You are on page 1of 25

2.

1 Biji Bintaro

Bintaro memiliki nama lain, seperti Cerbera lactaria dan C. odollam.Selain itu, nama
lain yang biasa digunakan adalah pong-pong tree, indian suicide tree, othalanga, odollam tree,
pink-eyed cerbera, sea mango, dan dong bone. Di Indonesia, yang memiliki banyak keragaman
bahasa daerah, bintaro ini dikenal dengan nama bintan, buta-buta badak, goro-goro (Mando),
kayu gurita, kayu susu, mangga brabu (Maluku), madang kapo (Minangkabau), kenyeri putuh
(Bali), darli utama (Sangir), kadong (Sulawesi utara), lambuto (Makassar), yabai, oho pae,waba,
wabo (ambon), dan goro-goro guwae (Ternate). Bintaro juga dikenal sebagai tanaman yang
memiliki beberapa kegunaan, seperti tanaman hias dan penghijaun di perkotaan, bahan baku
kerajinan bunga kering, pestisida nabati, serta tanaman obat. Habitat dan tanaman ini berasal dari
daerah dengan iklim tropis seperti Asia, Australia, Madagaskar, dan Kepulauan sebelah barat
Samudera Pasifik (Tjitrosoepomo 2007).

Gambar 1. Pohon dan buah bintaro


Menurut Tjitrosoepomo (2007) Klasifikasi bintaro yaitu:
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Subkelas : Sympetalae
Ordo : Contortae
Famili : Apocynacea
Genus : Cerbera
Spesies : Cerbera manghas
Tanaman ini dapat memiliki ketinggian mencapai 10-20 meter. Pohon bintaro memiliki
batang yang tegak yang berbentuk bulat, berkayu serta berbintik-bintik hitam. Daun yang
dimiliki pohon bintaro memiliki ciri-ciri, antara lain daun tunggal dan berbentuk lonjong, tepi
daun rata, ujung pangkalnya meruncing, pertulangan daun menyirip, permukaan licin, dengan
ukuran panjang 15-20 cm, lebar 3-5 cm, dan bewarna hijau. Selain itu, alat reproduksi tanaman
ini adalah dengan bunga yang memiliki karakteristik bewarna putih, berbau harum, dan terletak
di ujung batang. Bunganya termasuk dalam bunga majemuk yang memiliki tangkai putik 2-2,5
cm dengan kepala sari bewarna cokelat dan kepala putiknya bewarna hijau keputihan. Didalam
buah bintaro ini terdapat biji yang berbentuk oval, panjang, pipih, dan warnanya putih. Pohon
bintaro diperkuat dengan akar yang kokoh bersifat akar tunggang bewarna cokelat
(Tjitrosoepomo 2007).

Buahnya mirip mangga kecil saat warnanya masih hijau dengan serat batok hijau yang
menutup biji bulat berukuran 2 cm x 1,5 cm dan terdiri dari dua bagian daging buah. Jika
terpajan oleh udara, biji putih ini akan berubah menjadi warna ungu, kemudian abu-abu tua dan
akhirnya berubah menjadi coklat atau hitam. Bagian tumbuhan ini menghasilkan getah bewarna
putih susu. Pohon ini banyak tumbuh di sekitar rawa dan tepi sungai di beberapa negara seperti
India, Vietnam, Bangladesh, Kamboja, dan Myanmar. Di Madagaskar, biji buahnya menjadi
racun yang berat karena mengandung glikosida yang bersifat toksik tinggi bagi jantung. Di
Myanmar, biji ini digunakan untuk kosmetik untuk mencerahkan tubuh atau digunakan sebagai
campuran insektisida atau repellent karena mengandung minyak non-siccative. Secara
tradisional, bagian-bagian dari pohon ini dapat digunakan sebagai obat pencahar, emetik, anti-
rematik, sedatif, anti-nosiseptif, dan aktifitas toksik pada sistem saraf pusat dan jantung
(Tjitrosoepomo 2007).

Pada analisis fitokimia ditemukan beberapa zat yang berada pada biji bintaro yaitu
alkaloid, tanin, dan saponin. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak ini memiliki sifat
antibakteri, sitotoksik, dan sebagai depresan sistem saraf pusat karena adanya zat alkaloid dan
saponin. Selain itu, saponin dan polifenol yang juga bersifat toksik pada serangga, dapat juga
menghambat aktivitas makan serangga. Saponin memiliki sifat seperti sabun dan larut dalam air.
Aktivitas makan dapat dihambat karena saponin menyebabkan penurunan enzim pencernaan
serta menghambat absorbsi makanan. Saponin dapat menyebabkan kutikula pada kulit larva
hilang sehingga cairan tubuh larva banyak yang keluar dan juga masuk melalui saluran
pernafasan sehingga merusak tubuh larva (Utami et al,2010).
Senyawa lainnya yang terkandung dalam biji bintaro adalah steroid yang dapat
menghambat proses molting pada larva. Steroid memiliki struktur yang mirip dengan hormon
yang berperan dalam molting serangga. Hal ini dapat menghambat terjadinya proses molting
pada serangga.Tanin juga dapat menggangu proses pencernaan pada larva karena mengganggu
penyerapan dengan mengikat protein di saluran cerna. Hal ini akan menggangu pertumbuhan dan
perkembangan karena kurangnya nutrisi yang dibutuhkan terutama protein. Hal ini terjadi karena
tanin dapat menurunkan aktifitas enzim digestif seperti protease dan amylase (Yunita et al,
2009).
2.2 Penyakit yang disebabkan Bakteri Staphylococcus aureus
Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertaiabses bernanah.
Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalahbisul, jerawat, impetigo, dan
infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranyapneumonia, mastitis, plebitis, meningitis,
infeksi saluran kemih, osteomielitis, danendokarditis. S. aureus juga merupakan penyebab utama
infeksi nosokomial,keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Jawetz et al., 1995).

Bisul atau abses setempat, seperti jerawat dan borok merupakan infeksi kulit di daerah
folikel rambut, kelenjar sebasea, atau kelenjar keringat. Mula-mula terjadi nekrosis jaringan
setempat, lalu terjadi koagulasi fibrin di sekitar lesi dan pembuluh getah bening, sehingga
terbentuk dinding yang membatasi proses nekrosis. Infeksi dapat menyebar ke bagian tubuh lain
melalui pembuluh getah bening dan pembuluh darah, sehingga terjadi peradangan pada vena,
trombosis, bahkan bakterimia. Bakterimia dapat menyebabkan terjadinya endokarditis,
osteomielitis akut hematogen, meningitis atau infeksi paru-paru (Jawetz et al., 1995).
Kontaminasi langsung S. aureus pada luka terbuka (seperti luka pascabedah) atau infeksi
setelah trauma (seperti osteomielitis kronis setelah fraktur terbuka) dan meningitis setelah fraktur
tengkorak, merupakan penyebab infeksi nosokomial. Keracunan makanan dapat disebabkan
kontaminasi enterotoksin dari S. aureus. Waktu onset dari gejala keracunan biasanya cepat dan
akut, tergantungpada daya tahan tubuh dan banyaknya toksin yang termakan. Jumlah toksin yang
dapat menyebabkan keracunan adalah 1,0 μg/gr makanan
2.3 Bakteri Staphylococcus aureus
Bakteri Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang hidup dipermukaan tubuh individu
sehat tanpa membahayakan, terutama sekitar hidung, mulut, alat kelamin, dan rectum. Namun,
ketika kulit kita mengalami luka atau tusukan, bakteri ini akan masuk melalui luka dan
menyebabkan infeksi (Misna dan Diana , 2016)
Staphylococcus aureus ( S. aureus) juga berperan dalam keamanan pangan karena dapat
menyebabkan kejadian mastitis pada sapi perah dan berpotensi mengkontaminasi produk susu
sapi S. aureus merupakan bakteri fakultatif anaerob Gram positif, berbentuk bulat, menghasilkan
enterotoksin, ditemukan di udara, debu, limbah, air, susu, makanan atau peralatan makan dan
pada permukaan lingkungan. Pada manusia atau hewan biasanya ditemukan di kulit dan hidung.
Manusia dan hewan merupakan reservoir utama dengan tingkat 20-30% dari keseluruhan
populasi adalah sebagai pembawa staphylococcus (prihandani et al , 2014).
2.4 Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari
simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir
semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga
memenuhi baku yang telah ditetapkan. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor
seperti sifat dari bahan mentah obat, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan
kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna. (Depkes RI,1995).
Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara
larutan zat aktif didalam sel dan diluar sel, maka larutan terpekat akan terdesak keluar. Peristiwa
ini berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan diluar sel dan didalam sel.
Pada umumnya maserasi dilakukan dengan cara 10 bagian simplisia dengan derajat kehalusan
yang cocok, dimasukkan kedalam bejana kemudian dituangi dengan 75 bagian cairan penyari,
ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambil berulang-ulang diaduk.
Setelah 5 hari diserkai, ampas diperas. Pada ampas ditambahkan cairan penyari secukupnya,
diaduk dan diserkai sehingga diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian. Bejana ditutup,
dibiarkan ditempat sejuk, terlindung dari cahaya, selama 2 hari kemudian endapan dipisahkan.
Pengadukan pada proses maserasi dapat menjamin keseimbangan konsentrasi bahan yang
diekstraksi lebih cepat didalam cairan penyari. Hasil penyarian dengan cara maserasi perlu
dibiarkan selama waktu tertentu. Hal ini dilakukan untuk mengendapkan zat-zat yang tidak
diperlukan tetapi ikut terlarut dalam cairan penyari, seperti: malam dan lain-lain (Kawiji et al,
2015).
Menurut sinambela (2003) Salah satu metode yang digunakan untuk penemuan obat
tradisional adalah metode ekstraksi. Pemilihan metode ekstraksi tergantung pada sifat bahan dan
senyawa yang akan diisolasi. Sebelum memilih suatu metode, target ekstraksi perlu ditentukan
terlebih dahulu. Ada beberapa target ekstraksi, diantaranya
1. Senyawa bioaktif yang tidak diketahui
2. Senyawa yang diketahui ada pada suatu organisme
3. Sekelompok senyawa dalam suatu organisme yang berhubungan secara struktural.
4. Semua senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh suatu sumber tetapi tidak dihasilkan
oleh sumber lain dengan kontrol yang berbeda, misalnya dua jenis dalam marga yang sama
atau jenis yang sama tetapi berada dalam kondisi yang berbeda.
5. Identifikasi seluruh metabolit sekunder yang ada pada suatu organisme untuk studi
sidik jari kimiawi dan studi metabolomik.
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan
beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi
termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi
digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan
penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak
mengandung benzoin, sitrak, dan lain-lain. Maserasi dilakukan dengan merendam serbuk
simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-
etanol, atau pelarut lain. (Sidik dan Mudahar, 2000).
Maserasi umumnya dilakukan dengan cara: memasukkan simplisia yang sudah
diserbukkan dengan derajat halus tertentu sebanyak 10 bagian dalam bejana maserasi yang
dilengkapi pengaduk mekanik, kemudian ditambahkan 75 bagian cairan penyari ditutup dan
dibiarkan selama 5 hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya sambil berulang-ulang
diaduk. Setelah 5 hari, cairan penyari disaring ke dalam wadah penampung, kemudian ampasnya
diperas dan ditambah cairan penyari lagi secukupnya dan diaduk kemudian disaring lagi
sehingga diperoleh sari 100 bagian. Sari yang diperoleh ditutup dan disimpan pada tempat yang
terlindung dari cahaya selama 2 hari, endapan yang terbentuk dipisahkan dan filtratnya
dipekatkan (susanty dan bachmid, 2016).
Menurut Depkes RI (1986) Modifikasi maserasi antara lain:

1. Remaserasi.
Cairan penyari dibagi menjadi dua. Seluruh serbuk dimaserasi dengan cairan pertama.
Kemudian filtrat yang didapat dituang dan diperas. Kemudian dimaserasi lagi dengan cairan
penyari kedua.
2. Digesti.
Digesti adalah cara maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah, yaitu pada suhu 400-
500C. Cara maserasi ini hanya dapat dilakukan untuk simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap
pemanasan. Dengan pemanasan diperoleh keuntungan antara lain:
A. Kekentalan pelarut berkurang, yang dapat mengakibatkan berkurangnya lapisan-lapisan batas.
B. Daya melarutkan cairan penyari akan meningkat, sehingga pemanasan tersebut mempunyai
pengaruh yang sama dengan pengadukan.
C. Koefisien difusi berbanding lurus dengan suhu absolute dan berbanding terbalik dengan
kekentalan, sehingga kenaikan suhu akan berpengaruhpada kecepatan difusi. Umumnya
kelarutan zat aktif akan meningkat bila suhu dinaikkan.
D. Jika cairan penyari mudah menguap pada suhu yang digunakan, maka perlu dilengkapi
dengan pendingin balik, sehingga cairan akan menguap kembali ke dalam bejana.
3. Maserasi dengan mesin pengaduk
Penggunaan mesin pengaduk yang berputar terus menerus, waktu proses maserasi dapat
disingkat menjadi 6 sampai 24 jam.
4. Maserasi melingkar
Maserasi dapat diperbaiki dengan mengusahakan agar aturan penyari selalu bergerak
mrnyebar. Dengan cara ini penyari selalu mengalir kembali secara berkesinambungan melalui
serbuk simplisia dan melarutkan zat aktifnya. Keuntungan cara ini:
a) Aliran cairan penyari mengurangi lapisan batas
b) Cairan penyari akan didistribusikan secara seragam, sehingga akan memperkecil kepekatan
stempat
c) Waktu yang diperlukan lebih pendek
5. Maserasi melingkar bertingkat
Pada maserasi melingkar penyarian tidak dapat dilakukan secara sempurna, karena
pemindahan massa akan berhenti bila keseimbangan telah terjadi. Masalah ini dapat diatasi
dengan maserasi melingkar bertingkat. (M.M.B), yang akan didapatkan :
1. Serbuk simplisia mengalami proses penyarian beberapa kali, sesuai dengan bejana
penampung. Pada contoh di atas dilakukan 3 kali, jumlah tersebut dapat diperbanyak sesuai
dengan keperluan.
2. Serbuk simplisia sebelum dikeluarkan dari bejana penyari, dilakukan penyarian.dengan cairan
penyari baru. Dengan ini diharapkan agar memberikan hasil penyarian yang maksimal
Etanol tidak menyebabkan pembengkakan membran sel dan memperbaiki stabilitas
bahan obat terlarut. Keuntungan lain, etanol mampu mengendapkan albumin dan menghambat
kerja enzim. Umumnya yang digunakan sebagai cairan pengekstraksi adalah campuran bahan
pelarut yang berlainan, khususnya campuran etanol-air. Etanol (70%) sangat efektif dalam
menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal, dimana bahan penganggu hanya skala kecil
yang turut ke dalam cairan pengekstraksi (Voight, 1994).
Farmakope Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah air, etanol,
etanol-air atau eter. Etanol dipertimbangkan seba gai penyari karena lebih selektif, kapang dan
kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% keatas, tidak beracun, netral, absorbsinya baik, etanol
dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan dan panas yang diperlukan untuk
pemekatan lebih sedikit (Depkes RI, 1986).
Etanol dapat melarutkan alkaloid basa, minyak menguap, glikosida, kurkumin, kumarin,
antrakinon, flavonoid, steroid, damar dan klorofil. Lemak, malam , tanin dan saponin hanya
sedikit larut. Dengan demikian zat pengganggu yang terlarut hanya terbatas. Untuk
meningkatkan penyarian biasanya menggunakan campuran etanol dan air. Perbandingan jumlah
etanol dan air tergantung pada bahan yang disari (Hernani et al, 2007).
2.5 Uji metabolit sekunder
Fitokimia atau kadang disebut fitonutrien, dalam arti luas adalah segala jenis zat kimia
atau nutrien yang diturunkan dari sumber tumbuhan, termasuk sayuran dan buah-buahan. Dalam
penggunaan umum, fitokimia memiliki definisi yang lebih sempit. Fitokimia biasanya digunakan
untuk merujuk pada senyawa yang ditemukan pada tumbuhan yang tidak dibutuhkan untuk
fungsi normal tubuh, tapi memiliki efek yang menguntungkan bagi kesehatan atau memiliki
peran aktif bagi pencegahan penyakit. (Herbert, 1995)
Tujuan utama dari penapisan fitokimia adalah menganalisis tumbuhan untuk mengetahui
kandungan bioaktif yang berguna untuk pengobatan. Fitokimia atau kimia tumbuhan merupakan
disiplin ilmu yang mempelajari aneka ragam senyawa organik pada tumbuhan, yaitu mengenai
struktur kimia, biosintesis, metabolism, penyebaran secara ilmiah dan fungsi biologisnya.
Pendekatan secara penapisan fitokimia meliputi analisis kualitatif kandungan dalam tumbuhan
atau bagian tumbuhan (akar, batang, daun, bunga, buah dan biji) terutama kandungan metabolit
sekunder yang merupakan senyawa bioaktif seperti alkaloid, flavonoid, glikosida, terpenoid,
saponin, tanin dan polifenol. Metode yang dilakukan untuk melakukan penapisan fitokimia harus
memenuhi beberapa persyaratan antara lain: sederhana, cepat, dapat dilakukan 2 dengan
peralatan minimal, selektif terhadap golongan senyawa yang dipelajari, semikualitatif dan dapat
memberikan keterangan tambahan ada atau tidaknya senyawa tertentu dari golongan senyawa
yang dipelajari. Uji fitokimia yang dapat dilakukan adalah uji kualitatif secara Kromatografi
Lapis Tipis (KLT) dan secara uji kualitatif secara kimiawi (Harborne, 1987)
Hormon steroid berasal dari kolesterol dan berstruktur inti perhidrosiklopentanolfenantren
yang terbagi atas tiga cincin sikloheksana. Senyawa steroid terdapat pada hewan, tanaman
tingkat tinggi bahkan terdapat pula pada beberapa tanaman tingkat rendah seperti jamur (fungi).
Steroid banyak terdapat di alam tetapi dalam jumlah yang terbatas dan mempunyai aktivitas
biologis, yang mempunyai karakteristik tertentu yaitu seperti 1) substitusi oksigen pada atom C-3
yang merupakan sifat khas steroid alam 2) subsitusi gugus metil angular pada atom C-10 dan C-
13 yang dikenal dengan atom C-18 dan C-19, kecuali pada senyawa steroid dengan cincin A
berbentuk benzenoid, seperti pada kelompok esterogen. Mendengar kata steroid, anabolic
steroid, obat perangsang meningkatnya metabolisme hormonal tubuh manusia sehingga menjadi
lebih kuat. Baik yang terdapat di tumbuhan maupun di hewan, merupakan hormon yang larut
dalam lemak, dan mempunyai struktur basa tetrasiklo (Mahato, and Kundu, 1994).
Saponin mengandung gugus gula terutama glukosa, galaktosa, xylosa, rhamnosa atau
methilpentosa yang berikatan dengan suatu aglikon hidrofobik (SAPOGENIN) berupa
triterpenoid, steroid atau steroid alkaloid. Aglikon dapat mengandung satu atau lebih ikatan C-C
tak jenuh. Rantai oligosakarida umumnya terikat pada posisi C3 tetapi beberapa saponin
mempunyai gugus gula tambahan pada C26 atau C28 Struktur saponin yang sangat kompleks
terjadi akibat bervariasinya struktur aglikon, sifat dasar rantai dan posisi penempelan gugus gula
pada aglikon (Nirwana et al ,2015).
Alkaloid merupakan senyawa organik yang mengandung nitrogen dari tumbuhan murni,
berupa senyawa heterolitik yang kopleks struktur dan hampir semuanya mempunyai kereaktifan
farmakologi yang hebat. Setelah diekstraksi alkaloid bebas dapat diperoleh dengan pengolahan
lanjutan dengan basa dalam air. Berapi cincin lima/enam yang mempunyai atom IV Identifikasi
alkaloid biasanya dilakukan dengan menggunakan larutan-larutan pereaksi yang khas yang pada
umumnya merupakan pereaksi-pereaksi yang dapat membentuk endapan dengan alkaloid,
misaknya pereaksi Mayer dan pereaksi Dragendorff (Fessenden, 1999).
Flavonoid terdapat secara univesal pada tanaman sebagai kelompok tunggal senyawa
cincin oksigen yang terbesar. Terdapat dalam berbagai warna pada jaringan tanaman dan
retenoid misalnya, memiliki sifat insektisidal, kerangka dasarnya terdapat pada flavon.
Identifikasi dapat dilakukan dengan reaksi sianidin-wistater dimana freaksi ini terutama akan
diberikan oleh senyawa flavon, merah sampai merah tua oleh flavanol atau flavonon dan warna
hijau sampai biru diberikan oleh aglikon dan glikosida. Uji warna flavanon dan dihidroflavonol :
uji shinoda (Mg/HCl). Larutkan sedikit hablur flavonoid dalam ½ tetes EtOH, tambahkan serbuk
Mg dan 1 tetes HCl 5M. Flavonon menjadi warna merah lembayung. (Markham, 1988).
Saponin merupakan golongan senyawa glikosida. Sifat khas dari saporin adalah bahwa
apabila dikocok maka saponin menimbulkan busa. Saponin dapat menimbulkan terjadinya
hemolisis terhadap butir darah merah binatang berdarah dingin. Saponin pada umumnya berasa
pahit, larut dalam pelarut organik seperti kloroform karena senyawa ini merupakan senyawa
glikosida maka hidrolisisnya menghasilkan aglikon dan bagian senyaa gula (Fessenden,1999).
Tanin adalah satu kelas substansi polisiklik yang terutama banyak teradapat dalam daun
teh, bayam yang dapat diekstrak dengan air dan larutan alkalin. Warnanya kuning cokelat. Secara
tradisional digunakan dalam menyamak kulit. Tingginya zat-zat tersebut menghambat
penyerapan Fe. Tanin berbentuk amorf dan tidak dapat dikristalkan, dalam larutan air
membentuk larutan koloiadal, bereaksi dengan asam, dapat membentuk ikatan silangyang stabil
dengan protein dan binpolimer. Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor
dasar seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang
berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Warna alami pigmen kuinon amat
beragam, mulai dari kuning pucat sampai hampir hitam, dan struktur yang telah dikenal
jumlahnya lebih dari 450. Walaupun mereka tersebar luas dan strukturnya sangat beragam
sumbangannya terhadap warna tumbuhan tinggi nisbi kecil (Yunita et al, 2009).
Senyawa yang berbentuk kristal, berwarna kuning, mudah terbakar, berbau tajam,
beracun, dapat menyebabkan iritasi pada kulit, sedikit larut dalam air dan larut dalam alkali, eter
dan alkohol. Sifat kimia kuinon adalah kecendrungannya untuk menambah nukleofil, kuinon
yang terbentuk dalam jumlah besar oleh mikroorgaanisme tanah. (Manitto, 1992)
2.6 KLT (kromatografi lapis tipis)
Kromatografi digunakan sebagai untuk memisahkan substansi campuran menjadi
komponen-komponennya, Kromatografi juga merupakan pemisahan camuran senyawa menjadi
senyawa murninya dan mengetahui kuantitasnya. Untuk itu, kemurnian bahan atau komposisi
campuran dengan kandungan yang berbeda dapat dianalisis dengan benar. Tidak hanya kontrol
kualitas, analisis bahan makanan dan lingkungan, tetapi juga kontrol dan optimasi reaksi kimia
dan proses berdasarkan penentuan analitik dari kuantitas material. Teknologi yang penting untuk
analisis dan pemisahan preparatif pada campuran bahan adalah prinsip dasar kromatografi.
Pemisahan senyawa biasanya menggunakan beberapa tekhnik kromatografi. Pemilihan teknik
kromatografi sebagian besar bergantung pada sifat kelarutan senyawa yang akan dipisahkan.
Semua kromatografi memiliki fase diam (dapat berupa padatan, atau kombinasi cairan-padatan)
dan fase gerak (berupa cairan atau gas). Fase gerak mengalir melalui fase diam dan membawa
komponen-komponen yang terdapat dalam campuran. Komponen-komponen yang berbeda
bergerak pada laju yang berbeda.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan cara pemisahan campuran senyawa menjadi
senyawa murninya dan mengetahui kuantitasnya yang menggunakan. Kromatografi juga
merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit, baik penyerap maupun
cuplikannya. KLT dapat digunakan untuk memisahkan senyawa – senyawa yang sifatnya
hidrofobik seperti lipida – lipida dan hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi
kertas. KLT juga dapat berguna untuk mencari eluen untuk kromatografi kolom, analisis fraksi
yang diperoleh dari kromatografi kolom, identifikasi senyawa secara kromatografi, dan isolasi
senyawa murni skala kecil. Pelarut yang dipilih untuk pengembang disesuaikan dengan sifat
kelarutan senyawa yang dianalisis. Bahan lapisan tipis seperti silika gel adalah senyawa yang
tidak bereaksi dengan pereaksi – pereaksi yang lebih reaktif seperti asam sulfat. Data yang
diperoleh dari KLT adalah nilai Rf yang berguna untuk identifikasi senyawa. Nilai Rf untuk
senyawa murni dapat dibandingkan dengan nilai Rf dari senyawa standar. Nilai Rf dapat
didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak yang
ditempuh oleh pelarut dari titik asal. Oleh karena itu bilangan Rf selalu lebih kecil dari 1,0.
2.7 Ekstrak terpurifikasi
Ekstrak dapat dibagi dalam dua katagori, yaitu ekstrak kasar dan ekstrak murni. Ekstrak
kasar artinya ekstrak yang mengandung semua bahan yang tersari dengan menggunakan pelarut
organik, sedangkan ekstrak murni adalah ekstrak kasar yang telah dimurnikan dari
senyawasenyawa inert melalui proses penghilangan lemak, penyaringan menggunakan resin atau
adsorben. Ekstrak murni lebih disukai karena mempunyai bahan aktif atau komponen kimia yang
jauh lebih tinggi dibandingkan ekstrak kasar, sebagai contoh kandungan senyawa aktif dalam
ekstrak kasar 20%, setelah dimurnikan senyawa aktif akan meningkat menjadi 60 % . Dengan
demikian, untuk mendapatkan produk biofarmaka dengan kandungan senyawa aktif yang tinggi
diperlukan proses pemurnian lebih lanjut dari ekstrak kasar (Wijesekera, 1991).
Ekstrak terpurifikasi yaitu suatu hasil ekstraksi selektif yang hanya menyari senyawa-
senyawa yang berguna dan membatasi sekecil mungkin zat yang tidak dibutuhkan ikut tersari
seperti komponen zat ballast (Azizah dan salamah, 2013).
Proses pemurnian ekstrak lengkuas merupakan salah satu upaya untuk menghilangkan
senyawa-senyawa inert seperti lemak, resin, gula, karbohidrat, serat dan pati sebagai komposisi
utama rimpang lengkuas. Senyawa-senyawa tersebut bersifat sangat higroskopis, lengket dan
akan memberikan masalah dalam proses formulasi obat. Bila ekstrak telah dimurnikan,
kandungan senyawa aktifnya akan jauh lebih tinggi dibandingkan bila ekstrak tidak dimurnikan
(Rusmarilin, 2003).
Ada beberapa metode pemurnian dari ekstrak bahan alami, antara lain dengan ekstraksi
menggunakan pelarut yang immiscible (tidak dapat bercampur) dan mempunyai densitas yang
berbeda, pengendapan, penyaringan, pemanasan, adsorpsi menggunakan adsorben ataupun
dengan resin penukar ion. Esktraksi menggunakan pelarut merupakan salah satu cara pemurnian
ekstrak dari bahan alami. Pemurnian secara ekstraksi untuk mendapatkan bahan aktif
asetoksikhavikol asetat pada lengkuas dapat dilakukan dengan pelarut heksan . Heksan juga
digunakan untuk memperoleh komponen murni dari ekstrak lengkuas. Keberhasilan proses
pemurnian suatu ekstrak sangat erat kaitannya dengan rendemen, mutu dan kadar senyawa aktif
yang dihasilkan (hernani et al, 2007)
Ekstrak cair yang diperoleh dari proses ekstraksi simplisia tanaman obat dengan
menggunakan pelarut organik atau air, seringkali mengandung senyawa yang tidak diinginkan
seperti zat warna (pigment), tanin, karbohidrat, lilin, resin dan sejenisnya. Keberadaan tanin akan
menyebabkan kekeruhan selama penyimpanan atau proses berikutnya, sedangkan zat warna,
karbohidrat, lilin, resin dan sejenisnya ditinjau dari sudut pandang aktifitas sangat jarang
diperlukan bahkan seringkali menjadikan ketidakstabilan sifat fisika ekstrak ketika akan
diformulasikan. Keberadaan senyawa atau zat tersebut lebih banyak merugikan pada kestabilan
dan mengurangi kadar senyawa aktif di dalam ekstrak sehingga harus dihilangkan. Purifikasi
ekstrak diharapkan akan meningkatkan khasiat ekstrak disamping memperkecil jumlah dosis
pemberian kepada pengguna. Berbagai teknik purifikasi ekstrak dapat dilakukan di antaranya
adalah teknik ekstraksi cair-cair (srijanto et al, 2012).
Pembuatan ekstrak terpurifikasi kunyit dilakukan dengan merendam 20 g ekstrak etanol
kunyit dengan n-heksan sampai ekstrak kental cukup terendam, diaduk terus dan dipisahkan
cairan dari endapannya. Cairan n-heksan ini dipisahkan karena diharapkan n-heksan mampu
menyari resin dan terpenoid penyusun minyak atsiri, sehingga ekstrak yang didapatkan
merupakan ekstrak kunyit terpurifikasi. Pelarutan dengan n-heksan diulangi sebanyak 5-10 kali
hingga diperoleh cairan tak berwarna atau terlihat jernih. Setelah cairan n-heksan cukup jernih
kemudian dipisahkan dari endapan dengan cara didekantir dan dibiarkan hingga sisa n-heksan
pada endapan menguap sehingga diperoleh ekstrak terpurifikasi (Handayani et al, 2016).
2.8 Uji Antimikroba

Antibakteri adalah senyawa yang digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan bakteri


yang bersifat merugikan. Pengendalian pertumbuhan mikroorganisme bertujuan untuk mencegah
penyebaran penyakit dan infeksi, membasmi mikroorganisme pada inang yang terinfeksi, dan
mencegah pembusukan serta perusakan bahan oleh mikroorganisme . Antimikrobia meliputi
golongan antibakteri, antimikotik, dan antiviral (Ganiswara, 1995).
Mekanisme penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri oleh senyawa antibakteri dapat
berupa perusakan dinding sel dengan cara menghambat pembentukannya atau mengubahnya
setelah selesai terbentuk, perubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan
keluarnya bahan makanan dari dalam sel, perubahan molekul protein dan asam nukleat,
penghambatan kerja enzim, dan penghambatan sintesis asam nukleat dan protein. Di bidang
farmasi, bahan antibakteri dikenal dengan nama antibiotik, yaitu suatu substansi kimia yang
dihasilkan oleh mikroba dan dapat menghambat pertumbuhan mikroba lain. Senyawa antibakteri
dapat bekerja secara bakteriostatik, bakteriosidal, dan bakteriolitik (Pelczar dan Chan, 1988).
Menurut Madigan dkk. (2000), berdasarkan sifat toksisitas selektifnya, senyawa
antimikrobia mempunyai 3 macam efek terhadap pertumbuhan mikroba yaitu:
1. Bakteriostatik memberikan efek dengan cara menghambat pertumbuhan tetapi tidak
membunuh. Senyawa bakterostatik seringkali menghambat sintesis protein atau mengikat
ribosom. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan antimikrobia pada kultur mikrobia yang
berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan zat antimikrobia pada fase logaritmik
didapatkan jumlah sel total maupun jumlah sel hidup adalah tetap.
2. Bakteriosidal memberikan efek dengan cara membunuh sel tetapi tidak terjadi lisis sel atau
pecah sel. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan antimikrobia pada kultur mikrobia yang
berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan zat antimikrobia pada fase logaritmik
didapatkan jumlah sel total tetap sedangkan jumlah sel hidup menurun.
3. Bakteriolitik menyebabkan sel menjadi lisis atau pecah sel sehingga jumlah sel berkurang atau
terjadi kekeruhan setelah penambahan antimikrobia. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan
antimikrobia pada kultur mikrobia yang berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan zat
antimikrobia pada fase logaritmik, jumlah sel total maupun jumlah sel hidup menurun.
Mekanisme penghambatan antibakteri dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu menghambat
sintesis dinding sel mikrobia, merusak keutuhan dinding sel mikrobia, menghambat sintesis
protein sel mikrobia, menghambat sintesis asam nukleat, dan merusak asam nukleat sel mikrobia.
Daya antimikrobia diukur secara in vitro agar dapat ditentukan kemampuan suatu zat
antimikrobia . Adanya fenomena ketahanan tumbuhan secara alami terhadap mikrobia
menyebabkan pengembangan sejumlah senyawa yang berasal dari tanaman yang mempunyai
kandungan antibakteri dan antifungi .Uji aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode
difusi dan metode pengenceran. Disc diffusion test atau uji difusi disk dilakukan dengan
mengukur diameter zona bening (clear zone) yang merupakan petunjuk adanya respon
penghambatan pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri dalam ekstrak. Syarat jumlah
bakteri untuk uji kepekaan/sensitivitas yaitu 105-108 CFU/mL Metode difusi merupakan salah
satu metode yang sering digunakan. Metode difusi dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu metode
silinder, metode lubang/sumuran dan metode cakram kertas. Metode lubang/sumuran yaitu
membuat lubang pada agar padat yang telah diinokulasi dengan bakteri. Jumlah dan letak lubang
disesuaikan dengan tujuan penelitian, kemudian lubang diinjeksikan dengan ekstrak yang akan
diuji. Setelah dilakukan inkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada tidaknya
daerah hambatan di sekeliling lubang (Jawetz , 2001).
2.9 Kolom
Kromatografi kolom termasuk kromatografi cairan, adalah metoda pemisahan yang
cukup baik untuk sampel lebih dari 1 gram. Pada kromatografi ini sampel sebagai lapisan
terpisah diletakkan diatas fase diam. Biasanya sampel dihomogenkan dengan fase diam sehingga
merupakan serbuk kering, diatas lapisan ini dapat diletakkan pasir untuk menjaga tidak
terjadinya kerusakan waktu ditambahkan fase gerak diatas lapisan sampel. Fase diam dan sampel
ini berada di dalam kolom yang biasanya dibuat dari gelas, logam ataupun plastik. Selama elusi
fase gerak dialirkan dari atas, mengalir karena gaya gravitasi atau ditekan dan juga disedot dari
arah bawa. Komponen sampel akan terpisah selama bergerak dibawa fase gerak didalam kolom
(fase diam). Komponen yang paling tidak tertahan oleh fase diam akan keluar lebih dahulu dan
diikuti oleh komponen lain. Semuanya ditampung sebagai fraksi, volume tiap fraksi tergantung
besarnya sampel (kolom). Kolom kromatografi Kolom biasanya berbentuk seperti buret untuk
titrasi, ukurannya beragam. Perbandingan panjang kolom sekurang-kurangnya 10 kalinya
diameternya, perbandingan ini tergantung mudah tidaknya komponen dipisahkan. Perbandingan
berat sampel dan fase gerak (1 : 30) biasanya cukup memadai untuk pemisahan yang mudah,
perbandingan dapat ditingkatkan hingga (1:50) untuk komponen yang susah dipisahkan.
Fase diam Ukuran partikel fase diam bisanya lebih besar dari ukuran partikel fase dian
untuk KLT, ukuran yang digunakan antara 63-250|iim. Ukuran partikel lebih kecil 63 jam fase
gerak akan mengalir lebih lambat, sehingga perlu ditekan atau dihubungkan dengan pipa hisap.
Silika gel (SiOi) adalah fase diam yang serba guna, banyak digunakan. Pada pembuatannya
silika gel perlu diaktifkan panaskan pada 150-160°C selama 3-4 jam. Fase diam lain adalah
alumina.
Pemilihan fase gerak sangat menentukan berhasil tidaknya pemisahan. Untuk
menentukan fase gerak yang akan digunakan, dilakukan pendekatan:
1. Penelusuran literature/pustaka.
2. Mencoba dengan KLT. Cara ini dikerjakan dengan memilih fase diam KLT sejenis dengan
fase diam kolom yang akan digunakan. Biasanya dicoba dikembangfcan dengan fase gerak
non polar kemudian diikuti dengan fase gerak yang lebih polar.
2.1 Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari
simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir
semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga
memenuhi baku yang telah ditetapkan. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor
seperti sifat dari bahan mentah obat, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan
kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna. (Depkes RI,1995).
Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara
larutan zat aktif didalam sel dan diluar sel, maka larutan terpekat akan terdesak keluar. Peristiwa
ini berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan diluar sel dan didalam sel.
Pada umumnya maserasi dilakukan dengan cara 10 bagian simplisia dengan derajat kehalusan
yang cocok, dimasukkan kedalam bejana kemudian dituangi dengan 75 bagian cairan penyari,
ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambil berulang-ulang diaduk.
Setelah 5 hari diserkai, ampas diperas. Pada ampas ditambahkan cairan penyari secukupnya,
diaduk dan diserkai sehingga diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian. Bejana ditutup,
dibiarkan ditempat sejuk, terlindung dari cahaya, selama 2 hari kemudian endapan dipisahkan.
Pengadukan pada proses maserasi dapat menjamin keseimbangan konsentrasi bahan yang
diekstraksi lebih cepat didalam cairan penyari. Hasil penyarian dengan cara maserasi perlu
dibiarkan selama waktu tertentu. Hal ini dilakukan untuk mengendapkan zat-zat yang tidak
diperlukan tetapi ikut terlarut dalam cairan penyari, seperti: malam dan lain-lain (Kawiji et al,
2015).
Menurut sinambela (2003) Salah satu metode yang digunakan untuk penemuan obat
tradisional adalah metode ekstraksi. Pemilihan metode ekstraksi tergantung pada sifat bahan dan
senyawa yang akan diisolasi. Sebelum memilih suatu metode, target ekstraksi perlu ditentukan
terlebih dahulu. Ada beberapa target ekstraksi, diantaranya
6. Senyawa bioaktif yang tidak diketahui
7. Senyawa yang diketahui ada pada suatu organisme
8. Sekelompok senyawa dalam suatu organisme yang berhubungan secara struktural.
9. Semua senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh suatu sumber tetapi tidak dihasilkan
oleh sumber lain dengan kontrol yang berbeda, misalnya dua jenis dalam marga yang sama
atau jenis yang sama tetapi berada dalam kondisi yang berbeda.
10. Identifikasi seluruh metabolit sekunder yang ada pada suatu organisme untuk studi
sidik jari kimiawi dan studi metabolomik.
2.2 Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan
beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi
termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi
digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan
penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak
mengandung benzoin, sitrak, dan lain-lain. Maserasi dilakukan dengan merendam serbuk
simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-
etanol, atau pelarut lain. (Sidik dan Mudahar, 2000).
Maserasi umumnya dilakukan dengan cara: memasukkan simplisia yang sudah
diserbukkan dengan derajat halus tertentu sebanyak 10 bagian dalam bejana maserasi yang
dilengkapi pengaduk mekanik, kemudian ditambahkan 75 bagian cairan penyari ditutup dan
dibiarkan selama 5 hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya sambil berulang-ulang
diaduk. Setelah 5 hari, cairan penyari disaring ke dalam wadah penampung, kemudian ampasnya
diperas dan ditambah cairan penyari lagi secukupnya dan diaduk kemudian disaring lagi
sehingga diperoleh sari 100 bagian. Sari yang diperoleh ditutup dan disimpan pada tempat yang
terlindung dari cahaya selama 2 hari, endapan yang terbentuk dipisahkan dan filtratnya
dipekatkan (susanty dan bachmid, 2016).
Menurut Depkes RI (1986) Modifikasi maserasi antara lain:

6. Remaserasi.
Cairan penyari dibagi menjadi dua. Seluruh serbuk dimaserasi dengan cairan pertama.
Kemudian filtrat yang didapat dituang dan diperas. Kemudian dimaserasi lagi dengan cairan
penyari kedua.
7. Digesti.
Digesti adalah cara maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah, yaitu pada suhu 400-
500C. Cara maserasi ini hanya dapat dilakukan untuk simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap
pemanasan. Dengan pemanasan diperoleh keuntungan antara lain:
E. Kekentalan pelarut berkurang, yang dapat mengakibatkan berkurangnya lapisan-lapisan batas.
F. Daya melarutkan cairan penyari akan meningkat, sehingga pemanasan tersebut mempunyai
pengaruh yang sama dengan pengadukan.
G. Koefisien difusi berbanding lurus dengan suhu absolute dan berbanding terbalik dengan
kekentalan, sehingga kenaikan suhu akan berpengaruhpada kecepatan difusi. Umumnya
kelarutan zat aktif akan meningkat bila suhu dinaikkan.
H. Jika cairan penyari mudah menguap pada suhu yang digunakan, maka perlu dilengkapi
dengan pendingin balik, sehingga cairan akan menguap kembali ke dalam bejana.
8. Maserasi dengan mesin pengaduk
Penggunaan mesin pengaduk yang berputar terus menerus, waktu proses maserasi dapat
disingkat menjadi 6 sampai 24 jam.
9. Maserasi melingkar
Maserasi dapat diperbaiki dengan mengusahakan agar aturan penyari selalu bergerak
mrnyebar. Dengan cara ini penyari selalu mengalir kembali secara berkesinambungan melalui
serbuk simplisia dan melarutkan zat aktifnya. Keuntungan cara ini:
d) Aliran cairan penyari mengurangi lapisan batas
e) Cairan penyari akan didistribusikan secara seragam, sehingga akan memperkecil kepekatan
stempat
f) Waktu yang diperlukan lebih pendek
10. Maserasi melingkar bertingkat
Pada maserasi melingkar penyarian tidak dapat dilakukan secara sempurna, karena
pemindahan massa akan berhenti bila keseimbangan telah terjadi. Masalah ini dapat diatasi
dengan maserasi melingkar bertingkat. (M.M.B), yang akan didapatkan :
3. Serbuk simplisia mengalami proses penyarian beberapa kali, sesuai dengan bejana
penampung. Pada contoh di atas dilakukan 3 kali, jumlah tersebut dapat diperbanyak sesuai
dengan keperluan.
4. Serbuk simplisia sebelum dikeluarkan dari bejana penyari, dilakukan penyarian.dengan cairan
penyari baru. Dengan ini diharapkan agar memberikan hasil penyarian yang maksimal
2.3 Etanol
Etanol tidak menyebabkan pembengkakan membran sel dan memperbaiki stabilitas
bahan obat terlarut. Keuntungan lain, etanol mampu mengendapkan albumin dan menghambat
kerja enzim. Umumnya yang digunakan sebagai cairan pengekstraksi adalah campuran bahan
pelarut yang berlainan, khususnya campuran etanol-air. Etanol (70%) sangat efektif dalam
menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal, dimana bahan penganggu hanya skala kecil
yang turut ke dalam cairan pengekstraksi (Voight, 1994).
Farmakope Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah air, etanol,
etanol-air atau eter. Etanol dipertimbangkan seba gai penyari karena lebih selektif, kapang dan
kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% keatas, tidak beracun, netral, absorbsinya baik, etanol
dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan dan panas yang diperlukan untuk
pemekatan lebih sedikit (Depkes RI, 1986).
Etanol dapat melarutkan alkaloid basa, minyak menguap, glikosida, kurkumin, kumarin,
antrakinon, flavonoid, steroid, damar dan klorofil. Lemak, malam , tanin dan saponin hanya
sedikit larut. Dengan demikian zat pengganggu yang terlarut hanya terbatas. Untuk
meningkatkan penyarian biasanya menggunakan campuran etanol dan air. Perbandingan jumlah
etanol dan air tergantung pada bahan yang disari (Hernani et al, 2007).
Pada biji bintaro mengandung senyawa aktif yaitu cerberin (alkaloid), tanin, saponin, dan
steroid. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak ini memiliki sifat antibakteri, sitotoksik, dan sebagai
depresan sistem saraf pusat. Dari beberapa kandungan pada biji bintaro terdapat beberapa
kandungan yang memiliki potensial untuk digunakan sebagai larvasida, yakni alkaloid, tannin,
saponin, dan steroid (Rohimatun dan Suriati, 2011).
2.4 Penapisan fitokimia

Fitokimia atau kadang disebut fitonutrien, dalam arti luas adalah segala jenis zat kimia
atau nutrien yang diturunkan dari sumber tumbuhan, termasuk sayuran dan buah-buahan. Dalam
penggunaan umum, fitokimia memiliki definisi yang lebih sempit. Fitokimia biasanya digunakan
untuk merujuk pada senyawa yang ditemukan pada tumbuhan yang tidak dibutuhkan untuk
fungsi normal tubuh, tapi memiliki efek yang menguntungkan bagi kesehatan atau memiliki
peran aktif bagi pencegahan penyakit. (Herbert, 1995)
Tujuan utama dari penapisan fitokimia adalah menganalisis tumbuhan untuk mengetahui
kandungan bioaktif yang berguna untuk pengobatan. Fitokimia atau kimia tumbuhan merupakan
disiplin ilmu yang mempelajari aneka ragam senyawa organik pada tumbuhan, yaitu mengenai
struktur kimia, biosintesis, metabolism, penyebaran secara ilmiah dan fungsi biologisnya.
Pendekatan secara penapisan fitokimia meliputi analisis kualitatif kandungan dalam tumbuhan
atau bagian tumbuhan (akar, batang, daun, bunga, buah dan biji) terutama kandungan metabolit
sekunder yang merupakan senyawa bioaktif seperti alkaloid, flavonoid, glikosida, terpenoid,
saponin, tanin dan polifenol. Metode yang dilakukan untuk melakukan penapisan fitokimia harus
memenuhi beberapa persyaratan antara lain: sederhana, cepat, dapat dilakukan 2 dengan
peralatan minimal, selektif terhadap golongan senyawa yang dipelajari, semikualitatif dan dapat
memberikan keterangan tambahan ada atau tidaknya senyawa tertentu dari golongan senyawa
yang dipelajari. Uji fitokimia yang dapat dilakukan adalah uji kualitatif secara Kromatografi
Lapis Tipis (KLT) dan secara uji kualitatif secara kimiawi (Harborne, 1987)
2.5 Senyawa metabolit sekunder
Hormon steroid berasal dari kolesterol dan berstruktur inti perhidrosiklopentanolfenantren
yang terbagi atas tiga cincin sikloheksana. Senyawa steroid terdapat pada hewan, tanaman
tingkat tinggi bahkan terdapat pula pada beberapa tanaman tingkat rendah seperti jamur (fungi).
Steroid banyak terdapat di alam tetapi dalam jumlah yang terbatas dan mempunyai aktivitas
biologis, yang mempunyai karakteristik tertentu yaitu seperti 1) substitusi oksigen pada atom C-3
yang merupakan sifat khas steroid alam 2) subsitusi gugus metil angular pada atom C-10 dan C-
13 yang dikenal dengan atom C-18 dan C-19, kecuali pada senyawa steroid dengan cincin A
berbentuk benzenoid, seperti pada kelompok esterogen. Mendengar kata steroid, anabolic
steroid, obat perangsang meningkatnya metabolisme hormonal tubuh manusia sehingga menjadi
lebih kuat. Baik yang terdapat di tumbuhan maupun di hewan, merupakan hormon yang larut
dalam lemak, dan mempunyai struktur basa tetrasiklo (Mahato, and Kundu, 1994).
Saponin mengandung gugus gula terutama glukosa, galaktosa, xylosa, rhamnosa atau
methilpentosa yang berikatan dengan suatu aglikon hidrofobik (SAPOGENIN) berupa
triterpenoid, steroid atau steroid alkaloid. Aglikon dapat mengandung satu atau lebih ikatan C-C
tak jenuh. Rantai oligosakarida umumnya terikat pada posisi C3 tetapi beberapa saponin
mempunyai gugus gula tambahan pada C26 atau C28 Struktur saponin yang sangat kompleks
terjadi akibat bervariasinya struktur aglikon, sifat dasar rantai dan posisi penempelan gugus gula
pada aglikon (Nirwana et al ,2015).
Alkaloid merupakan senyawa organik yang mengandung nitrogen dari tumbuhan murni,
berupa senyawa heterolitik yang kopleks struktur dan hampir semuanya mempunyai kereaktifan
farmakologi yang hebat. Setelah diekstraksi alkaloid bebas dapat diperoleh dengan pengolahan
lanjutan dengan basa dalam air. Berapi cincin lima/enam yang mempunyai atom IV Identifikasi
alkaloid biasanya dilakukan dengan menggunakan larutan-larutan pereaksi yang khas yang pada
umumnya merupakan pereaksi-pereaksi yang dapat membentuk endapan dengan alkaloid, misaknya
pereaksi Mayer dan pereaksi Dragendorff (Fessenden, 1999).
Flavonoid terdapat secara univesal pada tanaman sebagai kelompok tunggal senyawa cincin
oksigen yang terbesar. Terdapat dalam berbagai warna pada jaringan tanaman dan retenoid misalnya,
memiliki sifat insektisidal, kerangka dasarnya terdapat pada flavon. Identifikasi dapat dilakukan
dengan reaksi sianidin-wistater dimana freaksi ini terutama akan diberikan oleh senyawa flavon,
merah sampai merah tua oleh flavanol atau flavonon dan warna hijau sampai biru diberikan oleh
aglikon dan glikosida. Uji warna flavanon dan dihidroflavonol : uji shinoda (Mg/HCl). Larutkan
sedikit hablur flavonoid dalam ½ tetes EtOH, tambahkan serbuk Mg dan 1 tetes HCl 5M. Flavonon
menjadi warna merah lembayung. (Markham, 1988).
Saponin merupakan golongan senyawa glikosida. Sifat khas dari saporin adalah bahwa
apabila dikocok maka saponin menimbulkan busa. Saponin dapat menimbulkan terjadinya hemolisis
terhadap butir darah merah binatang berdarah dingin. Saponin pada umumnya berasa pahit, larut
dalam pelarut organik seperti kloroform karena senyawa ini merupakan senyawa glikosida maka
hidrolisisnya menghasilkan aglikon dan bagian senyaa gula (Fessenden,1999).
Tanin adalah satu kelas substansi polisiklik yang terutama banyak teradapat dalam daun teh,
bayam yang dapat diekstrak dengan air dan larutan alkalin. Warnanya kuning cokelat. Secara
tradisional digunakan dalam menyamak kulit. Tingginya zat-zat tersebut menghambat penyerapan
Fe. Tanin berbentuk amorf dan tidak dapat dikristalkan, dalam larutan air membentuk larutan
koloiadal, bereaksi dengan asam, dapat membentuk ikatan silangyang stabil dengan protein dan
binpolimer. Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar seperti kromofor pada
benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap
karbon-karbon. Warna alami pigmen kuinon amat beragam, mulai dari kuning pucat sampai hampir
hitam, dan struktur yang telah dikenal jumlahnya lebih dari 450. Walaupun mereka tersebar luas dan
strukturnya sangat beragam sumbangannya terhadap warna tumbuhan tinggi nisbi kecil (Yunita et al,
2009).
Senyawa yang berbentuk kristal, berwarna kuning, mudah terbakar, berbau tajam, beracun,
dapat menyebabkan iritasi pada kulit, sedikit larut dalam air dan larut dalam alkali, eter dan alkohol.
Sifat kimia kuinon adalah kecendrungannya untuk menambah nukleofil, kuinon yang terbentuk
dalam jumlah besar oleh mikroorgaanisme tanah. (Manitto, 1992)
2.6 Klasifikasi Bintaro
Menurut Tjitrosoepomo (2007) Klasifikasi bintaro yaitu:
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Subkelas : Sympetalae
Ordo : Contortae
Famili : Apocynacea
Genus : Cerbera
Spesies : Cerbera manghas
2.7 Senyawa metabolit sekunder biji bintaro
Pada analisis fitokimia ditemukan beberapa zat yang berada pada biji bintaro yaitu
alkaloid, tanin, dan saponin. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak ini memiliki sifat
antibakteri, sitotoksik, dan sebagai depresan sistem saraf pusat karena adanya zat alkaloid dan
saponin. Selain itu, saponin dan polifenol yang juga bersifat toksik pada serangga, dapat juga
menghambat aktivitas makan serangga. Saponin memiliki sifat seperti sabun dan larut dalam air.
Aktivitas makan dapat dihambat karena saponin menyebabkan penurunan enzim pencernaan
serta menghambat absorbsi makanan. Saponin dapat menyebabkan kutikula pada kulit larva
hilang sehingga cairan tubuh larva banyak yang keluar dan juga masuk melalui saluran
pernafasan sehingga merusak tubuh larva (Utami et al,2010).
Senyawa lainnya yang terkandung dalam biji bintaro adalah steroid yang dapat
menghambat proses molting pada larva. Steroid memiliki struktur yang mirip dengan hormon
yang berperan dalam molting serangga. Hal ini dapat menghambat terjadinya proses molting
pada serangga.Tanin juga dapat menggangu proses pencernaan pada larva karena mengganggu
penyerapan dengan mengikat protein di saluran cerna. Hal ini akan menggangu pertumbuhan dan
perkembangan karena kurangnya nutrisi yang dibutuhkan terutama protein. Hal ini terjadi karena
tanin dapat menurunkan aktifitas enzim digestif seperti protease dan amylase (Yunita et al,
2009).
2.8 Ekstrak Terpurifikasi
Ekstrak dapat dibagi dalam dua katagori, yaitu ekstrak kasar dan ekstrak murni. Ekstrak
kasar artinya ekstrak yang mengandung semua bahan yang tersari dengan menggunakan pelarut
organik, sedangkan ekstrak murni adalah ekstrak kasar yang telah dimurnikan dari
senyawasenyawa inert melalui proses penghilangan lemak, penyaringan menggunakan resin atau
adsorben. Ekstrak murni lebih disukai karena mempunyai bahan aktif atau komponen kimia yang
jauh lebih tinggi dibandingkan ekstrak kasar, sebagai contoh kandungan senyawa aktif dalam
ekstrak kasar 20%, setelah dimurnikan senyawa aktif akan meningkat menjadi 60 % . Dengan
demikian, untuk mendapatkan produk biofarmaka dengan kandungan senyawa aktif yang tinggi
diperlukan proses pemurnian lebih lanjut dari ekstrak kasar (Wijesekera, 1991).
Ekstrak terpurifikasi yaitu suatu hasil ekstraksi selektif yang hanya menyari senyawa-
senyawa yang berguna dan membatasi sekecil mungkin zat yang tidak dibutuhkan ikut tersari
seperti komponen zat ballast (Azizah dan salamah, 2013).
Proses pemurnian ekstrak lengkuas merupakan salah satu upaya untuk menghilangkan
senyawa-senyawa inert seperti lemak, resin, gula, karbohidrat, serat dan pati sebagai komposisi
utama rimpang lengkuas. Senyawa-senyawa tersebut bersifat sangat higroskopis, lengket dan
akan memberikan masalah dalam proses formulasi obat. Bila ekstrak telah dimurnikan,
kandungan senyawa aktifnya akan jauh lebih tinggi dibandingkan bila ekstrak tidak dimurnikan
(Rusmarilin, 2003).
Ada beberapa metode pemurnian dari ekstrak bahan alami, antara lain dengan ekstraksi
menggunakan pelarut yang immiscible (tidak dapat bercampur) dan mempunyai densitas yang
berbeda, pengendapan, penyaringan, pemanasan, adsorpsi menggunakan adsorben ataupun
dengan resin penukar ion. Esktraksi menggunakan pelarut merupakan salah satu cara pemurnian
ekstrak dari bahan alami. Pemurnian secara ekstraksi untuk mendapatkan bahan aktif
asetoksikhavikol asetat pada lengkuas dapat dilakukan dengan pelarut heksan . Heksan juga
digunakan untuk memperoleh komponen murni dari ekstrak lengkuas. Keberhasilan proses
pemurnian suatu ekstrak sangat erat kaitannya dengan rendemen, mutu dan kadar senyawa aktif
yang dihasilkan (hernani et al, 2007)
Ekstrak cair yang diperoleh dari proses ekstraksi simplisia tanaman obat dengan
menggunakan pelarut organik atau air, seringkali mengandung senyawa yang tidak diinginkan
seperti zat warna (pigment), tanin, karbohidrat, lilin, resin dan sejenisnya. Keberadaan tanin akan
menyebabkan kekeruhan selama penyimpanan atau proses berikutnya, sedangkan zat warna,
karbohidrat, lilin, resin dan sejenisnya ditinjau dari sudut pandang aktifitas sangat jarang
diperlukan bahkan seringkali menjadikan ketidakstabilan sifat fisika ekstrak ketika akan
diformulasikan. Keberadaan senyawa atau zat tersebut lebih banyak merugikan pada kestabilan
dan mengurangi kadar senyawa aktif di dalam ekstrak sehingga harus dihilangkan. Purifikasi
ekstrak diharapkan akan meningkatkan khasiat ekstrak disamping memperkecil jumlah dosis
pemberian kepada pengguna. Berbagai teknik purifikasi ekstrak dapat dilakukan di antaranya
adalah teknik ekstraksi cair-cair (srijanto et al, 2012).
Pembuatan ekstrak terpurifikasi kunyit dilakukan dengan merendam 20 g ekstrak etanol
kunyit dengan n-heksan sampai ekstrak kental cukup terendam, diaduk terus dan dipisahkan
cairan dari endapannya. Cairan n-heksan ini dipisahkan karena diharapkan n-heksan mampu
menyari resin dan terpenoid penyusun minyak atsiri, sehingga ekstrak yang didapatkan
merupakan ekstrak kunyit terpurifikasi. Pelarutan dengan n-heksan diulangi sebanyak 5-10 kali
hingga diperoleh cairan tak berwarna atau terlihat jernih. Setelah cairan n-heksan cukup jernih
kemudian dipisahkan dari endapan dengan cara didekantir dan dibiarkan hingga sisa n-heksan
pada endapan menguap sehingga diperoleh ekstrak terpurifikasi (Handayani et al, 2016).
2.9 Antibakteri
Antibakteri adalah senyawa yang digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan bakteri
yang bersifat merugikan. Pengendalian pertumbuhan mikroorganisme bertujuan untuk mencegah
penyebaran penyakit dan infeksi, membasmi mikroorganisme pada inang yang terinfeksi, dan
mencegah pembusukan serta perusakan bahan oleh mikroorganisme . Antimikrobia meliputi
golongan antibakteri, antimikotik, dan antiviral (Ganiswara, 1995).
Mekanisme penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri oleh senyawa antibakteri dapat
berupa perusakan dinding sel dengan cara menghambat pembentukannya atau mengubahnya
setelah selesai terbentuk, perubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan
keluarnya bahan makanan dari dalam sel, perubahan molekul protein dan asam nukleat,
penghambatan kerja enzim, dan penghambatan sintesis asam nukleat dan protein. Di bidang
farmasi, bahan antibakteri dikenal dengan nama antibiotik, yaitu suatu substansi kimia yang
dihasilkan oleh mikroba dan dapat menghambat pertumbuhan mikroba lain. Senyawa antibakteri
dapat bekerja secara bakteriostatik, bakteriosidal, dan bakteriolitik (Pelczar dan Chan, 1988).
Menurut Madigan dkk. (2000), berdasarkan sifat toksisitas selektifnya, senyawa
antimikrobia mempunyai 3 macam efek terhadap pertumbuhan mikroba yaitu:
1. Bakteriostatik memberikan efek dengan cara menghambat pertumbuhan tetapi tidak
membunuh. Senyawa bakterostatik seringkali menghambat sintesis protein atau mengikat
ribosom. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan antimikrobia pada kultur mikrobia yang
berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan zat antimikrobia pada fase logaritmik
didapatkan jumlah sel total maupun jumlah sel hidup adalah tetap.
2. Bakteriosidal memberikan efek dengan cara membunuh sel tetapi tidak terjadi lisis sel atau
pecah sel. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan antimikrobia pada kultur mikrobia yang
berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan zat antimikrobia pada fase logaritmik
didapatkan jumlah sel total tetap sedangkan jumlah sel hidup menurun.
3. Bakteriolitik menyebabkan sel menjadi lisis atau pecah sel sehingga jumlah sel berkurang atau
terjadi kekeruhan setelah penambahan antimikrobia. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan
antimikrobia pada kultur mikrobia yang berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan zat
antimikrobia pada fase logaritmik, jumlah sel total maupun jumlah sel hidup menurun.
Mekanisme penghambatan antibakteri dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu menghambat
sintesis dinding sel mikrobia, merusak keutuhan dinding sel mikrobia, menghambat sintesis
protein sel mikrobia, menghambat sintesis asam nukleat, dan merusak asam nukleat sel mikrobia.
Daya antimikrobia diukur secara in vitro agar dapat ditentukan kemampuan suatu zat
antimikrobia . Adanya fenomena ketahanan tumbuhan secara alami terhadap mikrobia
menyebabkan pengembangan sejumlah senyawa yang berasal dari tanaman yang mempunyai
kandungan antibakteri dan antifungi .Uji aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode
difusi dan metode pengenceran. Disc diffusion test atau uji difusi disk dilakukan dengan
mengukur diameter zona bening (clear zone) yang merupakan petunjuk adanya respon
penghambatan pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri dalam ekstrak. Syarat jumlah
bakteri untuk uji kepekaan/sensitivitas yaitu 105-108 CFU/mL Metode difusi merupakan salah
satu metode yang sering digunakan. Metode difusi dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu metode
silinder, metode lubang/sumuran dan metode cakram kertas. Metode lubang/sumuran yaitu
membuat lubang pada agar padat yang telah diinokulasi dengan bakteri. Jumlah dan letak lubang
disesuaikan dengan tujuan penelitian, kemudian lubang diinjeksikan dengan ekstrak yang akan
diuji. Setelah dilakukan inkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada tidaknya
daerah hambatan di sekeliling lubang (Jawetz , 2001).
2.10 Bakteri Staphylococcus aureus
Bakteri Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang hidup dipermukaan tubuh
individu sehat tanpa membahayakan, terutama sekitar hidung, mulut, alat kelamin, dan rectum.
Namun, ketika kulit kita mengalami luka atau tusukan, bakteri ini akan masuk melalui luka dan
menyebabkan infeksi (Misna dan Diana , 2016)
Staphylococcus aureus ( S. aureus) juga berperan dalam keamanan pangan karena dapat
menyebabkan kejadian mastitis pada sapi perah dan berpotensi mengkontaminasi produk susu
sapi S. aureus merupakan bakteri fakultatif anaerob Gram positif, berbentuk bulat, menghasilkan
enterotoksin, ditemukan di udara, debu, limbah, air, susu, makanan atau peralatan makan dan
pada permukaan lingkungan. Pada manusia atau hewan biasanya ditemukan di kulit dan hidung.
Manusia dan hewan merupakan reservoir utama dengan tingkat 20-30% dari keseluruhan
populasi adalah sebagai pembawa staphylococcus (prihandani et al , 2014).

You might also like