Professional Documents
Culture Documents
Kondisi gizi di Indonesia saat ini sedang mengalami masalah gizi ganda yaitu masalah
gizi kurang dan gizi lebih. Saat ini sebagian bangsa Indonesia masih menderita kekurangan
gizi terutama pada ibu, bayi dan anak secara bersamaan timbul masalah gizi lain yaitu gizi
lebih yang berdampak pada obesitas. Stunting adalah keadaan tubuh yang pendek dan sangat
pendek hingga melampaui -2 SD di bawah median panjang atau tinggi badan (Manary &
Solomons, 2009). Stunting terjadi akibat kekurangan gizi dalam waktu lama yang diawali
sejak masa janin hingga 2 tahun pertama kehidupan. Stunting merupakan masalah kesehatan
(Kusharisupeni, 2004). Menurut penelitian Fitri (2012) yang dilakukan di Sumatera Utara
terdapat 4 faktor yang berhubungan dengan terjadinya stunting yaitu berat lahir, jenis
kelamin, wilayah tempat tinggal, dan status ekonomi. Sedangkan yang merupakan faktor
risiko determinan terhadap kejadian stunting adalah pendapatan, jumlah anggota rumah
tangga, tinggi badan ayah, tinggi badan ibu dan pemberian ASI eksklusif (Wahdah, 2012).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 dari 23 juta balita di Indonesia,
7,6 juta (35,6 %) tergolong pendek. Prevalensi stunting di Indonesia masih tinggi. Hasil
Riset Kesehatan Dasar di Indonesia tahun 2010 menunjukkan walaupun prevalensi gizi
kurang dan buruk telah mengalami penurunan dari 18,4% pada tahun 2007 menjadi 17,9%
pada tahun 2010, namun masih terdapat 35,6% balita pendek. Artinya lebih dari sepertiga
balita memiliki tinggi badan lebih rendah dari standar tinggi badan balita seumurnya.
Prevalensi balita pendek terdiri dari sangat pendek 18,5% dan pendek 17,1%. Penurunan
terjadi pada balita pendek dari 18,0% pada tahun 2007 menjadi 17,1% pada tahun 2010 dan
balita sangat pendek dari 18,8% menjadi 18,5%. Hasil Riskesdas tahun 2013 prevalensi
ini, karena batas non public health yang ditetapkan WHO tahun 2005 adalah prevalensi
Stunting rendah <20%, sedang 20-29% dan tinggi 30-39 ≥ 40%. Sedangkan saat ini
prevalensi balita pendek di seluruh propinsi di Indonesia masih diatas 20% atau tepatnya
35,6%. Dengan demikian dapat dikatakan prevalensi stunting di Indonesia masih tinggi.
Kejadian anak pendek pada usia balita, terkait dengan masalah berat badan pada saat lahir
<2500 gram (BBLR). Berdasarkan analisis Riskesdas 2010, diketahui prevalensi anak pendek
pada balita adalah sebesar 42,8 persen dari ibu yang berusia menikah pertama usia 15-19
tahun dan 34,5 persen dari ibu berusia menikah pertama usia 24-29 tahun. Prevalensi anak
pendek lebih besar dari perempuan yang menikah lebih muda (Depkes RI, 2012). Prevalensi
pendek (stunting) menurut provinsi dan nasional. Prevalensi pendek secara nasional tahun
2013 adalah 37,2 persen, yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%)
dan 2007 (36,8%). Prevalensi pendek sebesar 37,2 persen terdiri dari 18,0 persen sangat
pendek dan 19,2 persen pendek. Pada tahun 2013 prevalensi sangat pendek menunjukkan
penurunan, dari 18,8 persen tahun 2007 dan 18,5 persen tahun 2010. Prevalensi pendek
meningkat dari 18,0 persen pada tahun 2007 menjadi 19,2 persen pada tahun 2013 (Riskesdas
2013).
Terdapat 20 provinsi diatas prevalensi nasional dengan urutan dari prevalensi tertinggi
sampai terendah, yaitu:(1) Nusa Tenggara Timur, (2) Sulawesi Barat, (3) Nusa Tenggara
Barat, (4) Papua Barat, (5) Kalimantan Selatan, (6) Lampung, (7) Sulawesi Tenggara, (8)
Papua, (16) Bengkulu, (17) Sumatera Barat, (18) Gorontalo, (19) Kalimantan Barat dan
(20) Jambi. Sumatera Barat memiliki prevalensi kependekan cukup tinggi berdasarkan
dari data Riskesdas 2010 sebesar 33,1% dan meningkat hingga 40,0% pada tahun 2013
(Riskesdas 2013).
Data Profil Kesehatan Sumatera Barat pada tahun 2012 prevalensi gizi kurang di Kota