You are on page 1of 12

Tuhan tidak dapat dicapai oleh panca indera manusia

Dalam perkara aqidah (i’tiqod) seharusnya seluruh kaum muslim tidak ada perbedaan karena
perkara aqidah (i’tiqod) bukan perkara furuiyyah

Kaum yang berbeda dengan mayoritas kaum muslim dalam perkara aqidah (i’tiqod) di antaranya
adalah para pengikut ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti pola pemahaman
ulama Ibnu Taimiyyah bermazhab dzahiriyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah (i’tiqod)
berpegang pada nash secara dzahir/harfiah/literal/tertulis/tersurat

Mereka sukar memahami Al-Qur’an dalam pengertian Kalam Allah ad-Dzati. artinya dalam
pengertian salah satu sifat Allah yang wajib kita yakini, yaitu sifat al-Kalam.

Sifat Kalam Allah ini, sebagaimana seluruh sifat-sifat Allah lainnya, tidak menyerupai makhluk-
Nya.

Sifat Kalam Allah tanpa permulaan dan tanpa penghabisan, serta tidak menyerupai sifat kalam
yang ada pada makhluk yakni berupa huruf-huruf, suara dan bahasa.

Adapun Kalam Allah bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa.

Sedangkan huruf, suara maupun bahasa adalah makhluk (diciptakan)

Jadi al-Qur’an dalam pengertian al-Kalam adz-Dzati , bukan huruf, bukan suara, bukan bahasa
maka ia bukan makhluk (diciptakan)

Firman Allah ta’ala yang artinya “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (QS Al An’am
[6]:103)

Tuhan tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata dalam arti luas Tuhan tidak dapat dicapai oleh
panca indera manusia.

Tuhan tidak dapat dicapai oleh indra penglihatan (mata), pendengaran (telinga), indra pencium
(hidung), indra pengecap (lidah), dan indra peraba (kulit).

Namun Tuhan dapat dicapai dengan hati (qalbu)

Firman Allah ta’ala yang artinya,

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta
(pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)

shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uuna , “mereka tuli, bisu dan buta (tidak dapat
menerima kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)” (QS Al
BAqarah [2]:18)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna , “mereka tuli (tidak dapat menerima
panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (QS Al Baqarah
[2]:171)

“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu
mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam
dada.” (QS al Hajj [22] : 46)

Dalam hadis qudsi-Nya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a. Alah ta’ala
berfirman: “Sesungguhnya langit dan bumi tidak akan mampu menampung Aku. Hanya hati
orang beriman yang sanggup menerimanya.”

Dalam sebuah hadit Qudsi Allah Azza wa Jalla berfirman: ’Telah Kucipta seorang malaikat di
dalam tubuh setiap anak keturunan Adam. Di dalam malaikat itu ada shadr. Di dalam shadr itu
ada qalb. Di dalam qalb itu ada fu`aad. Di dalam fu`aad itu ada syagf. Di dalam syagf itu ada
lubb. Di dalam lubb itu ada sirr. Dan di dalam sirr itu ada Aku.”

Imam Sayyidina Ali karramallahu wajhah menyampaikan bahwa hati (qalb) mempunyai lima
nama,

Pertama, disebut shadr, karena ia merupakan tempat terbitnya cahaya Islam (nuuru-l-islaam). Hal
ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala, ‘Adakah sama dengan mereka yang
dibukakan shadrnya untuk Islam….” (QS Az Zumar [39] :22)’.

Kedua, disebut qalb, karena ia merupakan tempat terbitnya keimanan. Hal ini sebagaiamana
firman-Nya, “Mereka itulah yang ditulis dalam hatinya terdapat keimanan.” (QS Al Mujaadilah
[58]:22)’

Ketiga disebut fu’aad karena ia merupakan tempat terbitnya ma’rifah. Hal ini sebagaimana
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala, ‘Fu’aad tidak pernah mendustai apa-apa yang dilihatnya’
(QS An Najm [53]:11).

Keempat disebut lubb, karena ia merupakan tempat terbitnya tauhid. Hal ini sebagaimana
firman-Nya, “Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan
siang adalah ayat-ayat bagi ulil albaab (sang pemilik lubb)’ (QS Ali Imran [3]:190).

Kelima, disebut syagf, karena hati merupakan tempat terbitnya rasa saling menyayangi dan
mencintai sesama makhluk. Hal ini sebagaimana firman-Nya, ’Sungguh ia (Zulaikha) telah
dikuasai oleh rasa cinta yang membara….’ (QS Yusuf [12]:30)

Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah. Awal beragama adalah mengenal Allah dan
akhir beragama adalah menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh)

Sedangkan anak kunci untuk mengenal Allah adalah mengenal diri sendiri
Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu, siapa yang kenal dirinya akan Mengenal Allah

Firman Allah Taala yang artinya “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka
bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa
sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush Shilat [41]:53 )

Langkah untuk mengenal Allah Azza wa Jalla yang tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata
maka kenali dan dalami diri kita bagian yang tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata.

Diri manusia terdiri dari jasmani dan ruhani. Jasmani (jasad) adalah bagian yang dapat tampak
dengan panca indera kita disebut juga lahiriah sedangkan ruhani adalah bagian yang tidak
tampak dengan panca indera kita disebut juga bathiniah.

Nilai manusia tidak terletak pada jasmani (jasad) nya, akan tetapi terletak pada ruhani yang
menggerakkannya. Kerena ruhani inilah, Allah memerintahkan pada malaikatnya untuk hormat
kepada manusia, karena ruhani datangnya dari Allah Subhanahu wa ta’ala.

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Ingatlah diwaktu Tuhanmu berkata kepada para
malaiakat: ”Aku menciptakan manusia dari tanah, dan setelah aku sempurnakan aku tiupkan
kedalamnya ruh-Ku, maka hormatlah kalian kepadanya“.(QS Shaad [38]: 71-72)

Ruhani (ruhNya) mempunyai panggilan Akal, Hati, Nafsu

Ruh ketika berperasaan seperti sedih, gembira, senang, terhibur, marah atau sebagainya, maka ia
dipanggil dengan hati.

Ruh ketika ia berkehendak, berkemauan atau merangsang sama ada sesuatu yang berkehendak
itu positif atau negatif, baik atau buruk, yang dibenarkan atau tidak, yang halal ataupun yang
haram, di waktu itu ia tidak dipanggil hati tetapi ia dipanggil nafsu.

Ruh ketika ia berfikir, mengkaji, menilai, memahami, menimbang dan menyelidik, maka ia
dipanggil akal.

Pada hakikatnya ke dalam hati (jiwa) setiap manusia telah diilhamkan oleh Allah Azza wa Jalla
untuk menimbang antara yang Haq dan Bathil

Firman Allah ta’ala yang artinya

“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad
[90]:10 )

“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS As
Syams [91]:8 )
Dari ilham yang dihujamkan kepada hati (qalbu) manusia maka lahirlah dalil aqli , kebenaran
berdasarkan akal qalbu manusia. Cahaya nurani, yang dengannya jiwa bisa mengetahui perkara-
perkara yang penting dan fitrah

Orang-orang yang dapat mempergunakan akal qalbu (hati) disebut dengan ulil albab

Ulil albab adalah kaum yang mengetahui atau orang-orang yang dapat memahami dan
mengambil pelajaran dari petunjukNya berdasarkan karunia hikmah dari Allah Azza wa Jalla.

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan Ulil Albab“ (QS Ali Imran [3]:7)

“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah)
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar
telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran
(dari firman Allah).” (QS Al Baqarah [2]:269).

“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang
mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)

“Maka bertanyalah kepada ahli dzikir (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak
mengetahui.” (QS. an-Nahl [16] : 43)

Ulil Albab atau ahli dzikir atau orang yang mempunyai pengetahuan karena karunia hikmah dari
Allah ta’ala adalah

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran [3] : 191)

Ulil Albab berasal dari kata lubb (hati) yakni mereka yang dapat memahami firmanNya
berdasarkan cahayaNya atau petunjukNya yang diilhamkan ke dalam hati (lubb)

Pada hakikatnya semua manusia telah menyaksikan Allah ketika mereka belum lahir ke alam
dunia, pada keadaan fitri , sebelum panca inderanya berfungsi.

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172)

Setelah manusia terlahir ke alam dunia , maka mereka lupa akan kesaksian atau penyaksian
terhadap Allah.

Hakikat kata insan (manusia) adalah nasiya , nis yan, tidak tahu, lupa.
Fitrah manusia adalah bertuhan, mencari Allah, ingin kembali menyaksikan Allah. Syarat untuk
dapat menyaksikan Allah adalah fitri, suci sebagaimana sebelum manusia lahir ke dunia. Syarat
untuk dapat kembali menyaksikan Allah adalah berakhlak baik atau berakhlakul karimah.

Allah ta’ala yang selalu memberi petunjuk kepada manusia untuk dapat menyaksikanNya
kembali.

Firman Allah ta’ala yang artinya “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia
memberikan petunjuk” (QS Adh Dhuhaa [93]:7)

Hal yang dimaksud “seorang yang bingung” adalah kebingungan – kehilangan arah untuk
memperoleh kebenaran mutlak (al-Haqiqah al-Muthlaqah) yang tidak bisa dicapai oleh akal
pikiran, lalu Allah menurunkan wahyu kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam sebagai
jalan untuk memimpin ummat (masyarakat jahiliyah yang tidak berakhlak baik atau terjangkiti
penyakit moral – minum-minuman keras, membunuh, mencuri, main judi, makan riba, main
perempuan) untuk kembali menyaksikan Allah atau untuk menuju kebaikan di dunia dan
keselamatan di akhirat.

Asbabun Nuzul “Dan sungguh kelak Tuhanmu pasti memberikan karuniaNya kepadamu,
sehingga engkau menjadi puas” (QS Adh Dhuhaa [93]:5)

Dari Ibnu Abbas ra, dari ayahnya dia berkata , “telah ditampakkkan kepada Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam sesuatu yang akan diberikan kepada umatnya tahap demi tahapan.
Karena itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam merasa sangat gembira . Lalu turunlah ayat ini”
(HR Hakim, Baihaqi, dan Thabarani)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengawalinya dengan berkhalwat (mengasingkan diri


dari keramaian) dan bertahanuts (perenungan/kontemplas dirii) di gua hira untuk mencari solusi
mengatasi kerumitan masyarakat jahiliyah.

Pada akhirnya Allah Subhanahu Wata’ala berkenan menurunkan kepadanya wahyu Al-Quran.
Yang berisi perintah dan laranganNya atau agama atau perkara syariat agar manusia dapat
meneladani manusia paling mulia yakni Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam sehingga menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah.

Setelah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla, manusia
dikatakan berada pada “on track” untuk dapat kembali menyaksikan Allah adalah setelah mereka
mengucapkan syahadat.

Dari Abu Musa al-Asy’ari , berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam , “Demi Allah, yang
diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari
umat sekarang ini. Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman
kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.”

Syahadat adalah penyaksian Allah yang diucapkan dan kemudian dibuktikan dengan memenuhi
perkara syariat yang merupakan syarat sebagai hamba Allah yakni menjalankan kewajibanNya
(ditinggalkan berdosa) , menjauhi laranganNya (dikerjakan berdosa) dan menjauhi apa yang
telah diharamkanNya (dikerjakan berdosa)

Muslim yang membuktikan syahadat dengan menjalankan perkara syariat disebut mukmin, orang
beriman

Firman Allah ta’ala yang artinya

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imron
[3]:31 )

“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang kafir” (QS Ali Imron [3]:32 )

“dan ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.” (QS Al
Anfaal [8]:1 )

Setelah memenuhi perkara syariat atau syarat sebagai hamba Allah maka diikuti dengan
menjalankan amal kebaikan (amal sholeh) untuk mendekatkan diri atau memperjalankan diri
melalui maqom-maqom hakikat sehingga sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla dan
menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh). Pada akhirnya tercapailah muslim yang
sholeh (sholihin) atau muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang ihsan
(muhsin/muhsinin) sehingga menjadi wali Allah (kekasih Allah)

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Inilah ayat-ayat Al Qura’an yang mengandung hikmah,
menjadi petunjuk dan rahmat bagi muhsinin (orang-orang yang berbuat kebaikan), (yaitu) orang-
orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.
Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung” (QS Lukman [31]:2-5)

Dalam hadits qudsi, Allah ta’ala berfirman “hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku
dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan (perkara syariat), jika
hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan kebaikan, maka Aku
mencintai dia” (HR Bukhari 6021)

Muslim yang telah meraih maqom (derajat) disisi Nya atau muslim yang dekat dengan Allah
Azza wa Jalla dan menyaksikaNya dengan hati (ain bashiroh) akan berkumpul dengan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Firman Allah ta’ala yang artinya,

”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun
dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah
membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka)
akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan
sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling
baik.” (QS Shaad [38]:46-47)

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)

“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat
kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)

“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan
orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang
yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS
An Nisaa [4]: 69)

Muslim yang terbaik bukan nabi yang mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah sehingga meraih
maqom (derajat) disisiNya dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) adalah shiddiqin, muslim
yang membenarkan dan menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang
bermakrifat.

Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) membagi maqamat al-walayah (derajat kedekatan


para Wali Allah ke dalam lima maqamat.

Kelima maqamat itu adalah:

al-muwahhidin
al-shadiqin
al-shiddiqin
al-muqarrabin
al-munfaridin

Pertama, al-muwahhidun (penganut faham tauhid). Seorang yang mengesakan Allah disebut ahl
al-tawhid. Seorang ahl al-tawhid telah keluar dari kekufuran dan telah memiliki cahaya iman.
Dengan modal tauhid dan keimanan tersebut, ahl al-tawhid pada dasarnya telah mendekatkan diri
kepada Allah. Al-Hakim al-Tirmidzi menganggap hal ini sebagai awwal manazil al-qurbah
(permulaan peringkat kedekatan kepada Allah); namun masih berada pada posisi qurbat al-
’ammah (kedekatan secara umum), bukan qurbat al-awliyâ` (kedekatan para wali)

Kedua, al-shadiqun yang juga dinamakan waliyy haqq Allah. Mereka adalah orang yang
memperoleh kewalian setelah bertobat, bertekad bulat untuk menyempurnakan tobatnya,
menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan maksiat, menunaikan al-faraidl (berbagai kewajiban),
menjaga al-hudŭd (hukum dan perundang-undangan Allah), dan membatasi al-mubahat (hal-hal
yang dibolehkan). Apabila berhadapan dengan al-mahdlur (hal-hal yang dilarang) akan berpaling
dan menolak sehingga jiwanya istiqamah.
Dinamakan waliyy haq Allah karena ibadah dan ketaatannya kepada Allah serta perjuangannya
dalam melawan hawa nafsu berlangsung secara terus menerus tanpa pamrih, semata-mata karena
menunaikan haqq Allah atas diri-Nya.

Kewalian ini dinamakan walayat haqq Allah min al-shadiqin (kewalian orang-orang yang benar
dalam memenuhi haq Allah).

Ada dua ciri utama yang menjadi karakteristik awliya haqq Allah, yaitu:

(1) bertaubat secara benar dan memlihara anggota tubuhnya dari hal-hal yang dilarang, dan (2)
mengendalikan diri dari hal-hal yang dibolehkan.

Seorang waliyy haqq Allah, menurut al-Hakim al-Tirmidzi, mensucikan batinnya setelah
merasakan istiqamah dalam penyucian lahirianya. Ia bertekad bulat untuk memenuhi dorongan
rendah pada dirinya yang berkenaan dengan al-jawarih al-sab’a (tujuh anggota tubuh), yakni
mata, lidah, pendengaran, tangan, kaki, perut, dan kemaluan.

Ketiga, al-Shiddiqin adalah orang-orang yang telah merdeka dari perbudakan nafsu.
Kemerdekaan ini bukan bebas dari nafsu atau keinginan rendah; melainkan karena nafsunya
berhasil mengambil jarak dari kalbu mereka. Al-Shiddiqun kokoh dalam kedekatannya kepada
Allah, bersikap shidq (jujur dan benar) dalam prilakunya, sabar dalam mentaati Allah.
Menunaikan al-faraidl, menjaga al-hudŭd, dan mempertahankan posisinya dengan sungguh-
sungguh.

Mereka mencapai ghayat al-shidq (puncak kesungguhan) dalam memenuhi hak Allah, berada
pada manzil al-qurbah (posisi yang dekat dengan Allah) dan mendapatkan khǎlish al-’ubŭdiyyah
(hakikat kehambaan). Mereka dinamakan al-muhǐbŭn (orang-orang yang kembali).

Keempat, al-muqarrabŭn mereka adalah al-shiddiqǔn yang memiliki peluang untuk


meningkatkan kualitas kedekatannya kepada Allah pada martabat al-muqarrabin (martabat para
wali yang didekatkan kepada Allah), bahkan hingga berada di puncak kewalian.

Kelima, al-munfaridǔn. Hakim al-Tirmidzi berpandangan bahwa para wali yang mengalami
kenaikan peringkat dari maqamat al-muwahhidun, al-shaddiqun, al-shiddiqun, hingga al-
muqarrabun diatas telah sempurna tingkat kewalian mereka.hanya saja Allah mengangkat salah
seorang mereka pada puncak kewalian tertinggi yang disebut dengan malak al-malak dan
menempatkan wali itu pada posisi bayn yadayhi (di hadapan-Nya). Pada saat seperti itu ia sibuk
dengan Allah dan lupa kepada sesuatu selain Allah.

Seorang wali yang mencapai puncak kewalian tertinggi ini berada pada maqam munfaridin atau
posisi malak al-fardaniyah, yaitu merasakan kemanunggalan dengan Allah.

Al-Hakim al-Tirmidzi tidak menggunakan istilah ittihad seperti Abu Yazid al-Busthami
(w.261H-875M) atau hulul seperti al-Hallaj, atau wahdatul wujud seperti Ibn ‘Arabi
(w.638H/1240M) dalam menjelaskan persatuan seorang wali dengan Allah. Ia menggunakan
istilah liyufrida (agar manunggal / merasakan kemanunggalan).
Kewalian, dalam pandangan Al-Hakim al-Tirmidzi dapat diraih dengan terpadunya dua aspek
penting, yakni karsa Allah kepada seorang hamba dan kesungguhan pengabdian seorang hamba
kepada Allah.

Aspek pertama merupakan wewenang mutlak Allah, sedangkan aspek kedua merupakan
perjuangan seorang hamba dengan mendekatkan diri kepada Allah.

Menurut al-Tirmidzi ada dua jalur yang dapat ditempuh oleh seorang sufi guna meraih derajat
kewalian. Jalur pertama disebut thariq ahl al-minnah (jalan golongan yang mendapat anugerah);
sedangkan jalur kedua disebut thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam
beribadah).

Melalui jalur pertama, seorang sufi meraih derajat wali di hadapan Allah semata-mata karena
karunia-Nya yang di berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-
Nya. Sedangkan melalui jalur kedua, seorang sufi meraih derajat wali berkat keikhlasan dan
kesungguhannya di dalam beribadah kepada Allah.

Derajat kewalian itu mengalami pasang surut; namun, setelah mengalami pengumulan yang
hebat, seorang wali berada di hadapan-Nya untuk kemudian masuk dalam genggaman Tuhan.
Pada situasi ini, seorang wali melihat kumiz min al-hikmah (perbendaharaan hikmah) dan
tersingkaplah baginya ilmu Allah, sehingga naiklah horizon pengetahuan wali tersebut dari
pengenalan tentang ‘uyub al-nafs (rupa-rupa cacat dirinya) kepada pengetahuan tentang al-shifat
wa al-asma (sifat-sifat dan nama-nama Allah), bahkan tersingkaplah baginya hakikat ilmu Allah.

Muslim yang dekat dengan Allah sehingga menjadi kekasih Allah (Wali Allah) dirindukan oleh
para Nabi dan Syuhada

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya ada di antara hamba Allah
(manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka
dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di
sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala“ Seorang dari sahabatnya berkata, “siapa gerangan mereka itu
wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka“. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
menjawab dengan sabdanya: “Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan
anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-
wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya.
Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila
para manusia berduka cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)

Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk
golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla
menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.” Seorang laki-laki
bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya“.
Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun
mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan
demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya,
dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan
manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS Yunus [10]:62)

Jadi telah jelas bahwa tujuan akhir beragama adalah muslim yang ihsan atau muslim yang
berakhlakul karimah atau muslim yang dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk
menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)

Firman Allah ta’ala yang artinya,

“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut
Allah”. (QS Al-Ahzab:21)

Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut
(khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak
melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)

Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-
hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)

Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla
atau mereka yang selalu menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap
atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari
perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar sehingga terbentuklah muslim yang
berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh.

Muslim yang memandang Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat
adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.

Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati,
yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati
tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang
membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”

Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang
kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu
ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya
sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang
memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”

Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanNya, sehingga
tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan,
keindahan dan keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan perasaan.
Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan
bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang
memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolongan“

Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri senantiasa memandang
Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang
mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal
maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain
Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka
hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya. Pertama
yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala
hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian
di RumahNya”.

Dr. Sri Mulyati, MA (Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dalam sebuah
wawancara menyatakan bahwa “untuk dapat melihat Allah dengan hati sebagaimana kaum sufi,
tahapan pertama yang harus dilewati adalah Takhalli, mengosongkan diri dari segala yang tidak
baik, baru kemudian sampai pada apa yang disebut Tahalli, harus benar-benar mengisi kebaikan,
berikutnya adalah Tajalli, benar-benar mengetahui rahasia Tuhan. Dan ini adalah bentuk
manifestasi dari rahasia-rahasia yang diperlihatkan kepada hamba-Nya. Boleh jadi mereka sudah
Takhalli tapi sudah ditunjukkan oleh Allah kepada yang ia kehendaki”.

Tidak semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya.

Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.

Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa

Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang
ibadahnya

Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat
yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi
merugi besar.

Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari
memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam
mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada
hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah.
Inilah yang dinamakan buta mata hati.

Para ulama tasawuf atau kaum sufi mengatakan bahwa hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab,
dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab,
terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa menjadi hijab,
dll. Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat,
manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat
dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya
(ain bashiroh)

Dr. Sri Mulyati, MA (Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dalam sebuah
wawancara menyatakan bahwa “untuk dapat melihat Allah dengan hati sebagaimana kaum sufi,
tahapan pertama yang harus dilewati adalah Takhalli, mengosongkan diri dari segala yang tidak
baik, baru kemudian sampai pada apa yang disebut Tahalli, harus benar-benar mengisi kebaikan,
berikutnya adalah Tajalli, benar-benar mengetahui rahasia Tuhan. Dan ini adalah bentuk
manifestasi dari rahasia-rahasia yang diperlihatkan kepada hamba-Nya. Boleh jadi mereka sudah
Takhalli tapi sudah ditunjukkan oleh Allah kepada yang ia kehendaki”.

Wassalam

You might also like