You are on page 1of 23

KEDUDUKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI HAK ATAS

TANAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERTANAHAN

Supriyadi

Badan Pertanahan Nasional Mataram


Jalan Pariwisata No. 61 Mataram
Email: doctor_supriyadi@yahoo.co.id

Abstract
This research is motivated by the practice of buying and selling land rights with is preceded
by a treaty called the Sale and Purchase Fastenings Agreement of Land Rights. The agreement
is a pre-agreement before the implementation of sale and purchase of land rights. The issue
raised is whether such agreements are acceptable in land laws. This paper is intended to obtain
answers to these problems, and therefore could be used to form a more explicit legal norms
regarding the Sale and Purchase Fastenings Agreement of Land Rights. This is a normative
legal research using the conceptual approach and statute approach. The results shows that
that: First, the legal position of the Sale and Purchase Fastenings Agreement of Land Rights
can be accepted as the law of life in the practice of the people of Indonesia, as well as to fill
the void of legal norms. Secondly, payment of the price of the Sale and Purchase Agreement
Landrights does not result in the ownership of the land from the seller to the buyer, but only
a downpayment or sign so. Third, legal protection for well-meaning potential buyers and has
paid in the event of nullification agreement is given in the form of their absolute power and the
clauses contained in the Sale and Purchase Fastenings Agreement of Land Rights.
Key words: legal position, binding agreement of sale, land rights, land law perspective

Abstrak
Dilatarbelakangi oleh adanya praktik jual beli dengan objek hak atas tanah yang didahului
dengan suatu perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah
(PPJB-HAT). PPJB-HAT merupakan suatu bentuk perjanjian sebelum dilaksanakannya jual
beli hak atas tanah. Isu yang mengemuka kemudian, apakah perjanjian tersebut dapat diterima
dalam hukum pertanahan. Tulisan ini dimaksudkan untuk memperoleh jawaban terhadap
permasalahan tersebut dan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membentuk norma hukum
yang lebih eksplisit mengenai PPJB-HAT. Dengan metode hukum normatif dan menggunakan
dua pendekatan, yaitu pendekatan konsep dan pendekatan perundang-undangan, diperoleh
jawaban, bahwa: Pertama, kedudukan hukum PPJB-HAT dapat diterima sebagai hukum yang
hidup dalam praktik masyarakat Indonesia, serta untuk mengisi kekosongan norma hukum.
Kedua, pembayaran lunas terhadap harga dalam PPJB-HAT belum mengakibatkan beralihnya
hak atas tanah dari penjual kepada pembeli, namun hanya merupakan panjar atau tanda jadi.
Ketiga, perlindungan hukum bagi calon pembeli yang beritikat baik dan telah membayar lunas
dalam hal terjadi kebatalan perjanjian diberikan dalam bentuk adanya kuasa mutlak dan klausula
yang tercantum dalam PPJB-HAT.
Kata kunci: kedudukan hukum, perjanjian pengikatan jual-beli, hak atas tanah, perspektif
hukum pertanahan.

203 DOI: http://dx.doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2016.00902.3


204 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 204-226

Latar Belakang ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan

Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang

tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta

Agraria (LN 1960 Nomor: 104, TLN Nomor Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia

2043) yang dikenal dengan sebutan Undang Nomot Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan

Undang Pokok Agraria disingkat UUPA, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

mengamanatkan kepada pemerintah untuk 3746) juncto Peraturan Pemerintah Republik


Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang
menyelenggarakan Pendaftaran Tanah.
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor
Berdasarkan amanat undang-undang
37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan
tersebut selanjutnya terbit Peraturan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang
Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Pendaftaran Tanah dan kemudian Peraturan
Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara
Pemerintah tersebut dicabut dengan Peraturan
Republik Indonesia Nomor 5893), selanjutnya
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
disebut Peraturan Jabatan PPAT
Pendaftaran Tanah (LNRI Tahun 1997 Nomor
PPAT melaksanakan tugas pokok atas
59; TLNRI Nomor 3696).
sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan
Salah satu hal yang diatur dalam Peraturan
membuat akta sebagai bukti mengenai telah
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ialah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu
ditetapkannya jabatan Pejabat Pembuat
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik
Akta Tanah yang diberi kewenangan untuk
Atas Satuan Rumah Susun. Perbuatan hukum
membuat alat bukti mengenai perbuatan
dimaksud yaitu: jual beli, tukar-menukar,
hukum tertentu mengenai hak atas tanah
hibah, pemasukan ke dalam perusahaan
dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
(inbreng), pembagian hak bersama, pemberian
Alat bukti dimaksud selanjutnya akan
Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah
dijadikan sebagai dasar pendaftaran tanah,
Hak MIlik, Pemberian Hak Tanggungan,
baik pendaftaran tanah pertama kali maupun
dan Pemberian Kuasa Membebankan Hak
pemeliharaan data pendaftaran tanah.
Tanggungan.
Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Dalam praktik jual beli dengan objek hak
Tahun 1997 menentukan bahwa mengenai
atas tanah didahului dengan suatu perjanjian
Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya yang disebut dengan Perjanjian Pengikatan
disebut PPAT, diatur dalam suatu Peraturan Jual Beli atau yang dalam istilah praktik
Pemerintah. Ketentuan Pasal 7 Peraturan disebut PPJB, dan dalam hal ini disebut
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut PPJB-HAT.
Supriyadi, Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah dalam ... 205

R. Subekti1 menyatakan, bahwa perjanjian beli, tetapi mengatur mengenai pendaftaran


pengikatan jual beli adalah perjanjian antar peralihan haknya. Artinya, bahwa mengenai
pihak penjual dan pihak pembeli sebelum sah atau tidaknya serta terjadinya suatu
dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya perbuatan hukum peralihan hak atas tanah
unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual tidak tergantung dari ada atau tidak adanya
beli tersebut, antara lain sertifikat hak atas akta PPAT tersebut, serta dilakukan dan/atau
tanah belum ada karena masih dalam proses, tidak dilakukan dihadapan PPAT.
atau belum terjadinya pelunasan harga atau Hal tersebut tampak dalam ketentuan
pajak-pajak yang dikenakan terhadap jual beli Pasal 37 ayat (2) yang menyatakan, bahwa:
hak atas tanah belum dapat dibayar baik oleh “Dalam keadaan tertentu
penjual atau pembeli. sebagaimana yang ditentukan oleh
Menteri, Kepala Kantor Pertanahan
Sesuai pendapat tersebut di atas, dapat mendaftar pemindahan
pengikatan jual beli adalah suatu bentuk hak atas bidang tanah hak milik,
perjanjian sebelum dilaksanakannya jual dilakukan di antara perorangan warga
negara Indonesia yang dibuktikan
beli hak atas tanah. Isu yang mengemuka dengan akta yang tidak dibuat oleh
kemudian, apakah perjanjian tersebut dapat PPAT, tetapi yang menurut Kepala
diterima dalam hukum pertanahan. Kantor Pertanahan tersebut kadar
kebenarannya dianggap cukup untuk
Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah mendaftar pemindahan hak yang
Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa: bersangkutan”.
“Peralihan hak atas tanah dan hak Sampai saat ini pun belum ada peraturan
milik atas satuan rumah susun
melalui jual beli, tukar-menukar, perundang-undangan yang mengatur tentang
hibah, pemasukan dalam perusahaan syarat-syarat sahnya perjanjian jual beli hak
dan perbuatan hukum pemindahan atas tanah di Indonesia. Hal ini berbeda dengan
hak lainnya, kecuali pemindahan
hak melalui lelang hanya dapat Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH
didaftarkan jika dibuktikan dengan Perdata) yang mengatur tentang syarat-syarat
akta yang dibuat oleh PPAT yang sahnya suatu perjanjian. Isu yang mengemuka
berwenang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan selanjutnya, apakah dengan demikian syarat-
yang berlaku”. syarat sahnya perjanjian sebagaimana

Ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan tertuang dalam Pasal 1320 KUH Perdata dapat

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut diberlakukan untuk sahnya suatu perjanjian

sesungguhnya tidak menentukan mengenai jual beli hak atas tanah.

sah atau tidaknya serta terjadinya suatu Pasal 5 UUPA menyatakan:


“Hukum Agraria yang berlaku
peralihan hak atas tanah, misalnya melalui jual atas bumi, air dan ruang angkasa

1 R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 29.
206 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 204-226

ialah hukum adat, sepanjang tidak telah memenuhi syarat tunai, riil dan terang
bertentangan dengan kepentingan namun dalam praktiknya dituangkan dalam
nasional dan Negara, yang
berdasarkan persatuan bangsa, suatu perjanjian pengikatan jual beli dengan
dengan sosialisme Indonesia serta akta notariil, apakah hal ini dapat diterima
dengan peraturan-peraturan yang dalam hukum pertanahan, karena keduanya
tercantum dalam Undang-undang ini
dan dengan peraturan perundangan merupakan hal yang kontradiktif.
lainnya, segala sesuatu dengan Di sisi yang lain, telah diundangkan
mengindahkan unsur-unsur yang Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
bersandar pada hukum agama”.
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
Mencermati ketentuan Pasal 5 UUPA 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran
tersebut, pemberlakukan hukum adat Negara Republik Indonesia Nomor 4432)
dimaksud tidaklah bersifat mutlak, namun tentang Jabatan Notaris juncto Undang-
dengan empat persyaratan sebagaimana Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
dimaksud dalam ketentuan Pasal 5 UUPA. 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Hal ini selanjutnya akan menimbulkan suatu Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
pertanyaan, apakah dalam perjanjian peralihan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
hak atas tanah melalui jual beli berlaku hukum 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara
adat? Hukum adat manakah yang dipakai? Republik Indonesia Nomor 5491), selanjutnya
Pertanyaan ini perlu dikemukakan mengingat disebut UUJN.
Penjelasan Umum III angka (1) UUPA terkait Undang-undang ini dimaksudkan
dengan hukum adat sebagaimana dimaksud untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan
pada Pasal 5 UUPA masih bersifat umum dan perlindungan hukum berdasarkan alat bukti
belum mampu menjawab persoalan jual beli tertulis dalam bentuk akta otentik mengenai
hak atas tanah yang bersifat lebih khusus. 2
keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum
Apabila yang dimaksud dengan hukum yang dilakukan melalui jabatan notaris.
adat dalam hal ini adalah prinsip-prinsip Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN
atau azas-azas yang dianut dalam jual beli menyatakan, bahwa notaris berwenang
menurut hukum adat, yaitu bersifat tunai, riil membuat akta yang berkaitan dengan
dan terang, maka dalam hal perjanjian yang pertanahan. Persoalan yang mengemuka

2 Penjelasan Umum III angka (1) menyatakan:


„... Dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak.
Oleh karena rakyat Indonesia sebagain besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut
akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagi hukum asli, yang disempurnakan dan
disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan
dunia internasional, serta disesuaikan dengan Sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum
adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistis
dan masyarakat swapraja yang feodal“.
Supriyadi, Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah dalam ... 207

kemudian, apakah ketentuan tersebut tidak Pembahasan


bertentangan dengan ketentuan Pasal 37 ayat
A. Kedudukan Perjanjian Pengikatan
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
Jual Beli Hak atas Tanah
1997? atau justru ketentuan Pasal 15 ayat (2)
huruf f Undang Undang Jabatan Notaris dapat 1. Menurut konsep Kitab Undang-
diterima sebagaimana dimaksud ketentuan undang Hukum Perdata (KUH
Pasal 37 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor Perdata)
24 Tahun 1997. Buku II Kitab Undang Undang Hukum
Eksistensi Pasal 15 ayat (2) Undang Perdata (KUH Perdata/BW) telah dinyatakan
Undang Jabatan Notaris semestinya dicabut dan tidak berlaku sepanjang

harus dipandang sebagai norma hukum mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang

yang memberikan dasar bagi perjanjian terkandung di dalamnya bersamaan dengan


diberlakukannnya UUPA. Namun demikian,
pendahuluan peralihan hak atas tanah yang
Buku III KUH Perdata (BW) tidak secara tegas
merupakan pengembangan hukum pertanahan
dinyatakan tidak berlaku. Terhadap hal ini
sebagaimana dimaksud Penjelasan Umum III
harus dipandang bahwa norma hukum dalam
angka (1) UUPA, yang intinya bahwa hukum
Buku III KUH Perdata yang tidak secara tegas
pertanahan dibangun berdasarkan hukum adat
dinyatakan tidak berlaku tersebut, setidaknya
yang disempurnakan dan disesuaikan dengan
merupakan konsep hukum sepanjang tidak
kepentingan masyarakat dalam Negara yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum
modern, sehingga dengan demikian eksistensi
agraria, disamping kenyataannya belum
Pasal 15 ayat (2) Undang Undang Jabatan tersedia hukum positif mengenai perbuatan-
Notaris tidak bertentangan dengan Pasal 37 perbuatan hukum hak atas tanah.4
ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997.3

3 Alfiansyah, “Urgensi Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Hak Atas Tanah Yang Dibuat Oleh Notaris“,
http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/1322, diakses 11 Januari 2017. Hasil
penelitian oleh Alfiansyah, antara lain bahwa, pentingnya aturan yang ditetapkan pemerintah untuk
mengatur secara khusus akta perjanjian pengikatan jual beli agar bentuk akta yang dibuat oleh notaris
dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum.
4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan Pertauran
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, hanya menyebutkan, bahwa peralihan hak
atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya
dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, bagaimana syarat-syarat, saat terjadinya, dan
kebatalan peralihan atau pemindahan hak atas tanah tidak diatur dalam dua peraturan perundang-undangan
tersebut, sehingga terdapat kekosongan norma hukum.
208 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 204-226

Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Buku III BAB KEDUA Tentang perikatan-
Tanah, selanjutnya disingkat PPJB-HAT, perikatan yang dilahirkan dari kontrak dan
merupakan suatu perjanjian antara ‘calon’ perjanjian, sedangkan yang dimaksud dengan
pembeli dan ‘calon’ penjual dengan obyek bab yang lalu ialah Buku III BAB KESATU
hak atas tanah. Hak atas tanah sebagai obyek Tentang perikatan-perikatan umumnya.
jual beli dapat berupa Hak Milik, Hak Guna PPJB-HAT termasuk dalam perjanjian tanpa
Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. nama, karena tidak secara khusus disebut
PPJB-HAT yang dimaksud dalam tulisan dalam KUH Perdata seperti misalnya jual
ini ialah PPJB HAT dengan pembayaran beli, sewa menyewa dan lain-lain, sehingga
lunas yang dibuat bersama dengan Kuasa tunduk pada azas-azas umum perjanjian.
menjual dan pada umumnya dibuat dengan Dalam membuat akta PPJB-HAT notaris
akta notariil,5 yaitu akta pihak (partij akta) bersandar pada ketentuan Pasal 15 ayat (2)
berdasarkan asas kebebasan berkontrak huruf f UUJN yang memberikan kewenangan
sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal kepada notaris untuk membuat akta yang
1338 KUH Perdata, bahwa semua perjanjian berkaitan dengan pertanahan. Tulisan ini tidak
yang dibuat secara sah berlaku sebagai hendak menguji apakah ketentuan Pasal 15
undang-undang bagi para pihak yang ayat (2) huruf f UUJN tersebut bertentangan
membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat dengan norma lainnya yang mengatur tentang
ditarik kembali selain dengan kesepakatan pertanahan, sehingga keberadaan Pasal 15 ayat
kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan (2) huruf f UUJN harus difahami sedemikian
yang oleh undang-undang dinyatakan cukup adanya sebagai dasar bagi notaris untuk
untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan membuat akta PPJB-HAT dan secara normatif
dengan itikad baik. Konsep hukum demikian diterima sedemikian rupa sebagai norma yang
itu sesungguhnya tidak bertentangan dan berlaku sebagai hukum positif.
dapat diterima terhadap perjanjian dengan Ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f
objek hak atas tanah. UUJN tersebut sekaligus menjawab pendapat
Pasal 1319 KUH Perdata menyatakan, Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang
bahwa semua perjanjian, baik yang menyatakan:
mempunyai nama khusus, maupun yang tidak “Dengan dicabutnya Buku II KUH
dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk Perdata, maka pasal-pasal yang
merupakan ataupun bertalian dengan
pada peraturan-peraturan umum, yang termuat pasal-pasal yang tak berlaku itu,
dalam bab ini maupun bab yang lalu. Bab ini meskipun tidak tegas-tegas dicabut
yang dimaksudkan dalam frasa tersebut adalah dan diletakkan di luar buku II, Buku

5 PPJB-HAT tidak ada aturan khusus yang menyebutkan harus dibuat dengan akta notariil. PPJB-HAT juga
masih dapat memenuhi ketentuan Pasal 1320 BW walaupun dibuat dengan Surat Di Bawah Tangan.
Supriyadi, Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah dalam ... 209

III, Buku IV KUH Perdata juga agraria dapat tetap menjadi sebuah konsep
dianggap tidak berlaku lagi,…6 Juga hukum yang digunakan untuk mengisi
pasal-pasal tentang sewa menyewa,
jual beli tanah dan lain-lain, karena kekosongan norma hukum dimaksud, karena
bertalian dengan tanah yang sudah hal ini menyangkut hal yang urgen berupa
diatur khusus dalam UUPA maka praktik transaksi keseharian masyarakat
pasal-pasal tersebut tak berlaku
lagi.7 terhadap objek berupa hak atas tanah.
Pasal 5 UUPA memang telah
Dengan tetap menghormati pendapat
mengatur, bahwa hukum agraria yang berlaku
tersebut, persoalan yang mengemuka ialah
atas bumi, air dan ruang angkasa ialah
bagaimana jika terdapat kekosongan hukum
hukum adat. Pertanyaan yang mengemuka
untuk mengatur peralihan hak atas tanah,
selanjutnya ialah, hukum adat yang mana.
karena sampai saat ini belum terdapat peraturan
Apakah hukum adat yang bersifat tunai, nyata/
perundang-undangan yang mengatur tentang
riil, dan terang. Jika hukum adat demikian
perbuatan-perbuatan hukum atas tanah,
itu yang dimaksudkan, kemudian mengapa
misalnya: apa dan bagaimana syarat dan sahnya
peralihan hak atas tanah harus dilakukan di
serta kebatalan jual beli, tukar-menukar,
hadapan PPAT. Persoalan-persoalan tersebut
hibah, sewa-menyewa dan perbuatan hukum
mengemuka tidak lain karena terdapat
hak atas tanah lainnya. Dinyatakan terdapat
kekososngan hukum.
kekosongan norma hukum, karena Buku II
Untuk mengisi kekosongan hukum itulah
KUH Perdata yang berkaitan dengan bumi,
maka pemberlakukan konsep hukum perikatan
air serta kekayaan alam yang terkandung di
sebagaimana termaktub dalam Buku III KUH
dalamnya secara tegas dinyatakan dicabut
Perdata dan prinsip-prinsip hukum adat yang
oleh UUPA, sehingga Buku III yang berkaitan
masih relevan dapat diberlakukan lagi untuk
dengan agraria tersebut juga tidak berlaku.
menilai sah tidaknya peralihan hak atas tanah,
Interpretasi demikian sangat logis, karena
sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat.
hal-hal yang diatur sebagimana tercantum
Mencermati substansi akta PPJB-HAT
dalam Buku II KUH Perdata sudah tidak ada,
pada umumnya, senantiasa memuat klausul,
maka Buku III yang berkaitan dengan hal-hal
sebagai berikut:
yang sudah tidak ada itu menjadi tidak relevan.
1. Komparan: PIHAK PERTAMA
Namun demikian, demi mengisi
selalu disebut sebagai PENJUAL dan
kekosongan norma hukum sebagai dijelaskan
PIHAK KEDUA selalu disebut sebagai
di atas, maka pasal-pasal pada Buku III KUH
PEMBELI.
Perdata yang berkaitan dengan pengaturan

6 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, (Yogyakarta: Liberty, 1975), hlm. 7.
7 Ibid.
210 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 204-226

2. Premis Akta: PIHAK PERTAMA dengan mengatur tentang uang panjar. Pasal 1464
ini menyatakan dan mengikatkan diri KUH Perdata menyatakan:
untuk bersama-sama dengan PIHAK “Jika pembelian dibuat dengan
memberi uang panjar tak dapatlah
KEDUA melangsungkan penjualan/
salah satu pihak meniadakan
pembelian tanah tersebut dihadapan pembelian itu dengan menyuruh
memiliki atau mengembalikan uang
Pejabat yang dimaksud dalam Peraturan
panjarnya”.
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Ketentuan Pasal 1454 KUH Perdata
tentang Pendaftaran Tanah.
memberikan pemahaman, bahwa jual-beli
Pertanyaan yang mengemuka, mengapa
yang didahului dengan panjar tidak dapat
Notaris tidak menulis dalam PPJB bahwa
dibatalkan. Hal ini sesuai dengan sifat
PIHAK PERTAMA sebagai CALON
konsensuil dalam perjanjian berdasarkan
PENJUAL dan PIHAK KEDUA sebagai
KUH Perdata, karena dengan adanya panjar
CALON PEMBELI. Hal ini terjadi karena
sesungguhnya telah terjadi konsensus antara
sifat konsensuil dalam perjanjian sebagaimana
calon pembeli dan penjual, sehingga jual-beli
diatur dalam Buku III KUH Perdata. Secara
telah terjadi. Hal ini berbeda dengan hukum
materiil PPJB-HAT telah melahirkan peralihan
adat yang bersifat riil.
hak atas tanah seketika terjadi kata sepakat
Mengenai sifat konsensuil perjanjian
berdasarkan PPJB-HAT, walaupun harganya
tersebut lebih tegas dapat disimak ketentuan
belum dibayar lunas dan barangnya belum
Pasal 1458 KUH Perdata, bahwa “Jual-beli
diserahkan. Namun demikian, dalam hal objek
itu dianggap telah terjadi antara kedua belah
perjanjian berupa hak atas tanah semestinya
pihak, seketika setelahnya orang-orang ini
notaris harus memberi sebutan kepada para
mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut
pihak, masing-masing sebagai Calon Penjual
dan harganya, meskipun kebendaan itu belum
dan Calon Pembeli, karena secara formal
diserahkan, maupun harganya belum dibayar”.
terjadinya jual beli hak atas tanah akan
Pasal 1459 KUH Perdata: “Hak milik atas
dilangsungkan dihadapan PPAT sebagaimana
barang yang dijual tidaklah berpindah kepada
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24
si pembeli, selama penyerahannya belum
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo.
dilakukan menurut Pasal 612, 613,dan 616”.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1997
Berdasarkan analisis tersebut di atas,
tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah.
pembayaran harga baik sebagian maupun
Dalam kaitan tersebut di atas, selanjutnya
lunas dalam PPJB dapat dikategorikan
dapat dicermati ketentuan KUH Perdata yang
Supriyadi, Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah dalam ... 211

sebagai uang panjar.8 Hal ini untuk mengisi berdasarkan Hukum Adat.
kekosongan hukum, karena dalam Peraturan Perlu ditegaskan kembali, bahwa
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang sesungguhnya PPJB-HAT berdasarkan konsep

Pejabat Pembuat Akta Tanah belum atau KUH Perdata tidak bertentangan dan dapat

tidak mengatur mengenai hal ini. Dalam diterima dalam hukum pertanahan berdasarkan

cakupan yang lebih luas dikatakan, bahwa hukum Adat sebagaimana dimaksud Pasal

hukum pertanahan belum mengatur secara 5 UUPA, yang intinya bahwa hukum

komprehensif mengenai perjanjian hak atas pertanahan dibangun berdasarkan hukum adat

tanah. yang disempurnakan dan disesuaikan dengan

Pertanyaan yang mengemuka, bagaimana kepentingan masyarakat dalam Negara yang

dengan ketentuan Pasal 5 UUPA, bahwa: modern (Penjelasan Umum III angka (1)

“Hukum agraria yang berlaku UUPA).


atas bumi, air dan ruang angkasa
ialah hukum adat sepanjang tidak
2. Menurut konsep hukum adat
bertentangan dengan kepentingan Hilman Hadikusuma9 menjelaskan,
nasional dan Negara, yang
sebagai berikut:
berdasarkan atas persatuan bangsa,
dengan Sosialisme Indonesia serta “Menurut hukum adat suatu
dengan peraturan-peraturan yang perjanjian dapat terjadi antara dua
tercantum dalam Undang-undang ini pihak yang saling berjanji atau
dan dengan peraturan-perundangan dikarenakan sifatnya dianggap ada
lainnya, segala sesuatu dengan perjanjian. Suatu perjanjian belum
mengindahkan unsur-unsur yang tentu akan terus mengikat para pihak
bersandar pada hukum agama”. walaupun sudah disepakati. Agar
suatu perjanjian yang disepakati
Apakah PPJB-HAT yang eksistensinya dapat mengikat harus ada tanda
bersandar pada norma-norma yang ikatan. Tetapi dengan adanya tanda
ikatan belum tentu suatu perjanjian
diatur dalam KUH Perdata tersebut tidak
itu dapat dipenuhi. Jadi suatu tanda
bertentangan dengan Hukum Pertanahan yang ikatan menurut hukum adat belum

8 Bandingkan dengan pendapat Saleh Adiwinata dalam Pengertian Hukum Adat menurut Undang Undang
Pokok Agraria, (Bandung: Alumni, 1976), hlm. 32-33: ”Bilamana kita perhatikan jual-beli menurut UUPA
ini dengan membadingkan caranya dengan jual-beli menurut hukum adat sebelum UUPA berlaku, maka dari
saat terjadinya persetujuan jual beli sampai kepada si pembeli menjadi milik “penuh” adalah berbeda sekali.
Caranya beserta formalitas-formalitas lainnya adalah lebih mirip kepada jual beli tanah eigendom dahulu
daripada jual-beli tanah dengan hak milik Indonesia:
a Sistim panjer tidak dikenal lagi;
b Pejabat-pejabat hukum adat (Kepala persekutuan/desa) diganti dengan pejabat yang ditunjuk Menteri.
Bahkan yang ditunjuk justru adalah para notaris yang tugasnya membuat akta-akta di lapangan hukum
Eropa, disamping para camat dimana tidak terdapat notaris;
c Bentuk persetujan jual-belinya sudah ditentukan oleh Pemerintah yang boleh disebut “standard contract”.
d Sanksi terhadap pelanggaran ini ditetapkan dengan tegas (pidana);
e Adanya keharusan untuk mendaftar tanah yang telah dibelinya itu;
f Adanya keharusan mempunyai sertipikat tanah dari Kantor Pendaftaran Tanah (Kantor Pertanahan: Penulis)
guna kepentingan hukum bagi si pemiliknya.
9 Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 103.
212 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 204-226

tentu merupakan ‘tanda pengikat’. a. Penyerahan tanah dengan pembayaran


Disamping itu terdapat tanda-tanda kontan disertai dengan ketentuan bahwa
ikatan antara manusia dan bukan yang menyerahkabn tanah mempunyai
manusia. Dengan catatan tidak hak untuk mengambil kembali tanah
semua daerah di Indonesia berlaku dimaksud dengan pembayaran uang
tanda ikatan yang sama”. yang sama jumlahnya (Jual Gadai,
Manggadai: Minangkabau), Adol/Sende
Dalam kaitan dengan PPJB-HAT, maka (Jawa), Ngajual Akad/Ngajual Gade
sesungguhnya PPJB-HAT dan konsep hukum (Sunda), Menjual Gadai (Riau dan
Adat demikian itu merupakan dua hal yang Jambi).

identik. PPJB-HAT sesungguhnya merupakan b. Penyerahan tanah dan pembayaran


kontan tanpa syarat, untuk seterusnya dan
tanda pengikat atau perjanjian pengikatan, selamanya. (Adol Plas: Jawa; Menjual
walaupun pada PPJB-HAT tanda ikatan Jada: Kalimantan; Menjual Lepas: Riau
senantiasa berupa uang muka atau voorschot. dan Jambi)

Dalam hukum perjanjian adat dikenal apa c. Penyerahan tanah dengan pembayaran
kontan disertai perjanjian bahwa apabila
yang disebut dengan ‘tanda akan jadi’, yaitu kemudian tidak ada perbuatan hukum
tanda pengikat dari suatu perjanjian yang telah lain sesudah satu atau dua atau tiga
disepakati oleh kedua belah pihak, sehingga atau beberapa kali panen, tanah tersebut
kembali kepada pemilik tanah semula.
kedua belah pihak berkewajiban memenuhi (Menjual Tahunan, Adol Ayodan (Jawa).
perjanjian yang telah disepakti tersebut. Istilah
Menurut Saleh Adiwinata,12 ketentuan
yang popular untuk ‘tanda akan jadi’ tersebut
ketentuan tentang jual-beli tanah serta
disebut ‘panjer’ (Jawa).10 Hingga saat ini tetap
keharusannya untuk membuat akta jual-beli
sama dan berlaku.
tanah tersebut dihadapan PPAT merupakan
Transaksi tanah yang bersifat perbuatan
ketentuan yang memaksa (dwigende recht),
hukum dua pihak tersebut disebut sebagai
karena pada jual-beli dan transaksi-transaksi
perbuatan hukum bersegi dua (tweezijdig).
lainnya terkait dengan tugas pengawasan
Inti dari transaksi tersebut adalah peralihan
terhadap transaksi-transaksi tersebut oleh
hak atas tanah disertai dengan pembayaran
Pemerintah. Selanjutnya dinyatakan, bahwa
kontan dari pihak lain seketika. Dalam hukum
sekalipun dapat dianggap hak atas tanah sudah
tanah, perbuatan hukum tersebut disebut
beralih, namun peralihan itu belum berlaku
transaksi jual (Adol: Bahasa Jawa/ Sade:
bagi pihak ketiga. Meskipun si pembeli sudah
Bahasa Jawa Tinggi). Transaksi jual menurut
mempunyai akta PPAT, tidak boleh menjual
isinya dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:11

10 Ibid., hlm. 106.


11 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia-Dalam Kajian Kepustakaan, (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm.
325-329.
12 Saleh Adiwinata, Pengertian Hukum Adat Menurut Undang Undang Pokok Agraria, (Bandung: Alumni,
1976), hlm. 29-42.
Supriyadi, Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah dalam ... 213

kembali hak tanah tersebut kepada pihak pasal 5 UUPA ini olehnya ditafsirkan sebagai
ketiga, selama belum dibalik nama di Kantor hukum adat yang sistimnya masih konkrit/
Pertanahan. kontan/tunai. Hal ini dapat kami simpulkan
Selanjutnya simak pendapat Saleh dari kata-kata beliau sebagai berikut: “Kalau
Adiwinata13, sebagai berikut: kita berpegang pada sifat tunai daripada
“Bilakah terjadinya peralihan jual-beli, sifat mana dianggap ada pada jual-
hak pada jual beli tanah menurut beli tanah menurut hukum agraria sekarang
Undang-undang Pokok Agraria?
Sebagaimana dikatakan di atas, soal berdasar atas ketentuan pasal 5 UUPA, maka
saat peralihan hak pada jual beli kiranya jawabannya tidak bisa lain daripada
tanah dalam hukum adat sebelum bahwa pada saat dilakukannya jual beli
berlakunya Undang-undang
tersebut, tidak terjadi persoalan dihadapan PPAT itulah haknya beralih kepada
yaitu berkat adanya prinsip ‘gelijke pembeli”.
oversteken’, maka serentak tanah Tafsiran ini, menurut hemat kami tidak
itu beralih pada waktu akta jual-
belinya ditandatangani dihadapan tepat disebabkan beberapa alasan:
Kepala Desa. Pada jual-beli tanah a. Suatu kenyataan ialah bahwa UUPA ini
menurut UUPA, hal ini dapat sudah dipakai untuk merubah ketentuan-
menjadi persoalan. Tidak mungkin
kiranya bilamana kita anggap hak ketentuan dalam KUHS terutama buku
itu pindah kepada si pembeli pada II. Kita tahu bahwa KUHS menganut
waktu akta yang dibuat dihapan sistim hukum yang abstrak/konsensuil.
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
ditandatangani oleh para fihak yang Bilamana kita tafsirkan hukum adat yang
bersangkutan, sebab peralihan hak menjadi dasar dari seluruh ketentuan-
miliknya itu masih harus disetujui ketentuan UUPA sebagai suatu sistim
dulu oleh Menteri Agraria atau atau
pejabat yang ditunjuk olehnya…” hukum yang konkrit/kontan/tunai, hal
ini akan bertentangan dengan nasihat-
Tafsiran Pengertian “Hukum Adat” dalam
nasihat dari para ahli hukum adat yang
UUPA sebagai Hukum Adat yang masih
kami sajikan di atas;
Bersifat Kontan (Hukum Adat Murni) tidak
b. Tuntutan zaman modern membutuhkan
memadai. Budi Harsono dalam membicarakan
suatu sistem hukum yang abstrak/
peralihan hak kepada si pembeli, berpendapat
konsensuil (lihat di atas tentang lembaga
bahwa saat itu terjadi pada waktu dilakukan jual
crediet);
beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
c. Praktik pengadilan sehari-hari sudah
berdasarkan pasal 5 UUPA, yang menentukan,
tidak memakai lagi sistem hukum yang
bahwa hukum agraria dalam UUPA ini adalah
kontan/tunai dalam perkara-perkara
hukum adat. Hukum adat yang disebut dalam

13 Ibid.
214 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 204-226

perdata antara orang-orang Indonesia yang berlaku bagi Hukum Agraria yang
asli; berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
d. Beberapa tujuan pokok daripada UUPA ialah hukum adat yang: (i) tidak bertentangan
tidak akan tercapai antara lain: dengan kepentingan nasional dan Negara; (ii)
1. Kesederhanaan dalam hukum berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan
pertanahan,
Sosialisme Indonesia; (iii) berdasarkan
2. Kepastian hukum bagi si pembeli
peraturan-peraturan yang tercantum dalam
tanah.
Undang-undang Pokok Agraria dan dengan
e. Akan timbul konstruksi-konstruksi
peraturan-perundangan lainnya; (iv)
hukum yang menyimpang daripada
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar
ajaran-ajaran umum dalam ilmu hukum.
pada hukum agama”.
Berdasarkan pendapat-pendapat dari dua Dengan analisis demikian itu, maka apabila
ahli Hukum Agraria masing-masing Saleh hukum adat sebagaimana dimaksud pada Pasal
Adiwinata dan Boedi Harsono mengenai 5 Undang Undang Pokok Agraria bersifat
hukum adat yang dimaksud dalam ketentuan tunai, riil, dan terang, tentunya keberadaan
Pasal 5 UUPA, serta saat terjadinya peralihan PPAT dengan tugas dan kewenangannya
hak atas tanah, maka terdapat perbedaan tidak perlu seperti saat ini. Keberadaan PPAT
pendapat, sebagai berikut: Pertama, dalam hal dengan tugas dan kewenangannya saat ini
hukum adat, Saleh Adiwinata berpendapat, justru menunjukkan tugas dan kewenangan
bahwa hukum adat bukan lagi bersifat konkrit/ pengembanan hukum adat yang modern agar
kontan/tunai, sedangkan Boedi Harsono mampu mengikuti perkembangan transaksi
berpendapat konkrit/kontan/tunai. Kedua, dan perbuatan-perbuatan hukum atas tanah.
dalam hal saat terjadinya peralihan hak atas
tanah, Saleh Adiwinata berpendapat pada saat 3. Dalam perspektif hukum
dilakukan pendaftaran tanah atau balik nama, pertanahan
sedangkan Boedi Harsono berpendapat pada Hukum Pertanahan yang dimaksudkan
saat ditandatanganinya Akta PPAT. adalah berbagai peraturan perundang-
Penulis sependapat dengan Saleh undangan yang mengatur tentang penguasaan,
Adiwinata dalam dua persoalan tersebut pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
di atas dengan suatu argumentasi, bahwa tanah. Dalam kaitannya dengan permasalahan
ketentuan Pasal 5 UUPA semestinya tidak ini, lebih khusus hukum pertanahan yang
dibaca kata per kata atau frasa demi frasa dimaksudkan adalah peraturan perundang-
melainkan harus dibaca sebagai satu kalimat undangan yang berkaitan dengan perjanjian
secara keseluruhan, sehingga makna yang dengan obyek hak atas tanah.
diperoleh akan lebih sempurna. Hukum adat Dari hasil inventarisasi dan penulusuran
terhadap hukum pertanahan, tidak ditemukan
Supriyadi, Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah dalam ... 215

adanya satu pun norma hukum yang jual beli tanah dan lain-lain yang bertalian
mengatur tentang sahnya jual beli hak atas dengan tanah. Demikian pula peraturan
tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 24 perundang-undangan di bawah UUPA, belum
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah hanya ada satupun peraturan perundang-undangan
menentukan bahwa setiap peralihan hak atas yang mengatur tentang syarat, terjadinya dan
tanah yang salah satunya berupa jual-beli batalnya serta hal-hal yang berkaitan dengan
harus dilakukan di hadapan PPAT, tetapi apa peralihan hak atas tanah. Kedua, terhadap
saja syarat-syarat jual beli, terjadinya jual PPJB-HAT yang telah dan sering terjadi
beli, saat beralihnya hak atas tanah, dan lain- dalam kehidupan transaksional masyarakat,
lain belum diatur secara tegas dalam hukum sepanjang dilakukan dengan benar, maka
pertanahan. Hal ini berbeda dengan KUH dasar-dasar teoritik sesungguhnya telah ada
Perdata yang telah mengatur hal-hal berkaitan dalam hukum adat yang eksistensi hukum
dengan pelaksanaan suatu jual beli. adat itu sendiri juga diakui secara tegas oleh
Di sisi lain, KUH Perdata tidak dapat lagi Pasal 5 UUPA sebagai dasar berlakunya
digunakan sebagai dasar pengaturan jual-beli hukum agraria.
hak atas tanah. Dengan dicabutnya Buku II UUPA sebagai undang-undang pokok
KUH Perdata hal-hal berkaitan bumi, air dan yang mengatur tentang hal-hal mendasar
ruang angkasa, maka menurut Sri Soedewi mengenai agraria, termasuk pertanahan di
Masjchoen Sofwan, pasal-pasal yang dalamnya, hanya menentukan bahwa hukum
merupakan ataupun bertalian dengan pasal- yang berlaku bagi agraria adalah hukum
pasal yang tak berlaku itu, meskipun tidak adat. Artinya, bahwa pengaturan tentang
tegas-tegas dicabut dan diletakkan di luar penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
buku II, yaitu dalam Buku III, Buku IV KUH pemanfaatan tanah, termasuk peralihan hak
Perdata juga dianggap tidak berlaku lagi,…14 atas tanah berdasarkan hukum adat.
Juga pasal-pasal tentang sewa menyewa, Pertanyaan yang mengemuka kemudian,
jual beli tanah dan lain-lain, karena bertalian apakah pemberlakuan hukum adat tersebut
dengan tanah yang sudah diatur khusus dalam merupakan satu-satunya hukum ataukah
UUPA maka pasal-pasal tersebut tak berlaku merupakan salah satu hukum, disamping
lagi.15 hukum yang lain, misalnya hukum yang
Terhadap pendapat Sri Soedewi bersumber dari KUH Perdata? ataukah
Masjchoen Sofwan tersebut dianalisis, sebagai Hukum Adat yang dimaksud Pasal 5 UUPA
berikut: Pertama, sesungguhnya UUPA tersebut merupakan prinsip-prinsip Hukum
belum mengatur tentang sewa-menyewa, Adat, bukan norma Hukum Adat? Bagaimana

14 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, (Yogyakarta: Liberty, 1975), hlm. 7.
15 Ibid.
216 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 204-226

dengan prinsip-prinsip hukum umum yang dalam Hukum Nasional, yang sudah
terkandung dalam KUH Perdata? Pertanyaan- ada di dalam Hukum Adat ataupun
di dalam hukum kolonial”.
pertanyaan tersebut perlu memperoleh
jawaban untuk memberikan kepastian hukum. Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat

Mengenai hukum adat yang dimaksud dua istilah yang digunakan. Penjelasan Umum

dalam UUPA dapat disimak Penjelasan Umum III UUPA menggunakan kata ‘ketentuan-

III UUPA yang menyatakan antara lain: ketentuan hukum adat”, sedangkan Sunaryati

“Oleh karena rakyat Indonesia Hartono menggunakan istilah ‘unsur-unsur


sebagian besar tunduk pada hukum hukum adat’.
adat, maka hukum agraria yang baru Sesuai penjelasan Sunaryati Hartono
tersebut akan didasarkan pula pada
tersebut di atas, maka pemberlakuan hukum
ketentuan-ketentuan hukum adat
itu, sebagai hukum yang asli, yang adat dalam mengatur agraria dalam arti luas
disempurnakan dan disesuaikan dan pertanahan yang merupakan bagian dari
dengan kepentingan masyarakat
agraria, lebih tepat jika difahami bahwa
dalam Negara yang modern dan
dalam hubungannya dengan dunia hukum adat sebagai salah satu dari hukum
internasional,…”. yang mengatur agraria, atau sebagai salah
Dalam kaitan tersebut di atas, penting satu sumber hukum bagi pengaturan agraria
disimak pendapat Sunaryati Hartono,16 dan bukan merupakan satu-satunya sumber
sebagai berikut: hukum agraria.

“Jadi dalam proses perkembangan Salah satu hukum pertanahan yang berlaku
hukum baru tidak semua kaidah saat ini ialah Peraturan Pemerintah Nomor
hukum baru bertentangan dengan 38 Tahun 1997 tentang Peraturan Jabatan
hukum yang lama. Demikian pula
tidak semua kaidah hukum nasional Pembuat Akta Tanah (LNRI Tahun 1997
harus dan akan bertentangan Nomor 59, TLNRI Nomor 3696), selanjutnya
dengan kaidah-kaidah hukum disebut PPAT. Pasal 2 dan 3 Peraturan Jabatan
kolonial. Sebab dalam membina
suatu masyarakat selalu ditemukan PPAT pada intinya menyatakan, bahwa PPAT
syarat-syarat dan nilai-nilai yang bertugas pokok melaksanakan sebagian
harus dipegang teguh oleh semua kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat
lingkungan masyarakat. Apalagi
akta otentik sebagai bukti telah dilakukannya
karena dalam proses perubahan dari
hukum kolonial menjadi hukum perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
nasional yang diatur itu adalah tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah
masyarakat Indonesia yang berdiri
Susun, yang akan dijadikan dasar bagi
di kepulauan Nusantara juga, maka
tidaklah mengherankan apabila pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah
nanti ada unsur-unsur yang sama yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

16 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Suatu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991). hlm. 14.
Supriyadi, Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah dalam ... 217

Perbuatan hukum yang dimaksudkan tidak dibuat oleh PPAT. Peralihan


adalah: a) jual beli; b) tukar menukar; c) hibah; hak atas tanah yang dilakukan secara
d) pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); di bawah tangan atau dalam bentuk
e) pembagian hak bersama; f) pemberian lain pun menurut ketentuan Pasal ini
Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah merupakan hal yang khusus karena
Hak Milik; g) pemberian Hak Tanggungan; keadaan tidak terdapatnya PPAT di
h) pemberian kuasa membebankan Hak daerah tertentu yang merupakan daerah
Tanggungan. terpencil. Hal ini tidak boleh ditafsirkan
Mencermati dua ayat dalam Pasal 37 secara luas (penafsiran ekstensif),
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sehingga seakan-akan peralihan hak
tentang Pendaftaran tanah, dianalisis sebagai atas tanah dapat atau boleh dilakukan
berikut: dengan akta yang tidak dibuat oleh
Pertama, Pasal 37 ayat (1) sesungguhnya tidak PPAT.
menentukan sah dan saat terjadinya Ketiga, mengenai tujuan diakuinya sebagai
jual-beli hak atas tanah, syarat-syarat sesuatu yang sah jual beli yang tidak
jual beli hak atas tanah, dan saat dilakukan dihadapan PPAT atau tidak
peralihan hak atas tanah. Pasal ini dengan suatu akta otentik yang dibuat
hanya mengatur tentang pelaksanaan oleh PPAT, penjelasan Pasal 37 ayat
pendaftaran hak atas tanah. Namun (2) dengan jelas telah menentukan,
demikian, karena Pendaftaran hak atas yaitu untuk memudahkan rakyat
menentukan saat terjadinya peralihan melaksanakan perbuatan hukum
hak atas tanah, maka peralihan hak mengenai tanah. Namun demikian,
atas hanya dapat dilakukan di hadapan ketentuan Pasal 37 ayat (2) tidak dapat
PPAT. Peralihan hak atas tanah Menurut dibaca terpisah dengan ayat (1) nya.
hukum adat yang berprinsip bahwa saat Mengenai frasa yang menyatakan
peralihan hak atas tanah terjadi seketika ‘Dalam hal tertentu sebagaimana yang
secara tunai, riil, dan terang, yaitu ditentukan oleh Menteri’, hal ini harus
seketika diserahkan kepemilikan hak diberi makna bahwa Menteri akan
atas tanahnya dan dibayarnya harga, menentukan Kantor Pertanahan mana
sedangkan prinsip hukum ‘terang’ saja yang dapat melakukan pendaftaran
mengandung makna wajib dilakukan di tanah terhadap peralihan hak atas tanah
hadapan PPAT. yang tidak dibuktikan dengan akta
Kedua, Pasal 37 ayat (2) memungkinkan PPAT.
untuk mendaftar hak atas tanah yang Dengan demikian, berdasarkan Peraturan
peralihannya berdasarkan akta yang Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
218 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 204-226

Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah memiliki makna bersifat umum yang dapat
Nomor 38 Tahun 1997 tentang Peraturan berfungsi untuk mengisi kekosongan norma
Pejabat Pembuat Akta Tanah, bahwa peralihan hukum yang bersifat khusus. Bahkan lebih
hak atas dapat didaftar berdasarkan akta yang jauh, Hukum Adat sebagai sumber hukum
dibuat dihadapan PPAT sebagai akta otentik yang diakui oleh Pasal 5 UUPA sebagai
maupun di daerah tertentu yang ditetapkan dasar hukum bagi pengaturan Agraria pada
oleh Menteri berdasarkan akta di bawah atau umumnya dan Pertanahan pada khususnya,
bukti lain yang bukan akta PPAT. secara teoritis dapat menerima keberadaan
Kedudukan PPJB-HAT hak atas tanah yang PPJB-HAT yang mengidentikan dengan uang
dibuat oleh notaris berdasarkan kewenangan panjar dalam hukum adat.
yang dimiliki sebagaimana ketentuan pasal Demikian pula jika PPJB-HAT ini
15 ayat (2) huruf f Undang Undang Jabatan didekati dengan Teori Positivisme Sosiologis
Notaris harus diakui sebagai perjanjian yang sebagaimana dikemukakan oleh Theo
sah, karena kewenangan tersebut secara Huijbers, bahwa dalam positivisme sosiologis
normatif telah diatur dalam hukum positif. hukum diterima dan diteliti semata-mata
Para pihak dalam PPJB-HAT harus dipandang sebagai suatu gejala sosial, maka seandainya
sebagai para subyek yang akan melakukan PPJB-HAT tidak dilandasi oleh ketentua Pasal
jual-beli hak atas tanah, dan belum melakukan 15 ayat (2) huruf f pun, sesungguhnya secara
jual-beli hak atas tanah. Dengan kata lain, sosiologis harus diterima sebagai hukum yang
jual beli hak atas tanah belum terjadi. Namun hidup dalam masyarakat sebagai suatu gejala
demikian, bagaimana jika dalam PPJB-HAT sosial.
tersebut dinyatakan bahwa bahwa harga Kedudukan PPJB-HAT jika didekati
telah dibayar lunas oleh calon pembeli dalam dengan Teori Utilitarianisme atau Utilisme
kaitannya dengan hukum adat yang bersifat diperolah jawaban bahwa PPJB-HAT
tunai dengan bersandarkan pada ketentuan merupakan hukum yang hidup dalam
Pasal 5 UUPA ? masyarakat sebagai suatu gejala sosial
Analisis mengenai kedudukan PPJB-HAT dan lebih dapat memberikan kemanfaatan
dalam perspektif hukum pertanahan dengan dari pada kemudharatannya. Kemanfaatan
pendekatan Teori Positivisme, memberikan diartikan sebagai kebahagiaan (happiness)
jawaban bahwa PPJB-HAT sesuai dengan yang dalam praktik PPJB-HAT banyak dipilih
Teori Positivisme, telah memiliki legitimasi oleh para pihak untuk melakukan pra-transaksi
berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf f Undang hak atas tanah. Artinya, PPJB-HAT menjadi
Undang Jabatan Notaris. Akta yang berkaitan hukum yang baik karena mampu memberikan
dengan Pertanahan sebagaimana dimaksud kebahagiaan kepada para pihak yang akan
dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN melakukan transaksi hak atas tanah.
Supriyadi, Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah dalam ... 219

Demikian pula keberadaan Pasal 5 UUPA hak atas tanah. Analisis terhadap masalah ini
haruslah dikaitkan dengan Ketentuan Pasal untuk memperoleh jawaban, apakah dengan
18B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia adanya pembayaran lunas terhadap harga hak
Tahun 1945 (Perubahan Kedua) yang atas tanah mengakibatkan hak atas tanah telah
menyatakan bahwa: “Negara mengakui dan beralih atau justru sebaliknya belum beralih.
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan Agraria (LN 1960-104, TLN No. 2043),
perkembangan masyarakat dan prinsip selanjutnya disebut dengan Undang-Undang
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang Pokok Agraria disingkat UUPA, menyatakan
diatur dalam undang-undang.” Pengertian bahwa, “Hukum agraria yang berlaku atas
hak-hak tradisional dalam Pasal ini adalah bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
pengertian tentang hukum tradisional, yaitu adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
hukum Adat. Pengakuan atas eksistensi kepentingan nasional dan Negara,…segala
hukum Adat dalam Tata Hukum Nasional sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur
memerlukan proses untuk menjadi positif, yang bersandar pada hukum agama”.
dalam hal ini Pasal 5 UUPA, haruslah melalui Hukum perjanjian adat bersifat konkrit atau
pengaturannya dalam undang-undang. Hal kontan atau nyata atau riil. Hal ini sebagaimana
demikian semula merupakan konsep Pasal 15 dirumuskan oleh van Vollenhoven: “dat (in
Algemene Berpalingen van Wetgeving pada adatrecht) alle rechtsverhoudingen als rieel
zaman Hindia Belanda. Berdasarkan alur pikir worden gedacht of reeel gemaakt” (bahwa
demikian itu, maka hukum pertanahan yang dalam hukum adat) semua hubungan-
dibangun berdasarkan hukum Adat harus hubungan hukum dianggap sebagai konkrit/
dalam bentuk hukum positif berupa peraturan nyata atau dibuat secara konkrit/nyata)”.17
perundang-undangan. Pada jual-beli tanah menurut van
Vollenhoven:
4. Akibat hukum pembayaran
“de enkele (tot uiting gebrachte)
lunas harga dalam perjanjian
wilsovereenstemming door
pengikatan jual beli hak atas tanah partijen gedaan, nog geenszins een
Istilah yang dipakai dalam sub bab di overeenkomst tot stand brengt, want
om de adatrechtelijke binding te
atas adalah peralihan bukan beralih. Hal ini krijgen moet er nog iet, zichbaars
menunjukkan proses beralihnya hak atas tanah (uiterlijk teken), aan te pas komen,
karena adanya pembayaran lunas terhadap de z.g. “pandjer” (bindsom) in de
vorm van een geldstuk of een ander
harga dalam perjanjian pengikatan jual beli

17 Saleh Adiwinata, op.cit., hlm. 13.


220 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 204-226

zichbaar teken, die van koper op angkasa adalah hukum adat, selanjutnya
de verkoper overgaat”. (pertemuan harus dimaknai sebagai hukum yang hidup di
kehendak saja yang oleh para pihak
dalam masyarakat. Masyarakat yang bersifat
telah dinyatakan, belum sekali-kali
telah melahirkan suatu persetujuan, dinamis bukan statis. Hukum Adat tidak dapat
untuk mendapat suatu kekuatan dimaknai sebagai hukum yang diam dan tidak
mengikat menurut hukum adat, berkembang. Jika masyarakat adat dimaknai
haruslah masih menjadi sesuatu
sebagai penduduk asli Indonesia atau orang
yang nyata/konkrit/terlihat, yaitu
penyerahan dari apa yang disebut Indonesia asli, maka praktik-praktik hukum
“panjer” (alat pengikat) dalam yang berkembang dalam masyarakat sudah
bentuk sedikit uang atau benda lain semestinya dimaknai sebagai perkembangan
yang nyata/terlihat yang diserahkan
dari hukum adat itu sendiri. PPJB merupakan
kepada si (calon) penjual oleh si
(calon) pembeli.18 salah satu bentuk perkembangan hukum adat,
hukum yang hidup dalam praktik transaksi
Penulis dihadapkan pada suatu pilihan
hak atas tanah dalam masyarakat Indonesia.
pendapat para ahli yang saling berseberangan,
Pertanyaaan yang mengemuka, apakah
setidaknya dalam dua hal, yaitu: pertama,
dengan demikian tidak bertentangan deng
apakah hukum pertanahan bersifat konsensuil
filosofi hukum agraria/pertanahan Indonesia,
ataukan bersifat riil/kontan, dan kedua,
khususnya ketentuan Pasal 5 UUPA. Jawaban
apakah PPJB-HAT dengan pembayaran lunas
dari permasalahan ini ialah soal penafsiran
atas harga yang diperjanjikan mengakibatkan
norma hukum. Dalam tulisan ini, ketentuan
peralihan hak atas tanah ataukah tidak.
Pasal 5 UUPA ditafsirkan sebagaimana
Terhadap hal yang pertama, maka penulis
penjelasan di atas.
berpendapat, bahwa hukum pertanahan Terhadap pembayaran sebagian ataupun
khususnya mengenai ketentuan Pasal 5 pembayaran lunas19 terhadap harga hak atas
UUPA yang pada intinya menyatakan bahwa tanah yang telah diperjanjian dalam PPJB,
hukum yang berlaku atas bumi, air, dan ruang dianalisis, sebagai berikut:20

18 Ibid., hlm. 14.


19
20 Periksa juga pendapat Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2011),
hlm. 165, sebagai berikut:
“Menurut hemat saya, adalah lebih mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai yang bukan ahli hukum,
apabila Sitem Hukum Adat dipilih untuk diberlakukan bagi segenap penduduk dan lagi sebetulnya Hukum
BW pada pokoknya, lain daripada Hukum Perancis sudah agak mendekati Hukum Adat dengan menentukan,
bahwa hak milik atas barang yang dijual baru beralih dari penjual kepada pembeli sesudah diserahkan kepada
pembeli. Menurut Hukum Adat penyerahan hak milik yang dinamakan jual-beli yang sekali mengakibatkan
beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli.Hanya saja harus diingat, bahwa hakekat dari Hukum Adat,
yang sama sekali tidak memberi kekuatan kepada suatu perijinan belaka dari para pihak, adalah sukar untuk
dipertahankan dalam keadaan lalu lintas modern dan internasional, yan sekarang makin lama makin maju
dalam mempengaruhi hukum (rechtsleven) dari orang-orang Indonesia asli. Maka disamping menetapkan
segala persetujuan tertentu adalah bersifat “reel”, harus dibuka kemungkinan adanya pengikatan bagi kedua
belah pihak dalam hal hanya ada perijinan saja dari mereka. Artinya: sebaiknya ditetapkan, bahwa dalam hal
ini, apabila salah satu pihak tidak memenuhi janji, maka ia dapat dituntut mengganti kerugian, tidak seperti
dalam BW untuk toh memenuhi janji”.
Supriyadi, Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah dalam ... 221

Pertama, ditafsirkan sebagai panjar dibuat dalam bentuk tertentu, yakni dengan
yang eksistensi pengaturan panjar tersebut akta otentik atau surat dibawah tangan. Akta
dikenal baik dalam hukum adat maupun KUH otentik yang dimaksud adalah akta yang
Perdata. Walaupun substansi panjar itu sendiri dibuat oleh Notaris atau pejabat umum lain
berbeda antara hukum adat dan KUH Perdata yang memiliki kewenangan untuk membuat
yang disebabkan perbedaan azas dalam akta otentik menurut peraturan perundang-
keduanya, hukum adat bersifiat riil/kontan undangan.
sedangkan KUH Perdata bersifat konsensuil. Pengaturan oleh peraturan perundang-
Berdasarkan penafsiran ini, maka PPJB-HAT undangan mengenai formalitas tertentu
belum mengakibatkan haknya beralih untuk perjanjian formil tersebut merupakan
kepada calon pembeli. Kedua, PPJB-HAT pengecualian dari asas konsensualitas dalam
merupakan perjanjian formil, yaitu dengan hukum perjanjian yang berlaku secara umum.
syarat jual-beli hak atas tanah wajib dilakukan Sebab, menurut asas konsensualitas, suatu
dihadapan PPAT, sehingga secara formil perjanjian sudah terjadi dengan adanya
PPJB-HAT dengan pembayaran lunas belum kesepakan dari para pihak yang membuatnya.
mengakibatkan peralihan hak atas tanah dari Kemudian agar perjanjian itu sah maka harus
penjual kepada pembeli. Dalam hal ini Akta memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 1320
PPAT dipandang sebagai bentuk pemenuhan KUH Perdata. Namun, asas tersebut tidak
syarat formil. cukup untuk perjanjian formil karena masih
Pada perjanjian yang tergolong sebagai ada formalitas lain yang diatur dalam peraturan
perjanjian formil (formal), tidak dipenuhinya perundang-undangan yang harus dipatuhi dan
ketentuan hukum tentang misalnya bentuk dipenuhi. Dengan demikian, perjanjian formil
atau format perjanjian, cara pembuatan tidak cukup bila hanya berdasarkan asas
perjanjian, atau cara pengesahan perjanjian, konsensualitas.
sebagaimana diwajibkan melalui peraturan Mengenai saat terjadinya Peralihan
perundang-undangan, berakibat perjanjian Hak Atas Tanah, bahwa terdapat perbedaan
formil batal demi hukum. pendapat dari dua ahli hukum pertanahan
Pengertian perjanjian formil sebagai masing-masing Saleh Adiwinata dan Boedi
perjanjian yang tidak hanya didasarkan adanya Harsono mengenai saat terjadinya peralihan
kesepakatan para pihak, tetapi oleh peraturan hak atas tanah. Saleh Adiwinata berpendapat
perundang-undangan juga disyaratkan adanya bahwa saat terjadinya peralihan hak atas
formalitas tertentu yang harus dipenuhi agar tanah pada saat dilakukan pendaftaran tanah,
perjanjian tersebut sah demi hukum. sedangkan Boedi Harsono berpendapat pada
Formalitas tertentu itu, misalnya tentang saat ditandatanganinya Akta Pejabat Pembuat
bentuk atau format perjanjian yang harus Akta Tanah (PPAT). Tentu akan terdapat
222 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 204-226

pertanyaan berikutnya, apakah saat peralihan namanya terdaftar itulah yang merupakan
hak atas tanah tidak terjadi seketika harga pemilik dari benda tidak bergerak tersebut.
dibayar lunas oleh Pembeli dalam Perjanjian Bahwa terhadap benda tidak bergerak, Hak
Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah. Milik sebagai hak kebendaan yang paling dasar
Terhadap dua pendapat tersebut dianalisis, (dan karenanya juga hak-hak kebendaan yang
bahwa saat terjadinya peralihan hak atas tanah melekat dan mengikuti Hak Milik) baru lahir
karena jual beli diketahui dengan pendekatan pada saat hak tersebut didaftar dan diumumkan
konsep hukum perdata, konsep hukum adat, menurut ketentuan Pasal 620 KUH Perdata.
maupun peraturan perundang-undangan Maksud dari pendaftaran dan pengumuman
pertanahan, sebagai berikut: tersebut adalah untuk melahirkan hak milik,
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
sekaligus sebagai pengakuan akan keberadaan
mengatur tentang peralihan benda tidak
hak milik sebagai hak kebendaan (dan hak-hak
bergerak, termasuk tanah dengan suatu
kebendaan lainnya yang bersumber pada hak
penyerahan atau levering yang berbeda
milik) oleh seluruh angota masyarakat dan
terhadap benda bergerak. Terhadap benda
karenanya memberikan hak yang bersifat
tidak bergerak, tanah misalnya, maka
mutlak atau absolut yang dapat dipertahankan
penyerahannya dengan suatu akta otentik.
oleh pemegang hak tersebut terhadap siapapun
Menurut Kartini Mulyadi dan Gunawan
juga yang mengganggu haknya tersebut.
Widjaya,21 bahwa Penyerahan benda tidak
Perlu diketahui bahwa, meskipun dalam
bergerak menurut Pasal 616 Kitab Undang
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum
Undang Hukum Perdata harus dicatat dan
Perdata, pencatatan dan publikasi senantiasa
didaftar dan selanjutnya dipublikasikan
dikaitkan dengan ketentuan Pasal 620 KUH
untuk umum, agar syarat untuk perolehan
Perdata, namun pasal tersebut tidak pernah
hak milik atas kebendaan tidak bergerak
berlaku sama sekali hingga dicabutnya
tersebut terpenuhi. Sebelum pendaftaran dan
publikasi dilakukan (yang merupakan bukti ketentuan tersebut dengan Undang-undang

levering atau penyerahan yang disyaratkan Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar

dalam Pasal 584 KUH Perdata), maka orang Pokok Pokok Agraria. Adapun ketentuan

yang berdasarkan peristiwa perdata yang telah yang mengatur mengenai pencatatan dan
ditentukan (misalnya pembeli dalam suatu publikasi yang berlaku adalah yang dilakukan
jual beli belum merupakan pemilik dari benda atau diselenggarakan berdasarkan pada pada
tidak bergerak tersebut. Selain itu pendaftaran ketentuan yang diatur dalam Overschrijvings
juga merupakan bukti bahwa orang yang Ordannantie 1834.

21 Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaya, Kebendaan Pada Umumnya, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 81.
Supriyadi, Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah dalam ... 223

Dalam ketentuan Overschrijvings bahwa untuk melakukan perbuatan hukum


Ordonnantie 1834 yang merupakan berikutnya, pembeli masih memerlukan
satau-satunya ketentuan yang berlaku Kuasa dari penjual, dan kedua, bahwa
sehubungan dengan pendaftaran benda tidak Perjanjian Pengikatan Jual Beli masih wajib
bergerak yang diatur dalam KUH Perdata, ditindaklanjuti dengan pembuatan Akta PPAT.
diberlakukan sistem registration of deed. Berdasarkan dua argumentasi tersebut di
Dalam sistem ini akta pemindahan hak dan atas, menunjukkan konsep hukum adat yang
akta pembebanan hak termasuk hipotek menentukan bahwa peralihan hak atas tanah
atas benda tidak bergerak tidak dibuat bersifat riil menjadi tidak relevan, karena
oleh notaris, melainkan oleh pejabat yang masih diharuskan adanya Kuasa dan Akta
disebut dengan Overscrijvings Abmtenaar. PPAT.
Selanjutnya pendaftaran atas pemindahan hak Pertanyaan yang mengemuka kemudian,
dan pembebanan hak, termasuk hipotek atas jika memang saat peralihan hak belum atau
benda tidak bergerak tersebut juga dilakukan tidak terjadi pada saat seketika harga dibayar
oleh Overscrijvings Abmtenaar tersebut. lunas, karena masih harus ditindaklanjuti

Selanjutnya Overscrijvings Abmtenaar dengan pembuatan Akta PPAT sebagai syarat

tersebut membubuhi nomor pendaftaran sesuai formil, apakah saat peralihan hak atas tanah

dengan urutan pendaftaran dalam register akta terjadi seketika ditandatanganinya Akta

yang diselenggarakan olehnya sendiri. PPAT oleh Penjual, Pembeli, Para Saksi,

Kegiatan pembuatan akta oleh dan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dalam hal
ini Penulis sependapat jika peralihan hak
Overscrijvings Abmtenaar dilaksanakan pada
atas tanah karena jual-beli terjadi seketika
hari yang sama dengan kegiatan pendaftaran
dilakukan pendaftaran balik nama oleh Kantor
aktanya. Kepada pihak Pembeli, pihak yang
Pertanahan.
memperoleh hak lebih lanjut, atau pemegang
Berdasarkan analisis demikian, maka
hipotik diberi Grosse Akta yang berfungsi
peralihan hak atas tanah terjadi seketika
sebagai bukti peralihan hak atau pembebanan
dilakukan pendaftaran balik nama pada
hak.
Kantor Pertanahan. Pembayaran lunas
Menurut konsep Hukum Adat, bahwa
terhadap harga yang diperjanjikan saja dalam
sifat perjanjian jual-beli hak atas tanah
Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas
bersifat tunai, riil dan terang. Pembayaran
Tanah belum mengakibatkan haknya beralih
lunas atas harga yang diperjanjikan dalam
kepada pembeli. Demikian pula dengan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas
dibuatnya Akta PPAT peralihan hak atas tanah
Tanah tidak merupakan atau menentukan saat
belum terjadi, karena masih belum terdapat
beralihnya hak atas tanah dari penjual kepada
kepastian hukum pemegang hak atas tanah
pembeli dengan dua argumentasi: pertama,
serta belum mengikat pihak ketiga.
224 ARENA HUKUM Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, Halaman 204-226

Mengenai pendaftaran peralihan hak terjadinya peralihan hak atas tanah dalam
atas tanah, terdapat konsep yang dianut oleh perspektif hukum pertanahan.
hukum adat dan secara implisit dianut oleh Terhadap persoalan tersebut dianalisis,
UUPA. Bentuk peralihan hak dilakukan sebagai berikut: bahwa tujuan pendaftaran
secara tunai dan terang. Terang berarti harus tanah, termasuk pendaftaran tanah dalam
dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang rangka pemeliharaan data pertanahan, ialah
yakni PPAT. untuk memberikan kepastian hukum bagi
Menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan pihak-pihak yang melakukan perbuatan
Jabatan PPAT, bahwa PPAT bertugas pokok hukum maupun terhadap pihak ketiga. Pasal
melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran 19 UUPA menyatakan, bahwa:
tanah dengan membuat akta sebagai alat “(1) Untuk menjamin kepastian
bukti telah dilakukannya perbuatan hukum hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah
tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Republik Indonesia menurut
Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan ketentuan yang diatur dengan
dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan Peraturan Pemerintah”.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat
data pendaftaran tanah yang dilakibatkan oleh
(1) pasal ini meliputi:
perbuatan hukum itu.
a. pengukuran, perpetakan dan
Sedangkan perbuatan hukum yang pembukuan tanah;
dimaksud pada Pasal 2 ayat (2), antara lain b. pendaftaran hak-hak atas tanah
ialah jual beli. Kewenangan PPAT dalam dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda
menjalankan tugas pokok sebagaimana
bukti hak, yang berlaku sebagai
dimaksud pada Pasal 2 Peraturan Jabatan alat pembuktian yang kuat”.
PPAT ialah membuat akta otentik mengenai
Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (1)
suatu perbuatan hukum terhadap hak atas
dan ayat (2) UUPA tersebut, tampak bahwa
tanah, antara lain perbuatan hukum jual beli
pendaftaran peralihan hak diadakan untuk
hak atas tanah.
menjamin kepastian hukum, dalam hal ini,
Persoalan kemudian, apakah dengan alat
kepastian hukum telah terjadi peralihan hak
bukti berupa akta otentik yang dibuat oleh
atas tanah. Demikan pula jika dicermati
dan dihadapan PPAT tersebut mengakibatkan
ketentuan Pasal 23, 32, dan 38 UUPA, maka
terjadinya peralihan hak, ataukah masih
pendaftaran peralihan hak tersebut bersifat
memerlukan persyaratan lain berupa
suatu keharusan dan dimaksudkan agar
pendaftaran peralihan hak atas tanah untuk
para pemegang hak atas tanah memperoleh
terjadinya peralihan hak atas tanah berupa
kepastian tentang haknya itu.
jual beli tersebut. Dengan kata lain, apakah
Dengan analogi, bahwa pendaftaran
pendaftaran peralihan hak merupakan syarat
peralihan hak atas tanah memberikan kepastian
Supriyadi, Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah dalam ... 225

hukum, dan pendaftaran peralihan hak atas Kedudukan PPJB-HAT dapat diterima
tanah memberikan kepastian pemegang hak sebagai hukum yang hidup dalam praktik
atas tanah, sehingga pendaftaran peralihan masyarakat Indonesia, serta untuk mengisi
hak atas tanah, memberikan kepastian hukum kekosongan norma hukum dalam perspektif
pemegang hak atas tanah. hukum pertanahan.

Berdasarkan analisis pada sub bab ini, Pembayaran lunas terhadap harga dalam
PPJB-HAT belum mengakibatkan beralihnya
maka pendaftaran peralihan hak atas tanah
hak atas tanah dari penjual kepada pembeli,
merupakan kewajiban untuk memperoleh
namun hanya merupakan panjar atau tanda
kepastian hukum saat terjadinya peralihan hak
jadi (voorschot). Peralihan hak atas tanah
atas tanah, serta kepastian hukum pemegang
merupakan perjanjian formil (formal),
hak atas tanah.
sehingga peralihan hak kebendaan berupa hak
atas tanah memerlukan syarat formil (formal).
Simpulan
Peralihan hak atas tanah terjadi seketika pada
Berdasarkan analisis di atas dapat
saat dilakukan pendaftaran balik nama pada
disimpulkan, bahwa:
Kantor Pertanahan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum


Adiwinata, Saleh. Pengertian Hukum Adat Perdata: Hukum Benda. Yogyakarta:
Menurut Undang Undang Pokok Liberty, 1975.
Agraria. Bandung: Alumni, 1976. Subekti, R. Aspek-Aspek Hukum Perikatan
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perjanjian Nasional. Bandung: Citra Aditya
Adat. Bandung: Alumni, 1982. Bakti, 1998.
Hartono, Sunaryati. Politik Hukum Menuju
Suatu Sistem Hukum Nasional. Naskah Internet
Bandung: Alumni, 1991. Alfiansyah. “Urgensi Perjanjian Pengikatan
Mulyadi, Kartini & Gunawan Widjaja. Jual Beli (PPJB) Hak Atas Tanah Yang
Kebendaan Pada Umumnya. Jakarta:
Dibuat Oleh Notaris“, http://hukum.
Kencana, 2005
studentjournal.ub.ac.id/index.php/
Prodjodikoro, Wirjono. Azas-Azas Hukum
hukum/article/view/1322. Diakses 11
Perjanjian. Bandung: Mandar Maju,
Januari 2017.
2011.
Setiady, Tolib. Intisari Hukum Adat Indonesia-
Dalam Kajian Kepustakaan. Bandung:
Alfabeta, 2008.

You might also like