You are on page 1of 8

Perdarahan Pascasalin Lambat oleh karena Dehisensi pada Segmen

Bawah Lahir
(Sebuah Laporan kasus)

Yusva Gunawan dan Risanto Siswosudarmo


Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada//RS. Sardjito, Yogyakarta

Abstract
Yusva Gunawan, Risanto Siswosudarmo: Late Postpartum Hemorrhage due
to Dehiscence in the Lower Uterine Segment: A Case Report

Background: Late postpartum hemorrhage is bleeding 24 hours after


delivery. It can be caused by retained placental fragment, infection, or
subinvolution. Postpartum hemorrhage after cesarean section might be due to
dehiscence of the lower uterine segment closure.
Objective: To discuss the management of post partum hemorrhage after
cesarean section due to dehiscence of lower uterine segment.
Case: Two cases of post partum hemorrhage were admitted to hospital
because of hypovolemic shock. Vaginal ultrasound examination showed a
dehiscence on the lower uterine segment. Laparotomy was performed for
both cases. Hysterectomy was done on the first case because of severe
infection on the incisional site, while hysteroraphy was done on the second
case because it was a clean wound, and preservation of fertility was still
needed.
Keywords: late postpartum bleeding – cesarean section – lower uterine
segment dehiscence – hysterectomy- hysteroraphy.

I. Pendahuluan
Perdarahan post partum adalah perdarahan yang terjadi setelah
persalinan vaginal sebanyak  500 ml atau perdarahan yang terjadi setelah
persalinan secara bedah sesar  1000 ml, meskipun sering terjadi
perdarahan selama operasi seksio sesarea tidak akurat perhitungannya.
Perdarahan post partum lambat merupakan perdarahan yang terjadi setelah
lebih dari 24 jam persalinan.1
Perdarahan post partum lambat biasanya disebabkan karena faktor
infeksi sehingga terjadi subinvolusio rahim, atau karena retensi sisa plasenta.
Perdarahan pascasalin lambat setelah seksio sesarea merupakan kejadian
yang jarang sekali terjadi dengan angka kejadian diperkirakan sekitar 1 : 365
kasus.2

1
Dehisensi pada segmen bawah rahim merupakan kegagalan
menyatunya lapisan otot pada segmen bawah rahim (SBR) sehingga
pembuluh darah tetap terbuka dan mengakibatkan terjadinya perdarahan.
Faktor risiko terjadinya dehisensi pada irisan segmen bawah rahim setelah
operasi seksio sesarea diantaranya multiparietas, infeksi dan irisan pada
segmen bawah rahim yang terlalu rendah. Pada beberapa kasus dehisensi
terutama disebabkan karena adanya endomyometritis dan chorioamnionitis
sebelumnya, sehingga meyebabkan gangguan aliran darah yang pada
jaringan SBR terutama pada daerah bloody angle.menyebabkan terjadinya
nekrosis. Faktor lain yang ikut mempengaruhi antara lain adalah diabetes
mellitus, malnutrisi, immunosupresi dan obesitas.3

Kasus I:
Seorang perempuan P2A0, usia 39 tahun datang di RS Sadjito dengan
keluhan perdarahan pascsalin lambat dengan riwayat dua kali seksio
sesarea. Seksio sesarea pertama terjadi 8 tahun dan kedua 4 bulan yang lalu.
Sebelum masuk rumah sakit, pasien telah mondok selama 5 hari di RS
Suradji Tirtonegoro Klaten dengankeluhan perdarahan vaginal setelah seksio
sesarea 3 bulan yang lalu. Pada saat itu keadaan umum baik sehingga
diagnosis yang ditegakkan adalah perdarahan pascaslin karena subinvoulusi.
Pasien mendapat pengobatan uterotonika dan pulang dalam keadaan baik.
Dua minggu setelah pulang pasien mengalami perdarahan banyak dan
mondok kembali di RS. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Pasien datang pasien
dalam keadaan syok dengan Hb 3,6 g/dl sehingga memerlukan transfusi
sebanyak 2500 ml darah. Diagnosis yang ditegakkan adalah retensi sisa
plasenta sehingga setelah keadaan umum baik dilakukan kuretase dan
pasien diijinkan pulang.
Dua hari setelah pulang terjadi perdarahan lagi dan segera dirujuk ke RS.
Suradji Tirtonegoro. Dilakukan pemeriksaan ultrasonografi dengan
keterangan uterus ukuran 7 x 9 cm, terdapat massa amorf, kesan terdapat
retensi sisa plasenta. Pasien didiagnosis dengan perdarahan post partum
lambat oleh karena retensi sisa plasenta dan kembali dilakukan dilakukan
kuretse. Pasien dipulangkan dengan dalam keadaan baik.

2
Dua minggu setelah pulang, pasien mondok kembali dan kali ini dirujuk
ke RS. Sardjito. Pasien mengalami perdarahan vaginal banyak sejak ± 6 jam
sebelum masuk rumah sakit. Dengan riwayat operasi seksio sesarea dan
telah dilakukan kuretase, maka dipikirkan kemungkinan adanya dehisensi
pada segmen bawah rahim (SBR). Pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan
adanya luka pada SBR yang belum menutup, sehingga ditegakkan diagnosis
dehisensi pada luka SBR, dan diputuskan untuk dilakukan operasi untuk
menjahit luka dehisensi di SBR.

Gambar 1. Hasil USG Pasien I

Pada tindakan pembedahan terlihat dinding depan uterus


mengadakan perlengketan hebat dengan vesika urinaria dan sebagian
jaringan lemak. Setelah dilakukan adesiolis, tampak lobang pada
segmen bawah rahim kiri depan, dengan luka nekrotik selebar 3 cm.
Usaha melakukan konservasi uterus gagal karena jaringan SBR
sangat rapuh sehingga histerektomi total dilakukan. Setelah mondok
selama 4 hari pasien pulang dalam keadaan baik. Pada kunjungan
kerumah 3 minggu setelah pulang dari RS. Sardjto, keadaan pasien
baik.

3
Operasi Histerektomi Kasus Pertama

Kasus kedua
Seorang pasien berumur 24 tahun, P2A0 dengan riwayat seksio sesarea 3
bulan yang lalu datang ke RS Panti Rini (sebuah RS swasta dengan jarak 7
km dari RS Sardjito) dengan keluhan perdarahan vaginal sejak 4 jam sebelum
masuk rumah sakit. Setelah mendapatkan terapi konvensional pasien
diijinkan pulang dengan keadan baik. Dua minggu setelah pasien keluar dari
rumah sakit, ia mengeluh mengeluarkan perdarahan banyak dan mondok di
RS. Morangan (sebuah RS jejaring dengan jarak 15 km dari RS Sardjito).
Diagnosis pada saat itu adalah retensi sisa plasenta dan dilakukan kuretase.
Pasien mendapatkan transfusi darah 750 ml dan pulang dalam keadaan baik.
Dua puluh hari kemudian pasien mondok lagi di RS. Morangan dengan
keluhann yang sama dan mendapat transfusi sebanyak 500 ml. Pasien
dirujuk ke RS Sardjito karena perdarahan yang belum berhenti. Kadar
hemoglobin pada saat itu 6,2 g/dL dan mendapat transfusi 1000 ml. Pada
saat itu difikirkan adanya dehisensi luka SBR yang dikuatkan dengan
pemeriksaan ultrasonografi vaginal

4
Gambar 2. Hasil pemeriksaan ultrasonografi pasien kedua

Pada laparotomi, setelah plika vesiko uterina dibuka tampak luka pada
SBR sepanjang 4 cm dengan perdarahan yang mengucur dari arteri uterina
yang terbuka. Pembuluh darah diklem dan dijahit. Luka SBR tampak rapi,
hanya sedikit jaringan nekrotik. Setelah dilakukan debridement luka dijahit
kembali dengan benang monocril no 2. Setelah mondok selama 5 hari pasien
diijinkan pulang dalam keadaan baik. Seminggu setelah pulang pasien datang
lagi ke rumah sakit dalam keadaan baik.

5
Operasi Histerorafi Kasus Kedua
Diskusi
Perdarahan pascasalin lambat yang disebabakan karena dehisensi
luka pada SBR pasca operasi seksio sesarea merupakan kejadian yang
jarang sekali terjadi. Perdarahan pascasalin lambat pada umumnya
disebabkan karena faktor infeksi sehingga terjadi subinvolusi, mengakibatkan
kontraksi otot rahi tidak cukup adekuat untuk menjepit pembuluh darah yang
berjalan di dalam miometrium. Penyebab lain adalah retensi siasa plasenta,
karena pada tempat tersebut kontraksi miometrium terganggu. Pada kelahiran
secara seksio sesarea kemungkinan terjadi retensi sisa plasenta adalah
jarang, karena plasenta dikeluarkan dan diobservasi secara langsung.
Perdarahan banyak yang terjadi pasca operasi seksio sesarea
terutama sebagai akibat dehisensi sebagian atau keseluruhan irisan pada
segmen bawah rahim. Bisa juga terjadi akibat tidak terjahitnya pembuluh
darah besar terutama di sekitar bloody angle sehingga perdarahan tidak
teratasi dan menyebabkan dehisensi. Dehisensi ditandai dengan rasa nyeri
pada daerah bekas operasi dan perdarahan berulang yang keluar dari jalan
lahir. Kejadian perdarahan post partum lambat setelah seksio pada beberapa
kasus sering terjadi setelah 7 – 21 hari pasca operasi seksio sesarea.4
Faktor risiko terjadinya dehisensi pada irisan segmen bawah rahim
setelah operasi seksio sesarea diantaranya multiparitas, infeksi dan irisan
pada segment bawah rahim yang terlalu rendah. Terjadinya gangguan aliran

6
darah yang terjadi pada jaringan segmen bawah lahir terutama pada daerah
bloody angle sehingga menyebabkan terjadinya nekrosis. Dehisensi terjadi
karena adanya jaringan nekrosis pada irisan segmen bawah rahim, yang
dipacu karena adanya endomyometritis dan chorioamnionitis sebelumnya.
Risiko dehisensi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti diabetes
mellitus, malnutrisi, immunosupresi dan obesitas.5
Pemeriksaan penujang dengan menggunakan ultrasonografi dapat
digunakan untuk mengetahui terdapatnya perdarahan intra-abdomen, sisa
produk konsepsi, terjadinya diskontinuitas pada segmen bawah rahim dan

untuk mungukur dan mengetahui ketebalan uterus.6 Pemeriksaan


angiografi juga sangat penting digunakan untuk mengetahui sumber
perdarahan tetapi tidak bisa mengetahui terjadinya dehisensi pada segmen
bawah rahim, tetapi pemeriksaan klinik sangat penting dalam menegakkan
diagnosis.
Pada kasus pertama, setelah SBR dibuka terlihat adanya luka nekrosis
yang cukup luas (3cm) di SBR dengan tepi luka yang tidak rapih. Uterus juga
terlihat lebih besar dari seharusnya dengan konsistensi lunak. Dengan
pertimbangan bahwa konservasi uterus sulit dilakukan, dikhawatirkan luka
tidak menutup dengan baik sehingga bisa terjadi perdarahan berulang.
Dengan pertimbngn bahwa pasien telah mempunyai 2 anak hidup maka
diputuskan melakukan pengangkatan uterus. Dengan mengangkat uterus,
medan operasi lebih lebar dan operator dengan mudah bisa menutup sisa
serviks dengan baik.
Pada kasus kedua terlihat lobang di SBR sebelah kiri yang mengenai
cabang a uterina. Tepi luka cukup bersih, jaringan terlihat sehat sehingga
dengan membuang beberapa sisa luka lama, luka di SBR dapat dijahit
kembali. Dengan demikian fertiltas pasien tersebut masih bisa dikonservasi.
Menejemen konservatif dan menejemen aktif digunakan pada kasus
dehisensi pasca operasi seksio sesarea. Manajemen konservatif dapat
dilakukan dengan cara pemberian antibiotika dosis tinggi, pemberian protein
dan pemberian transfusi darah. Menejemen aktif yaitu secara operasi, dapat
dilakukan dengan cara histerorafi yaitu dengan cara membersihkan jaringan
yang nekrosis kemudian dilakukan penjahitan kembali atau dengan

7
mengangkat rahim bila fertilitas tidak diperlukan lagi atau tepi luka yang jelek

dan nekrotis sehingga konservasi rahim justru merupakan seumber infeksi.6


Pada kedua kasus di atas salah satu pasien bisa diatasi dengan
mengkoservasi uterus tetapi pada yang lain uterus harus diangkat dan
keduanya memberi hasil yang memuasakan.

Kesimpulan
Perdarahan pascasalin lambat merupakan kejadian yang jarang terjadi
dan sulit dalam menegakkan diagnosis karena tidak terdapat gejala yang
khas. Pada kedua kedua kasus di atas, diagnosis dehisensi SBR tidak bisa
langsung ditegakkan. Adanya perdarahan pasca salin lambat setelah operasi
seksio sesarea perlu dipikirkan kemungkinan adanya dehisensi luka SBR.
Manajemen dehisensi pada luka operasi tergantung dari umur, parietas dan
kondisi luka SBR. Histerorafi merupakan terapi yang dianjurkan tetapi bila
terdapat kesulitan dalam penangananya, histerktomi menjadi pilihan.

Kepustakaan
1. Cuningham FG, Mc Donald PC, Grant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hankins
GDV, Clark SL, 2001. William Obstetrics 21st ed. Connecticut: Appleton and
Lange.

2. Joshi VM, Shrivastava M, 2004. Partial ischemic necrosis of the uterus following
a uterine brace compresion suture. BJOG : 111: 279-80
3. Ochoa M, Allaire AD, Stietly ML, 2002. Pyometra after hemostatic square suture
technique. Obste Gynecol :99:506-9
4. A Murat, A Olus and Y Murat, 2005. Fertility after B-Lynch suture and
hypogastric artery ligation. Fertility and Sterility :84 (2): 509.e5-9.
5. Pelage J, Soyer P, Repiquet D. 1999.Secondary postpartum hemorrhage
treatment with selective arterial embolization. Radiology, :212:385-9.
6. Nanda S, Singhal S, Sharma D, Sood M, Singhal SK, 1997. Nonunion of uterine
incision: a rare cause of secondary postpartum haemorrhage: a report of 2 cases.
Aust N Z J Obstet Gynaecol. 37(4):475-6
7. Wagner MS, Bédard MJ, 2006. Postpartum uterine wound dehiscence: a case report.
J Obstet Gynaecol Can. 28(8):713-8.

You might also like