Professional Documents
Culture Documents
i
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran...........................................................................................4
Gambar 2.1 Alur Perencanaan Pinjaman Kegiatan (Proyek) Luar Negeri ..................11
Gambar 3.1 Alur Perhitungan Rencana Komitmen Baru Pinjaman Luar Negeri 2015-
2019....................................................................................................................15
Gambar 3.3 Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri dalam Mendukung Kinerja ..........21
Gambar 3.4 Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri terkait Investasi untuk ....................22
Gambar 3.9 Pengelolaan Utang untuk Mengurangi Potensi Crowding Out Effect ...29
Gambar 3.10 Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri dalam Menambah Kapasitas .....30
Gambar 3.14 Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri dalam Mendorong Peran BUMN
dan Swasta .......................................................................................................36
ii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1.1 Perkembangan Rasio Utang Indonesia terhadap PDB ................................................ 2
Grafik 1.2 Nilai Proyek Aktif Pinjaman Luar Negeri (Persentase Share (%)) ................................. 3
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kriteria Kesiapan Kegiatan (Readiness Criteria) ............................................................ 12
iii
DAFTAR SINGKATAN
APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
BMP : Batas Maksimal Pinjaman
BPPSDMP : Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pertanian
BUMD : Badan Usaha Milik Daerah
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
CCDP : Coastal Community Development Project
DAC-OECD : Development Assistance Committee-The Organisation for
Economic Co-operation and Development's
DIPK : Daftar Isian Pengusulan Kegiatan
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DRPLN-JM : Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri-Jangka Menengah / Blue
Book
DRPPLN : Daftar Rencana Prioritas Pinjaman Luar Negeri/Green Book
DSR : Debt Service Ratio
DTO : Debt to Output Ratio (Debt to GDP Ratio)
DTX : Debt to Export Ratio
DUK : Dokumen Usulan Kegiatan
FDI : Foreign Direct Investment
FGD : Focus Group Discussion
ICOR : Incremental Capital Output Ratio
IFAD : The International Fund of Agricultural Development
K/L : Kementerian/Lembaga
KPS : Kerjasama Pemerintah Swasta
LKP PHLN : Laporan Kinerja Pelaksanaan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri
LMIC : Lower Middle Income Countries
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
MTR : Mid Term Review
PDB : Produk Domestik Bruto
Pemda : Pemerintah Daerah
PPN : Perencanaan Pembangunan Nasional
READ : Rural Empowerment and Agricultural Development
iv
RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RPPLN : Rencana Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri
SBN : Surat Berharga Negara
SBSN : Surat Berharga Syariah Negara
v
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan merupakan upaya sistematis dan terencana oleh masing-
masing maupun seluruh komponen bangsa untuk mengubah suatu keadaan
menjadi keadaan yang lebih baik dengan cara memanfaatkan sumber daya yang
tersedia secara optimal, efektif, efisien, dan akuntabel, sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup masyarakat menjadi lebih sejahtera. Dalam rangka
pelaksanaan pembangunan nasional, diperlukan pendanaan yang memadai yang
dapat dipenuhi dari berbagai sumber antara lain dari pemerintah, swasta, maupun
masyarakat. Terkait dengan sumber pendanaan pemerintah, penerimaan negara
saat ini belum sepenuhnya mencukupi kebutuhan pendanaan pembangunan
sebagaimana ditargetkan dalam rencana pembangunan nasional, oleh karena itu,
pemerintah menerapkan kebijakan pembiayaan defisit anggaran.
Sejak tahun 2000, sumber pembiayaan defisit sebagian besar berasal dari
utang yang diperoleh dari penerbitan obligasi pemerintah dalam bentuk Surat
Berharga Negara (SBN), pinjaman luar negeri, dan pinjaman dalam negeri. Dalam
kurun waktu lima belas tahun terakhir (2000-2015), rasio utang pemerintah terhadap
PDB (Debt to GDP Ratio) turun dari 95 persen pada tahun 2000 menjadi 24,7 persen
tahun 2015 (World Bank, 2005). Apabila dibandingkan dengan negara lain, Debt to
GDP Ratio Indonesia saat ini relatif rendah. Debt to GDP ratio di beberapa negara
berkembang seperti Brazil, India, dan Thailand mencapai sekitar 50 persen,
sedangkan di beberapa negara maju seperti Jepang, Italia, dan Amerika Serikat
nilainya mencapai lebih dari 100 persen yang didominasi oleh pinjaman domestik
dalam bentuk obligasi (Kementerian Keuangan, 2015c).
Dilihat dari komposisi utang Indonesia (Grafik 1.1), selama periode 2010 sampai
dengan periode 2015, proporsi obligasi pemerintah (SBN) terhadap PDB naik dari 15,5
persen menjadi 19,0 persen, sedangkan proporsi Pinjaman1 terhadap PDB turun dari
9,0 persen menjadi 5,7 persen. Dengan semakin menurunnya porsi pinjaman luar
negeri, maka pengelolaan dan pemanfaatan pinjaman luar negeri perlu
dioptimalkan dengan meningkatkan efektivitas pinjaman luar negeri.
1Sebagian besar pinjaman (per tanggal 31 Oktober 2015) berasal dari pinjaman luar negeri
(99.5%), pinjaman dalam negeri hanya sekitar 0.5% (Profil Utang Pemerintah edisi November
2015, Kementerian Keuangan).
1
Grafik 1.1 Perkembangan Rasio Utang Indonesia terhadap PDB
2
h
Grafik 1.2 Nilai Proyek Aktif Pinjaman Luar Negeri (Persentase Share (%))
Infastruktur
35,4%
Pertahanan dan
Keamanan
27,3%
Energi
Lain-lain 21,3%
8,1% Pendidikan
7,9%
Sumber: Laporan Kinerja Pelaksanaan PHLN Triwulan II Tahun 2015, Bappenas (diolah).
3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka rumusan
masalah dalam kajian ini adalah bagaimana kebijakan pemanfaatan pinjaman luar
negeri dapat berperan secara efektif dalam mendukung pencapaian sasaran
pembangunan nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019.
PRIORITAS PEMBANGUNAN
NASIONAL
Kebutuhan Pembiayaan
PENINGKATAN EFEKTIVITAS
DAN OPTIMALISASI
PINJAMAN LUAR NEGERI
4
h
Untuk membiayai kebutuhan prioritas pembangunan nasional, pemerintah
melakukan kebijakan pembiayaan defisit anggaran. Pembiayaan defisit tersebut
dapat diperoleh melalui penerbitan SBN, pinjaman luar negeri, dan pinjaman dalam
negeri. Kajian ini khusus membahas pembiayaan defisit anggaran yang bersumber
dari pinjaman luar negeri. Pinjaman luar negeri selain digunakan untuk pembiayaan
defisit, juga dimanfaatkan dalam rangka kerjasama pembangunan internasional,
transfer of knowledge, dan investment leverage.
5
1.7 Sistematika Penulisan
Kajian ini disusun dengan kerangka penulisan sebagai berikut:
BAB I. Pendahuluan
6
h
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
7
Selain itu, pinjaman luar negeri juga berpotensi meningkatkan pertumbuhan
ekonomi apabila dialokasikan untuk meningkatkan teknologi yang memberikan
dampak bagi peningkatan produktivitas suatu negara (Dalgaard et al.2004). Upaya
peningkatan teknologi tersebut juga harus diiringi dengan adanya program
pelatihan bagi pekerja untuk meningkatkan kapasitas penyerapan dan alih teknologi
(transfer of knowledge) (Easterly, 2001 p.57). Hal inilah yang mendasari beberapa
negara mengedepankan upaya alih teknologi dalam melakukan pinjaman luar
negeri.
Korea Selatan menjadi negara pertama yang melakukan transformasi dari negara penerima
bantuan/pinjaman luar negeri (recipient) selama lebih dari 50 tahun, menjadi pemberi pinjaman
luar negeri (donor) sejak tahun 2009 dan bergabung dalam DAC-OECD. Pinjaman dan hibah luar
negeri memainkan peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi di Korea Selatan. Kesuksesan
pemanfaatan pinjaman luar negeri di Korea Selatan dalam mendukung pembangunan ekonomi
didukung dengan kapasitas pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan berdasarkan
kepemilikan yang kuat dan komitmen politik dalam mengelola pinjaman luar negeri di Korea
Selatan.
Beberapa pelajaran (lesson learn) yang dapat diambil dari kesuksesan pengalaman Korea
Selatan dalam pengelolaan pinjaman luar negeri, diantaranya:
Korea selatan menyadari pentingnya kerjasama yang erat antara donor recipient dalam
pengelolaan pinjaman luar negeri, terutama dalam hal peningkatan kapasitas pemerintah
penerima (recipient) yang cukup kuat dan komitmen politik dalam mengelola dan
memanfaatkan pinjaman luar negeri.
Korea Selatan mendorong donor untuk aktif dalam mendukung terwujudnya good
governance di pemerintahan Korea Selatan melalui program-program capacity building
atau skema kerjasama lain.
Sumber: (Kim, 2011).
Disisi lain, Burnside dan Dollar (2000) menyimpulkan bahwa pinjaman luar
negeri memiliki dampak yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi di negara
berkembang yang memiliki good policies. Dalam hal ini good policies diindikasikan
dengan adanya stabilitas makroekonomi, fiscal sustainability, dan keterbukaan
kebijakan perdagangan. Sementara itu, dari sisi pemerataan, pemanfaatan
8
h
pinjaman luar negeri yang dialokasikan pada daerah yang paling membutuhkan
akan memberikan dampak yang lebih besar terhadap pencapaian sasaran program
pembangunan (Dionne, Kramon, dan Roberts, 2013).
Sumber pinjaman luar negeri diperoleh melalui (i) Kreditor Multilateral, (ii)
Kreditor Bilateral, (iii) Kreditor Swasta dan Asing, dan (iv) Lembaga Penjamin Kredit
Ekspor. Kreditor Multilateral adalah lembaga keuangan internasional yang
beranggotakan beberapa negara. Kreditor Bilateral adalah pemerintah negara
asing atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah negara asing atau lembaga
yang bertindak untuk pemerintah negara asing. Kreditor Swasta dan Asing adalah
lembaga keuangan asing, lembaga keuangan nasional, dan lembaga non
keuangan asing yang berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di luar wilayah
9
Negara Republik Indonesia yang memberikan pinjaman tanpa jaminan dari
Lembaga Penjamin Kredit Ekspor. Lembaga Penjamin Kredit Ekspor adalah lembaga
yang ditunjuk negara asing untuk memberikan jaminan, asuransi, pinjaman langsung,
subsidi, bunga, dan bantuan keuangan untuk meningkatkan ekspor negara yang
bersangkutan atau untuk membeli barang/jasa dari negara yang bersangkutan
yang berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di luar wilayah Negara Republik
Indonesia.
10
h
Gambar 2.1 Alur Perencanaan Pinjaman Kegiatan (Proyek) Luar Negeri
Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2011 & PerMen PPN No.4 Tahun 2011
11
Selanjutnya, Menteri Perencanaan menyusun Daftar Rencana Prioritas
Pinjaman Luar Negeri (DRPPLN) untuk kegiatan tercantum dalam DRPLN-JM dan
telah memenuhi sebagian kriteria kesiapan. DRPPLN merupakan daftar rencana
kegiatan yang telah memiliki indikasi pendanaan dan siap dibiayai dari pinjaman
luar negeri. Dalam melakukan penyusunan DRPPLN, Menteri Perencanaan dapat
melakukan koordinasi, komunikasi, dan konsultasi dengan calon pemberi pinjaman
luar negeri serta instansi terkait lainnya.
12
h
Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan kegiatan pinjaman luar negeri,
dilakukan pemantauan dan evaluasi baik dari sisi pencairan dana maupun
pencapaian kinerja. Dalam hal ini, Kementerian Keuangan bertanggung jawab
pada pemantauan dan evaluasi terkait realisasi penyerapan pinjaman luar negeri. Di
sisi lain, Bappenas bertanggung jawab dalam melakukan pemantauan dan evaluasi
terkait kinerja pelaksanaan kegiatan pinjaman luar negeri.
3 DIMENSI PEMBANGUNAN
KONDISI PERLU
13
Pembangunan nasional dalam RPJMN 2015-2019, secara umum, dapat dicapai
melalui strategi pembangunan nasional yang memuat norma, dimensi, dan kondisi
perlu (lihat Gambar 2.2). Dalam RPJMN 2015-2019, norma pembangunan mencakup
peningkatan kualitas hidup manusia dan masyarakat, peningkatan produktivitas
rakyat lapisan menengah-bawah tanpa menciptakan ketimpangan yang melebar,
dan pembangunan yang selaras dengan lingkungan dan memperhatikan
keseimbangan ekosistem.
14
h
BAB 3
ANALISIS DAN HASIL KAJIAN
3.1 Analisis Rencana Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri 2015-2019
Sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011, Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas mendapat amanat untuk
menyusun RPPLN. RPPLN disusun dengan berpedoman pada RPJMN serta
memperhatikan BMP luar negeri. Secara substansi, RPPLN memuat indikasi kebutuhan
dan rencana penggunaan Pinjaman Luar Negeri dalam jangka menengah. Dengan
telah ditetapkannya RPJMN 2015-2019, maka RPPLN 2015-2019 perlu disusun sebagai
panduan dalam kebijakan pemanfaatan pinjaman luar negeri selama periode 2015-
2019.
Gambar 3.1 Alur Perhitungan Rencana Komitmen Baru Pinjaman Luar Negeri
2015-2019
Perkiraan Postur
Pembiayaan 2015-2019
Rencana Penarikan
Pinjaman LN On Going
Perhitungan Indikasi
Komitmen Pinjaman LN
Baru 2015-2019
15
Kebutuhan pinjaman luar negeri mengacu pada kebijakan makro RPJMN
2015-2019. Beberapa kebijakan makro dalam RPJMN yang menjadi dasar penentuan
kebutuhan pinjaman luar negeri adalah: (i) menjaga dan mempertahankan
kesinambungan fiskal, (ii) meningkatkan kinerja neraca pembayaran, (iii) diarahkan
dengan mengurangi rasio defisit anggaran menjadi sekitar satu persen pada tahun
2019, dan (iv) menjaga rasio utang di bawah 30 persen terhadap PDB. Berbagai
kebijakan tersebut mendasari nilai perkiraan pembiayaan defisit yang salah satunya
akan dibiayai melalui pinjaman luar negeri selama 2015-2019 (Tabel 3.1).
(Rp. Miliar)
16
h
Dengan berpedoman pada postur pembiayaan 2015-2019 dan BMP luar
negeri 2015-2019, maka dapat diperhitungkan rencana penarikan pinjaman luar
negeri 2015-2019. Rencana penarikan pinjaman luar negeri tersebut terdiri dari
rencana penarikan pinjaman sedang berjalan (on going) dan rencana penarikan
pinjaman luar negeri baru (ruang gerak pinjaman baru).
Tabel 3.3 Indikasi Komitmen Pinjaman Luar Negeri 2015-2019 (dalam % PDB)
Pinjaman
0,08 – 0,10 0,17 – 0,21 0,24– 0,29 0,14 – 0,17 0,18– 0,22 0,16 – 0,20
Proyek
Pinjaman
0,12 – 0,14 0,12 – 0,15 0,15– 0,19 0,13 – 0,16 0,11– 0,13 0,13 – 0,15
Program
Total 0,20 – 0,24 0,29 – 0,36 0,39– 0,48 0,26 – 0,32 0,28– 0,35 0,29 – 0,35
17
Prinsip Penggunaan Pinjaman Luar Negeri
Pinjaman luar negeri harus dilaksanakan dengan prinsip tata kelola yang baik
(good governance) yaitu dilakukan secara transparan, akuntabel, efisien dan efektif,
serta dengan kehati-hatian. Selain itu, untuk menjaga kedaulatan nasional,
pelaksanaan pinjaman luar negeri harus tidak disertai ikatan politik dan tidak memiliki
muatan yang dapat mengganggu stabilitas keamanan negara.
18
h
kesenjangan antar wilayah juga perlu menjadi pertimbangan penting dalam
menentukan kegiatan pinjaman luar negeri.
19
Gambar 3.2 Neraca Pembayaran
Jasa
NERACA
PEMBAYARAN Pendapatan Primer
Pendapatan
Sekunder
Investasi Portofolio
Sesuai dengan data Bank Indonesia, pada triwulan III-2015, transaksi investasi
lainnya di sisi kewajiban untuk sektor publik mengalami surplus sebesar USD 1,6 miliar,
hal ini disebabkan karena adanya penarikan pinjaman luar negeri pemerintah yang
mencapai USD 2,1 miliar, sedangkan pembayaran pokok selama triwulan ini hanya
sekitar USD 0,5 miliar. Dalam periode yang sama, meskipun terjadi penurunan
pembayaran bunga pinjaman luar negeri, namun neraca pendapatan primer masih
mengalami defisit USD 7,1 miliar. Defisit tersebut disebabkan oleh meningkatnya
jumlah pembayaran pendapatan investasi langsung dan pendapatan investasi
portofolio sesuai pola musimannya (Bank Indonesia, 2015b).
20
h
Beberapa data tersebut di atas menunjukkan bahwa aktivitas penarikan dan
pembayaran pinjaman luar negeri turut mempengaruhi neraca pembayaran,
meskipun tidak sebesar pengaruh ekspor, impor, dan foreign direct investment (FDI).
Saat melakukan penarikan pinjaman luar negeri, terdapat aliran modal yang masuk
(capital inflow) sehingga dapat meningkatkan cadangan devisa (Gambar 3.3).
Pada saat melakukan pembayaran pokok pinjaman dan bunga, terdapat aliran
modal yang keluar (capital outflow) yang mengakibatkan keluarnya sejumlah valuta
asing sehingga cadangan devisa berkurang.
Di sisi lain, pinjaman luar negeri juga dapat dimanfaatkan untuk mengimpor
barang/jasa yang belum mampu diproduksi oleh industri atau supplier dalam negeri.
Impor tersebut utamanya terkait dengan proyek pemerintah seperti di bidang
infrastruktur yang belum mampu diproduksi di dalam negeri, seperti pengadaan
track materials, bridge materials, dan alutsista. Dengan melakukan pinjaman luar
negeri untuk keperluan impor, maka pemerintah tidak perlu menukarkan rupiah ke
dalam mata uang lain (valuta asing) sehingga cadangan devisa dapat dihemat.
Dimanfaatkan Penarikan
Capital Cadangan
sebagai sumber Pinjaman
Inflow Devisa↑
pembiayaan Luar Negeri
Pinjaman Luar Negeri
Barang/jasa Pemerintah
yang belum membayar dengan Cadangan
Dimanfaatka
dapat Pinjaman LN, tidak Devisa tidak
n untuk impor
diproduksi perlu menukar Rupiah berkurang
didalam negeri ke mata uang lain
21
Gambar 3.4 Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri terkait Investasi untuk
Mendorong Ekspor
Kesinambungan fiskal adalah kondisi APBN yang sehat dalam jangka panjang
dan mampu meminimalisir adanya risiko gagal bayar (default risk). Hal ini dapat
dilihat dari dua sisi, yaitu bagaimana pengelolaan APBN dapat dilakukan secara
prudent dan bagaimana APBN digunakan secara optimal dengan meningkatkan
kualitas belanja (quality of spending). Oleh karena itu, kondisi fiskal yang
berkesinambungan, adalah terciptanya struktur APBN yang dapat berfungsi sebagai
stabilisator perekonomian untuk menjaga kestabilan makro (inflasi, jumlah
pengangguran, pertumbuhan ekonomi) melalui pengeluaran pemerintah yang
berkualitas, serta mampu mengelola APBN untuk menjamin terpenuhinya
pengeluaran pemerintah dalam jangka panjang dan portofolio pembiayaan yang
terkendali (Gambar 3.5). Indikator yang lazim digunakan adalah defisit APBN yang
berada pada tingkat yang relatif rendah dan debt to GDP ratio yang dapat dikelola
secara baik (manageable) (Waluyanto, 2012).
Stabilisasi Makroekonomi
Quality of spending (Pertumbuhan ekonomi, inflasi,
dan tk. Pengangguran rendah)
Kesinambungan
Fiskal
Indikator:
Defisit APBN menurun
Debt to GDP Ratio (DTO)
Pengelolaan Portofolio Debt to Export Ratio (DTX)
Debt Service Ratio (DSR)
22
h
Dalam rangka mempertahankan kesinambungan fiskal, pemanfaatan
pinjaman luar negeri dapat dioptimalkan melalui peningkatan quality of spending
dan pengelolaan pinjaman luar negeri secara baik sebagai bagian dari
pembiayaan defisit (Gambar 3.6).
23
Tabel 3.4 Indikator APBN
Best
Indikator & Definisi Indonesia
Practice
DSR merupakan rasio pembayaran cicilan dan bunga
pinjaman LN terhadap pendapatan ekspor. DSR
menggambarkan berapa besar penerimaan hasil 23,15%** 40%
ekspor yang diperlukan untuk memenuhi kewajiban
pinjaman.
DTO merupakan rasio utang terhadap PDB. Rasio ini
menunjukkan berapa persen PDB yang harus disisihkan
untuk melunasi utang. Semakin rendah suku bunga dan 24,7%* <50%
semakin panjang jangka waktu jatuh tempo, maka
semakin kecil bebannya.
DTX merupakan perbandingan antara stok utang
terhadap pendapatan ekspor (riil). Semakin tinggi rasio
152,87%** <200%
mengindikasikan bahwa negara tersebut semakin sulit
untuk memenuhi kewajiban luar negerinya.
Sumber: Bank Indonesia, IMF, Kementerian Keuangan, (Mosley, Harrigan, & Toye, 1991), (diolah).
Catatan: *) Profil Utang Pemerintah Pusat (Kementerian Keuangan, per November 2015),
angka proyeksi menggunakan PDB berdasarkan asumsi APBN-P.
**) Statistik Utang Luar Negeri Indonesia, angka sementara (Bank Indonesia, per Oktober 2015).
Secara umum, semua indikator fiskal (APBN) di Indonesia saat ini masih relatif
aman. Hal ini ditunjukkan dari rendahnya DSR, DTO dan DTX dibandingkan dengan
batas aman yang lazim digunakan (best practices).
24
h
tingkat biaya dan risiko yang berbeda-beda. Oleh karena itu, manajemen portofolio
utang perlu dilakukan sebagai bentuk dari efisiensi biaya dan mitigasi risiko. Dengan
melakukan manajemen portofolio utang yang baik, biaya dan risiko pinjaman
diharapkan menjadi rendah dan terkendali (manageable).
1. Pinjaman DN
Masing-masing Manajemen
2. Pinjaman LN Manajemen
Sumber sumber portofolio utang
3. SBN Portofolio
Pembiayaan memiliki biaya untuk mencapai
4. SBSN (biaya, risiko)
Defisit dan risiko yang biaya dan risiko
5. dan lain-lain terendah ↓
berbeda yang rendah
25
Tabel 3.5 Persyaratan Pinjaman Luar Negeri dan SBN
26
h
Grafik 3.1 Pembiayaan Utang Pemerintah TA 2014
Penarikan
Penarikan
Pinjaman
Pinjaman Luar
Dalam Negeri
Negeri
0,2%
11%
Penerbitan
SBN Valas
17% Penerbitan
SBN Domestik
72%
Lebih jauh lagi apabila kita lihat dari status kepemilikan SBN, kepemilikan asing
di SBN cenderung meningkat dari tahun 2011 sebesar 30,8 persen menjadi 37,1
persen pada Oktober 2015 (Grafik 3.2). Hal ini perlu menjadi bahan pertimbangan
dalam pengelolaan dan komposisi utang Indonesia kedepan, penerbitan SBN perlu
didorong untuk dimanfaatkan dalam mengoptimalkan potensi pendanaan dalam
negeri khususnya masyarakat untuk terlibat dalam memanfaatkan obligasi sebagai
salah satu produk keuangan (meningkatkan financial inclusion) dan berkontribusi
dalam pembiayaan pembangunan nasional.
27
Grafik 3.2 Kepemilikan SBN (%)
100
90
30,8 32,98 32,54
80 38,13 37,1
70
60
31,49 30,11 29,29
50 27,39 28,73
40
1,08 0,37 4,47
3,44 5,26
30
0
2011 2012 2013 2014 Okt-15
28
h
Dalam hal ini, peran pinjaman luar negeri dalam meminimalisir crowding out
effect dapat dilakukan dalam konteks manajemen portofolio utang dimana
terdapat beberapa pilihan sumber utang yang berasal dari dalam negeri (sumber
pembiayaan domestik) maupun sumber luar negeri.
Pembiayaan domestik yang tinggi baik dari sisi volume ataupun biaya (tingkat
bunga) karena tingginya kebutuhan pembiayaan defisit dapat dikurangi dengan
upaya pemerintah untuk memanfaatkan sumber eksternal. Pinjaman luar negeri
sebagai salah satu sumber pembiayaan eksternal dapat dimanfaatkan, sehingga
pinjaman/penerbitan obligasi dalam negeri dapat terjaga dalam batas wajar baik
dari sisi volume maupun biaya (Gambar 3.9).
Gambar 3.9 Pengelolaan Utang untuk Mengurangi Potensi Crowding Out Effect
Portofolio
Utang:
Pinjaman/ Mengurangi
Pembiayaan Domestik: Komposisi
obligasi potensi
Defisit (utang SBN, pembiayaa
Dalam Negeri crowding
pemerintah) Pinjaman DN n lebih baik
dalam batas out
External: wajar
Pinjaman LN
A. Menambah Kapasitas
29
Gambar 3.10 Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri dalam Menambah Kapasitas
Pelaksana Proyek
Interaksi (manajemen proyek)
Stakeholder dalam
Proyek Pinjaman
Beneficiaries:
LN
International Masyarakat &
(International
Best Pemerintah
Pinjaman expert, Industri/
Practice (manajemen organisasi,
Luar Negeri Local Supplier &
& Transfer of pengetahuan, good
International,
Knowledge governance, skill,
Pemerintah Asing
empowerment) ↑
& Lokal,
Masyarakat,
Kontraktor) Kontraktor & Industri DN
(new technology,
inovasi) ↑
30
h
Coastal Community Development Project (CCDP)
Dari hasil kunjungan lapangan diperoleh informasi mengenai beberapa manfaat proyek
bagi peningkatan kapasitas masyarakat penerima manfaat (benfiseries) sebagai berikut:
Adanya pendekatan berbasis pemberdayaan masyarakat yang mampu meningkatkan
pendapatan rumah tangga secara signifikan. Hal ini dapat terlihat dari adanya
kelompok pengolah hasil sumber daya alam laut oleh ibu-ibu di wilayah setempat. Ibu-
ibu yang sebelumnya tidak memiliki pekerjaan, sangat merasakan manfaat dari CCDP.
Sekarang mereka memiliki pendapatan/menabung sekitar Rp 600.000/bulan. Tidak
hanya dari sisi peningkatan pendapatan, kelompok pengelola hasil sumber daya juga
diberi pelatihan-pelatihan terkait pengolahan produk termasuk cara menggunakan
teknologi pengolah yang sederhana.
Keseragaman label dan mutu produk (standarisasi) akan dilakukan di “Rumah Kemasan”
sehingga produk olahan terorganisir dan dalam jangka panjang siap dipasarkan sebagai
komoditi ekspor. Jenis teknologi yang digunakan di “Rumah Kemasan” merupakan
teknologi sederhana yang diperoleh dari dalam negeri.
Untuk menarik kunjungan masyarakat ke Pantai Cemare, Desa Lembar Selatan,
Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat, kedepannya akan dikembangkan
wisata pantai dan pembuatan track didalam hutan mangrove untuk keperluan wisata
hutan mangrove. Dilokasi yang berdekatan dengan hutan mangrove, dibangun
perpustakaan kecil sebagai sarana edukasi untuk anak-anak di wilayah sekitar.
Perpustakaan menyediakan buku-buku yang diperoleh melalui donasi berbagai pihak
seperti universitas.
Pembentukan “Koperasi Bina Bahari” sedang dilakukan dalam upaya untuk menjaga
keberlanjutan CCDP ketika masa proyek pinjaman luar negeri dari IFAD ini berakhir. Koperasi
tersebut akan didampingi Bank Pesisir untuk permodalan.
31
B. Pengembangan Model Proyek/Kegiatan (Replikasi/Scaling Up)
Proyek/kegiatan
Output/ Best Model
Pinjaman Luar Negeri:
Outcome, Pemantauan Practice, proyek/kegiatan
International best
dan dan Evaluasi Feasible, dapat direplikasi/
practice dan Transfer
manfaat Priority scaling up
of knowledge
32
h
Proyek/kegiatan yang dapat direplikasi/scaling up dapat diklasifikasikan
berdasarkan sifatnya, yaitu kuantitatif atau kualitatif (Gambar 3.12)3. Kegiatan
bersifat kuantitatif apabila replikasi/scaling up ditujukan untuk menjangkau penerima
manfaat yang lebih luas atau adanya penambahan lokasi kegiatan. Di sisi lain,
kegiatan yang bersifat kualitatif diidentifikasi dari apakah replikasi/scaling up
dilakukan dengan mengadopsi sebagian atau keseluruhan model dalam sistem dan
program pemerintah (Direktorat Pendanaan Luar Negeri Multilateral, 2014).
Penambahan Lokasi
Keseluruhan Model
33
Strategi Keberlanjutan dan Inisiasi Replikasi Proyek READ
(Rural Empowerment and Agricultural Development)
READ merupakan proyek kerjasama pemerintah dengan IFAD yang bertujuan untuk
meningkatkan mata pencaharian masyarakat miskin secara berkelanjutan melalui
peningkatan pertumbuhan kegiatan ekonomi pertanian masyarakat. READ dilaksanakan di
provinsi Sulawesi tengah: Kabupaten Banggai, Kabupaten Buol, Kabupaten Parigi Moutong,
Kabupaten Poso, dan Kabupaten Toli-toli. Institusi pelaksana proyek ini adalah Badan
Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) Kementerian
Pertanian. Dukungan dana diperoleh dari IFAD berupa pinjaman sebesar USD 21,08 Juta dan
hibah sebesar USD 500.000.
Evaluasi hasil READ pada pertengahan 2014 yang dilakukan oleh pengelola proyek,
menunjukkan bahwa pendekatan pemberdayaan READ telah sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan berkontribusi pada peningkatan produksi pertanian masyarakat. Selain itu,
hasil evaluasi juga menunjukkan adanya keunggulan dan pembelajaran dalam proyek READ.
Dengan melihat hasil evaluasi dan manfaat proyek READ tersebut, maka terdapat
dorongan untuk memperluas proyek READ. Oleh karena itu, sebagai salah satu exit strategy,
Pemerintah menginisiasi dilakukannya replikasi READ di wilayah lain. Inisiatif replikasi READ
didasarkan pada penilaian terhadap pemantauan dan evaluasi proyek yang dilakukan
selama proyek berjalan. Termasuk perbandingan dengan program-program serupa yang
dilakukan oleh Kementerian Pertanian.
34
h
Development Bank, dan lain-lain. Selain sebagai member country dan borrower,
peran Indonesia juga dapat ditingkatkan untuk lebih aktif dalam lembaga tersebut.
Selain itu, kerjasama dalam lembaga tersebut juga mampu membangun network
dengan dunia internasional (Gambar 3.13).
Kerjasama
Networking ↑
Multilateral
Pinjaman Kerjasama
Luar Negeri Pembangunan
↑
Hubungan Bilateral
Kerjasama antar Negara ↑ (dan
Bilateral diperluas untuk sektor
lain)
Proyek pinjaman luar negeri tidak hanya melibatkan kerjasama G-to-G saja,
namun juga melibatkan peran BUMN dan swasta nasional dalam pelaksanaannya.
BUMN dan swasta dapat terlibat secara langsung dalam proyek pinjaman luar negeri
sebagai pelaksana proyek, kontraktor, pemasok (supplier), atau bagian dari KPS
(Kerjasama Pemerintah-Swasta) (Gambar 3.14).
35
produk-produk mereka dalam mendukung proyek pinjaman luar negeri. Terkait
dengan keterlibatan BUMN dan swasta nasional dalam KPS, hal ini dilakukan dengan
mengarahkan pinjaman luar negeri untuk membiayai proyek dengan skema KPS.
Dalam pola ini, pemerintah memanfaatkan pinjaman luar negeri untuk mendanai
porsi pemerintah, sedangkan BUMN dan Swasta membiayai porsi privat-nya.
- Pelaksana proyek
Stakehol- Supplier
Negeri yang -
der
melibatkan - Pembiayaan
BUMN/Swasta KPS(Kerjasama
Pemerintah-Swasta)
36
h
Gambar 3.15 Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri dalam Mendukung
Pertumbuhan Ekonomi, Meningkatkan Akses Pelayanan, atau
Pemerataan Pembangunan
37
BAB 4
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1 Kesimpulan
1. Pinjaman luar negeri selain berperan sebagai sumber pembiayaan defisit,
juga dilaksanakan dalam kerangka kerjasama pembangunan. Oleh karena
itu, diperlukan kebijakan pemanfaatan pinjaman luar negeri secara tepat
sehingga dapat meningkatkan efektivitas peran pinjaman luar negeri dalam
mendukung pencapaian sasaran pembangunan nasional. Kebijakan
pemanfaatan tersebut dapat dilihat dari aspek makro pinjaman luar negeri
maupun aspek mikro pada tataran pelaksanaan proyek yang dibiayai
dengan pinjaman luar negeri.
39
diperoleh dari international best practice dan lesson learn dari proyek
pinjaman luar negeri dapat diperluas dengan melakukan replikasi/scaling up
kegiatan. Untuk mengidentifikasi kelayakan proyek pinjaman luar negeri
yang akan direplikasi/scaling up, dapat dilakukan dengan melihat hasil
dan manfaat proyek melalui hasil pemantauan dan evaluasi dengan
mempertimbangkan aspek kalayakan (feasibility), pengalaman/best
practice, dan prioritas (priority). Dalam kerangka kerjasama internasional,
3. pinjaman luar negeri dapat dimanfaatkan untuk menjalin kerjasama dalam
aspek yang lebih luas seperti perdagangan dan pariwisata. Swasta dan
BUMN juga dapat memperoleh manfaat dari pelaksanaan proyek pinjaman
luar negeri, baik terlibat dalam proyek secara langsung maupun sebagai
penerima dampak dari proyek pinjaman luar negeri. Selain pada sektor
investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, proyek-proyek pinjaman
luar negeri juga dapat diarahkan untuk meningkatkan akses pelayanan
publik dan mendorong upaya pemerataan pembangunan.
4.2 Rekomendasi
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan sebelumnya, beberapa
rekomendasi dihasilkan untuk meningkatkan efektivitas pemanfaatan pinjaman luar
negeri di Indonesia.
1. Meskipun memiliki tingkat biaya yang relatif murah, pinjaman luar negeri
memiliki risiko nilai tukar. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan upaya
mitigasi risiko fluktuasi nilai tukar dalam pinjaman luar negeri. Hal ini dapat
dilakukan dengan menerapkan mekanisme lindung nilai (hedging) menjadi
bagian dalam terms and conditions dari pinjaman luar negeri. Pengaturan
mengenai hedging dapat diakomodasi baik dalam peraturan
perundangan ataupun dalam proses negosiasi dan dituangkan dalam
perjanjian pinjaman luar negeri. Dengan adanya hedging, maka
outstanding utang luar negeri pemerintah dalam jangka panjang akan
lebih terkendali.
40
h
evaluasi proyek pinjaman luar negeri. Oleh karena itu, substansi
pemantauan dan evaluasi proyek pinjaman luar negeri perlu diperluas
dengan tidak hanya fokus pada permasalahan proyek namun juga pada
manfaat dan inovasi yang dihasilkan suatu proyek. Tujuannya adalah untuk
memasukkan unsur best practice dan lesson learn yang dihasilkan dari
suatu proyek pinjaman luar negeri, sehingga dapat memberikan penilaian
dan pemilihan proyek yang layak untuk replikasi/scaling up yang lebih
terencana.
41
DAFTAR PUSTAKA
Alesina, A., & Weder, B. (1999). Do Corrupt Governments Receive Less Foreign Aid?
National Bureau of Economic Research.
Bank Indonesia. (2008). Manajemen Pinjaman Luar Negeri Swasta Indonesia. Jakarta:
PT Elex Media Komputindo.
Bank Indonesia. (2015a, October). Statistik Utang Luar Negeri Indonesia Vol: VI
Oktober 2015. Statistik Utang Luar Negeri Indonesia, p. 42.
Boone, PD 1996, 'Politics and the effectiveness of foreign aid', European Economic
Review, vol. 40, no. 2, pp. 289-329.
Burnside, C & Dollar, D 2000, 'Aid, Policies, and Growth', The American Economic
Review, vol. 90, no. 4, pp. 847-68.
Chowdhury, A., & Islam, I. (n.d.). Retrieved July 9, 2015, from voxeu.org:
http://www.voxeu.org/debates/commentaries/there-optimal-debt-gdp-ratio
Dalgaard, C-J, Hansen, H & Tarp, F. (2004). 'On the Empirics of Foreign Aid and
Growth', The Economic Journal, vol. 114, no. 496, pp. F191-F216.
Dionne, K. Y., Kramon, E., & Roberts, T. (2013). Aid Effectiveness and Allocation:
Evidence from Malawi*.
Easterly, WR 2001, The elusive quest for growth: economists' adventures and
misadventures in the tropics, MIT Press, Cambridge, Mass.
Hjertholm, P, Laursen, J, & White, H. (2000). 'Foreign Aid and The Macroeconomy', in
Tarp, F & Hjertholm, P, Foreign aid and development: lessons learnt and
directions for the future, Routledge, New York; London.
Johnson, D., & Zajonc, T. (2006). Can Foreign Aid Create an Incentive for Good
Governance? Evidence from the Millennium Challenge Corporation. SSRN-
id896293.
43
Kementerian Keuangan. (2015a). Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015. Kementerian
Keuangan.
Kementerian Keuangan. (2015b). Profil Utang Pemerintah Pusat (Pinjaman dan Surat
Berharga Negara). Profil Utang Pemerintah Pusat (Pinjaman dan Surat
Berharga Negara) edisi September 2015.
Kementerian Keuangan. (2015c). Profil Utang Pemerintah Pusat (Pinjaman dan Surat
Berharga Negara). Profil Utang Pemerintah Pusat (Pinjaman dan Surat
Berharga Negara) edisi November 2015.
Kim, J. (2011). Foreign Aid and Economic Development: The Success Story of South
Korea*. Pacific Focus Inha Journal of International Studies.
Lancaster, C., & Dusen, A. V. (2005). Organizing U.S. Foreign Aid: Confronting the
Challenges of the Twenty-First Century (Global Economy & Development:
Monograph Series on Globalization). Washington D.C.: Brookings Institution
Press.
Mitra, R. (2013). 'Foreign aid and economic growth: a cointegration test for
Cambodia', Journal of Economics and Behavioral Studies, vol. 5, no. 2, pp. 117-
21.
44
h
Mosley, P., Harrigan, J., & Toye, J. (1991). Aid and Power The World Bank and Policy
Proposals Second Edition. USA, Canada: Rautledge.
Perkins, DH, Radelet, S, Lindauer, DL, & Block, SA 2013, Economics of Development, W.
W. Norton & Company, New York.
Strout, AM & Chenery, HB 1966, 'Foreign assistance and economic development', The
American Economic Review, vol. 56, no. 4, pp. 679-733.
Thirlwall, AP & Hussain, MN. (1982). 'The Balance of Payments Constraint, Capital Flows
and Growth Rate Differences between Developing Countries', Oxford
Economic Papers, vol. 34, no. 3, pp. 498-510.
White, H., & McGillivray, M. (1992). Aid, The Public Sector, and Crowding In. Working
Paper Series No.126.
World Bank. (2005). Public Debt and Its Determinants in Market Access Countries:
Results from 15 Country Case Studies. World Bank Publication.
45