You are on page 1of 44

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Kelenjar getah bening termasuk dalam susunan retikuloendotel, yang
tersebar di seluruh tubuh. Kelenjar inimempunyai fungsi penting berupa barier
atau filter terhadap kuman-kuman/bakteri-bakteri yang termasuk ke dalam badan
dan barier pula untuk sel-sel tumor ganas (kanker).1 Disamping itu bertugas pula
untuk membentuk sel-sel limfosit darah tepi. Limfadenitis adalah peradangan
kelenjar getah bening (kelenjar limfe) regional dari lesi primer akibat adanya
infeksi dari bagian tubuh yang lain.

Streptokokus dan bakteri staphylococcal adalah penyebab paling umum


dari limfadenitis, meskipun virus, protozoa, riketsia, jamur, dan basil TB juga
dapat menginfeksi kelenjar getah bening.2 Penyakit yang melibatkan kelenjar
getah bening di seluruh tubuh termasuk mononucleosis, infeksi sitomegalovirus,
toksoplasmosis, dan brucellosis. Gejala awal limfadenitis adalah pembengkakan
kelenjar yang disebabkan oleh penumpukan cairan jaringan dan peningkatan
jumlah sel darah putih akibat respon tubuh terhadap infeksi. Pembesaran kelenjar
terjadi karena adanya hiperplasia limfoid dan terbentuknya tuberkel, kemudian
terjadi granulasi kronis, di kelenjar terjadi nekrosis dan perkejuan. Kelenjar dapat
membesar dan melekat satu dengan yang lainnya serta melekat dengan jaringan
sekitarnya, kemudian terjadi perkejuan selanjutnya terbentuk abses.4

Pada tahun 2009, diperkirakan terdapat 9,4 juta kasus insidens dari
tuberkulosis secara global setara dengan 137 kasus per 100.000 populasi (WHO,
2010).5 Indonesia sendiri pada tahun 2009 menempati peringkat kelima negara
dengan insidensi TB tertinggi di dunia sebanyak 0,35-0,52 juta setelah India (1,6-
2,4 juta), China (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,40-0,59 juta), dan Nigeria (0,37-
0,55 juta) (WHO, 2010). Dimana pada tahun 2006 yang lalu menurut WHO
Indonesia sempat menempati peringkat ketiga di dunia setelah India dan China
dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000. 6

1
Tuberkulosis merupakan penyebab kematian terbesar ketiga setelah
penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernapasan, dan merupakan nomor
satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi. Tuberkulosis dapat melibatkan
berbagai sistem organ di tubuh, salah satunya adalah kelenjar getah bening yang
disebut dengan limfadenitis. Meskipun TB pulmoner adalah yang paling banyak,
TB ekstrapulmoner juga merupakan salah satu masalah klinis yang penting. Istilah
TB ekstrapulmoner digunakan pada tuberkulosis yang terjadi selain pada paru-
paru. Limfadenitis tuberkulosis merupakan salah satu manifestasi tuberkulosis
ekstrapulmoner terbanyak, sekitar 35% dari tuberkulosis ekstrapulmoner.6
Tuberkulosis kelenjar limfe adalah salah satu penyakit yang sangat unik, dimana
penyakit ini telah lama dikenal. Istilah lain untuk penyakit ini adalah skrofula
yang diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan kelenjar. Hippocrates
(460-377 SM) menyebutkan tumor skrofula dalam tulisannya. Raja-raja Eropa
dari abad pertengahan menyebut penyakit ini sebagai “king’s evil”.7

Di India dan kebanyakan negara berkembang lainnya limfadenitis TB


menjadi bentuk yang paling sering dari TB ekstrapulmoner sedangkan
limfadenitis yang disebabkan oleh non-tuberculous mycobacterium sendiri jarang
didapat.7 Pada daerah pedesaan di India, prevalensi limfadenitis TB pada anak-
anak sekitar 3,29 kasus per 1000. Di Amerika, limfadenitis TB sering terjadi pada
dewasa, sedangkan limfadenitis non-tuberculous mycobacterium sering terjadi
pada anak-anak. Pada beberapa daerah tropis di Afrika seperti Senegal dan
Djibouti, limfadenitis TB mencapai 25% dari kasus TB, hal ini juga terjadi di Asia
Tengah.8

Epidemiologi limfadenitis TB bervariasi tergantung pada angka kejadian


TB dan tingginya infeksi HIV di suatu negara, misalnya di daerah Afrika dimana
insidensi infeksi HIV sangat tinggi, angka kejadian TB pulmoner dan
ekstrapulmoner juga sangat tinggi.5 Limfadenitis TB ini biasanya muncul sebagai
limfadenopati tidak nyeri dari kelenjar limfe superfisial dengan onset yang
perlahan, dimana kemudian dapat berubah menjadi abses dan terbentuk sinus jika
dibiarkan. Kelenjar getah bening leher merupakan tempat tersering, namun
keterlibatan kelenjar multipel sering juga terjadi.9

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LIMFADENITIS NON TUBERKULOSIS


2.1.1 Definisi
Limfadenitis adalah peradangan pada satu atau beberapa kelenjar getah
bening. Peradangan tersebut akan menimbulkan hiperplasia kelenjar getah
bening hingga terasa membesar secara klinik.Kemunculan penyakit iniditandai
dengan gejala munculnya benjolan pada saluran getah bening misalnya ketiak,
leher dan sebagainya.5 Kelenjar getah bening yang terinfeksi akan membesar
dan biasanya teraba lunak dan nyeri. Kadang-kadang kulit diatasnya tampak
merah dan teraba hangat.8

2.1.2 Etiologi

Limfadenitis bisa disebabkan oleh infeksi dari berbagai organisme yaitu


bakteri,virus, protozoa, riketsia atau jamur. Streptokokus dan bakteri
staphylococcal adalah penyebab paling umum dari limfadenitis, meskipun
virus, protozoa, rickettsiae, jamur, dan basil TB juga dapat menginfeksi
kelenjar getah bening. Ciri khasnya, infeksi tersebut menyebar menuju
kelenjar getah bening dari infeksi kulit, telinga, hidung, atau mata atau dari
beberapa infeksi seperti infectious mononucleosis, infeksi cytomegalovirus,
infeksi streptococcal, tuberculosis, atau sifilis. Infeksi tersebut bisa
mempengaruhi kelenjar getah bening atau hanya pada salah satu daerah pada
tubuh.10

2.1.3 Patofisiologi

Kelenjar getah bening (KGB) adalah bagian dari sistem pertahanan


tubuh. Tubuh kita memiliki kurang lebih sekitar 600 kelenjar getah bening,
namun hanya di daerah sub mandibular, ketiak atau lipat paha yang teraba
normal pada orang sehat. Terbungkus kapsul fibrosa yang berisi kumpulan
sel-sel pembentuk pertahanan tubuh dan merupakan tempat penyaringan
antigen (protein asing) dari pembuluh-pembuluh getah bening yang

3
melewatinya. Pembuluh-pembuluh limfe akan mengalir ke kelenjar getah
bening sehingga dari lokasi kelenjar getah bening akan diketahui aliran
pembuluh limfe yang melewatinya.Oleh karena dilewati oleh aliran
pembuluh getah bening yang dapat membawa antigen dan memiliki sel
pertahanan tubuh maka apabila ada antigen yang menginfeksi maka kelenjar
getah bening dapat menghasilkan sel-sel pertahanan tubuh yang lebih banyak
untuk mengatasi antigen tersebut sehingga kelenjar getah bening membesar.6
Pembesaran kelenjar getah bening dapat berasal dari penambahan sel-sel
pertahanan tubuh yang berasal dari kelenjar getah bening itu sendiri seperti
limfosit, sel plasma, monosit dan histiosit atau karena datangnya sel-sel
peradangan (neutrofil) untuk mengatasi infeksi di kelenjar getah bening
(limfadenitis), infiltrasi sel-sel ganas atau timbunan dari penyakit metabolite
macrophage (gaucher disease).
Dengan mengetahui lokasi pembesaran kelenjar getah bening maka kita
dapat mengarahkan kepada lokasi kemungkinan terjadinya infeksi atau
penyebab pembesaran kelenjar getah bening. Benjolan, bisa berupa tumor
baik jinak atau ganas, bisa juga berupa pembesaran kelenjar getah bening.
Kelenjar ini ada banyak sekali di tubuh kita, antara lain di daerah leher,
ketiak, dalam rongga dada dan perut, di sepanjang tulang belakang kiri dan
kanan sampai mata kaki. Kelenjar getah bening berfungsi sebagai penyaring
bila ada infeksi lokal yang disebabkan bakteri atau virus. Jadi, fungsinya
justru sebagai benteng pertahanan tubuh.
Jika tidak terjadi infeksi, kemungkinan adalah tumor. Apalagi bila
pembesaran kelenjar didaerah-daerah tersebut di atas, pertumbuhannya cepat
dan mudah membesar. Bila sudah sebesar biji nangka, misalnya, bila ditekan
tidak sakit, maka perlu diwaspadai. Jalan terbaik, adalah dilakukan biopsy di
kelenjar tersebut. Diperiksa jenis sel-nya untuk memastikan apakah sekedar
infeksi atau keganasan. Jika tumor dan ternyata ganas, pembesaran kelenjar
akan cepat terjadi. Dalam sebulan, misalnya sudah membesar dan tak terasa
sakit saat ditekan. Beda dengan yang disebabkan infeksi, umumnya tidak
bertambah besar dan jika daerah di sekitar benjolan ditekan,terasa sakit.12

4
Peningkatan ukuran kelenjar getah bening disebabkan

1. Multiplikasi sel-sel di dalam node, termasuk limfosit, sel plasma,


monosit, histiosit

2. Infiltrasi sel dari luar nodus seperti sel ganas atau neutrofil

3. Pengeringan infeksi (misalnya abses) ke kelenjar getah bening lokal.

Bakteri,virus,protozoa,riketsia atau
jamur

kulit Telinga Hidung mata


g

Gambar 1. Patofisiologi Limfadenitis

5
2.1.4 Klasifikasi

Sebagian besar kasus merupakan respon jinak terhadap infeksi lokal


atau sistemik. Sebagian besar anak dengan limfadenitis menunjukkan
kecil, teraba serviks, ketiak, dan kelenjar getah bening inguinal. Kurang
umum adalah pembesaran suboksipital atau postaurikular node.
Supraklavikula, epitrochlear, dan poplitea kelenjar getah bening teraba
jarang terjadi, seperti yang diperbesar node mediastinum dan perut.9

Limfadenitis dapat mempengaruhi node tunggal atau sekelompok


node (adenopati daerah) dan dapat unilateral atau bilateral. Onset dan
perjalanan limfadenitis mungkin akut, subakut, atau kronis.9

jenis lymphadenitis:

1. Lymphadenitis disebabkan oleh virus:


Infectious mononucleosis lymphadenitis

Cytomegalovirus (CMV) lymphadenitis

Herpes simplex virus lymphadenitis

Varicella-herpes zoster lymphadenitis

Vaccinia lymphadenitis

Measles lymphadenitis

Human immunodeficiency virus (HIV) lymphadnitis, with and without


salivary gland invovlvement

Human immunodeficiency virus (HIV) lymphadnitis of salivary gland


invovlvement

2. Lymphadenitis disebabkan oleh bakteri:


Non-specific acterial lymphadenitis (common, non-specific species)

Cat-scratch lymphadenitis (Afipia felis)

Bacillary angiomatosis of lymph nodes (Bartonella henselae and B.


quintana)

Lymphogranuloma venereum lymphadenitis (Chlamydia trachomatis)

Syphilitic lymphadenitis (Trapenosoma pallidum)

6
Lymphadenitis of Whipple disease

3. Lymphadenitis disebabkan oleh mycobacteria:


Mycobacterium tuberculosis lymphadenitis (TB)

Atypical mycobacterial lymphadenitis

Mycobacterium avium-intracellulare lymphadenitis

Mycobacterium leprae lymphadenitis

Miscellaneous mycobacterial lymphadenitis

4. Lymphadenitis disebabkan oleh jamur


Cryptococcus lymphadenitis

Histoplasma lymphadenitis

Coccidioidomycosis lymphadenitis

Pneumocystis lymphadenitis

5. Lymphadenitis disebabkan oleh protozoa


Toxoplasma lymphadenitis

Leishmania lymphadenitis

Filaria lymphadenitis

6. Others
Malaioplakia (most common in the mesenteric lymph nodes)

7
Gambar 2. Lokasi kelenjar limfe dalam tubuh

2.1.5 Manifestasi Klinis

Gejala untuk menganalisa apakah terkena penyakit ini adalah kelenjar


getah bening yang terserang biasanya akan membesar dan jika diraba terasa
lunak dan nyeri, selain itu gejala klinis yang timbul adalah demam, nyeri
tekan, dan tanda radang. Kulit di atasnya terlihat merah dan terasa hangat,
pembengkakan ini akan menyerupai daging tumbuh atau biasa disebut dengan
tumor. Dan untuk memastikan apakah gejala-gejala tersebut merujuk pada
penyakit limfadenitis maka perlu adanya pengangkatan jaringan untuk
pemeriksaan di bawah mikroskop.13
Limfadenitis pada taraf parah disebut limfadenitis kronis. Limfadenitis
ini terjadi ketika penderita mengalami infeksi kronis, misal pada kondisi
ketika seseorang dengan faringitis kronis akan ditemukan pembesaran
kelenjar getah bening leher (limfadenitis). Pembesaran di sini ditandai oleh
tanda radang yang sangat minimal dan tidak nyeri. Pembesaran kronis yang
spesifik dan masih banyak di Indonesia adalah akibat tuberkulosa.
Limfadenitis non tuberkulosis memiliki konsistensi: keras seperti batu
mengarahkan kepada keganasan, padat seperti karet mengarahkan kepada

8
limfoma; lunak mengarahkan kepada proses infeksi; fluktuatif mengarahkan
telah terjadinya abses/pernanahan.
Penempelan: beberapa Kelenjar Getah Bening yang menempel dan
bergerak bersamaan bila digerakkan. Dapat akibat tuberkulosis, sarkoidosis
keganasan.14

Gamabar 3 limfadenitis non tuberkulosis

2.1.6 Diagnosis
Diagnosis dilakukan berdasarkan gejala-gejalanya. Untuk membantu
menentukan penyebabnya, bisa dilakukan biopsi (pengangkatan jaringan
untuk diperiksa di bawah mikroskop).
Biasanya, lymphadenitis bisa didiagnosa berdasarkan gejala-gejala dasar,
dan hal itu menyebabkan infeksi sekitarnya yang nyata. Ketika penyebab
tersebut tidak dapat diidentifikasi dengan mudah, biopsi (pengangkatan dan
penelitian pada contoh jaringan di bawah mikroskop) dan kultur (contoh
dikirim ke laboratorium dan diletakkan pada kultur medium yang
membiarkan mikroorganisme untuk berkembang) kemungkinan diperlukan
untuk memastikan diagnosa dan untuk mengidentifikasikan organisme
penyebab infeksi.14

9
- Anamnesis
Dari anamnesis dapat diperoleh:
1. Lokasi pembesaran kelenjar getah bening
Pembesaran kelenjar getah bening pada dua sisi leher secara
mendadak biasanya disebabkan oleh infeksi virus saluran pernapasan
bagian atas. Pada infeksi oleh penyakit kawasaki umumnya
pembesaran KGB hanya satu sisi saja. Apabila berlangsung lama
(kronik) dapat disebabkan infeksi oleh mikobakterium, toksoplasma,
ebstein barr virus atau citomegalovirus.
2. Gejala-gejala penyerta (symptoms)
Demam, nyeri tenggorok dan batuk mengarahkan kepada penyebab
infeksi saluran pernapasan bagian atas. Demam, keringat malam dan
penurunan berat badan mengarahkan kepada infeksi tuberkulosis atau
keganasan. Demam yang tidak jelas penyebabnya, rasa lelah dan nyeri
sendi meningkatkan kemungkinan oleh penyakit kolagen atau
penyakit serum (serum sickness), ditambah riwayat obat-obatan.
3. Riwayat penyakit
Adanya peradangan tonsil (amandel) sebelumnya mengarahkan
kepada infeksi oleh streptokokus. Adanya infeksi gigi dan gusi dapat
mengarahkan kepada infeksi bakteri anaerob.
4. Riwayat pekerjaan dan perjalanan
Paparan terhadap infeksi / kontak sebelumnya kepada orang dengan
infeksi saluran nafas atas, faringitis oleh Streptococcus, atau
tuberculosis turut membantu mengarahkan penyebab limfadenopati.
Riwayat perjalanan atau pekerjaan, misalnya perjalanan ke daerah-
daerah Afrika dapat mengakibatkan penyakit Tripanosomiasis. Orang
yang bekerja di hutan dapat terkena Tularemia.15

- PemeriksaanFisik
Karakteristik dari kelenjar getah bening:
Kelenjar Getah Bening dan daerah sekitarnya harus diperhatikan. Kelenjar
getah bening harus diukur untuk perbandingan berikutnya. Harus dicatat

10
ada tidaknya nyeri tekan, kemerahan, hangat pada perabaan, dapat bebas
digerakkan atau tidak dapat digerakkan, apakah ada fluktuasi, konsistensi
apakah keras atau kenyal.
 Ukuran: normal bila diameter <1cm (pada epitroclear >0,5cm dan
lipat paha >1,5cm dikatakan abnormal).
 Nyeri tekan: umumnya diakibatkan peradangan atau proses
perdarahan.
 Konsistensi: keras seperti batu mengarahkan kepada keganasan,
padat seperti karet mengarahkan kepada limfoma; lunak
mengarahkan kepada proses infeksi; fluktuatif mengarahkan telah
terjadinya abses/pernanahan.
 Penempelan: beberapa Kelenjar Getah Bening yang menempel dan
bergerak bersamaan bila digerakkan. Dapat akibat tuberkulosis,
sarkoidosis keganasan.15

Pembesaran KGB leher bagian posterior (belakang) terdapat pada


infeksi rubela dan mononukleosis. Pada pembesaran KGB oleh infeksi
virus, KGB umumnya bilateral (dua sisi-kiri/kiri dan kanan), lunak dan
dapat digerakkan. Bila ada infeksi oleh bakteri, kelenjar biasanya nyeri
pada penekanan, baik satu sisi atau dua sisi dan dapat fluktuatif dan dapat
digerakkan. Adanya kemerahan dan suhu lebih panas dari sekitarnya
mengarahkan infeksi bakteri dan adanya fluktuatif menandakan terjadinya
abses. Bila limfadenitis disebabkan keganasan, tanda-tanda peradangan
tidak ada, KGB keras dan tidak dapat digerakkan (terikat dengan jaringan
di bawahnya).18
Pada infeksi oleh mikobakterium pembesaran kelenjar berjalan
mingguan-bulanan, walaupun dapat mendadak, KGB menjadi fluktuatif
dan kulit diatasnya menjadi tipis, dan dapat pecah.18

Tanda-tanda penyerta (sign):

11
Adanya tenggorokan yang merah, bercak-bercak putih pada tonsil, bintik-
bintik merah pada langit-langit mengarahkan infeksi oleh bakteri
streptokokus. Adanya selaput pada dinding tenggorok, tonsil, langit-langit
yang sulit dilepas dan bila dilepas berdarah, pembengkakan pada jaringan
lunak leher (bull neck) mengarahkan kepada infeksi oleh bakteri difteri.
Faringitis, ruam-ruam dan pembesaran limpa mengarahkan kepada infeksi
epstein barr virus. Adanya radang pada selaput mata dan bercak koplik
mengarahkan kepada campak. Adanya pucat, bintik-bintik perdarahan
(bintik merah yang tidak hilang dengan penekanan), memar yang tidak
jelas penyebabnya, dan pembesaran hati dan limpa mengarahkan kepada
leukemia.19

- Pemeriksaan Penunjang

1. Hasil Laboratorium pada limfadenitis :

Lekositosis biasanya tanpa perubahan. Pada akhirnya, kultur darah


menjadi positif, umumnya spesies stafilokokus atau streptokokus.
Pemeriksaan kultur dan sensitivitas pada eksudat luka atau pus dapat
membantu pengobatan infeksi.

2. Pemeriksaan Mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis dan


kultur. Spesimen untuk mikrobiologi dapat diperoleh dari sinus atau
biopsi aspirasi. Dengan pemeriksaan ini kita dapat memastikan adanya
mikroorganisme pada spesimen.

Kultur (contoh dikirim ke laboratorium dan diletakkan pada kultur


medium yang membiarkan mikroorganisme untuk berkembang)
kemungkinan diperlukan untuk memastikan diagnosa dan untuk
mengidentifikasikan organisme penyebab infeksi.

3. Ultrasonografi (USG)

12
USG merupakan salah satu teknik yang dapat dipakai untuk
mengetahui ukuran, bentuk, dan gambaran mikronodular. USG juga
dapat dilakukan untuk membedakan penyebab pembesaran kelenjar
(infeksi, metastatik, lymphoma, atau reaktif hiperplasia).

4. Biopsi

Biopsi adalah pengambilan sejumlah kecil jaringan dari tubuh manusia


untuk pemeriksaan patologis mikroskopik. Biopsi Aspirasi Jarum
Halus (Fine Needle Aspiration Biopsy/ FNAB), adalah prosedur biopsi
yang menggunakan jarum sangat tipis yang melekat pada jarum suntik
untuk menarik (aspirasi) sejumlah kecil jaringan dari lesi
abnormal. Sampel jaringan ini kemudian dilihat di bawah mikroskop.19

Biopsi kebanyakan dlakukan untuk mengetahui adanya kanker. Bagian


apapun dari tubuh, seperti kulit, organ tubuh maupun benjolan dapat
diperiksa.19

Indikasi Fine Needle Aspiration Biopsy :

- Pasien yang menjalani FNAB umumnya dideteksi memiliki massa


jaringan lunak di bawah permukaan kulit atau mukosa selama pemeriksaan
klinis. Massa leher dapat dideteksi dengan teknik ini. Karena massa yang
dalam sulit dibiopsi, FNAB dapat sangat membantu.
- Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6 minggu dapat menjadi indikasi
untuk dilaksanakan biopsi KGB.
- Biopsi dilakukan terutama bila terdapat tanda dan gejala yang
mengarahkan kepada keganasan.
- KGB yang menetap atau bertambah besar walau dengan pengobatan yang
adekuat mengindikasikan diagnosis yang belum tepat.19

5. CT Scan

CT Scan adalah mesin x-ray yang menggunakan komputer untuk


mengambil gambar tubuh untuk mengetahui apa yang mungkin
menyebabkan limfadenitis. CT scan dapat digunakan untuk membantu

13
pelaksanaan biopsi aspirasi kelenjar limfe intratoraks dan intraabdominal.
CT Scan dapat mendeteksi pembesaran KGB servikalis dengan diameter 5
mm atau lebih.19

2.1.7 Penatalaksanaan

a. Pengobatan
Pengobatan tergantung dari organisme penyebabnya. Untuk infeksi
bakteri, biasanya diberikan antibiotik per-oral (melalui mulut) atau
intravena (melalui pembuluh darah). Untuk membantu mengurangi rasa
sakit, kelenjar getah bening yang terkena bisa dikompres hangat. Biasanya
jika infeksi telah diobati, kelenjar akan mengecil secara perlahan dan rasa
sakit akan hilang. Kadang-kadang kelenjar yang membesar tetap keras dan
tidak lagi terasa lunak pada perabaan.
Pembesaran KGB biasanya disebabkan oleh virus dan sembuh sendiri,
walaupun pembesaran KGB dapat berlangsung mingguan.Pengobatan
pada infeksi KGB oleh bakteri (limfadenitis) adalah anti-biotic oral 10 hari
dengan pemantauan dalam 2 hari pertama flucloxacillin 25 mg/kgBB
empat kali sehari. Bila ada reaksi alergi terhadap antibiotic golongan
penicillin dapat diberikan cephalexin 25 mg/kg (sampai dengan 500 mg)
tiga kali sehari atau erythromycin 15 mg/kg (sampai 500 mg) tiga kali
sehari.
Bila penyebab limfadenopati adalah mycobacterium tuberculosis maka
diberikan obat anti tuberculosis selama 9-12 bulan. Bila disebabkan
mycobacterium selain tuberculosis maka memerlukan pengangkatan KGB
yang terinfeksi atau bila pembedahan tidak memungkinkan atau tidak
maksimal diberikan antibiotic golongan makrolida dan anti-
mycobacterium.20
b. Pencegahan
Menjaga kesehatan dan kebersihan badan bisa membantu mencegah
terjadinya berbagai infeksi.

14
Terapi secara komprehensif yaitu :
1. terapi medikamentosa

Etiologi Simptomatik Suportif

Virus : Antivirus Antiinflamsi Imunodulator


Bakteri : Antibakteri Analgetik Vitamin
Protozoa : Anti protozoa Antipiretik
jamur : Anti jamur

2. edukasi : menjelaskan kepada orangtua definisi,etiologi,manifestasi klinis


dan pengobatan

2.2 LIMFADENITIS TUBERKULOSIS


2.2.5 Definisi
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah
bening, sedangkan limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan
pada kelenjar limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil
tuberkulosis.7
Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut
dengan scrofula. Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang
biasanya paling sering terjadi. Istilah scrofula diambil dari bahasa latin
yang berarti pembengkakan kelenjar. Infeksi M.tuberculosis pada kulit
disebabkan oleh perluasan langsung tuberkulosis ke kulit dari struktur
dasarnya atau terpajan langsung melalui kontak dengan M.tuberkulosis
yang disebut dengan scrofuloderma.10
2.2.6Etiologi

Limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium


tuberculosis.Mycobacteria tergolong dalam famili Mycobactericeae dan
ordo Actinomyceales. Spesies patogen yang termasuk dalam
Mycobacterium kompleks, yang merupakan agen penyebab penyakit yang
tersering dan terpenting adalah Mycobacterium tuberculosis.Yang
tergolong dalam Mycobacterium tuberculosae complex adalah : 1. M.

15
tuberculosae, 2. M. bovis, 3. M. caprae, 4. M. africanum, 5. M. Microti, 6.
M. Pinnipedii, 7. M.canettii Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan
epidemiologi.19
Basil TB adalah bakteri aerobik obligat berbentuk batang tipis
lurus berukuran sekitar 0,4 x 3 μm dan tidak berspora. Pada media buatan
berbentuk kokoid dan filamentous tampak bervariasi dari satu spesies ke
spesies lain. Mycobacteria termasuk M.tuberculosis tidak dapat diwarnai
dengan pewarnaan Gram dan hanya dapat diwarnai dengan pewarnaan
khusus yang sangat kuat mengikat zat warna tersebut sehingga tidak dapat
dilunturkan walaupun menggunakan asam alkohol, sehingga dijuluki
bakteri tahan asam. M.tuberculosis mudah mengikat pewarna Ziehl-
Neelsen atau karbol fuksin.3,15
Dinding bakteri Mikobakterium kaya akan lipid yang terdiri dari
asam mikolat, lilin, dan fosfat. Muramil dipeptida yang membuat
kompleks dengan asam mikolat dapat menyebabkan pembentukan
granuloma. Lipid inilah yang bertanggung jawab pada sifat tahan asam
bakteri Mikobakterium.Penghilangan lipid dengan menggunakan asam
yang panas menghancurkan sifat tahan asam bakteri ini.3,15
Bakteri ini mendapatkan energi dari oksidasi banyak komponen
karbon sederhana. Penambahan CO2 meningkatkan pertumbuhan.
Aktivitas biokimia tidak khas dan laju pertumbuhannya lebih lambat
daripada kebanyakan bakteri. Waktu replikasi basil tuberkulosis sekitar 18
jam. Bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih cepat, berproliferasi dengan
baik pada temperatur 22-23°C, dan tidak terlalu bersifat tahan asam bila
dibandingkan dengan bentuk patogennya.3

16
Gambar 4. Mycobacterium tuberculosis, dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen
pembesaran 1000x

Gambar 5. Mycobacterium tuberculosis, gram positif, organisme obligat aerob

2.2.7Patogenesis
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi
TB pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan
menjadi TB pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder).
TB primer sering terjadi pada anak-anak sehingga sering disebut child-
type tuberculosis, sedangkan TB post-primer (sekunder) disebut juga
adult-type tuberculosis karena sering terjadi pada orang dewasa, walaupun
faktanya TB primer dapat juga terjadi pada orang dewasa.18
Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru,
yang disebut sebagai TB ekstrapulmoner. Organ ekstrapulmoner yang
sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening,
pleura, saluran kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium.
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil
tuberkulosis.18
Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di
paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua
kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag.
Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam
makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen,

17
perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen.Penyebaran basil TB ini
pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus,
dimana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi
di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional
(limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, 3 – 4 minggu
setelah infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan
membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB
dalam makrofag membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon.
Fokus Ghon bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional
disebut dengan kompleks Ghon. Terbentuknya focus Ghon
mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus Ghon berarti dalam
tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap
basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang
didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup
dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan
penyakit.7
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang
sudah memiliki imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer.
Adanya imunitas seluler akan membatasi penyebaran basil TB lebih cepat
daripada TB primer disertai dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa).
Sama seperti pada TB primer, basil TB pada TB post-primer dapat
menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke
semua organ.7 Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal
merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim
paru.15
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih
dahulu menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring
setelah basil TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil
TB akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan
dibawa ke kelenjar limfe di leher. Peningkatan ukuran nodus mungkin
disebabkan oleh berikut: 1.Multiplication sel dalam node, termasuk
limfosit, plasma sel, monosit, atau histiosit. 2.Infiltrasi sel-sel dari luar

18
nodus, misalnya sel ganas atau neutrofil. 3.Drainase sumber infeksi oleh
kelenjar getah bening.7

Gambar 6. Patogenesis Limfadenitis TB

Gambar 7: Alur Patogenesis Tuberkulosis

19
Gambar 8. Penyebaran Bakteri TBC dan lokasi limfadenitis TB

2.2.8Manifestasi Klinis
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
a.Gejala respiratorik :
Batuk ≥ 3 minggu, batuk darah, sesak napas, nyeri dada. Gejala
respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala
yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis
pada saat medical checkup. Bila bronkus belum terlibat dalam proses
penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang
pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan
untuk membuang dahak ke luar.
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang
lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis
tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi
yang rongga pleuranya terdapat cairan.

20
c. Gejala sistemik : demam,malaise,keringat malam,anoreksia,berat badan
menurun.

Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB


ekstrapulmoner. Limfadenitis TB juga dapat merupakan manifestasi lokal
dari penyakit sistemik.Pasien biasanya datang dengan keluhan pembesaran
kelenjar getah bening yang lambat.Pada pasien limfadenitis TB dengan
HIV-negatif, limfadenopati leher terisolasi adalah manifestasi yang paling
sering dijumpai yaitu sekitar dua pertiga pasien.Oleh karena itu, infeksi
mikobakterium harus menjadi salah satu diagnosis banding dari
pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada daerah yang
endemis.Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar dari beberapa minggu
sampai beberapa bulan.15
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening
servikalis, kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar
mediastinal, aksilaris, mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan
kelenjar inguinalis.15 Menurut Sharma (2004), pada pasien dengan HIV-
negatif maupun HIV-positif, kelenjar limfe servikalis adalah yang paling
sering terkena, diikuti oleh kelenjar limfe aksilaris dan inguinalis.17
Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau
bilateral, tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya tidak
nyeri dan berkembang secara lambat dalam hitungan minggu sampai
bulan, dan paling sering berlokasi di regio servikalis posterior dan yang
lebih jarang di regio supraklavikular. Keterlibatan multifokal ditemukan
pada 39% pasien HIV-negatif dan pada 90% pasien HIV-positif.Pada
pasien HIV-positif, keterlibatan multifokal, limfadenopati intratorakalis
dan intraabdominal serta TB paru adalah sering ditemukan. Beberapa
pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala sistemik yaitu
seperti demam, penurunan berat badan, fatigue dan keringat malam. Lebih
dari 57% pasien tidak menunjukkan gejala sistemik.16
Menurut Jones dan Campbell lymph nodes tuberculosis dapat
diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu:

21
1. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan
diskret.
2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan
sekitar oleh karena adanya periadenitis.
3. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening)
akibat pembentukan abses.
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.
5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.
Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium
penyakit.Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali (i)
terjadi infeksi sekunder bakteri, (ii) pembesaran kelenjar yang cepat atau
(iii) koinsidensi dengan infeksi HIV.Abses kelenjar limfe dapat pecah, dan
kemudian kadang-kadang dapat terjadi sinus yang tidak menyembuh
secara kronis dan pembentukan ulkus.Pembentukan fistula terjadi pada
10% dari limfadenitis TB servikalis.16
Skrofuloderma adalah infeksi mikobakterial pada kulit disebabkan
oleh perluasan langsung infeksi TB ke kulit dari struktur dibawahnya atau
oleh paparan langsung terhadap basil TB.18
Limfadenitis TB mediastinal lebih sering terjadi pada anak-
anak.Pada dewasa limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan
gejala.Manifestasi yang jarang terjadi pada pasien dengan keterlibatan
kelenjar limfe mediastinal termasuk disfagia, fistula
oesophagomediastinal, dan fistula tracheo-oesophageal.Pembengkakan
kelenjar limfe mediastinal dan abdomen atas juga dapat menyebabkan
obstruksi duktus toraksikus dan chylothorax, chylous ascites ataupun
chyluria.Pada keadaan tertentu, obstruksi biliaris akibat pembesaran
kelenjar limfe dapat menyebabkan obstructive jaundice.Tamponade
jantung juga pernah dilaporkan terjadi akibat limfadenitis mediastinal.16
Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran ≥ 2 cm
biasanya disebabkan oleh M.tuberculosis.Pembengkakan yang berukuran
< 2 cm biasanya disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak

22
menutup kemungkinan pembengkakan tersebut disebabkan oleh
M.tuberculosis.

2.2.9Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan timbulnya benjolan di leher baik
tunggal ataupun multiple, benjolan dirasakan tidak nyeri, semakin
membesar atau persisten. Selain itu perlu ditanyakan :
a. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular. Yang dimaksud
dengan kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau sering
bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB menular adalah
terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan sputumnya BTA positif
dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa.
b. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak
naik dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan
upaya perbaikan gizi yang baik.
c. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).
Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan
merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan
gejala-gejala sistemik/umum lain.
d. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah
reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain
batuk telah dapat disingkirkan.
e. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal
tumbuh (failure to thrive).
f. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
g. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare.

23
2. Pemeriksaan fisik
Pada infeksi oleh mycobacterium, pembesaran kelenjar limfe
berjalan berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, namun dapat juga
terjadi secara mendadak. Tahap dini pemeriksaan kelenjar limfe
teraba massa keras dengan batas tegas, tidak sakit dan dapat
digerakkan. Pada tahap selanjutnya dapat ditemukan pembesaran
kelenjar limfe yang saling berlengketan satu sama lain. Kelenjar limfe
ini akan membentuk suatu abses dingin. Lesi biasanya unilateral. Bila
mengenai kulit, kulit akan meradang, memerah, bengkak dan
mungkin sedikit nyeri. Kulit akhirnya menipis dan jebol,
mengeluarkan bahan seperti keju. Tukak yang terbentuk akan
berwarna pucat dengan tepi yang membiru disertai secret yang jernih.
Tukak ini dapat sembuh dan meninggalkan jaringan parut yang tipis
dan berbintil-bintil. Suatu saat tukak meradang lagi dan mengeluarkan
bahan seperti keju lagi, demikian berulang-ulang. Kulit seperti ini
dinamakan skrofuloderma.Kelenjar limfe yang paling sering terkena
adalah kelenjar limfe servikal pada segitiga posterior servikal dan
supraklavikula.17

Gambar 9. Limfadenitis tuberkulosa dan yang sudah menjadi


skrofuloderma
3. Pemeriksaan penunjang
a. Tes tuberculin
Tes intradermal (tes mantoux) dapat menunjukkan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat melawan agen mycobacterium. Tes
akan positif 2-10 minggu setelah infeksi mycobacterium. Tes ini
dibaca setelah 48-72 jam setelah suntikan. Reaksi positif bila

24
terdapat indurasi >10mm yang menandakan adanya infeksi
M.tuberculosis. Reaksi intermediet (indurasi 5-9mm) dapat terjadi
setelah vaksinasi BCG, infeksi M.tuberculosis dan non tuberculosis
mycobacterium. Reaksi negatif (indurasi <4mm) menandakan
kurangnya sensitisasi tuberculin. 75% pasien dengan limfadenitis
tuberkulosa mempunyai hasil tes tuberculin yang positif.
Tes dapat positif palsu pada mereka yang telah divaksinasi BCG,
sedangkan negative palsu terjadi pada orang yang menderita AIDS,
malnutrisi, dan pasien yang memakai steroid.

Gambar 10. Hasil tes tuberculin

b. Pemeriksaan mikrobiologi
Sediaan mikroskopis untuk identifikasi kuman BTA dapat
dilakukan dengan pewarnaan Ziehl Neelsen. Pengambilan sampel
pemeriksaan dapat diperoleh melalui drainase sinus atau Fine
Needle aspiration (FNA).

Gambar 11. Kuman BTA (mikroskopis)

25
Kultur mycobacterium merupakan alat diagnostik untuk
menentukan limfadenitis tuberkulosa, namun hasil kultur yang
negatif seharusnya tidak menghilangkan kemungkinan terhadap
penyakit ini. Adanya 10.000 basil per millimeter kubik
menunjukkan hasil kultur yang positif. Dibutuhkan beberapa
minggu untuk melihat hasil kultur.
c. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah salah satu pemeriksaan yang
cukup penting untuk menegakkan diagnosis limfadenitis
mikrobakterial. Pada pemeriksaan ditemukan tuberkel yang terdiri
dari beberapa unsur yakni sel epiteloid yang berinti lonjong dengan
batas sel yang tidak jelas. Unsur kedua adalah sel datia
lagerhans/giant cell, sebuah sel yang besar berinti banyak. Basil
M.tuberculosis dapat ditemukan di antara sel epiteloid, kadang
dalam sel datia.

Gambar 12. Sel langerhans


d. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah
pemeriksaan foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB
tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan
demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum,
gambaran radiologis yang menunjang TB adalah ditemukan
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat

26
(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto
toraks lateral), konsolidasi segmental/lobar, efusi pleura, milier,
atelektasis, kavitas kalsifikasi dengan infiltrate, tuberkuloma.18

Diagnosis TB Anak

Diagnosis TB pada anak sulit dilakukan karena sering terjadi


misdiagnosis, baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada
anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama TB dan
pengambilan dahak pada anak biasanya sulit,maka untuk
mendiagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan menggunakan
sistem skor yang telah dibuat oleh IDAI sebagai Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak.Sistem ini berupa pembobotan terhadap gejala
atau tanda klinis yang dijumpai.Pedoman tersebut telah secara resmi
dapat digunakan oleh program nasional pengendalian tuberkulosis
untuk mendiagnosis TB anak (PDPI, 2011).18

Gambar 13 : Sistem scoring gejala dan pemeriksaan penunjang TB


(Dikutip dari :Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis 2011)

27
 Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk
kronik lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
 Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien
dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.
 Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).→ lampirkan
tabel berat badan.
 Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
 Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari
setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
 Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
 Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi
lebih lanjut.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem
skor.Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6),
harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti
tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan
kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya
sesuai indikasi, seperti bilasan lambung,patologi anatomi, pungsi lumbal,
pungsi pleura, foto tulang dan sendi,funduskopi, CT-Scan, dan lain-
lainnya. Selain keadaan-keadaan di atas, terdapat beberapa kondisi yang
memerlukan perhatian khusus (PDPI, 2011), seperti :

1. Tanda bahaya:
 Kejang, kaku kuduk
 Penurunan kesadaran
 Kegawatan lain, misalnya sesak napas
2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
3. Gibbus, koksitis

28
Gambar 14. Tatalaksana TB Anak (Dikutip dari : Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis 2011)

2.2.10 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan limfadenitis TB secara umum dibagi menjadi dua


bagian, yakni secara farmakologis dan non farmakologis. Terapi non
farmakologis adalah dengan pembedahan, sedangkan terapi farmakologis
memiliki prinsip dan regimen obatnya yang sama dengan tuberkulosis paru.
Pembedahan tidaklah merupakan suatu pilihan terapi yang utama.20
Prosedur pembedahan yang dapat dilakukan adalah dengan:
a. Biopsi eksisional: Limfadenitis yang disebabkan oleh karena atypical
mycobacteria.
b. Aspirasi
c. Insisi dan drainase
Indikasi dilakukan pembedahan pada limfadenitis adalah ketika pusat
radang tuberkulosis sudah terdiri dari pengejuan dan dikelilingi jaringan
fibrosa. Seperti halnya infeksi lain, adanya jaringan nekrosis akan
menghambat penetrasi antibiotik ke daerah radang sehingga pembasmian
kuman tidak efektif. Oleh karena itu sarang infeksi di berbagai organ
misalnya kaverne di paru dan debris di tulang harus dibuang.Jadi, tindak
bedah menjadi syarat mutlak untuk hasil baik terapi medis.Selain itu tindak
bedah juga diperlukan untuk mengatasi penyulit, misalnya pada tuberkulosis
paru yang menyebabkan destruksi luas dan empiema, pada tuberkulosis usus

29
yang menimbulkan obstruksi atau perforasi, dan osteitis atau artritis
tuberkulosa yang menimbulkan cacat.20
Pedoman internasional dan nasional menurut WHO menggolongkan
limfadenitis TB dalam kategori III dan merekomendasikan pengobatan
selama 6 bulan dengan regimen 2HRZ/4RH atau 2HRZ/4H3R3 atau
2HRZ/6HE. American Thoracic Society (ATS) merekomendasikan
pengobatan selama 6 bulan sampai 9 bulan sedangkan Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia (PDPI) (2011) mengklasifikasikan limfadenitis TB ke dalam
TB ekstra paru dan mendapat terapi Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Kategori I. Regimen obat yang digunakan adalah 2HRZE/ 4H3R3. Obat
yang digunakan adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, dan Etambutol.
British Thoracic Society Research Committee and Compbell (BTSRCC)
merekomendasikan pengobatan selama 9 bulan dalam regimen 2RHE/7RH
(WHO, 2004).20
Berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2011).
OAT terbagi menjadi beberapa golongan, golongan tersebut dapat dilihat di
bawah ini:

Gambar 15 .Golongan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) (Dikutip dari :


Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis 2011)

30
Terapi secara komprehensif yaitu :
1. Terapi medikamentosa

Etiologi Simptomatik Suportif

2HRZE/ 4H3R3 Antiinflamsi Imunodulator


Analgetik Vitamin
Antipiretik

2. Edukasi : menjelaskan kepada orangtua : definisi,etiologi,manifestasi


klinis dan pengobatan

Prinsip-prinsip yang digunakan dalam rangka memperoleh efektifitas


pengobatan TB adalah (PDPI, 2011):

a. Menghindari penggunaan monoterapi.


Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk kombinasi dari
beberapa jenis obat, dengan jumlah dan dosis yang tepat sesuai dengan
kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan
terhadap OAT.
b. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed
Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.19
Tahap Intensif

 Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan
obat.
 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu
2 minggu.

31
 Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan

 Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,


namun dalam jangka waktu yang lebih lama
 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant)
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.20
Regimen pengobatan yang digunakan adalah:

 Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, dan
Etambutol diberikan setiap hari selama 2 bulan.Kemudian diteruskan
dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Rifampisin dan Isoniazid
diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan.20

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

- Pasien baru TB paru BTA positif.


- Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
- Pasien TB ekstra paru

Gambar 16. Dosis Obat OAT Kombinasi Dosis Tetap dan Kombipak
Kategori 1 (Dikutip dari : Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis 2011)

32
 Kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Tahap intensif terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid,
Etambutol, dan Streptomisin.Obat ini diberikan setiap hari selama 2
bulan dengan diikuti pengobatan dengan regimen yang sama, tanpa
disertai Streptomisin selama satu bulan. Kemudian diteruskan dengan
tahap lanjutan terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, dan Etambutol
selama 5 bulan diberikan 3 kali seminggu.Obat ini diberikan untuk:

- Pasien kambuh
- Pasien gagal
- Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Gambar 17. Dosis Obat OAT Kombinasi Dosis Tetap dan Kombipak
Kategori 2 (Dikutip dari : Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis 2011)
- Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
- Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan
khusus.
- Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan
menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml.
(1ml = 250mg).

33
 Kategori 3 (2HRZ/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2


bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama
4 bulan diberikan 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk:

- Penderita baru BTA negatif dan röntgen positif sakit ringan,

-Penderita TB ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe (


limfadenitis ) pleuritis eksudativa unilateral TBC kulit , TBC
tulang ( kecuali tulang belakang ) sendi dan kelenjar aderenal

Tahap Lama Tablet Tablet Tablet


Pengobatan Pengobatan Isoniazid @ Rifampicin Pirezinamid @
300 mg @450 mg 500 mg

Tahap intensif 2 bulan 1 1 3


(dosis harian)

Tahap lanjutan 4 bulan 2 1 -------


(dosis 3x
seminggu)

Tabel 1. Katagori 3
 Kategori Anak (2HRZ/4HR)
 Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini
terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam
satu paket untuk satu pasien.20

Penatalaksanaan TB Anak

Pengobatan TB anak dalam jangka waktu 6 bulan pada sebagian


besar kasus dinilai cukup.Setelah pengobatan selama 6 bulan, dilakukan
evaluasi secara klinis maupun penunjang.Evaluasi klinis merupakan
parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan.Apabila

34
gambaran klinis menunjukkan perbaikan yang nyata, tetapi gambaran
radiologi tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap
dihentikan.Prinsip pengobatan TB pada anak adalah dengan memberikan
minimal tiga macam obat pada dua bulan pertama, yang terdiri dari
Rifampisin, Isoniazid dan Pirazinamid.Tahap berikutnya diberikan dua
macam obat dalam jangka waktu empat bulan, yang terdiri dari
Rifampisin, Isoniazid, untuk memudahkan mengingat regimen maka
dibuat rumus 2RHZ/4RH, sehingga total lama pengobatan adalah enam
bulan.OAT tersebut diberikan pada anak setiap hari, baik pada tahap
intensif maupun tahap lanjutan.Dosis obat sendiri harus disesuaikan
dengan berat badan anak (PDPI, 2006).18

Gambar 18. Tabel Dosis OAT Kombipak dan KDT Pada Anak (Dikutip
dari :Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis 2011)

Selain informasi dari tabel di atas terdapat keterangan-keterangan


yang menjelaskan kondisi di luar tabel tersebut, yakni

 Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit


 Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
 Anak dengan BB > 33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
 Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
 OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau
digerus sesaat sebelum diminum.

35
Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis

Gambar 19. Efek Samping Ringan OAT (Dikutip dari :Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis 2011)

Gambar 20.Efek Samping Berat OAT (Dikutip dari :Pedoman Nasional


Penanggulangan Tuberkulosis 2011)

 Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal


singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain.
 Pasien diberikan terlebih dahulu anti-histamin, sambil meneruskan
OAT dengan pengawasan ketat.
 Apabila gatal-gatal tersebut terjadi pada sebagian pasien hilang, namun
pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit, hentikan
semua OAT dan tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang.
 Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk

36
Kontraindikasi Obat Anti Tuberkulosis

Obat Kontraindikasi
Rifampisin Hipersensitifitas, Ikterus
Ethambutol Neuritis Optik, Anak <13 tahun
Pirazinamid Kerusakan hati berat
Isoniazid Penyakit hati yang diinduksi obat
Streptomisin Gangguan pendengaran, kehamilan,
myasthenia gravis
Tabel 2.Kontraindikasi OAT (Dikutip dari : MIMS, 2013)

Resistensi Obat Anti Tuberkulosis

Multidrug-resistant TB (MDR-TB) adalah resistensi


bakteri/organisme penyebab tuberculosis terhadap obat-obat yang efektif
memberantas tuberculosis, seperti rifampisin dan isoniazid.Hal ini bisa
disebabkan oleh infeksi organisme yang telah resisten terhadap obat TB
atau mungkin terjadi perkembangan selama pengobatan TB.TB jenis ini
tidak berespon dengan pengobatan enam bulan lini pertama dan
memerlukan obat yang lebih, dan lebih toksik, serta mahal (WHO,
2012).20

Salah satu tahapan pemberantasan TB pada fase penjaringan pasien


adalah mengklasifikasikan pasien TB. Pasien dinyatakan sebagai suspek
MDR TB adalah semua orang yang mempunyai gejala TB dengan salah
satu atau lebih kriteria suspek dibawah ini, yakni:

 Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus kronik)


 Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2.
 Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB di fasyankes Non DOTS.
 Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.
 Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan.
 Pasien TB kambuh.

37
 Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default.
 Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR
 ODHA dengan gejala TB-HIV
Pasien suspek resistensi obat antituberkulosis nantinya akan
dipastikan melalui pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M.tuberkulosis.
Semua suspek TB MDR diperiksa dahaknya dua kali, salah satu
diantaranya harus dahak pagi hari.Uji kepekaan M.tuberculosis harus
dilakukan di laboratorium yang telah tersertifikasi untuk uji kepekaan.
Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka suspek TB MDR akan tetap
meneruskan pengobatan sesuai dengan pedoman pengendalian TB
Nasional.Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat
di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin,
Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu
pirazinamid and etambutol.19 Secara umum, prinsip pengobatan MDR TB
adalah sebagai berikut:

 Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif.


 Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan
silang (cross-resistance)
 Membatasi pengunaan obat yang tidak aman (PDPI, 2011).20

38
BAB III

KESIMPULAN

Limfadenitis Non TBC dan TBC


No Spesifitas Non TBC TBC
1 Definisi Limfadenitis merupakan peradangan Limfadenitis TB merupakan
pada kelenjar limfe atau getah peradangan pada kelenjar limfe
bening atau getah bening yang
disebabkan oleh M. tuberkulosis.

2 Etiologi - Non TB : bakteri (Streptococcus Limfadenitis tuberkulosis


dan Staphylococcus), virus, disebabkan oleh infeksi
protozoa, riketsia dan jamur Mycobacterium tuberculosis.
-TB : Mycobacterium tuberculosis Mycobacterium tergolong dalam
family Mycobactericeae dan
ordo Actinomyceales
4 Manifestasi - kelenjar getah bening yang Jones dan Campbell
Klinis terserang biasanya akan mengklasifikasi limfadenitis TB
membesar menjadi 5 stadium:
- jika diraba terasa lunak dan • Stadium 1 : pembesaran
nyeri kelenjar berbatas tegas,
- gejala klinis lain yang timbul mobile dan diskret.
adalah demam, nyeri tekan, dan • Stadium 2 : pembesaran
tanda radang kelenjar yang kenyal serta
- Kulit di atasnya terlihat merah terfiksir ke jaringan sekitar
dan terasa hangat oleh karena adanya
- pembengkakan ini akan periadenitis.
menyerupai daging tumbuh atau • Stadium 3 : perlunakan di
biasa disebut dengan tumor bagian tengah karena
- Konsistensi: Keras seperti batu pembentukan abses.
mengarahkan kepada keganasan, • Stadium 4 : pembentukan
padat seperti karet mengarahkan abses pada leher
kepada limfoma; lunak • Stadium 5 : pembentuk
mengarahkan kepada proses saluran (sinus).
infeksi; fluktuatif mengarahkan
telah terjadinya - Lokasi : pada umumnya di
abses/pernanahan. leher, bisa juga di seluruh
- Penempelan: Beberapa Kelenjar tubuh
Getah Bening yang menempel
dan bergerak bersamaan bila
digerakkan. Dapat akibat
tuberkulosis, sarkoidosis
keganasan.

39
- Lokasi : di seluruh tubuh

5 Pemeriksaan 1) Hasil Laboratorium pada A.Tes tuberculin


Penunjang
limfadenitis : Tes intradermal (tes mantoux)
Lekositosis biasanya tanpa dapat menunjukkan reaksi
perubahan. Pada akhirnya, hipersensitivitas tipe lambat
kultur darah menjadi positif, melawan agen mycobacterium.
umumnya spesies Tes akan positif 2-10 minggu
stafilokokus atau setelah infeksi mycobacterium.
streptokokus. Tes ini dibaca setelah 48-72 jam
2) Pemeriksaan Mikrobiologi setelah suntikan. Reaksi positif
Pemeriksaan mikrobiologi bila terdapat indurasi >10mm
yang meliputi pemeriksaan yang menandakan adanya infeksi
mikroskopis dan M.tuberculosis.
kultur.Dengan pemeriksaan B.Pemeriksaan mikrobiologi
ini kita dapat memastikan Sediaan mikroskopis untuk
adanya mikroorganisme identifikasi kuman BTA dapat
pada spesimen. dilakukan dengan pewarnaan
3) Ultrasonografi (USG) Ziehl Neelsen. Pengambilan
USG dipakai untuk sampel pemeriksaan dapat
mengetahui ukuran, bentuk, diperoleh melalui drainase sinus
dan gambaran mikronodular. atau Fine Needle aspiration
USG juga dapat dilakukan (FNA).
untuk membedakan C.Pemeriksaan histopatologi
penyebab pembesaran Pada pemeriksaan ditemukan
kelenjar (infeksi, metastatik, tuberkel yang terdiri dari
lymphoma, atau reaktif beberapa unsur yakni sel

40
hiperplasia). epiteloid yang berinti lonjong
4) Biopsi dengan batas sel yang tidak jelas.
Biopsi adalah pengambilan Unsur kedua adalah sel datia
sejumlah kecil jaringan dari lagerhans/giant cell, sebuah sel
tubuh manusia yang besar berinti banyak. Basil
untuk pemeriksaan M.tuberculosis dapat ditemukan
patologis mikroskopik di antara sel epiteloid, kadang
5) \CT Scan dalam sel datia.
CT Scan adalah mesin x-ray D.Pemeriksaan radiologi
yang menggunakan gambaran foto toraks pada TB
komputer untuk mengambil tidak khas karena juga dapat
gambar tubuh untuk dijumpai pada penyakit lain.
mengetahui apa yang Dengan demikian pemeriksaan
mungkin menyebabkan foto toraks saja tidak dapat
limfadenitis. CT scan dapat digunakan untuk mendiagnosis
digunakan untuk membantu TB, kecuali gambaran TB milier.
pelaksanaan biopsi aspirasi Secara umum, gambaran
kelenjar limfe intratoraks radiologis yang menunjang TB
dan intraabdominal. CT adalah ditemukan pembesaran
Scan dapat mendeteksi kelenjar hilus atau paratrakeal
pembesaran KGB servikalis dengan/tanpa infiltrat,
dengan diameter 5 mm atau konsolidasi segmental/lobar,
lebih. efusi pleura, milier, atelektasis,
kavitas kalsifikasi dengan
infiltrate, tuberkuloma

6 Diagnosis Anamnesis 1.Anamnesis


Dari anamnesis dapat diperoleh: 2. Pemeriksaan Fisik
- Lokasi pembesaran kelenjar getah 3. Laboratorium
bening - FNAB (Fine Needle
- Gejala-gejala penyerta (symptoms) Aspiration Biopsy).
- Riwayat penyakit - Pemeriksaan Sputum
- Riwayat pekerjaan dan perjalanan Sewaktu Pagi Sewaktu
Pemeriksaan fisik - Cairan Pleura maupun

41
• Ukuran : diameter 0,5cm cairan serebrospinal.
(normal), >1,5 cm (abnormal). 4. Foto Thorax
• Nyeri tekan Lesi TB aktif :
• Kemerahan • Bayangan
• hangat pada perabaan berawan/nodular di
• Konsistensi : keras (keganasan), segmen apikal dan
padat seperti karet (limfoma), posterior lobus atas paru.
lunak (infeksi), fluktuatif • Kavitas (seperti lubang).
(abses). 5. Test tuberculin dengan cara
• KGB menempel dan bergerak Mantoux
bersamaan bila digerakkan →
tubelkulosis, sarkoidosis atau
keganasan.
Pemeriksaan Penunjang
7 Terapi Medikamentosa : Medikamentosa
Etiologi Etiologi
Virus : Antivirus 2HRZE/ 4H3R3
Simptomatis
Bakteri : Antibiotik/Antibakteri
Antiinflamsi,
Protozoa : Anti protozoa
Analgetik,
jamur : Anti jamur
Antipiretik
Simptomatis Suportif
Antiinflamsi,
Imunodulator
Analgetik,
Vitamin
Antipiretik
Suportif
Imunodulator
Vitamin
8 Prognosis - baik jika segera diobati dengan Baik bila :
antibiotik.
- Jangka waktu pengobatan
- pemulihan tergantung pada
penyebab infeksi. penderita tepat
- Minum obat yang teratur
sesuai dengan dosis yang
telah ditentukan
- Tidak adanya gangguan
immunologis

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Baratawidjaja. G. K, Rengganis Iris. 2012. Imunologi Dasar, Jakarta, Balai


Penerbit FKUI
2. Bayazit, Y. A., Bayazit, N., Namiduru, M., 2004. Mycobacterial Cervical
Lymphadenitis. ORL; 66:275-80.
3. Brooks, Geo F., Butel, Janet S., Morse, Stephen A., 2004. Mikrobiologi
Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg. Edisi 23. Jakarta: EGC, 325-330.
4. Clevenbergh, P., et al., 2010. Lymph Node Tuberculosis in Patients from
Regions with Varying Burdens of Tuberculosis and HIV Infection. Presse
Med;39:e223-230.
5. Cook, V. J., Manfreda, J., Hershfield, E. S., 2004. Tuberculous Lymphadenitis
in Manitoba: Incidence, Clinical Characteristic and Treatment. Can Respir J;
11(4):279-86.
6. Dandapat, M., C., Mishra, B., M., Dash, S., P., Kar, P., K., 1990. Peripheral
Lymph Node Tuberculosis: A Review of 80 Cases. Br J Surg; 77:911.
7. Datta, BN., 2004. Textbook of Pathology. 2th Edition. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers Ltd, 239-246.
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
9. Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29,
Jakarta:EGC
10. Jawahar, M., S., 2000. Scrofula Revisited: An Update On the Diagnosis and
Management of Tuberculosis of Superficial Lymph Nodes. Indian J Pediatr;
67(2):S28-33.
11. Kumar, Vinay, Cotran, Ramzi S. dan Robbins, Stanley L.. 2006. Buku Ajar
Patologi Edisi Vol.2. Jakarta : EGC
12. Mohapatra, Prasanta Raghab dan Janmeja, Ashok Kumar.2009. Tuberculous
Lymphadenitis. India : Journal of The Association of Physicians of India;57:
585-90.

43
13. Narang, P., Narang, R., Narang, R.,. 2005. Prevalence of tuberculous
lymphadenitis in children in Wardha district, Maharashtra State, India. Int J
Tuberc Lung Dis; 9:188.
14. PDPI. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis 2011. Jakarta
:Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
15. Partridge E.(2012).Lymphadenitis. from
http://emedicine.medscape.com/article/960858-overview,26 mei 2013
16. R.Sjamsuhidajat, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah-Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hal.465
17. Raviglione, M. C., O’Brien, R. J., 2010. Tuberculosis. In: Loscalzo, J.
Harrison’s Pulmonary and Critical Care Medicine. New York: The McGraw-
Hill Companies, 122-123.
18. Sharma, SK. dan Mohan, A.. 2004. Extrapulmonary Tuberculosis. Indian
Journal of Medicine Microbiology Res; 120: 316-53
19. World Health Organization, 2010.Global Tuberculosis Control 2010.Geneva :
World Health Organization.
20. Zulkifli, Amin dan Asril, Bahar. 2006. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV, Jilid II. Jakarta :Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI

44

You might also like