You are on page 1of 27

Laporan Kasus

SEORANG PEREMPUAN USIA 56 TAHUN DENGAN BRONKIEKTASIS


Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan
Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Ilmu Penyakit Paru

Pembimbing:
dr. Niwan Tristanto M, Sp. P

Disusun oleh :

Devy Puspo Wardoyo J510165103

KEPANITRAAN KLINIK ILMU KESEHATAN PARU


BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BBKPM) KOTA
SURAKARTA
2017
Laporan Kasus
BRONKIEKTASIS
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan
Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Ilmu Penyakit Paru

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Disusun Oleh :

Devy Puspo Wardoyo J510165103

Pada hari, 30 Agustus 2017

Pembimbing :

dr. Niwan Tristanto M, Sp. P (.................................)

Telah Disetujui dan di sahkan oleh bagian program pendidikan profesi fakultas
kedokteran universitas muhammadiyah surakarta
BAB I
LAPORAN KASUS
A. Anamnesis
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. H
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 56 tahun
Alamat : Surakarta
Status : Menikah
Masuk RS : 28 Agustus 2017
Anamnesis dilakukan pada tanggal 28 Agustus 2017, pukul 10.00
secara auto anamnesis.
2. Keluhan Utama : Batuk berdahak
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM)
Surakarta dengan keluhan batuk berdahak sejak 1 tahun yang lalu, namun
keluhan makin memberat 1 hari sebelum masuk Balai Paru. Dahak yang
dikeluarkan pasien berwarna kuning kental dan setiap kali batuk dahak
yang dikeluarkan pasien sebanyak 2 sendok makan. pasien juga
mengeluhkan batuk tidak disertai menggigil dan keringat dingin. Pasien
juga merasakan pusing (+), demam (-), nyeri perut (+), mual (-), muntah (-
), penurunan BB -, penurunan nafsu makan -, dan susah tidur di malam
hari (-). Pasien melakukan pengobatan rutin di Balai Paru
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi :disangkal
Riwayat Hipertensi :diakui
Riwayat DM :disangkal
Riwayat OAT :disangkal
Riwayat alergi obat :disangkal
Riwayat Asma :disangkal
Riwayat keluhan serupa :disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat alergi :disangkal
Riwayat asma :dsangkal

B. Pemeriksaan fisik
- Keadaan Umum : cukup
- Kesadaran : compos mentis
- Vital sign
Tekanan darah : 160/100 mmHg
Nadi : 99 x/menit
RR : 20 x / menit
Suhu : 36,3°C
- Pemeriksaan status generalis dan lokalis
o Kepala : Normocephal, Sklera ikterik (-/-), conjungtiva
anemis (-/-)
o Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-/-), peningkatan
JVP (-/-)
o Thorax :
Bentuk : normochest
Gerakan : simetris (+/+), gerakan tertinggal (-/-)
- Thorax
- Paru
Inspeksi : dada kanan dan kiri simetris, sikatrik-
Palpasi : fremitus paru kanan lebih rendah
dibandingkan dengan paru kiri
Perkusi : sonor di kedua lapang paru, batas paru
normal
Auskultasi : suara dasar vesikuler ( /+), wheezing (-/-),
ronkhi (/-)
- Jantung
Inspeksi : iktus kordis tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1,S2 tunggal, regular, gallop (-)
- Abdomen
Inspeksi : dalam batas normal
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien
tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus normal (3x/menit)
Ekstremitas : akral hangat, oedema (-)
C. Resume
Perempuan, 56 tahun, BB: 45 kg. MRS pada tanggal 28 Agustus 2017,
Jam 10.00 dengan keluhan batuk berdahak sejak 1 tahun yang lalu namun
memberat 1 hari sebelum masuk balai paru. Dahak yang dikeluarkan
pasien berwarna kuning kental dan setiap kali batuk dahak yang
dikeluarkan pasien sebanyak 2 sendok makan. Pasien juga mengeluhkan
batuk tidak disertai menggigil dan keringat dingin. Pasien juga merasakan
pusing (+), demam (-), nyeri perut (+), mual (-), muntah (-), penurunan BB
-, penurunan nafsu makan -, dan susah tidur di malam hari (-). Pasien
melakukan pengobatan rutin di Balai Paru

KU; cukup , Kes: CM. TD; 160/100 mmHG , N: 99x/menit, R: 22x/menit,


S: 36, oC. Inspeksi : dada kanan dan kiri simetris, Palpasi : fremitus paru kanan
sama dengan paru kiri, Perkusi: sonor di kedua lapang paru, batas paru normal,
Auskultas: suara dasar vesikuler ( /+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Rontgen Thorax

Dari Gambaran Rontgen Pasien didapatkan hasil

• cor membesar
• pulmo terdapat Honey comb dengan infiltrate di basal
Kesan : Bronkiektasis
2. Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Metode Hasil Satuan Nilai Flag
pemeriksaan rujukan
Glukosa GOD 98 Mg/dL 70,00-
115,00
AST(SGOT) IFCC wo 19,4 U/L <31,0
pp
ALT IFCC wo 14,0 U/L <31,0
(SGPT) pp
UREUM UV- 40,3 Mg/dL 17,0-43,0
GLDH
Kreatinin Jaffe w.o 0,78 Mg/dL 0,50-0,90
compens
Asam urat TBHBA 4,8 Mg/dL <5,7 HIGH

Golongan O
darah

E. Diagnosis Banding
Bronchitis kronik
Tuberculosis Paru
Abses Paru

Diagnosis : Bronkiektasis

F. Usulan pemeriksaan penunjang


o Pemeriksaan RO
o Pemeriksaan Bronkografi
o Pemeriksaan spirometri
G. Terapi
Ambraxol 30 mg 3x1
Cetirizine 10 mg 1x1
Levofloxaxin 500 mg 1x1
Salbutamol 2 mg 1x1
Metil prednisolone 4 mg 2x1

H. Prognosis
Prognosis dari pasien ini dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Epidemiologi
Salah satu kelompok berisiko tinggi untuk bronkopneumonia
adalah usia lanjut dengan usia 65 tahun atau lebih. Usia lanjut dengan
pneumonia komunitas memiliki derajat keparahan penyakit yang tinggi,
bahkan dapat mengakibatkan kematian.
Kejadian bronkopneumonia cukup tinggi di dunia, yaitu sekitar
15% - 20%. Pada usia lanjut angka kejadian pneumonia mencapai 25 -
44 kasus per 1000 penduduk setiap tahun. Insiden pneumonia
komunitas akan semakin meningkat seiring dengan pertambahan usia,
dengan 81,2% kasus terjadi pada usia lanjut. Penderita pneumonia
komunitas usia lanjut memiliki kemungkinan lima kali lebih banyak
untuk rawat inap dibandingkan dengan penderita pneumonia komunitas
usia dewasa. Bronkopneumonia merupakan penyebab kematian nomor
lima pada usia lanjut.
B. Etiologi
Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus
merupakan tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan.
Patogen penyebab pneumonia pada anak bervariasi tergantung :

1. Usia
2. Status imunologis
3. Status lingkungan
4. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)
5. Status imunisasi
6. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi).
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan
kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran
klinis dan strategi pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi
kecil meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti
E.colli, pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar
dan balita pneumoni sering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H.
influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang
lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan
infeksi Mycoplasma pneumoniae.

Gambar 2. E.colli Gambar 3. Pseudomonas sp


Tabel 1. Etiologi pneumonia

Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang

Lahir - 20 Bakteri Bakteri


hari
E.colli Bakteri anaerob

Streptococcus grup B Streptococcus grup D


Listeria monocytogenes Haemophillus influenza

Streptococcus
pneumonie

Virus

CMV

HMV

3 miggu – 3 Bakteri Bakteri


bulan
Clamydia trachomatis Bordetella pertusis

Streptococcus Haemophillus influenza


pneumonia tipe B

Virus Moraxella catharalis

Adenovirus Staphylococcus aureus

Influenza Virus

Parainfluenza 1,2,3 CMV

4 bulan – 5 Bakteri Bakteri


tahun
Clamydia pneumoniae Haemophillus influenza
tipe B

Mycoplasma Moraxella catharalis


pneumonia
Streptococcus Staphylococcus aureus
pneumonia

Virus Neisseria meningitides

Adenovirus Virus

Rinovirus Varisela Zoster

Influenza

Parainfluenza

5 tahun – Bakteri Bakteri


remaja –
Clamydia pneumoniae Haemophillus influenza
dewasa muda
Mycoplasma Legionella sp
pneumonia

Streptococcus Staphylococcus aureus


pneumonia

Virus

Adenovirus

Epstein-Barr

Rinovirus

Varisela zoster

Influenza

Parainfluenza

C. Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan,
dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi.
Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia
berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang
lebih relevan.
a. Berdasarkan lokasi lesi di paru yaitu Pneumonia lobaris,
Pneumonia interstitiali, Bronkopneumonia
b. Berdasarkan asal infeksi yaitu Pneumonia yang didapat dari
masyarakat (community acquired pneumonia = CAP). Pneumonia
yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)
c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab Pneumonia bakteri
Pneumonia virus Pneumonia mikoplasma Pneumonia jamur
d. Berdasarkan karakteristik penyakit yaitu Pneumonia tipikal
Pneumonia atipikal
e. Berdasarkan lama penyakit yaitu Pneumonia akut dan Pneumonia
persisten.

Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Lingkungan dan Pejamu

Tabel 2. Klasifikasi Berdasarkan Lingkungan dan Penjamu

Tipe Klinis Epidemiologi

Pneumonia Komunitas Sporadis atau endemic; muda


atau orang tua

Pneumonia Nosokomial Didahului perawatan di RS

Pneumonia Rekurens Terdapat dasar penyakt paru


kronik

Pneumonia Aspirasi Alkoholik, usia tua

Pneumonia pada gangguan Pada pasien transplantasi,


imun onkologi, AIDS

D. Patogenesis
Saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim
paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme
pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik.
Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan
mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A
lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin,
imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel.
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas
terganggu, atau bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk
ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora
komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen.
Virus dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran
nafas bagian bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan
respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia
bakteri didahului dengan infeksi virus. Secara patologis, terdapat 4
stadium pneumonia, yaitu:
a. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Yaitu hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat
infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
jaringan.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga
warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada
stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak
akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu
selama 48 jam.
c. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan
fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi
fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,
warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi
mengalami kongesti.

d. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)


Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun
dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan
diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya
semula.
F. Manifestasi klinis
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas
bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak
sampai 390-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi.
Anak sangat gelisah, dispnue, pernafasan cepat dan dangkal disertai
pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk
biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk
setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering
kemudian menjadi produktif.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan :


1. Inspeksi : pernafasan cuping hidung(+), sianosis sekitar
hidung dan mulut, retraksi sela iga.
2. Palpasi : fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.
3. Perkusi : Sonor memendek sampai beda
4. Auskultasi : Suara pernafasan mengeras (vesikuler mengeras)
disertai ronki basah gelembung halus sampai sedang.

Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada


luasnya daerah yang terkena.Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai
adanya kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah
gelembung halus sampai sedang. Pada stadium resolusi ronki dapat
terdengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat
terjadi antara 2-3 minggu.

G. Penegakan diagnosis
1. Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului
dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain
batuk, demam tinggi terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut,
menggigil (pada anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada (pada
dewasa). Biasanya anak/ pasien lebih suka berbaring pada sisi yang
sakit. Pada bayi muda sering menunjukkan gejala non spesifik seperti
hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau kembung. Pasien juga
kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen disertai muntah.

2. Pemeriksaan fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan
kelompok umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu,
retraksi dinding dada, grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih
besar jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat adalah
takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel.
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam,
batuk (non produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai
dengan retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja
dewasa, dapat dijumpai panas, batuk (non produktif / produktif), nyeri
dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi. Pedoman klinis membedakan
penyebab pneumonia, sebagai berikut :

Pemeriksaan Bakteri Virus Mikoplasma

Anamnesis

Umur Bayi,anak, Bayi,anak, Usia sekolah


dewasa muda, dewasa muda,
dewasa tua dewasa tua

Awitan Mendadak Perlahan Tidak nyata

Sakit Tidak Ya, bersamaan Ya, berselang


serumah

Batuk Produktif nonproduktif Kering

Gejala Toksik Mialgia, ruam, Nyeri kepala, otot,


penyerta tenggorok
organ
bermukosa

Fisik

Keadaan Klinis > Klinis ≤ temuan Klinis < temuan


umum temuan

Demam Umumnya ≥ Umumnya < Umumnya < 39ºC


39ºC 39ºC
Auskultasi Ronkhi ±, suara Ronkhi Ronkhi unilateral,
bilateral, mengi.
Napas melemah
Difus, mengi

Takipneu berdasarkan WHO:

a. Usia < 2 bulan : ≥ 60 x/menit

b. Usia 2-12 bulan : ≥ 50 x/menit

c. Usia 1-5 tahun : ≥ 40 x/menit

d. Usia 6-12 tahun : ≥ 28 x/menit

H. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya leukosit dalam
batas normal. Pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang
berkisar antara 15.000 – 40.000/mm3 dengan predominan PMN.
Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah (LED)
yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap
dan LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri
secara pasti.
2. C-Reactive Protein (CRP)
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk
membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan
bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kadar CRP
biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis
daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan untuk
evaluasi respons terhadap terapi antibiotik.
Pemeriksaan CRP dan prokalsitonin juga dapat menunjang
pemeriksaan radiologi untuk mengetahui spesifikasi pneumonia karena
pneumokokus dengan nilai CRP ≥ 120 mg/l dan prokalsitonin ≥ 5
ng/ml.
3. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak
rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat,dan jarang didapatkan
hasil yang positif. Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat
berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring tidak memiliki nilai yang
berarti. Diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah,
cairan pleura, atau aspirasi paru.
4. Pemeriksaan serologis

Uji serologik untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi


bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan
tetapi, diagnosis infeksi Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan
peningkatan titer antibodi seperti antistreptolisin O, streptozim, atau
antiDnase B. Uji serologik IgM dan IgG antara fase akut dan konvalesen
pada anak dengan infeksi pneumonia oleh Chlamydia pneumonia dan
Mycoplasma pneumonia memiliki hasil yang memuaskan tetapi tidak
bermakna pada keadaan pneumonia berat yang memerlukan penanganan
yang cepat.

5. Pemeriksaan Rontgen (x-ray)

Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan dasar


diagnosis utama pneumonia. Tetapi tidak rutin dilakukan pada pneumonia
ringan, hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat dan
timbul gejala klinis berupa takipneu, batuk, ronki, dan peningkatan suara
pernafasan. Kelainan foto rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu
berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya pemeriksaan yang
diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia hanyalah pemeriksaan
posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada
foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas
penegakkan diagnosis.

Gambar 4. Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercak-


bercak infiltrat pada paru kanan

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:

 Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan


bronkovaskular, peribronchial cuffing dan overaeriation. Bila berat
terjadi pachy consolidation karena atelektasis.
 Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut
dengan pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal yang
biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu
tegas dan menyerupai lesi tumor paru disebut sebagai round
pneumonia
 Bronkopneumoni ditandai dengan gambaran difus merata pada
kedua paru berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas
hingga daerah perifer paru disertai dengan peningkatan corakan
peribronkial

Foto rontgen tidak dapat menentukan jenis infeksi bakteri, atipik,


atau virus. Tetapi gambaran foto rontgen toraks dapat membantu
mengarahkan kecenderungan etiologi. Penebalan peribronkial, infiltrat
interstitial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia
virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar,
bronkopneumoni dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh
bakteri.

E. Diagnosis banding
Diagnosis banding asma antara lain :
1. Penyakit paru obstruktif kronik
2. Bronkhitis kronik
3. Bronkiektasis
4. Edema paru
5. Atelektasis
6. Gagal jantung kongestif

F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada
anak terdiri dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI,
2012; Bradley et.al., 2011) :
a. Penatalaksaan Umum
1) Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit : sampai sesak nafas
hilang atau PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr.
2) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
3) Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
b. Penatalaksanaan Khusus
1) Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya
tidak diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan
interpretasi reaksi antibiotik awal.
2) Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan
suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung.
3) Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab
dan manifestasi klinis. Pneumonia ringan : amoksisilin 10-25
mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka resistensi penisillin
tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).
I. Prognosis
Angka morbiditas dan mortalitas bronkopnumonia menurun sejak
ditemukannya antibiotik. Faktor yang berperan adalah patogenitas kuman
usia, penyakit dasar dan kondisi pasien. Adanya leukopeni, ikterus,
terkenanya 3 atau lebih lobus paru dan komplikasis ekstra paru merupakan
pertanda prognosis yang buruk kuman gram negatif menimbulkan
prognosis yang lebih jelek.
BAB III

PEMBAHASAN

Pada pasien ini di diagnosis Bronkopneumonia di tegakan berdasarkan


anamnesis yaitu di dapatkan keluhan batuk mengeluarkan darah segar sebanyak
setengah gelas sejak 1 hari yang lalu dan kadang pasien juga mengatakan sesak
napas yang tidak dipengaruhi oleh cuaca, aktivitas, posisi dan juga tidak disertai
napas berbunyi (mengi). Keluhan disertai dengan demam yang dirasakan naik
turun, tidak menggigil, tidak kejang dan juga tidak disertai dengan keringat
dingin. Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan tanggal 16 agustus 2017 di
dapatkan keadaan umum pasien tampak sakit berat, kesadran compos mentis, nadi
106x/menit respirasi 20x/menit, suhu 37,8 oC, berat badan 40 kg, status gizi baik.
Keluhan ini baru pertama kali dialami pasien.
Status generalis , pada pemeriksaan kepala tidak ditemukan pernapasan
cuping hidung(-) di kedua hidung dan tidak ditemukan sekret. Pada bibir tidak
ditemukan sianosis. Pada leher tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah
bening. Pada pemeriksaan thorak ditemukan retraksi suprasternal, retraksi
substernal dan retraksi intercostal. Pada pemeriksaan auskultasi paru ditemukan
suara dasar vesikuler melemah dan ditemukan ronkhi basah halus dikedua
lapangan paru.
Bronkopneumonia atau pneumonia lobularis merupakan bagian dari
pneumonia, yang merupakan suatu infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang
mengenai parenkim paru, yang dapat disebabkan baik oleh bakteri, virus, jamur
maupun benda asing lainnya, yang ditandai dengan adanya bercak infiltrat.
Pada umumnya bronkopneumonia disebabkan oleh bakteri, yaitu
Streptococcus pneumoniae dan Haemophillus influenzae. Pada bayi dan anak
kecil dapat ditemukan Staphylococcus aureus sebagai penyebab bronkopneumonia
yang berat, serius dan sangat progresif dengan mortalitas yang tinggi. Pada
neonatus penyebab bronkopneumonia tersering adalah Streptococcus grup B,
batang gram negatif dan Chlamidia.
Pada pasien ini, ditemukan gejala-gejala klinis yang mengarah ke
diagnosis Bronkopneumonia berat. Pada anamnesis, ditemukan 3 keluhan yang
merupakan trias dari bronkopneumonia yaitu demam, batuk, dan sesak. Temuan
pada anamnesis ini juga didukung dengan hasil pemeriksaan fisik dimana pada
vital sign ditemukan napas cepat, adanya pernapasan cuping hidung, retraksi
dinding dada (SC, IC, SS), dan pada auskultasi paru dapat didengar ronkhi basah
halus.
Berdasarkan klasifikasi WHO yang sudah dijelaskan diatas, pasien ini
termasuk dalam klasifikasi bronkopneumonia berat, karena selain terdapat napas
cepat, dapat ditemukan adanya retraksi dinding dada.
Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik tadi juga didukung dengan hasil
pemeriksaan penunjang (laboratorium) dimana ditemukan peningkatan leukosit
yang juga menunjang diagnosis bronkopneumonia.
Pada gambaran foto toraks, ditemukan adanya bercak-bercak infiltrat
dengan batas yang tidak tegas, yang juga merupakan gambaran yang menunjang
diagnosis bronkopneumonia.
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan
antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi
pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan asam-basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam
dapat diberikan analgetik/antipiretik. Pada pasien ini, diberikan penatalaksanaan
awal yaitu O2 2 lpm k/p, Infus RL 20 tpm, Inj Adona 1 amp/12j(drip dalam btl
infus), Inj. Vit K 1 amp/8j, Inj. Asam tranexamat 1 amp/8j, inj ceftriaxon 1 gr/12j,
Codein 3x1.
Diagnosis bronkopneumonia ditegakkan berdasarkan anamnesa riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya terutama
pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologis, serta pemeriksaan cairan pleura dan
mikrobiologi jika memungkinkan.
WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas dan
retraksi subkosta untuk mengklasifikasikan bronkopneumonia di negara
berkembang :
Bayi kurang dari 2 bulan
 Bronkopneumonia berat: napas cepat atau retraksi yang berat
 Bronkopneumonia sangat berat: tidak mau menetek/minum,
kejang, letargis, demam atau hipotermia, bradipnea, atau
pernapasan ireguler.
Anak umur 2 bulan – 5 tahun
 Bronkopneumonia ringan: napas cepat
 Bronkopneumonia berat: retraksi
 Bronkopneumonia sangat berat: tidak dapat minum/makan, kejang,
letargis, malnutrisi.
Untuk kriteria rawat inap adalah sebagai berikut:
Bayi
 Saturasi oksigen ≤92%, sianosis
 Frekuensi napas >60x/menit
 Distres pernapasan, apnea intermiten, atau grunting
 Tidak mau minum/menetek
 Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Anak
 Saturasi oksigen ≤92%, sianosis
 Frekuensi napas >50x/menit
 Distres pernapasan
 Grunting
 Terdapat tanda dehidrasi
 Keluarga tidak bisa merawat dirumah
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

American Lung Association, 2015. Pneumonia. Tersedia:


http://www.lung.org/lung-disease/pneumonia/understanding

Capelastegui A, Pedro P E, Amaia B, Julio G, Federico M, Juan S, et al, 2012.


Etiology of Community-Acquired Pneumonia in a Population-Based
Study: Link Between Etiology and Patient Characteristics, Process-of-
Care, Clinical Evolution and Outcome. BioMed Cental Infectious Diseases
12: 134-42.

Dahlan, Zul. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 edisi 4. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

File, T.M., Bartlet J.G., Thomer, A.r. Treatment of community-acquired


pneumonia in adults who require hospitalization, Up to Date Wolters
Kluwer, tersedia di http://www.uptodate.com/contents/treatment-of-
community-acquired-pneumonia-in-adults-whorequire hospitalization
diakses tanggal 28 Agustus 2016

Jayesh J. M, Harshad V. G, Shailesh K. B, Urvesh D. P and Aswin M. T., 2010,


Pharmacokinetics of Ceftriaxone in Calves, Veterinarski arhiv, 80(1): 1-9.

Kementerian Kesehatan RI. (2012). Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun


2011.Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.

Piscitelli dan Rodvold, 2007, Drug Interactions in Infectious Diseases 2nd


Edition, Springer Science & Business Media, New York

Rizqi M.H., dan Helmia Hasan, Tinjauan Imunologi Pneumonia pada Pasien
Geriatri, CDK-212, 2014;41(1): 14-18.

You might also like