agama nampaknya
menikmati keuntungan, maka sudah tentu keuntungan itu adalah keuntungan politik mereka
senidir, bukan kepentingan agama”3[3].

2[2]Baca lebih lanjut dalam Tedi, Kholiluddin. 2009. Kuasa Negara Atas Agama Politik Pengakuan, “Diskursus Agama
Resmi” dan Deskriminasi Hak Sipil. Semarang : RaSAIL Media Group. hlm : 125

3[3] John, A Tilaty. 2009. Kata PengantarKala Tuhan Dipolitisasi Pengakuan ATAS Agama dan Masalah Kebebasan
Beragama Di Indonesia” dalam Ibid, hlm : XI
b. Kemunculan Organisasi Berbasis Agama
Bak jamur di musim hujan, kemunculan organ berbasis agama begitu banyak di masyarakat,
fenomena ini juga dapat diposisikan sebagai langkah agama dalam menempuh fungsi
kontrolnya.Keberadaan NU, Muhammaiyah, FPI, HTI, MMI, adalah wajah organ berbasis agama
di masyarakat.Tapi bentuk controlling organ-organ ini lebih bersifat sektoral, dan belum mampu
menasionalisasikan gerakan-gerakan kontrolnya.
c. Pemanfaatan Tekhnologi
Yang dimaksudkan disini adalah kemunculan banyak pendakwah di media (TV). Acara
bernuansa keagmaan akan banyak kita temukan di layar kaca, hal ini juga adalah bagian dari
melaksanakan fungsi kontrol agama
Kendala-kendala agama dalam menjalani fungsi kontrol
1. Adanya ketimpangan relasi Agama-Negara
Ketimpangan ini berujud pada terjadinya dominasi negara terhadap agama atau
Meminjam judul bukunya Tedi Kholiludin “Kuasa Negara atas Agama”.Konsekuensi yang
terbangun dari situasi semacam ini adalah sempitnya ruang agama dalam melakukan fungsi
kontrolnya.Setiap usaha agama mesti dijadikan sebagai Undang-Undang negara baru bisa
diteruskan kepada masyarakat.
2. Masih kurangnya pemahaman keagamaan masyarakat
Spirit keberagamaan di masyarakat memang tinggi, tapi hal ini akan kontraproduktif bila
tidak diimbangi oleh adanya pemahaman terhadap ajaran agama yang juga mesti tinggi. Karena
bila tidak terjadi keseimbangan antara spirit keberagamaan dan pemahaman keagamaan, maka
hal ini akan cenderung mengarahkan manusia pada sikap fanatik (fanatic attitude) dan sikap
keberagamaan yang sempit (narrow religiousity) dan sikap fundamentalis4[4].

Agama menempati posisi fumdamental dan strategis dalam kehidupan sosial masyarakat,
sehingga agama mesti menyadari posisi ini.Kondisi kehidupan sosial yang masih jauh dari ideal
ajaran agama, mesti segera dirubah.Agama mesti menempuh jalan dakwah yang lebih efektif
untuk mentranformasikan nilai-nilai keagamaan ke masyarakat. Juga mesti pandai-pandai
memilih strategi dan substansi dakwahan agar kesan penyampaian khutbah keagmaan tidak

4[4] Abu, Hatsin. 2006. Kata Pengantar. dalamIslam dan Humanisme Aktualisasi Humanisme
Islam di tengah krisi humansime universal. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. hlm : vii
hanya mengajarkan manusia cara membangun jembatan menuju surga, sementara selangkah lagi
manusia akan terjatuh dalam kubangan neraka.

Daptar Bacaan
Hanafi.Hasan dkk, 2006, Islam dan Humanisme Aktualisasi Humanisme Islam Ditengah Krisis
Humanisme Universal.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Kholiludin.Tedi, 2009, Kuasa Negara Atas Agama Politik Pengakuan, “Diskursus Agama Resmi” dan
Deskriminasi Hak sipil.Semarang : RaSAIL
Komarudin. Hidayat, 2008, The Wisdom Of Life Menjawab Kegelisahan hidup dan Agama.Jakarta :
Kompas
Lowy. Michael, 2003, Teologi Pembebasan, Yogayakrta : Pustaka Pelajar dan insist

You might also like