Professional Documents
Culture Documents
TIROIDEKTOMI
OLEH :
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017
BAB I
PENDAHULUAN
3
pernafasan yang paling penting disamping muskulus intercostalis
interna dan eksterna beberapa otot yang lainnya9. 12
10
2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum
A. Faktor Respirasi
Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam
alveolusadalah:
Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi,
semakincepat kenaikan tekanan parsial
Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat kenaikan
tekananparsial
B. Faktor Sirkulasi
Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih
besardaripada darah vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah:
Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan
darah vena.
Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan
sebagiankembali melalui vena.
Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam
darahterhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan
seimbang.
Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.
C. Faktor Jaringan
Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan
jaringan
Koefisien partisi jaringan/darah
Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan kaya
pembuluhdarah/JKPD, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan
sedikit pembuluhdarah/JSPD)
D. Faktor Zat Anestetika
Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC
(MinimalAlveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat
anestetika dalam udaraalveolus yang mampu mencegah terjadinya
11
tanggapan (respon) terhadap rangsang rasasakit. Semakin rendah nilai
MAC, semakin poten zat anestetika tersebut.
E. Faktor Lain
Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi
Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi
danpendalaman anestesia
Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga
pendalaman anestesia semakin cepat
12
Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak
menurun,frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak,
terfiksasi di tengah, pupilmidriasis, refleks cahaya mulai
menurun, relaksasi otot sedang, dan reflekslaring hilang sehingga
dikerjakan intubasi.
Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal
mulaiparalisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral,
refleks laring danperitoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir
sempuma (tonus ototsemakin menurun).
Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot
interkostalparalisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya
hilang, refleks sfmgterani dan kelenjar air mata tidak ada,
relaksasi otot lurik sempuma (tonusotot sangat menurun).
D. Stadium IV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya
pernapasanperut dibanding stadium III plana 4. pada stadium ini
tekanan darah tak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhirnya
terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat
diatasi dengan pernapasan buatan.
2.3.4 Keuntungan anestesi umum :
Mengurangi kesadaran pasien intraoperatif
Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama
Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi
Dapat digunakan dalam kasus sensitivitas terhadap agen anestesi lokal
Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur durasi tak terduga
Dapat diberikan dengan cepat
Dapat diberikan pada pasien dalam posisi terlentang
13
Memerlukan beberapa derajat persiapan pra operasi pasien
Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah,
sakittenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan memerlukan masa untuk
fungsi mentalyang normal
Terkait dengan hipertermia di mana paparan beberapa (tetapi tidak
semua) agenanestesi umum menyebabkan kenaikan suhu akut dan
berpotensi mematikan,hiperkarbia, asidosis metabolik, dan hiperkalemia.
14
Aritmia Jantung : anestesi ringan yang disertai maniplasi operasi
dapatmerangsang saraf simpatiks, dapat menyebabkan aritmia.
Bradikardia yangterjadi dapat diobati dengan atropin
Gagal Jantung : mungkin terjadi bila pasien mendapat cairan IV
berlebihan.
B. Komplikasi Respirasi
Obstruksi jalan nafas
Batuk
Cekukan (hiccup)
Intubasi endobronkial
Apnoe
Atelektasis
Pneumotoraks
Muntah dan regurgitas
C. Komplikasi MataLaserasi kornea, menekan bola mata terlalu kuat
D. Komplikasi NeurologiKonvulsi, terlambat sadar, cedera saraf tepi
(perifer)
E. Perubahan Cairan TubuhHipovolemia, Hipervolemia
F. Komplikasi Lain-Lain
Menggigil, gelisah setelah anestesi, mimpi buruk, sadar selama
operasi, kenaikansuhu tubuh.7Anestesi umum adalah tindakan
menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen trias anestesi
yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot. Obat
anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian
menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah
jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran
menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang
yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium anestesi untuk
menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya
15
kelebihan dosis.Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik
mungkin, pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal.
Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan
penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan
serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah
didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital
seperti saluran pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil,
cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik,
kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan.
16
CO2, sehingga udara yang mengandung anestetik dapat digunakan
lagi.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan
menjalani operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai
premedikasi, induksi, maintenance, dan lain-lain.
17
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa,
tidakselalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi
organ,angina menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi
hampirtak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam
tanpaoperasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
ASA VI :Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari
kegawatanotak, jantung, paru, ibu dan anak.
2.4.2Klasifikasi Mallampati
Skor Mallampati adalah suatu perkiraan kasar dari ukuran relatif
lidah terhadap rongga mulut yang digunakan untuk memperkirakan
tingkat kesulitan intubasi. Skor Mallampati ditentukan dengan melihat
anatomi dari rongga mulut, khususnya berdasarkan visibilitas dari dasar
uvula, arkus tonsilaris anterior dan posterior, dan palatum mole.
Semakin tinggi skor mallampati, semakin tinggi pula tingkat kesulitan
untuk dilakukan intubasi
Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posteriororopharynk,
tonsilla palatina dan tonsillapharingeal
Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dindingposterior uvula
Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
Mallampati IV: palatum durum saja
18
Gambar 3. Score Mallampaty
2.4.3 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anesthesia diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar indusi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan
Pemberian premedikasi dapat diberikan secara suntikan
intramuskuler diberikan 30-45 menit sebelum induksi, suntikan
intravena diberikan 5-10 menit sebelum induksi. Komposisi obat dan
dosis obat premedikasi yang akan diberikan kepada pasien serta cara
pemberiannya disesuaikan dengan masalah yang dijumpai pada pasien.
19
Tabel 1. Obat-obat yang dapat digunakan untuk premediksai
No. Jenis obat Dosis (Dewasa)
1 Sedatif :
Diazepam 5-10mg
Difenhidramin 1 mg/kgbb
Promethazin 1 mg/kgbb
Midazolam 0,1-0,2 mg/kgbb
2 Analgetik Opiat :
Petidin 1-2 mg/kgbb
Morfin 0,1-0,2 mg/kgbb
Fentanil 1-2 µg/kgbb
Analgetik non opiat Disesuaikan
3 Antikholonergik :
Sulfas atropine 0,1 mg/kgbb
4 Antiemetik :
Ondancentron 4-8 mg (iv) dewasa
Metoklorpamid 10 mg (iv) dewasa
5 Profilaksis aspirasi : Dosis disesuaikan
Cimetidine
Ranitidin
Antasida
2.4.4Intubasi Endotrakeal
Pengertian Intubasi Endotrakheal.
Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut
atau melaluihidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea.
Pada intinya, IntubasiEndotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa
endotrakha ke dalam trakhea sehinggajalan nafas bebas hambatan dan
nafas mudah dibantu dan dikendalikan. ETT dapat digunakan untuk
memberikan gas anestesi secara langsung ke trakea dan memberikan
20
ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan kekerasan ETT dapat
diubah dengan stilet. Resistensi terhadap aliran udara tergantung pada
diameter tabung, tetapi juga dipengaruhi oleh panjang tabung dan
kurvatura. Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa diameter
internal 7-7.5 mm dengan panjang 24 cm. pada pria dewasa diameter
internal 7.5-9 mm dengan panjang 24cm.
Tujuan Intubasi Endotrakhea.
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah
untukmembersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan
nafas agar tetap paten,mencegah aspirasi, serta mempermudah
pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasienoperasi. Pada dasarnya,
tujuan intubasi endotrakheal :
Mempermudah pemberian anestesia.
Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaranpernafasan.
Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada
keadaan tidak sadar,lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
Mengatasi obstruksi laring akut.
21
Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang
gawat atau pasiendengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
Dalam sumber lain disebutkan indikasi intubasi endotrakheal
antara lain:
Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan
tenggorokan, karena padakasus-kasus demikian sangatlah sukar
untuk menggunakan face mask tanpamengganggu pekerjaan ahli
bedah.
Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang
tenang dan tidakada ketegangan.
Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction
dilakukan dengan mudah,memudahkan respiration control dan
mempermudah pengontrolan tekanan intrapulmonal.
Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi
intestinal.
Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.
Tracheostomi.
Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi
dilakukannya intubasi endotrakhealantara lain :
Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untukdilakukannya intubasi. Tindakan yang harus
dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.
Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang
vertebra servical,sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Posisi Pasien untuk Tindakan Intubasi.
Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam keadaan fleksi
ringan, sedangkan kepaladalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai
22
Sniffing in the air position. Kesalahan yangumum adalah
mengekstensikan kepala dan leher.
23
Tabel 2. pedoman ukuran laringoskop, pipa endotrakeal dan kateter
penghisap
24
= (usia /2) + 15 (pipa nasal)
Rumus di atas dapat berlaku untuk usia di atas 1 tahun. Neonatus
umumnya menggunakan pipa berukuran 3 – 3,5 mm, kecuali bayi
prematur yang mungkin memerlukan pipa berdiameter 2,5 mm. Cara
lain untuk memperkirakan diameter pipa adalah dengan
membandingkannya dengan diameter kelingking pasien atau diameter
yang tepat dengan liang hidung. Pemilihan diameter yang tepat dapat
diketahui bila dalam penggunaannya terjadi kebocoran udara melaui
tepi pipa pada tekanan di atas 20 -30 cm H2O. Bila digunakan pipa
dengan cuff, pengisian udara ke dalam cuff, juga harus dapat
menghasilkan kebocoran udara melalui tepi cuff pada tekanan di atas 20
-30 cm H2O
25
2.4.5 Induksi Anestesi
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidaksadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesi langsung
dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan pembedahan
selesai. Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya disiapkan
peralatan dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi
keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk
persiapan induksi anestesi, sebaiknya diingat kata STATICS:
Gambar 4. STATICS
2.4.6 Obat Anestesi Umum
Umumnya obat anestesi umum diberikan secara inhalasi atau
suntikan intravena.
1. Anestetik inhalasi
Nitrogen aksida yan stabil pada tekanan dan suhu kamar merupakan
salah satu anestetik gas yang banyak dipakai karena dapat digunakan
dalam bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya. Halotan, enfluran,
isofluran, desfluran dan metoksifluran merupakan zat cair yang
26
mudah menguap. Sevofluran merupakan anestesi in halasi terbaru
tetapih belum diizinkan beredar di USA. Anestesi inhalasi
konvensional seperti eter, siklopropan, dan kloroform pemakaiannya
sudah dibatasi karena eter dan siklopropan mudah terbakar
sedangkan kloroform toksik terhadap hati.
2. Anestetik intravena
Beberapa obat anestetik diberikan secara intravena baik tersendiri
maupun dalam bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya untuk
mempercepat tercapainya stadium anestesi atau pun sebagai obat
penenang pada penderita gawat darurat yang mendapat pernafasan
untuk waktu yang lama, Yang termasuk :
Barbiturat (tiopental, metoheksital)
Benzodiazepine (midazolam, diazepam)
Opioid analgesik dan neuroleptik
Obat-obat lain (profopol, etomidat)
Ketamin, arilsikloheksilamin yang sering disebut disosiatif
anestetik.
Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi,
intramuskular, atau rectal.
1. Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi
sudah terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi
intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan,
lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan
pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan
oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan
kepekatan 2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena
menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula digunakan dosis rendah
27
dan dewasa muda sehat dosis tinggi. Propofol (recofol, diprivan)
intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3 mg/kgBB.
Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
satu menit sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/kgBB secara
intravena. Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB.
Pasca anestesi dengan ketamin sering menimbulkan halusinasi,
karena itu sebelumnya dianjurkan menggunakan sedativa seperti
midasolam (dormikum). Ketamin tidak dianjurkan pada pasien
dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah > 160 mmHg). Ketamin
menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.
Jenis Induksi intravena:
a) Tiopental (pentotal, tiopenton) (amp 500 mg atau 1000 mg)
sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai
kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk
intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan
dihabiskan dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan kecepatan
suntikan tiopental akan menyebabkan pasien berada dalam
keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi napas. Tiopental
menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan
intrakranial dan diguda dapat melindungi otak akibat kekurangan
O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesi.
b) Propofol (diprivan, recofol) Dikemas dalam cairan emulsi lemak
berwarna putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml
= 10 mg). Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg
intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan
untuk anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi
untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh
dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan
pada wanita hamil.
28
c) Ketamin (ketalar) Kurang digemari karena sering menimbulkan
takikardia, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia
dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi
buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg
intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin
0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10
mg. ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml =
10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).
d) Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) Diberikan dosis
tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan jantung. Untuk
anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mcg/kg
dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
2. Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5
menit pasien tidur.
3. Induksi inhalasi
Obat yang digunakan adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat :
tidak berbau menyengat / merangsang
baunya enak
cepat membuat pasien tertidur.
Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran. Induksi
inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran.
Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum
terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut disuntik. Induksi
halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2.
Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran
N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol%
29
sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi
halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan
lagi sampai konsentrasi yang diperlukan. Induksi dengan sevofluran
lebih disenangi karena pasien jarang batuk, walaupun langsung
diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. seperti dengan
halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan. Induksi dengan
enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang
dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi
lama.
a) N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida). Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi,
tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus
disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya
kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri
menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan
sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain
seperti halotan.
b) Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan
analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus
simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi
vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor.
Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat
pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.
c) Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran
lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih
kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia.
Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding halotan.
30
d) Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari
untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien
dengan gangguan koroner.
e) Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek
depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan
napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.
f) Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disamping halotan. 9
4. Induksi per rektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam. Tandatanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks
bulu mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak
mata.
2.4.7 Rumatan Anestesi (Maintenance)
Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena
(anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran
intravena inhalasi. Rumatan anestesi biasanya mengacu pada trias
anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia
cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan
nyeri dari relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan intravena misalnya
dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 ug/kgBB.
31
Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup,
sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot.
Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa,
tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam.
Bedah lama dengan anestesi total intravena menggunakan opioid,
pelumpuh otot, dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan
inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2. Rumatan inhalasi biasanya
menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol%
atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-4 vol%, atau sevofluran 2-4
vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted),
atau dikendalikan (controlled).
32
Ringan= 4 ml/kgBB/jam.
Sedang= 6 ml/kgBB/jam
Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang
dari 10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila
perdarahanlebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma
/ koloid /dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairanselama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien1.
2.6 PEMULIHAN
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesiyang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room
yaitu ruangan untukobservasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar
merupakan batu loncatansebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif diICU. Dengan demikian pasien pasca
operasi atau anestesi dapat terhindar darikomplikasi yang disebabkan karena
operasi atau pengaruh anestesinya.Untuk memindahkan pasien dari ruang
pulih sadar ke ruang perawatan perludilakukan skoring tentang kondisi pasien
setelah anestesi dan pembedahan. Caraskoring yang biasa dipakai untuk
anestesi umum yaitu cara Aldrete.
33
Gambar 5. Score Alderett
34
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 40 tahun
Alamat : Desa Talaga Damsol
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Tanggal masuk RS : 19 Oktober 2017
Tanggal Operasi : 21 Oktober 2017
Berat badan : 40 kg
Tinggi Badan : 149 cm
Rumah Sakit : RSD Madani
II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama :
Benjolan pada leher
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk RSD Madani dengan keluhan benjolan pada leher sejak 4
tahun yang lalu dan tidak terasa nyeri. Awalnya pasien hanya merasakan
benjolan kecil dan lama kelamaan menjadi besar. Pasien tidak mengeluhkan
nyeri menelan, penurunan berat badan disangkal. Riwayat suara serak tidak
ada, sesak nafas tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada, demam tidak
ada. Riwayat mulut berbau disangkal pasien. Riwayat hipertensi(-),
diabetes(-), alergi(-), asma(-), riwayat operasi sebelumnya (-)
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Darah Rutin : WBC : 5,7 x 103 μL
RBC : 4,1 x 106 μL
Hb : 12,1 g/dl
PLT : 209 x 103 μL
HCT : 37 %
CT : 8”
BT : 2”
FT4 : 0,99 ng/dl LDL-CHOL : 64 mg/dl
TSHs : 1,64 uIU/ml Asam urat : 4,5 mg/dl
HbsAG : non reaktif Kreatinin : 0,6 mg/dl
Glukosa sewaktu : 73 mg/dl Ureum : 20 mg/dl
Cholesterol Total : 98 mg/dl SGOT : 13 u/l
Trigliserida : 60 mg/dl SGPT : 16 u/l
HDL-CHOL : 21 mg/dl
37
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka dapat disimpulkan :
Diagnosis pre operatif : Struma
Status Operatif : ASA II, Mallampati I
Jenis Operasi : Tiroidektomi
Jenis Anastesi : General Anastesi
2. Di kamar Operasi
Assistant yang terlatih
STATICS:
Scope → stetoskop, laringoskop
Tubes → ETT (cuffed) size 6,0 mm
Airway → orotracheal airway
Tape → plester untuk fiksasi
Introducer → untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan
Connector → penyambung antara pipa dan ventilator
Suction → memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction
Peralatan monitor : tekanan darah, nadi, oksimetri berdenyut
Peralatan resusitasi dan obat-obatan emergensi : atropin sulfat, lidokain,
adrenalin, dan efedrin.
B. Premedikasi anestesi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi, pasien diberikan Midazolam 3 mg
dan Fentanyi 60 mcg secara bolus IV.
C. Pemantauan Selama Anestesi
Melakukan monitoring terus menerus tentang keadaan pasien yaitu reaksi
pasien terhadap pemberian obat anestesi khususnya terhadap fungsi
pernapasan dan jantung.
Kardiovaskular : Nadi setiap 5 menit, dan tekanan darah setiap 5 menit
Respirasi : Inspeksi pernapasan spontan pada pasien dan saturasi oksigen
Cairan : Monitoring input cairan
D. Monitoring Tindakan Operasi
Jam Tindakan Tekanan Nadi Saturasi
Darah (x/menit) O2 (%)
(mmHg)
08.35 Pasien masuk ke kamar operasi, 130/80 87 100
dandipindahkan ke meja operasi
Pemasangan monitoring tekanan
darah, nadi, saturasi O2
Infus RL terpasang pada tangan
kanan
Premedikasi : Midazolam 3mg
iv, Fentanyl 60mcg
08.45 Obat induksi dimasukkan secara 130/89 88 100
1
iv:
o Propofol 70 mg
o Atracurium Besylate 25 mg
Kemudian mengecek apakah
refleks bulu mata masih ada atau
sudah hilang.
Jika tidak ada, lalu dilakukan
tindakan face mask dengan
sungkup No.3, dan diberikan:
o O2 : 5 L
o Sevoflurane : 2,5 vol%
08.50 Dilakukan tindakan pemasangan 120/70 86 100
endotracheal tube No. 7 dengan
bantuan laringoskop kemudian
fiksasi.
Memasang goedel (oral airway)
Kedua mata pasien ditutup
dengan plester
Pernafasan spontan dengan
mantainance face mask Isofluran
2,5vol%
08.55 Operasi dimulai 100/60 80 100
Kondisi terkontrol
09.00 Kondisi terkontrol 100/60 84 100
Operasi sementara berlangsung
09.05 Kondisi terkontrol 100/70 78 100
Operasi sementara berlangsung
09.10 Kondisi terkontrol 120/70 80 100
Operasi sementara berlangsung
2
Dilakukan penggantian infus RL
500 cc
09.15 Kondisi terkontrol 100/70 88 100
Operasi sementara berlangsung
09.30 Kondisi terkontrol 110/60 78 100
Operasi sementara berlangsung
09.35 Kondisi terkontrol 120/80 84 100
Operasi sementara berlangsung
09.40 Kondisi terkontrol 110/70 84 100
Operasi sementara berlangsung
09.45 Kondisi terkontrol 110/70 84 100
Operasi sementara berlangsung
Struma berhasil diangkat dan
diligasi
10.00 Kondisi terkontrol 100/60 80 100
Operasi sementara berlangsung
10.05 Kondisi terkontrol 120/70 86 100
Operasi sementara berlangsung
10.10 Kondisi terkontrol 110/60 84 100
Operasi sementara berlangsung
10.15 Kondisi terkontrol 110/70 88 100
Operasi sementara berlangsung
10.20 Kondisi terkontrol 100/60 80 100
Operasi sementara berlangsung
10.25 Kondisi terkontrol 110/60 82 100
Operasi sementara berlangsung
10.30 Kondisi terkontrol 120/70 84 100
Operasi sementara berlangsung
10.35 Kondisi terkontrol 110/70 84 100
3
Memasukkan Ondancentron 4
mg iv, Ketorolac 30 mg
iv,Dexamethason 10 mg iv
10.40 Operasi selesai 110/60 88 100
Melakukan ekstubasi
Dilakukan suction , dan pelepasan
endotracheal tube
Gas Isoflurane dimatikan, dan gas
O2 dinaikkan menjadi 5 vol %
(Oksigenisasi) dengan
menggunakan face mask.
Gas 02 dihentikan
Dilakukan penggantian infus RL
500 cc + Fentanyl 50mg 20 tpm
Pelepasan alat monitoring
(saturasi dan tensimeter).
Pasien dipindahkan ke ruang
recovery room. Selanjutnya
dilakukan pemasangan O2 3 lpm
di recovery room
Pasien dapat dibangunkan dan
memonitoring keadaan pasien.
4
Jenis Anestesi : General anestesi dengan teknik “Semi Close Circuit
System dengan ETT No.7” menggunakan O2 5L, , Sevoflurance
2,5 Vol % dan Isofluran 2,5vol%
Posisi : Supine
Pernafasan : Spontan
Infus : Ringer Laktat pada tangan kiri 500cc
Premedikasi : Midazolam 3 mg i.v, Fentanyl 60 mcg i.v
Induksi : Propofol 100 mg i.v
Rumatan : O2 5 L, dan Isoflurance 2,5 Vol %
Medikasi : MIdazolam 3 mg i.v, Fentanyl 60 μg iv, Atracurium Besylate
25 mg iv, Ondancentron 4 mg iv, Ketorolac 30 mg
iv,Dexamethason 10 mg iv
Intubasi : Laringoskop blade no 3 Endotracheal Tube No 7 cuff (+)
Cairan : Cairan Masuk: RL 500 cc, cairan keluar tidak dapat dimonitoring
karena tidak dilakukan pemasangan kateter.
F. POST OPERATIF
- Pasien masuk ruang pemulihan dan setelah itu dibawa ke Bangsal
Nangka
- Observasi tanda- tanda vital dalam batas normal
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/60 mmHg
Nadi : 88x/min
Saturasi : 100%
5
Skor Total 10
≥ 9 : Pindah dari unit perawatan pasca anestesi
≥ 8 : Dipindahkan ke ruang perawatan bangsal
≥ 5 : dipindahkan ke ruang perawatan intensif (ICU)
Pada pasien ini didapatkan nilai aldrete skor 10, pasien dipindahkan ke ruang
perawatan bangsal untuk dilakukan observasi lebih lanjut.
G. Terapi Cairan
1. Berat Badan : 40 kg
2. Jumlah Cairan yang masuk : 1200 cc
- Preoperatif (RL 500 cc)
- Durante operatif (RL 700 cc )
3. Jumlah cairan keluar :
a. Darah = ±150 cc
- Perdarahan dari kasa uk 4x4 = 10 buah (15 x 10 = 150 cc)
4. Estimated Blood Volume (EBV) dengan BB pasien 40 kg
BB (Kg) x 70 ml/kgBB
= 75 cc/kg BB x 40 kg
= 3000 cc
% Perdarahan = Jumlah Perdarahan : EBV x 100%
= 150 : 3000 x 100%
6
= 0,05 x 100%
= 5 %.
5. Perhitungan Cairan
a. Input yang diperlukan selama operasi
1. Cairan Maintanance
(M) = (4x10) + (2x10) + (1x20)
= 40+ 20 + 20
=80 ml/jam
2. Cairan defisit pengganti puasa (P) :
Lama puasa x maintenance = 8 jamx 80
= 640 ml
3. Stress operasi (operasi sedang) :
= 6 cc x BB
= 6 x 40
= 240 ml/jam
4. Defisit darah selama 2 jam = 150 ml
- Jika diganti dengan cairan kolid atau darah 1:1
- Jika diganti dengan cairan kristaloid 3:1
5. Total kebutuhan cairan selama 2 jam operasi :
= (Cairan maintenance x 2 jam) + defisit pengganti puasa + Stres operasi
+ perdarahan
= (80 x 2) + 240 + 150 + 640
= 1190 ml
a. Keseimbangan kebutuhan:
= Cairan masuk – cairan dibutuhkan
= 1200 ml – 1190 ml
= 10 ml
7
BAB IV
PEMBAHASAN
9
2. Kerusakan nerves larygeal recurent
Bilateral : Pasien tak mampu bicara (Aponia &
stridor) ž Reintubasi
Unilateral : Serak
Tes fungsi pita suara : kemampuan mengucapkan huruf (i atau e)
3. Obstruksi jalan napas setelah operasi, disebabkan
oleh hematoma atau trakeomalasia akan membutuhkan intubasi trakea yang
segera.
4. Hipoparatiroidsme
Gejala Hipokalsemi akut akibat pengangkatan kelenjar paratiroid (12 – 72 jam
post ops) berupacarpo pedal syndrom sampai laringospasme.
5. Pneumothoraks , kemungkinan terjadi akibat eksplorasi leher
Operasi tiroid ( tiroidektomi ) merupakan operasi bersih, dan tergolong
operasi besar. Tiroidektomi dilakukan pada pasien yang dalam keadaan eutiroid.
Pada pasien ini ditemukan produksi hormon tiroksin dalam batas normal
(Eutiroid) yaitu FT4 : 0,99 ng/dl dan TSHs : 1,64 uIU/ ml. Beberapa indikasi
dilakukannya tiroidektomi adalah 1) Struma difus toksik yang gagal dengan terapi
medikamentosa, 2)Struma uni nodusa atau multi nodusa dengan kemungkinan
keganasan, 3)Struma multi nodusa dengan gangguan tekanan dan alasan
4)Kosmetik.
Sedangkan kontraindikasi operasi tiroid adalah 1)Struma toksika yang
belum dipersiapkan sebelumnya, 2)Struma dengan dekompensasi kordis dan
penyakit sistemik yang lain yang belum terkontrol (diabetus mellitus; hipertensi
dsb.), 3)Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher, sehingga sulit
digerakkan (biasanya karena karsinoma). Karsinoma yang demikian sering dari
tipe yang jelek prognosanya. Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat
sekaligus dilakukan reseksi trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan
jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi dengan baik, 4) Struma
(karsinoma ) yang disertai vena cava superior syndrome. Biasanya karena
metastase yang luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan
sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan mortalitas yang tinggi.
10
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidaksadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan.
Setelah pasien tidur akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan
pemeliharaan anestesi sampai tindakan pembedahan selesai. Sebelum memulai
induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan,
sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan
lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi, sebaiknya diingat kata STATICS:
13
5. Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau
trachea), suara sesakatau parau (granuloma atau paralisis pita suara),
malfungsi dan aspirasi laring.Gangguan refleks berupa spasme laring.
Untuk maintenance selama operasi berlangsung diberikan juga beberapa
gas inhalasi berupa, O2 5L, dan Isoflurane 2,5 vol% melalui mesin anestesi.
Isoflurane suatu obat anestesi volatile yang induksinya cepat dan pemulihannya
cepat, tidak iritasi dan tidak menimbulkan sekresi. Seperti halnya halotan dan
enfluran, Isoflurane berefek bronkhodilator, tidak menimbulkan mual-muntah.
Isoflurance 1,15 % dalam oksigen murni. Isoflurane memiliki bau yang sedikit
menyengat maka bila digunakan sebagai induksi sebaiknya dimulai dengan
konsentrasi 0,5%.
Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan tanda vital berupa
tekanan darah, nadi , dan saturasi oksigen setiap 5 menit secara efisien dan terus
menerus, dan pemberiancairan intravena berupa RL. Cairan yang diberikan adalah
RL (Ringer Laktat) karenamerupakan kristaloid dengan komposisinya yang
lengkap (Na+, K+, Cl-, Ca++, dan laktat) yang mengandung elektrolit untuk
menggantikan kehilangan cairan selama operasi, juga untuk mencegah efek
hipotensi akibat pemberian obat-obatan intravena dan gas inhalasi yang
mempunyai efek vasodilatasi.
Dalam terapi cairan, jumlah cairan yang masuk adalah 1200 cc dari
preoperatif (RL 500 cc) dan durante operatif (RL 700) dan jumlah cairan keluar
adalah 150 cc berupa perdarahan yaitu dari kasa 4x4 10 buah (15 x 10 = 150 cc).
Estimated Blood Volume (EBV) dengan BB pasien 40 kg : 75 cc/kg BB x 40 kg =
3000 cc, sehingga di didapatkan %perdarahan : 150/3000 x 100% = 5 %.
Terapi cairan intra-operatif dijabarkan sebagai berikut :
6. Kebutuhan Cairan Basal (M) :
Kebutuhan cairan basal (rutin, rumatan) ialah :
4ml/kgBB/jam tambahkan untuk berat badan 10 kg pertama
2ml/kgBB/jam untuk berat badan 10 kg kedua
1ml/kgBB/jam tambahkan untuk sisa berat badan
14
Pada pasien ini diperoleh kebutuhan cairan basalnya adalah sebagai
berikut :
(4x 10 kg) + (2x10 kg) + (1x 20 kg) = 80 cc
2) Kebutuhan cairan operasi (O) :
Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang peritoneum,
ruangketiga, atau ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung pada
besarkecilnya pembedahan, 6-8 ml/kg untuk operasi besar, 4-6 ml/kg
untuk operasisedang, dan 2-4 ml/kg untuk operasi kecil.
Defisit cairan pengganti puasa :
Lama puasa x maintenance = 8 jamx 80 = 640 ml
Pada pasien ini diperoleh kebutuhan cairan operasinya adalah sebagai
berikut :Operasi sedang x Berat badan : 6 x 40 kg = 240 cc
Total kebutuhan cairan selama 2 jam operasi :
= (Cairan maintenance x 2) + Defisit cairan pengganti puasa + Stres
operasi + perdarahan
= (80 x 2) + 640 + 240 + 150
= 1190 ml
6. Keseimbangan kebutuhan:
= Cairan masuk – cairan dibutuhkan
= 1200 ml – 470 ml
= 10 ml
Menjelang operasi hampir selesai pasien juga diberikan ondancentron 4mg
iv. Ondansetron merupakan antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang
dapat menekan mual dan muntah. Mekanisme kerja obat ini diduga dengan
mengantagonisasi reseptor 5-HT yang terdapat pada chemoreceptor trigger zone
di area postrema otak yang merupakan pusat muntah dan pada aferen vagal
saluran cerna. Ondansetron diberikan pada pasien untuk mencegah mual muntah
yang bisa menyebabkan aspirasi dan rasa tidak nyaman pasca pembedahan. ,
dexamethason 10 mg sebagai kortikosteroid untuk mencegah terjadinya proses
inflamasi dan reaksi alergi yang mungkin dapat terjadi. Ketorolac 30 mg
diberikan sebagai analgetik non opioid digunakan sebagai tambahan penggunaan
15
opioid dosis rendah untuk menghindari efek samping opioid yang berupa depresi
pernapasan. Sifat analgentik ketorolac setara dengan opioid (30mg ketorolac =
100 mg petidin = 12 mg morfin), sedangkan sifat antipiretik dan anti infamasinya
rendah. Cara kerja ketorolac adalah menghambat sintesis prostaglandin di perifer
tanpa mengganggu reseptor opioid di sistem saraf pusat.
Setelah operasi selesai, dilakukan ekstubasi pada pasien. Ekstubasi dapat
dilakukan pada stadium anestesi yang dalam dan pernapasan. Pada pasien ini,
ekstubasi dilakukan pada stadium anestesi. Sebelum ekstubasi dilakukan terlebih
dahulu membersihkan rongga mulut, efek obat pelemas otot sudah tidak ada, dan
ventilasi sudah adequate. Melakukan pembersihan mulut sebaiknya dengan
kateter yang steril. Walaupun diperlukan untuk membersihkan trachea atau faring
dari sekret sebelum ekstubasi, hendaknya tidak dilakukan secara terus menerus
bila terjadi batuk dan sianosis. Sebelum dan sesudah melakukan pengisapan,
sebaiknya diberikan oksigen. Apabila plester dilepas, balon sudah dikempiskan,
lalu dilakukan ekstubasi dan selanjutnya diberikan oksigen dengan sungkup muka.
Pipa endotrakheal jangan dicabut apabila sedang melakukan pengisapan karena
kateter pengisap bisa menimbulkan lecet pita suara, perdarahan, atau spasme
laring. Sesudah dilakukan ektubasi, pasien kembali diberikan oksigen dengan
sungkup muka dan kembali dilakukan pembersihan rongga mulut dengan
menggunakan suction.
Beberapa saat setelah pasien dikeluarkan dari ruang operasi, didapatkan
pada pemeriksaan fisik tekanan darah 110/ 60 mmHG, nadi 88 x/menit, dan laju
respirasi 20 x/menit. Pembedahan dilakukan selama 2 jam dengan perdarahan ±
150 cc. Observasi dilanjutkan pada pasien di recovery room, dimana dilakukan
pemantauan tanda vital meliputi tekanan darah, nadi, respirasi dan saturasi
oksigen dan menghitung aldrete score.Pasien bisa dipindahkan ke ruang
perawatan dari ruang pemulihan jika nilai pengkajian post anestesi adalah >7-
8.Lama tinggal di ruang pulih tergantung dari teknik anestesi yang digunakan.
Pasien dikirim ke ICU (Intensive Care Unit) apabila hemodinaik tak stabil perlu
support inotropik dan membutuhkan ventilator (mechanical respiratory support).
Aldrete score 10 maka dapat dipindah ke ruangan nangka.
16
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
3) Anestesi umum (General anesthesia) disebut juga Narkose Umum (NU)
adalahtindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran
dan bersifatreversible berdasarkan trias anesthesia yang ingin diperoleh yaitu
hipnotik,analgesia, dan relaksasi otot.
4) Prosedur anastesi umum dan monitoring pasien tidak hanya dilakukan pada
saatoperasi tetapi juga mencakap persiapan pra anastesia (kunjungan dan
premedikasi)dan pasca anastesia.
5) Pemilihan teknik intubasi pada anastesi umum didarkan pada jenis operasi
yangakan dilakukan, usia, jenis kelamin, status fisik pasien, keterampilan
pelaksanaanastesi, ketersediaan alat, serta permintaan pasien.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi
EdisiKedua. Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI:
Jakarta.
2. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi
Intensif,FKUI. CV Infomedia: Jakarta.
3. Burton MJ, Towler B, Glasziou P. Tonsillectomy versus non-surgical
treatment forchronic/recurrent acute tonsillitis (Cochrane Review). In: The
Cochrane Library, Issue2004. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.
4. Pasternak LR, Arens JF, Caplan RA, Connis RT, Fleisher LA, Flowerdew R,
et al.Practice advisory for preanesthetic evaluation. A report by the American
Society ofAnesthesiologists Task Force on Preanesthesia Evaluation 2003.
5. Mangku, Gde dan Tjokorda Gde Agung S. 2010. Buku Ajar Ilmu Anastesi
danReanimasi. Indeks : Jakarta.
6. Ganiswara, Silistia G. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy
Pharmacology). AlihBahasa: Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta, 1995
7. Wrobel M, Werth M.2009. Pokok-pokok Anestesi. Edisi pertama. Jakarta.
PenerbitBuku Kedokteran EGC.
8. Omoigui S. 2012.Obat-obatan Anestesia. Edisi kedua. Jakarta. Penerbit
BukuKedokteran EGC.
9. Syarif,Amir,et al. 2009.Farmakologi dan Terapi Edisi Kelima.
DepartemenFarmakologi dan Terapeutik FKUI: Jakarta
18