You are on page 1of 7

Empati, Hubungan Antar Manusia dan Kesehatan Jiwa

Disusun Oleh :

KELOMPOK 3

Ketua: Ica Palensina

Sekretaris: 1. Risda Yana

Sekretaris 2. Kasih Umi Malinda

Anggota:

1. Betty Astuti
2. Chandra Gunawan
3. Engla Wulandari
4. Junita Ekasti Sari
5. Radhiatul Adilla
6. Raisya Farah Monica
7. Ridho Arendo
8. Warisatul Imam

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

UNIVERSITAS NEGERI BENGKULU


2011-2012
Empati, hubungan antar manusia dan kesehatan jiwa

Perbedaan empati, simpati dan antipati


Empati adalah kemampuan seseorang untuk mengerti perasaan, pikiran, dan keinginan
orang lain tanpa mempengaruhi obyektivitas dalam menilai orang tersebut. (Buku Pedoman Kerja
Mahasiswa (BPKM), modul EBP3KH, PSPD UNIB 2011-2012, hal. 8) contohnya seseorang dalam relasi
dan komunikasinya dengan orang lain berusaha menghayati dan mengerti diri orang lain itu serta
berusaha mengerti bagaimana orang lain dari sudut pandang pribadinya mempersepsi dirinya
sendiri maupun dunia sekitarnya akan tetapi tidak mencampurbaurkan dirinya, perasaannya dan
nilai – nilai pribadi orang yang diempatikannya itu.
Sedangkan Simpati merupakan kecenderungan untuk merasakan perasaan, pikiran, dan
keinginana orang lain, namun karena melibatkan perasaan, sering penilaianya menjadi subjektif.
(BPKM), modul EBP3KH, PSPD UNIB 2011-2012, hal. 10). Sebagai contoh Pada simpati perasaan
positif, misalnya menaruh kasihan, ikut bersedih,ikut bergembira. Bila simpati berlebihan, akan
terjadi kecenderungan bersikap “membenarkan” apapun perbuatan orang yang disimpatikannya.
Dan antipati penolakan atau perasaan tidaksuka yang kuat. Pada antipati perasaannya negative.
antipati yaitu tidak menyukai perbuatan dan identitasnya. Contohnya adalah pasien yang sudah
tidak suka dengan seorang dokter, ia akan cenderung antipati dengan anjuran yang di berikan oleh
dokter tersebut.
Menurut kami identitas yang berbeda tidak membuat seorang manusia mempunyai derajat
lebih tinggi maupun lebih rendah, melainkan lebih dari perilaku yang ia perbuat, misalnya saja dalam
bidang agama, meskipun di Indonesia memperbolehkan adanya multiagama namun masyarakat
tetap empati kepada sesame tanpa ada membedakan posisi dalam kegiatan dan hal-hal tertentu.
Dalam prinsip seorang dokter pun demikian, tidak ada pembedaan antara pasien yang berbeda
identitas, baik agama, nilai-nilai, ras, maupun bangsa dan status social.
Cara berempati dengan orang yang berbeda nilai dengan kita dapat dilakukan dengan
bertanya kepada orang itu tentang nilai atau budayanya, baik latar belakang cara berpikir, perasaan
atau perilakunya, sehingga akan lebih mudah bagi kita untuk berempati dengan dirinya. Lagipula
akan cepat terjadi pembinaan “rapport” (hubungan baik ) dengan orang itu , sebab ia merasa bahwa
kita berusaha mengerti dirinya. Selera pribadi adalah hak azasi tiap orang, Akan tetapi janganlah kita
mencampurbaurkan antara selera pribadi kita dengan hubungan kita dengan orang orang lain yang
kebetulan selera pribadinya atau identitasnya tidak sesuai dengan selera pribadi kita.

2
Misalnya dalam pemberian obat kepada pasien yang beragama islam, dokter juga harus
memahami nilai yang di anut oleh pasiennya yaitu dengan tidak memberikan obat yang haram bagi
agamanya tersebut.
Kita perlu merasa prihatin terhadap nilai-nilai yang dianut oleh seseorang apabila nilai yang dianut
tersebut :
 membahayakan jiwa / kehidupan, kesehatan, kesehatan jiwa diri sendiri atau orang lain.
 melanggar hak azasi manusia
 hanya mempromosikan hubungan “ke-Kami-an” yang sekaligus meniadakan hubungan “ ke-
Kita-an”
contoh : Malpraktek dan kasus krisis moneter 1998
Dalam menjalankan kehidupan beragama, maka seseorang menjalankan ajaran agama yang
dianutnya sebaik mungkin. Dalam konteks ini, maka ia adalah seorang moralis (Catatan: istilah
moralis juga dipakai untuk seseorang yang mengajarkan agama dan nilai-nilai suatu agama ). Akan
tetapi di pihak lain, seseorang adalah seorang moralizer apabila orang itu selain menjalankan nilai-
nilai agamanya, berpreokupasi dengan menggunakan nilai-nilai agamanya yang dianggapnya luhur
untuk menilai / menghakimi orang lain (baik orang yang beragama sama dengan dirinya maupun
orang yang berbeda agama). Preokupasinya adalah: apakah orang lain menjalankan nilai-nilai
agamanya seperti yang dilakukannya. Dampak menjadi seorang moralizer adalah luas sekali: karena
orang itu biasanya melihat dunia hanya dalam konteks hitam atau puith, dan akibatnya terjadi
pemisahan manusia atas dasar ke-Kami-an yang ekstrem. Akibatnya adalah situasi Kami vs Mereka /
“Kaum itu” (yang nilai-nilai agama atau perlakunya berbeda dengan Kami) yang secara ektrem dapat
berakir dengan sikap diskriminatif, kekerasan, sampai pembunuhan.
Di pihak lain, kalau kita menjadi seorang moralis, walaupun kita menjalankan ajaran
agama yang kita anut sebaik mungkin, pandangan kita adalah multikultural: kita menghormati orang
yang berbeda agama dengan kita, dan kita dapat hidup berdampingan secara damai dengan
siapapun yang berbeda identitas (termasuk yang berbeda agama) dengan diri kita.
Sesuai dengan konsep Martin Buber tentang “Saya dan Kamu” akan terjadi hubungan “Saya
dan Kamu “ yang adekuat harus dimulai dari pihak “Saya” terlebih dahulu dan bukan berupa suatu
sikap menunggu di pihak “ Saya “ agar orang kedua -“Kamu”- yang memulai hubungan itu.
Dampak dari hubungan / komunikasi “ Saya dan Kamu “ yang adekuat dan yang dimulai
dari pihak “Saya” adalah terjadinya relasi / komunikasi yang nyaman, karena pihak orang ke dua-
“Kamu”- sebaliknya juga akan memperlakukan pihak “Saya” secara adekuat. Dalam hubungan yang
adekuat ini, ke dua pihak selama maupun pada akhir hubungan tidak akan merasa tidak tertekan,
karena dapat mengutarakan pendapatnya secara bebas tanpa rasa takut dicela, serta dapat menjadi

3
jati dirinya yang sejati. Demikian pula apabila terjadi suatu penyelesaian masalah, tidak terjadi
pemaksaan kehendak, melainkan berupa suatu penyelesaian yang berdasarkan konsep “win-win
solution , dimana kedua pihak merasa baik / nyaman ( feel good ). Jadi dasar dari hubungan “Saya”
dan “Kamu” yang adekuat, tidak lain adalah hubungan yang berdasarkan empati.
Adapun penntingya pendekatan multikultural itu penting sebagai landasan hubungan antar
manusia yaitu karena perilaku seseorang bersifat relative, Suatu perilaku bila dilihat dari budaya
tertentu dapat dianggap baik, sedangkan perilaku yang sama kalau dilihat dari budaya yang berbeda
dapat dianggap netral atau tidak baik. Jadi terhadap perilaku seseorangpun jangan cepat-cepat kita
bersikap apriori, melainkan perlu ditelaah terlebih dulu apakah perilaku seseorang itu merupakan
manifestasi atau refleksi dari nilai-nilai yang perlu kita prihatinkan ataukah tidak. Bila tidak,
janganlah hal itu dipersoalkan. Inilah yang merupakan konsep pendekatan multikultural.
Hubungan antar manusia dalam konteks “ke-Kami-an” adalah memperlakukan diri sendiri
pertama-tama berdasarkan identitasnya, kedua sebagai manusia, dan memperlakukan orang lain
pertama-tama berdasarkan identitasnya kedua sebagai manusia. Bentuk hubungan “ke-Kami-an”
secara wajar sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, karena memang adalah sifat manusia
untuk mencari dan berkelompok dengan orang lain yang sama dalam identitasnya, misalnya dalam
hubungan keluarga, suku bangsa, agama, profesi, kelompok sosial, olah raga, seni, hobi, ideologi,
partai, dan sebagainya.
Yang perlu diperhatikan adalah agar hubungan “ ke-Kami-an” tidak meniadakan hubungan
“ke-Kita-an” dengan orang atau kelompok lain yang berbeda identitas, sebab bila hal itu terjadi,
maka semua orang yang berbeda identitas dengan kelompok “kami” dikelompokkan dalam
kelompok “mereka”, atau “kaum itu” sehingga dalam keadaan ekstrem dapat terjadi suatu
hubungan yng bersifat : “Kami vs. Mereka /Kaum itu”
Bentuk ekstrem dari hubungan “Kami vs Mereka / Kaum itu” adalah sikap stigmatisasi,
diskriminasi, sikap “ bigot “, pengelompokan dalam arti negatif, perkoncoan , pemaksaan kehendak,
berada di atas hukum, prasangka, kebencian, tindak kekerasan, peperangan, pembunuhan terhadap
orang yang termasuk dalam kelompok “Mereka / Kaum itu”
Dalam bentuk hubungan yang bersifat “ ke-Kami-an” yang ekstrem , orang ketiga (dia) /
berbeda identitasnya tidak diperlakukan sebagai sesama manusia , melainkan sebagai objek atau
orang yang dikucilkan. Apabila orang itu mau masuk dalam kelompok “Kami”, maka ia harus
merubah identitasnya agar menjadi sama seperti orang-orang dalam kelompok “Kami”. Jelaslah
dalam hubungan “ke-Kami-an” yang ekstrem , masing masing individu tidak dapat berkembang dan
mengaktualisaikan diri sesuai dengan jati dirinya, karena ia harus tunduk kepada persamaan
identitas yang sesuai “ke-Kami-an “ itu.

4
Multikulutural merupakan suatu sikap saling menghargai perbedaan antar sesama sehingga
saat melakukan interaksi sosial kita tidak melakukan diskriminasi terhadap orang lain misalnya
diskriminasi karena agama,suku,etnis,dan latar belakang budaya. Sikap ini merupakan sesuatu hal
yang sangat dibutuhkan untuk menunjang interaksi sosial antar sesama khususnya di indonesia yang
kaya akan perbedaan budaya,agama dan SARA.Sikap ini cenderung memberikan toleransi dan
menghargai perbedaan antar sesama.
Multikultural dalam agama berbeda dengan sinkretisme.Sinkretisme adalah penggabungan
ritual sakral dari beberapa agama sehingga pada akhirnya akan terbentuk agama baru.Sinkretisme
dilarang,karena agama adalah sesuatu hal yang sakral dan mutlak sehingga tidak bisa
dicampuradukan satu sama lain.Multikultural dalam agama bukan berarti sinkretisme,multikultural
disini lebih menekankan kepada toleransi antar beragama dimana kita sebagai manusia dituntut
untuk tidak membeda-bedakan seseorang karena agamanya.
Sikap empati harus dimulai dari diri sendiri Karena Kalau kita berprinsip bahwa berempati
harus mulai dari diri orang lain terlebih dulu, maka akan terjadi sikap saling menunggu siapa yang
terlebih dulu berempati dengan segala macam akibatnya. Lagipula, kalau diri kita bersikap demikian,
maka kita memperlakukan diri kita sebagai orang yang pasif serta respons atau reaksi diri kita hanya
bergantung dari sikap orang lain, dengan perkataan lain sikap kita diatur atau dikendalikan oleh
sikap orang lain. Landasan empati adalah kasih sayang persaudaraan terhadap sesama manusia
(ukhuwah insaniyyah) yang bersifat aktif dan tanpa pamrih. Selain itu jika kita ingin orang berempati
pada kita maka mulailah dari sendiri karena dengan begitu kemungkinan besar akan muncul sikap
saling empati dalam berinteraksi .Prinsip ini pun cukup sering terjadi dalam berbagai sikap agar kita
lebih dahulu memulai misalnya jika kita ingin dihargai maka kita harus menghargai orang terlebih
dahulu.
Dasar-dasar dari empati yaitu kasih sayang, persaudaraan antar manusia yang bersifat aktif
dan dan tanpa pamrih. Hal itu sangat penting karena merupakan landasan bagi kita untuk dapat
bersikap empati dan dapat menempatkan diri kita dimanapun dan kapan pun tanpa ada sikap
sungkan maupun diskriminasi.
Sesuai dengan definisi Kesehatan Jiwa / Mental yaitu orang yang sehat jiwa /mentalnya
antara lain merasa sehat dan bahagia, serta mampu menghadapi tantangan kehidupan, dapat
menerima orang lain sebagaimana adanya dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan
orang lain.

5
Seseorang yang “sehat jiwa” mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Merasa senang terhadap dirinya serta
Mampu menghadapi situasi
Mampu mengatasi kekecewaan dalam hidup
Puas dengan kehidupannya sehari-hari
Mempunyai harga diri yang wajar
Menilai dirinya secara realistis, tidak berlebihan dan tidak pula merendahkan
2. Merasa nyaman berhubungan dengan orang lain serta
Mampu mencintai orang lain
Mempunyai hubungan pribadi yang tetap
Dapat menghargai pendapat orang lain yang berbeda
Merasa bagian dari suatu kelompok
Tidak "mengakali" orang lain dan juga tidak membiarkan oranglain "mengakah" dirinya
3. Mampu memenuhi tuntutan hidup serta
Menetapkan tujuan hidup yang realistis
Mampu mengambil keputusan
Mampu menerima tanggungjawab
Mampu merancang masa depan
Dapat menerima ide dan pengalaman baru
Puas dengan pekerjaannya
Salah satu cara untuk mencapai jiwa yang sehat adalah dengan penilaian diri yaitu bagaimana
seseorang melihat dirinya yang berkaitan erat dengan cara berpikir, cara berperan, dan cara
bertindak.
1. Penilaian diri seseorang positif apabila seseorang cenderung:
Menemukan kepuasan dalam hidup
Membina hubungan yang erat dan sehat
Menetapkan tujuan dan mencapainya
Menghadapi maju mundurnya kehidupan
Mempunyai keyakinan untuk menyelesaikan masalah
2. Penilaian diri seseorang negatif apabila seseorang cenderung:
Merasa hidup ini sulit dikendalikan
Merasa stress
Menghindari tantangan hidup
Memikirkan kegagalan

6
Contohnya yaitu peraturan dan undang-undang yang bersifat diskriminatif yang hanya
menguntungkan sebagian masyarakat, akan mengakibatkan rasa tidak nyaman bagi kelompok
mayarakat yang terdiskriminasi, dan selanjutnya akan mengakibatkan tidak terbinanya kesehatan
jiwa / mental yang baik.
Jadi, sikap empati atau non empati akan sangat berpengaruh terhadap terbina atau tidak
terbinanya hubungan yang adekuat antar manusia, sesuai dengan definisi Kesehatan Jiwa / Mental
dalam berbagai strata kehidupan masyarakat. Hal itu selanjutnya akan berdampak terhadap
perkembangan kesehatan jiwa bagi individu, keluarga, masyarakat, kesejahteraan dan kualitas
kehidupan manusia.
kesehatan jiwa adalah bagian integral dari kesehatan dan merupakan kondisi yang
memungkinkan perkembangan fisik, mental dan sosial individu secara optimal, dan yang selaras
dengan perkembangan orang lain.
Pelaksanaannya dalam kehidupan :
Seseorang harus jujur terhadap diri sendiri.
Berupaya mengenali diri sendiri dan belajar menerima semua kekurangan dan kelebihannya.
Bersedia memperbaiki diri sendiri untuk mengatasi kekurangannya
Menetapkan tujuan dan berusaha mencapainya dengan tidak membandingkan diri sendiri
dengan orang lain
Selalu berusaha untuk mencapai yang terbaik sesuai dengan kemampuan, tetapi tidak boleh
terlalu memaksakan diri sendiri.

You might also like