You are on page 1of 32

REFERAT ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

KEMATIAN DAN PENENTUAN WAKTU KEMATIAN

DOSEN PEMBIMBING : DR. RADEN PANJI UVA UTOMO, SP.KF

RESIDEN PEMBIMBING : DR. ELISA ROMPAS, M.KES

DISUSUN OLEH :

BELINDA ANABEL 2015-061-002

YOSHIE PATRICIA 2015-061-005

PHILLIPUS ANDRE 2015-061-012

NATHANIA CHRISTY WIGUNA 2015-061-062

CLAUDIA CHRISTIAWAN CHASOKO 2015-061-087

STEPHEN KURNIAWAN 2015-061-088

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN

MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA

RSUP DR KARIADI SEMARANG

PERIODE 30 MEI 2016 – 12 JUNI 2016


KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas

segala limpahan rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan referat yang

berjudul : “Kematian dan Penentuan Waktu Kematian” yang dilakukan di Rumah Sakit

Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang pada periode 20 Mei 2016 sampai dengan 12 Juni

2016. Penulisan referat ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dorongan, dan

petunjuk dari berbagai pihak yang telah senantiasa membantu, oleh sebab itu, penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Raden Panji Uva Utomo, Sp.KF, selaku dosen penguji kepaniteraaan klinik

program pendidikan profesi dokter di bagian ilmu Kedokteran Forensik dan

Medikolegal Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang.

2. Dr. Elisa Rompas, M.Kes, selaku residen pembimbing kepaniteraaan klinik

program pendidikan profesi dokter di bagian ilmu Kedokteran Forensik dan

Medikolegal Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang.

3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik dari universitas lain dan pihak-pihak lain

yang tidak mungkin disebutkan satu per satu yang telah membantu penulisan

referat ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan di dalam penulisan

referat ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir

kata, Penulis berharap agar tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca, di kalangan

medis maupun non-medis.


Semarang, 5 Juni 2016

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ..............................................................................................

Kata Pengantar ........................................................................................................

Daftar Isi..................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................

1.1 Latar Belakang ..................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................

1.3 Tujuan dan Manfaat ..........................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................

2.1 Penegakan Kematian .........................................................................................

2.1.1 Tanda Tidak Pasti Kematian ..........................................................................

2.1.1.1 Tanda Tidak Pasti Kematian pada Sistem Respirasi ...................................

2.1.1.2 Tanda Tidak Pasti Kematian pada Sistem Kardiovaskular .........................

2.1.1.3 Tanda Tidak Pasti Kematian pada Sistem Saraf Pusat ...............................

2.1.2 Tanda Pasti Kematian ....................................................................................

2.1.2.1 Livor Mortis ................................................................................................

2.1.2.2 Rigor Mortis ................................................................................................

2.1.2.3 Algor Mortis ................................................................................................

2.1.2.4 Pembusukan ................................................................................................

2.2 Penentuan Waktu Kematian ..............................................................................

BAB III PENUTUP ................................................................................................


3.1 Kesimpulan .......................................................................................................

3.2 Saran ..................................................................................................................

Daftar Pustaka .........................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keilmuan Forensik dan Medikolegal yang penting dalam membantu peradilan

adalah penentuan kematian dan waktu kematian terjadi. Waktu kematian terjadi dapat

diperkirakan melalui tanda-tanda yang didapatkan pada pemeriksaan tubuh jenazah.

Penentuan kematian dan waktu kematian memiliki aspek klinis maupun medikolegal

yang sangat berguna dalam membantu proses peradilan.

Bidang ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal yang mempelajari

kematian adalah thanatologi, yang berasal dari suku kata thanatos, yakni hal yang

berhubungan dengan mayat, dan logos, yakni pengetahuan atau ilmu. Secara

keseluruhan definisi, thanatology adalah ilmu yang mempelajari kematian dan

perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor-faktor yang memengaruhi

perubahan tersebut.1 Dalam definisi thanatology tersebut terkandung dua pokok

bahasan, yakni (1) Penentuan Kematian, dan (2) perubahan yang terjadi setelah

kematian. Kedua hal tersebut memiliki aspek klinis dan medikolegal, dan seringkali

memiliki pengertian yang berbeda.

Oleh karena pentingnya kedua aspek tersebut dalam membantu proses

penyidikan, penulis mengajukan referat dengan judul “Kematian dan Penentuan Waktu

Kematian”.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dalam penulisan

tulisan ini dirumuskan permasalahan yakni sebagai berikut :

1. Apa definisi kematian dan bagaimana mendiagnosis kematian?

2. Apa saja perubahan yang didapatkan pada jenazah setelah kematian?

3. Apa saja metode yang digunakan dan bagaimana cara memperkirakan waktu

kematian?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Tujuan Umum :

Mengetahui dan memahami thanatologi dalam mendiagnosis kematian dan

menentukan meninggal dari sisi klinis dan medikolegal, serta perkiraan waktu

meninggal berdasarkan temuan pada jenazah.

Tujuan Khusus :

1. Mengetahui dan memahami tanda-tanda tidak pasti kematian

2. Mengetahui dan memahami tanda-tanda pasti kematian

3. Mengetahui dan dapat menentukan perkiraan waktu meninggal jenazah


Manfaat :

1. Bagi Mahasiswa

 Sebagai bekal dalam menjalani profesi kedokteran

 Menambah pengetahuan mahasiswa mengeani penetuan waktu

kematian

2. Bagi Institusi Pendidikan

 Sebagai media pengabdian masyarakat terutama dalam pengembangan

ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.

3. Bagi Pengadilan

 Sebagai salah satu pemberi petunjuk dalam penegakan peradilan yang

adil dan terbuka.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penegakan Kematian

Manusia menurut ilmu kedokteran memiliki dua dimensi, yaitu sebagai

individu dan sebagai kumpulan sel-sel yang menyusun sistem dan organisme. Oleh

sebab itu kematian manusia juga dapat dilihat dari kedua dimensi tadi, dengan catatan

bahwa kematian sel (cellular death) akibat ketiadaan oksigen baru aan terjadi seletalh

kematian manusia sebagi indivitu (somatic death).

Per definisi, dikenal beberapa definisi mati, antara lain: 1,3

1. Kematian somatik

Kematian somatik adalah kematian akibat terhentinya fungsi ketiga sistem

penunjang kehidupan yaitu sistem susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular,

dan sistem respirasi. Secara klinis, tidak ditemukan reflex, elektroensefalogram

yang mendatar (tidak ada aktivitas elektrik otak), nadi tidak teraba, jantung

tidak berdetak, tidak ada suara nafas dan gerakan nafas. Kematian somatic

dapat dikacaukan dengan mati Suri, yaitu suatu penurunan fungsi organ vital

sampai taraf minimal yang reversible. Diketahui ternyata hidup lagi setelah

dinyatakan mati. Mati suri sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur,

tersengat listrik atau tersambar petir,dan tenggelam.


2. Kematian seluler

Kematian seluler adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul

beberapa saat setelah kematian somatik. Kerusakan terjadi pada semua organela

sel terakhir pada mitokondria. Daya tahan hidup masing-masing organ atau

jaringan berbeda-beda sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ

atau jaringan tidak bersamaan.

3. Mati serebral

Mati serebral adalah kerusakan dua hemisfer otak yang irreversibel namun

tidak termasuk kerusakan batang otak dan serebelum.

4. Mati otak

Mati otak adalah kerusakan seluruh isi saraf intrakranial otak yang irreversibel

termasuk kerusakan batang otak dan serebelum. Pada kematian otak, seseorang

tidak akan dapat kembali hidup lagi.

2.1.1 Tanda Tidak Pasti Kematian

2.1.1.1 Tanda Tidak Pasti Kematian pada Sistem Respirasi

Untuk menentukan paru-paru sudah berhenti dapat dilakukan 4 macam tes yaitu :

1. Auskultasi

Pernapasan berhenti dan dinilai selama 10 menit. Kalau perlu dilakukan

auskultasi pada daerah laring.


2. Tes Winslow

Meletakan gelas berisi air di atas perut atau dada. Bila permukaan air bergoyang

berarti masih ada gerakan bernapas.

3. Tes cermin

Meletakan kaca cermin di depan mulut dan hidung. Bila basah karena uap air

yang berasal dari hembusan napas berarti seorang tersebut masih bernapas.

4. Tes bulu burung

Meletakan bulu burung di depan hidung. Bila bergetar berarti masih bernapas.

2.1.1.2 Tanda Tidak Pasti Kematian pada Sistem Kardiovaskular

Untuk menentukan jantung masih berfungsi dilakukan:

1. Auskultasi

Auskultasi bunyi jantung di daerah prekardial selama 10 menit terus menerus

2. Tes Magnus

Mengikat jari tangan sedemikian rupa sehingga hanya aliran darah vena yang

terhenti. Bila terjadi bendungan bewarna sianotik/ berarti masih ada sirkulasi

3. Tes Icard

Menyuntikan larutan dari campuran 1 gram zat fluoresencein dan 1 gram

natrium bicarbonas di dalam 98 ml air secara subcutan. Bila terjadi perubahan

warna kuning kehijauan dan menyebar (tampak seperti gambaran memar)

berarti masih ada sirkulasi darah.


4. Insisi arteria radialis

Bila terpakasa dapat dilakukan pengrisan pada arteri radialis. Bila keluar darah

secara pulsasif berarti masih ada sirkulasi darah.

2.1.1.3 Tanda Tidak Pasti Kematian pada Sistem Saraf Pusat

Untuk menetukan fungsi Saraf, dinilai dari fungsi saraf kranial yaitu:

1. Nervus II : Tidak ada refleks pupil.

2. Nervus V dan VII : Tidak ada reflex kornea.

3. Nervus VIII : Tidak ada reflek vestibulo-ocular terhadap rangsangan air es

yang dimasukan ke dalam lubang telinga (tes kalori).

4. Nervus IX : tidak ada reflex menelan atau batuk ketika ETT didorang ke dalam

5. Tidak ada respon motorik dari syaraf kraial terhadap rangsangan.

6. Tidak ada napas spontan ketika repiraotor dilepas walaupun PCO2 sudah

melampaui nilai ambang rangsang napas (50 mmHg).

2.1.2 Tanda Pasti Kematian

Tanda-tanda kematian pasti yang ditemukan pada mayat antara lain (1) Livor

mortis / lebam mayat, (2) Rigor mortis / kaku mayat, (3) Algor mortis, dan (4)

Pembusukan.
2.1.2.1 Livor Mortis

Livor Mortis atau lebam mayat merupakan perubahan warna kulit berupa warna

biru kemerahan akibat terkumpulnya eritrosit ke tempat terbawah tubuh yang

dipengaruhi oleh gaya gravitasi mengisi vena dan venula. Lokasi lebam mayat terletak

di tempat terbawah dari tubuh kecuali bagian tubuh yang tertekan. Mula-mula warna

lebam mayat hanya berupa bercak setempat-setempat yang kemudiam berubah menjadi

lebar dan merata pada bagia tubuh yang rendah. Kadang cabang dari vena pecah

sehingga membentuk Tardieu spot.

Darah tetap cair karema adanya aktivitas fibrinolisin yang berasal dari endotel

pembuluh darah. Lebam mayat biasa mulai tampak 20-30 menit setelah kematian1,

namun ada sumber lain juga yang menyebutkan bahwa lebam mayat mulai tampak

setelah 1 sampai 2 jam post mortem2 Kapiler-kapiler akan mengalami kerusakan dan

butir-butir darah merah juga akan rusak. Pigmen-pigmen dari pecahan darah merah

akan keluar dari kapiler yang rusak dan mewarnai jaringan di sekitarnya sehingga

menyebabkan warna lebam mayat pada daerah tersebut akan menetap serta tidak hilang

jika ditekan maupun posisi mayat dibalik. Selain itu, kekakuan otot-otot dinding

pembuluh darah ikut mempersulit perpindahan lebam tersebut.

Memucatnya lebam mayat akan lebih cepat dan sempurna apabila penekanan

atau perubahan posisi tubuh dilakukan 6 jam pertama setelah mati klinis. Lebam mayat

akan menetap setelah 8-12 jam dan sukar hilang pada penekanan. Meskipun demikian,

setelah 24 jam, darah masih tetap cukup cair sehingga sejumlah darah masih dapat

mengalir dan membentuk lebam mayat di tempat terendah baru, membentuk lebam
mayat paradoksal (lebam mayat yang ditemukan berlawanan posisi) yang tetap dapat

tentukan melalui pemeriksaan luar.1

Lebam mayat dapat digunakan untuk tanda pasti kematian dan memperkirakan

sebab kematian. Pada keracunan CO atau CN lebam mayat berwarna merah terang,

pada keracunan anilin, nitrit, nitrat, sulfonal, lebam mayat berwarna kecoklatan.

Temuan secara umum tersebut tetap membutuhkan uji laboratorium maupun

toksikologi forensic untuk menegakan hal tersebut.

Pembedaan lebam mayat dan memar juga perlu diperhatikan dalam membuat

visum et repertum. Untuk itu, pemeriksaan lanjut diperlukan dalam membedakan

kedua hal tersebut. Perbedaan lebam mayat dan memar dipaparkan dalam tabel 2.1.2.1

dibawah. Secara pasti, lebam mayat dan memar dapat dibedakan melalui pemeriksaan

histopatologi oleh patologi anatomi.


Tabel 2.1.2.1 Perbedaan lebam mayat dan memar

Lebam mayat Memar

Jumlah dan lokasi Sesuai gravitasi, mengikuti Bervariasi sesuai dengan

posisi terendah tubuh yang lokasi yang mengalami

tidak mengalami penekanan kekerasan tumpul

Proses Post-mortem Intravital

Fisiologi Hypostasis darah Kerusakan vascular

akibat trauma selama

masih hidup

Pemeriksaan fisik Warna merah, keunguan Warna merah-kebiruan-

(tergantung penyebab kehijauan-kecoklatan

kematian), Tidak menonjol (tergantung waktu),

dibanding kulit sekitar menonjol dibanding kulit

Dapat hilang dengan penekanan sekitar.

(perkiraan waktu kematian Tidak hilang dengan

dibawah 6 jam) penekanan

Pengirisan Hilang dengan pengirisan dan Tidak hilang dengan

pencucian penampang tubuh pengirisan dan pencucian

penampang tubuh
2.1.2.2 Rigor Mortis

Kaku mayat yang sering disebut rigor mortis atau post mortum rigidity terjadi

akibat proses biokimiawi, yaitu pemecahan ATP menjadi ADP. Selama masih terdapat

ATP maka serabut aktin dan miosin tetap lentur oleh karena hal tersebut, kelenturan

otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme tingkat seluler yang

masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang menghasilkan ATP.

Jika persediaan glikogen otot habis maka pembentukan ATP baru tidak terjadi disertai

penumpukan ADP dan asam laktat (metabolisme anaerob) pada otot yang

menyebabkan aktin dan miosin menggumpal dan otot menjadi kaku.

Fisiologis terbentuknya kaku mayat terjadi melalui 4 fase yaitu :

 Fase pertama

Fase pertama terjadi setelah terjadi kematian somatik. Otot masih dalam bentuk

yang normal. Tubuh yang mati akan mampu menggunakan ATP yang sudah

tersedia dan ATP tersebut diresintesa dari cadangan glikogen. Terbentuknya

kaku mayat yang cepat adalah saat dimana cadangan glikogen dihabiskan oleh

latihan yang kuat sebelum mati, seperti mati saat terjadi serangan epilepsi atau

spasme akibat tetanus, tersengat listrik, atau keracunan strychnine.

 Fase kedua

Fase kedua terjadi saat ATP dalam otot berada dibawah ambang normal, kaku

akan dibentuk saat konsentrasi ATP turun menjadi 85%, dan kaku mayat akan

lengkap jika berada dibawah 15%.


 Fase ketiga

Pada fase ketiga, kekakuan otot menjadi lengkap dan dipertahankan 12-18 jam

kemudian.

 Fase keempat

Disebut juga fase resolusi. Saat dimana kekakuan hilang dan otot menjadi lemas

kembali. Fase ini juga dikenal sebagai relaksasi sekunder, yang disinyalir

terjadi karena proses denaturasi dari enzim pada otot dan pembusukan.

Berdasarkan fisiologi tersebut maka kaku mayat akan terjadi lebih awal pada

otot – otot kecil, karena pada otot-otot yang kecil persediaan glikogen sedikit. Otot–

otot kecil ke besar antara lain: otot palpebra, otot rahang, leher, anggota atas, dada,

perut dan terakhir anggota gerak bawah. Berdasarkan ukuran tersebut, kaku mayat

muncul mengikuti urutan tersebut.

Dalam pemeriksaan, kaku mayat ditemukan melalui pemeriksaan pada kelopak

mata, rahang bawah, buku-buku jari, persendian anggota gerak atas dan persendian

anggota gerak bawah. Terdapat beberapa sumber yang merujuk pada durasi waktu yang

berbeda megenai kapan munculnya kaku mayat tersebut. Namun waktu dan durasi

kaku mayat dipengaruhi oleh faktor – faktor yang dapat mempengaruhi antara lain:

Faktor internal

 Persediaan glikogen : jika kandungan glikogen pada mayat tersebut banyak,

maka kaku mayat akan timbul lebih lambat. Pada mayat dengan gizi yang

buruk, kaku mayat akan timbul lebih cepat.


 Kegiatan otot : orang yang melakukan aktifitas lebih banyak sebelum kematian

nya, kaku mayat akan terjadi lebih cepat.

 Umur : Pada anak – anak kaku mayat akan lebih cepat timbul dibanding orang

dewasa.

Faktor eksternal

 Suhu udara disekitarnya : Jika mayat terpapar dengan suhu yang tinggi, maka

kaku mayat akan berlangsung lebih cepat dan singkat, sedangkan jika mayat

terpapar pada suhu rendah, kekakuan akan terjadi lebih lambat dan berlangsung

lebih lama.

Berdasarkan pada beberapa sumber, terdapat beberapa perbedaan waktu antara

munculnya kaku mayat dan durasi kaku mayat sendiri. Secara umum, kaku mayat

secara umum mulai terlihat lebih kurang 2 jam setelah kematian dan menjadi lengkap

6 jam setelah kematian.2 Hal tersebut dilanjutkan kemudian dengan kekakuan di

seluruh tubuh yang dipertahankan sampai dengan 12 jam setelahnya. Kaku mayat

mulai tampak kira – kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh (otot–

otot kecil) ke arah dalam (sentripetal). Setelah mati klinis 12 jam kaku mayat menjadi

lengkap, dipertahankan selama 12 jam dan kemudian menghilang dalam urutan yang

sama. kaku mayat secara umum digunakan beriringan dengan penurunan suhu tubuh

mayat / Algor mortis.

Kekakuan pada mayat juga dapat disebabkan oleh hal lain yang dapat

menyebabkan kaku yang menyerupai kaku mayat akibat proses lainnya sehingga perlu
dibedakan dalam menentukan adanya kaku mayat. Hal yang dapat menyerupai kaku

mayat adalah sebagau berikut:

 Cadaveric spasm atau instantenous rigor

Cadaveric spasm merupakan kaku mayat yang timbul dengan intensitas sangat

kuat tanpa didahului relaksasi primer. Penyebabnya adalah ketegangan jiwa

atau ketakutan sebelum kematiannya yang menyebabkan lebih cepat habisnya

cadangan glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat kematian karena

kelelahan dan / atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal. Cadaveric

spasm merupakan proses intra vital, tidak dapat direkayasa dan akan hilang

berkenaan dengan terjadinya proses pembusukan selayaknya kaku mayat pada

umumnya. Untuk memperjelas, tabel 2.1.2.2 dibawah memaparkan perbedaan

antara kaku mayat dan cadaveric spasm.


Tabel 2.1.2.2 Perbedaan kaku mayat dan cadaveric spasm

Kaku Mayat Cadaveric Spasm

Onset Dikarenakan perubahan Keadaan lanjut dari kontraksi

otot sesudah kematian otot sesudah mati, dimana otot

seluler, didahului relaksasi dalam kondisi mati seketika

primer

Otot yang Semua otot dalam tubuh Otot tertentu

terlibat

Intensitas Moderate Sangat kuat

Durasi 12 – 24 jam Beberapa jam, sampai

digantikan oleh rigor mortis

Predisposisi - Rangsangan, ketakutan

Mekanisme Penurunan ATP di bawah Tidak diketahui

pembentukan level kritis

 Heat stiffening

Heat stiffening adalah kekakuan otot yang disebabkan oleh karena proses

koagulasi protein otot oleh panas. Keadaan tersebut seringkali dijumpai pada

korban mati terbakar. Pada heat stiffening ditemukan otot–otot akan berwarna

merah muda, kaku tetapi rapuh (mudah robek), serta adanya pemendekan

serabut otot yang memendek sehingga meimbulkan fleksi leher, siku, paha dan
lutut, membentuk sikap petinju (pugilistic attitude). Sikap tersebut didapatkan

akibat lebih besarnya otot fleksor di dalam tubuh dibandingka otot ekstensor

sehingga tarikan otot yang lebih kuat akan menarik kearah otot yang lebih

besar.

 Freezing

Freezing merupakan suatu proses kekakuan yang terjadi akibat pembekuan

cairan sendi, pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot, serta jaringan

interstitial akibat suhu rendah. Pada pemeriksaan, freezing akan memberikan

kesan dingin saat perabaan dan terdengarnya suara pecahan es jika ekstremitas

digerakkan atau difleksikan. Freezing yang terjadi di dalam tulang tengkorak

dapat melepaskan tulang tengkorak akibat adanya anomali air (memuai pada

suhu dingin 1-4 derajat Celsius) sehingga cairan dalam rongga kepala akan

membentuk es yang memberi tekanan dari dalam rongga kepala. Pada mayat

yang mengalami freezing, pelemasan otot dapat kembali muncul jika mayat

dihangatkan.

2.1.2.3 Algor Mortis

Pada saat sesudah mati, adanya proses pemindahan panas daru badan ke benda-

benda di sekitar yang lebih dingin secara radiasi, konduksi, evaporas dan konveksi.

Penurunan suhu ini dipengaruhi oleh suhu udara, pakaian, aliran udara dan
kelembapan, keadaan tubuh korban, aktifitas, serta sebab kematian. Terdapat beberapa

faktor yang memengaruhi penurunan suhu tubuh mayat antara lain:

1. Suhu udara

Semakin besar perbedaan suhu udara dengan suhu tubuh jenazah, semakin

cepat terjadinya penurunan suhu.

2. Pakaian

Semakin tebal pakaian, semakin lambat penurunan suhu pada jenazah.

3. Aliran udara dan kelembapan

Aliran udara mempercepat penurunan suhu jenazah. Sedangkan udara yang

lembab merupakan konduktor yang baik, sehingga penurunan suhu menjadi

lebih cepat.

4. Keadaan tubuh korban

Bila tubuh jenazah gemuk, mengandung banyak jaringan lemak, maka

penurunan suhu jenazah akan semakin lambat. Jika tubuh korban berotot yang

menghasilkan tubuh jenazah relatif lebih besar, maka penurunan suhu tubuh

pada jenazah menjadi lebih lambat.

5. Aktifitas

Bila sesaat sebelum meninggal korban melakukan aktifitas hebat, suhu tubuh

korban akan lebih tinggi saat meninggal.

6. Sebab kematian

Korban yang meninggal karena inflamasi contohnya sepsis, mengakibatkan

korban memiliki suhu tubuh lebih tinggi saat meninggal.1


Perkiraan saat kematian dapat dihitung dari pengukuran suhu jenazah pada

Rectal Temperarure (RT). Saat kematian dapat dihitung rumus Post Mortem Interval

(PMI)2

Rumus untuk suhu dalam °Celsius Rumus untuk suhu dalam °Fahrenheit

PMI : 37°C – (RT)°C + 3 PMI : 98,4 °F – (RT)°F / 1,5

Selain perhitungan tersebut, perkiraan waktu kematian menurut suhu tubuh mayat

juga dapat diperhitungkan dengan menggunakan kurva nomogram Henssage yang

memperhitungkan suhu lingkungan, suhu rektal, berat badan jenazah, dan faktor

koreksi seperti pakaian dan media ditemukannya mayat.


Gambar 2.1.2.3 Nomogram Henssage

Sumber : http://www.forensicmed.co.uk/pathology/post-mortem-interval/

2.1.2.4 Pembusukan

Pembusukan adalah proses degradasi jaringan yang terjadi akibat autolisis dan

kerja bakteri. Autolisis adalah pelunakan jaringan yang terjadi dalam keadaan steril.

Autolisis timbul akibat kerja digestif oleh enzim yang dilepaskan sel paska mati dan

hanya dapat dicegah dengan pembekuan jaringan.


Setelah seseorang meninggal, bakteri normal yang hidup dalam tubuh segera

masuk ke dalam jaringan. Darah merupakan media terbaik bagi bakteri tersebut untuk

tumbuh. Sebagian besar bakteri berasal dari usus dan yang terutama adalah Clostridium

welchii. Pada proses pembusukan ini terbentuk gas-gas alkana, H2S, dan HCN, serta

asam amino dan asam lemak.

Pembusukan baru tampak kira-kira 24 jam paska mati berupa warna kehijauan

pada perut kanan bawah, yaitu daerah sekum yang isinya lebih cair dan penuh dengan

bakteri serta terletak dekat dinding perut. Warna kehijauan ini disebabkan oleh

terbentuknya sulf-met-hemoglobin. Secara bertahap warna kehijauan ini akan

menyebar ke seluruh perut dan dada, dan bau busuk pun mulai tercium. Pembuluh

darah bawah kulit akan tampak seperti melebar dan berwarna hijau kehitaman.

Selanjutnya kulit ari akan terkelupas atau membentuk gelembung berisi cairan

kemerahan berbau busuk.

Pembentukkan gas di dalam tubuh, dimulai di dalam lambung dan usus, akan

mengakibatkan tegangnya perut dan keluarnya cairan kemerahan dari mulut dan

hidung. Gas yang terdapat di dalam jaringan dinding tubuh akan mengakibatkan

terabanya derik (krepitasi). Gas ini menyebabkan pembengkakkan tubuh yang

menyeluruh, tetapi ketegangan terbesar terdapat di daerah dengan jaringan longgar,

seperti skrotum dan payudara. Tubuh berada dalam sikap seperti petinju (pugilistic

attitude), yaitu kedua lengan dan tungkai dalam sikap setengah fleksi akibat

terkumpulnya gas pembusukkan di dalam rongga sendi.


Selanjutnya, rambut menjadi mudah dicabut dan kuku mudah terlepas, wajah

menggembung dan berwarna ungu kehijauan, kelopak mata membengkak, pipi

tembem, bibir tebal, lidah membengkak dan sering terjulur di antara gigi. Keadaan

seperti ini sangat berbeda dengan wajah asli korban, sehingga tidak dapat lagi dikenali

oleh keluarga.

Hewan pengerat akan merusak tubuh mayat dalam beberapa jam paska mati,

terutama bila mayat dibiarkan tergeletak di daerah rumpun. Luka akibat gigitan

binatang pengerat khas berupa lubang-lubang dangkal dengan tepi bergerigi.

Larva lalat akan dijumpai setelah pembentukkan gas pembusukkan nyata, yaitu

kira-kira 36-48 jam paska mati. Kumpulan terlur lalat telah dapat ditemukan beberapa

jam paska mati, di alis mata, sudut mata, lubang hidung dan di antara bibir. Telur lalat

tersebut kemudian akan menetas menjadi larva dalam waktu 24 jam. Dengan

identifikasi spesies lalat dan mengukur panjang larva, maka dapat diketahui usia larva

tersebut, yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan saat mati, dengan asumsi

bahwa lalat biasanya secepatnya meletakkan telur setelah seseorang meninggal (dan

tidak lagi dapat mengusir lalat yang hinggap).

Alat dalam tubuh akan mengalami pembusukkan dengan kecepatan yang

berbeda. Perubahan warna terjadi pada lambung terutama di daerah fundus, usus,

menjadi ungu kecokelatan. Mukosa saluran napas menjadi kemerahan, endokardium

dan intima pembluh darah juga kemerahan, akibat hemolisis darah. Difusi empedu dari

kandung empedu mengakibatkan warna cokelat kehijauan di jaringan sekitarnya. Otak

melunak, hati menjadi berongga seperti spons, limpa melunak dan mudah robek.
Kemudian alat dalam akan mengerut. Prostat dan uterus non gravid merupakan organ

padat yang paling lama bertahan terhadap perubahan pembusukkan.

Pembusukkan akan timbul lebih cepat bila suhu keliling optimal (26,5 derajat Celcius

hingga sekitar suhu normal tubuh), kelembaban dan udara yang cukup, banyak bakteri

pembusuk, tubuh gemuk atau menderita penyakit infeksi dan sepsis. Media tempat

mayat terdapat juga berperan. Mayat yang terdapat di udara akan lebih cepat

membusuk dibandingkan dengan yang terdapat dalam air atau dalam tanah.

Perbandingan kecepatan pembusukan mayat yang berada dalam tanah : air : udara

adalah 1 : 2 : 8. Bayi baru lahir umumnya lebih lambat membusuk, karena hanya

memiliki sedikit bakteri dalam tubuhnya dan hilangnya panas tubuh yang cepat pada

bayi akan menghambat pertumbuhan bakteri.

Terdapat pembusukan yang khusus terjadi, yaitu adiposera dan mumifikasi.

Adiposera atau lilin mayat. Adiposera adalah terbentuknya bahan yang berwarna

keputihan, lunak, atau berminyak, berbau tengik yang terjadi di dalam jaringan lunak

tubuh paska mati. Dulu disebut sebagai saponifikasi, tetapi istilah adiposera lebih

disukai karena menunjukkan sifat-sifat di antara lemak dan lilin. Adiposera terutama

terdiri dari asam-asam lemak tak jenuh yang terbentuk oleh hidrolisis lemak dan

mengalami hidrogenisasi sehingga terbentuk asam lemak jenuh paska mati yang

tercampur dengan sisa-sisa otot, jaringan ikat, jaringan saraf yang termumifikasi (Mant

dan Furbank, 1957) dan kristal-kristal sferis dengan gambaran radial (Evans, 1962).

Adiposera terapung di air, bila dipanaskan mencair dan terbakar dengan nyala kuning,

larut di dalam alkohol panas dan eter.


Adiposera dapat terbentuk di sebarang lemak tubuh, bahkan di dalam hati,

tetapi lemak superfisial yang pertama kali terkena. Biasanya perubahan berbentuk

bercak, dapat terlihat di pipi, payudara atau bokong, bagian tubuh atau ekstremitas.

Jarang seluruh lemak tubuh berubah menjadi adiposera. Adiposera akan membuat

gambaran permukaan luar tubuh dapat bertahan hingga bertahun-tahun, sehingga

identifikasi mayat dan perkiraan sebab kematian masih dimungkinkan. Faktor-faktor

yang mempermudah terbentuknya adiposera adalah kelembaban dan lemak tubuh yang

cukup, sedangkan yang menghambat adalah air yang mengalir yang membuang

elektrolit. Udara yang dingin menghambat pembentukkan, sedangkan suhu yang

hangat akan mempercepat. Invasi bakteri endogen ke dalam jaringan paska mati juga

akan mempercepat pembentukkannya. Pembusukkan akan terhambat oleh adanya

adiposera, karena derajat keasaman dan dehidrasi jaringan bertambah. Lemak segar

hanya mengandung kira-kira 0.5% asam lemak bebas, tetapi dalam waktu 4 minggu

paska mati dapat naik menjadi 20% dan setelah 12 minggu menjadi 70% atau lebih.

Pada saat ini adiposera menjadi jelas secara makroskopik sebagai bahan berwarna putih

kelabu yang menggantikan atau menginfiltrasi bagian-bagian lunak tubuh. Pada

stadium awal pembentukkannya sebelum makroskopik jelas, adiposera paling baik

dideteksi dengan analisis asam palmitat.

Mumifikasi adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang cukup

cepat sehingga terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan

pembusukkan. Jaringan berubah menjadi keras dan kering, berwarna gelap, berkeriput

dan tidak membusuk karena kuman tidak dapat berkembang pada lingkungan yang
kering. Mumifikasi terjadi bila suhu hangat, kelembaban rendah, aliran udara yang

baik, tubuh yang dehidrasi dan waktu yang lama (12-14 minggu). Mumifikasi jarang

dijumpai pada cuaca yang normal.

2.2 Penentuan Waktu Kematian

Penentuan waktu kematian dapat ditentukan melalui :2

1. Perubahan eksternal :

o Lebam mayat

o Kaku mayat

o Penurunan suhu

o Pembusukan

2. Perubahan internal :

Perubahan internal umumnya terjadi akibat proses denaturasi protein /

proteolysis, glikolisis di hati, serta kematian sel. Perubahan yang terjadi

antara lain :

o Kondisi makanan dalam usus

o Kenaikan Kalium dalam cairan intraocular

o Kenaikan non-protein nitrogen dalam darah

o Kenaikan ureum darah

o Penurunan kadar gula darah

o Kenaikan kadar dekstrosa pada vena cava inferior


3. Pemeriksaan penunjang

o Pengosongan lambung

o Pertumbuhan rambut (~0,4mm / hari)

o Pertumbuhan kuku (~0,1mm/hari)

o Pemeriksaan larvae dan telur lalat (bergantung spesies)

Secara garis besar, perubahan pada mayat menurut waktunya dipaparkan

dalam bentuk tabel yakni :

Tabel 2.2 Perbandingan temuan pada post-mortem

Parameter UI1 UNDIP2


Lebam Mayat
 Muncul 20-30 menit 2 jam
 Hilang dengan < 8-12 jam 2-4 jam
penekanan
 Tidak Hilang dengan ≥8-12 jam >4 jam
penekanan
Kaku Mayat
 Muncul ~2 jam ~6 jam
 Bisa dilawan <12 jam 6-12 jam
 Tidak bisa dilawan 12 jam ~12 jam

 Dipertahankan 12 jam 36-48 jam

Penurunan suhu - -
Pembusukan
 Waktu mulai tampak 24 jam 48 jam
pembusukan
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada bagian sebelumny yang telah dipaparkan,

penulis mengambil kesimpulan bahwa definisi kematian dan perkiraan waktu kematian

sangatlah penting dipandang dari sisi kedokteran forensik, kedokteran umum, maupun

peradilan. Kematian dengan definisi-definisi tersebut merupakan suatu kesimpulan

yang didapat dari hasil pemeriksaan dan kesimpulan kematian yang paling sahih dapat

diperoleh melalui temuan tanda-tanda pasti kematian pada tubuh seseorang seperti

lebam mayat, kaku mayat, penurunan suhu, dan pembusukan. Tanda-tanda yang

ditemukan tersebut dapat kembali merujuk kepada waktu perkiraan kematian

seseorang, seperti yang dapat dilihat pada tabel 2.2.

3.2 Saran

Perkiraan waktu kematian memiliki arti penting dalam penyidikan maupun

dalam ilmu kedokteran forensik dan medis karena dapat membantu meluruskan

peradilan. Dikarenakan sampai saat ini masih belum ada penelitian lanjutan mengenai

alat yang dapat digunakan dalam penentuan waktu kematian di iklim tropis dan

terutama dalam bahasa Indonesia, tentunya penulis berharap bahwa tulisan ini dapat

menjadi dasar pentingnya penelitian tersebut dilakukan mengingat hal diatas.


DAFTAR PUSTAKA

1. Budiyanto, A. Ilmu Kedokteran Forensik, Bagian Kedokteran Forensik

Fakulatas Kedokteran Universitas Indonesia. Thanatologi. Jakarta: Bagian

Kedokteran Forensik Fakulatas Kedokteran Universitas Indonesia. 1997. h. 25-

35.

2. Dahlan, S. Ilmu Kedokteran Forensik. Pedoman Bagi Dokter dan Penegak

Hukum. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 2007. h. 47- 65.

3. Shepherd R, Simpson K. Simpson’s forensic medicine. 12th ed. London:

Arnold; 2003. h. 24.

You might also like