You are on page 1of 11

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Tipo pada tanggal 2 Oktober 2017 -
20 Oktober 2017. Data yang diambil adalah data pasien yang terdiagnosis ISPA
pada tanggal 2 Oktober sampai 22 Oktober tahun 2017 yang berjumlah 96 orang.
Pengambilan data dilakukan di bagian Rekam Medis Puskesmas Tipo dengan
memperhatikan kriteria inklusi.. Peneliti kemudian melakukan pengambilan
sampel dengan metode Purposife Sampling. Analisis data dari hasil penelitian ini
dilakukan dengan dua cara yaitu analisis univariat dan analisis bivariat dengan
menggunakan uji Lambda.
1. Analisa Data Univariat
a. Usia
Tabel 4.1 Distribusi sampel berdasarkan usia
Usia Jumlah Persentase (%)
0 – 12 bulan 16 16,7

13 – 24 bulan 26 27,1

25 - 36 bulan 27 28,1

37 – 48 bulan 14 14,6

49 – 59 bulan 13 13,5

Total 96 100

Sumber : Data sekunder ( Rekam Medik, 2017)


Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa jumlah pasien balita
yang datang berobat di puskesmas Tipo Palu dengan usia 0 - 12 bulan
sebanyak 16 orang (16,7%), jumlah pasien usia 13 - 24 bulan adalah
sebanyak 26 orang (27,1%), jumlah pasien usia 25 - 36 bulan adalah
sebanyak 27 orang (28,1%), jumlah pasien usia 37 - 48 bulan adalah
sebanyak 14 orang (14,6%) dan jumlah pasien usia 49 - 59 bulan adalah
sebanyak 13 orang (13,5%).

b. Jenis Kelamin
Tabel 4.2 Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
Laki-laki 54 56,2

Perempuan 42 43,8

Total 96 100.0

Sumber : Data Primer (Kuisioner)


Berdasarkan data di atas sebanyak 54 orang (56,2%) memiliki
berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 42 orang (43,8%) berjenis kelamin
perempuan.

c. Berat Badan Lahir


Tabel 4.3 Distribusi sampel berdasarkan berat lahir
Berat lahir Jumlah Persentase (%)
< 2500 gram 28 29.2
≥ 2500 gram 68 70.8
Total 96 100.0
Sumber : Data Primer (Kuisioner)
Berdasarkan data di atas sebanyak 28 orang (29.2%) memiliki
berat lahir < 2500 gram dan sebanyak 68 orang (70.8%) dengan berat lahir
≥ 2500 gram.
d. Asi Eksklusif
Table 4.4 Distribusi ssampel berdasarkan Asi Eksklusif
Asi Eksklusif Jumlah Persentase (%)
Ya 46 47.9
Tidak 49 51.0
Total
Sumber : Data Primer (Kuisioner)
Berdasarkan data di atas sebanyak 46 balita (47.9%) mendapatkan
ASI Eksklusif dan sebanyak 49 balita (51.0%) tidak mendapatkan ASI
Eksklusif.

e. Status Gizi
Tabel 4.5 Distribusi sampel berdasarkan status gizi
Berat Lahir Jumlah Persentase (%)

Baik 33 34.4
Kurang 63 65.6
Buruk 0 0
Total 96 100
Sumber : Data sekunder (Rekam Medik, 2014)
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa jumlah pasien dengan
status gizi kurang lebih banyak yaitu 63 orang (65,6%), dibandingkan
pasien dengan status gizi baik yaitu sebanyak 33 orang (34,4%).

f. ISPA
Tabel 4.6 Distribusi sampel berdasarkan ISPA
ISPA Jumlah Persentase (%)
Ya 58 60.4
Tidak 38 39.6
Total 96 100.0
Sumber : Data sekunder (Rekam Medik, 2014)
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa jumlah pasien yang
menderita ISPA sebanyak 58 (60,4%) dan 38 orang (39,6%) pasien tidak
mengalami ISPA.
2. Analisa Data Bivariat
Analisis data bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara yaitu
kejadian infeksi saluran pernapasan akut terhadap factor resiko dari ISPA
yakni Berat Bayi Lahir Rendah, Asi Eksklusif dan Status Gizi. Uji statistik
yang digunakan untuk mencari tahu hubungan tersebut adalah uji korelasi
Lambda.
a. Hubungan Berat Bayi Lahir Rendah dengan Kejadian ISPA
Tabel 4.7 Hubungan Berat Bayi Lahir Rendah dengan Keladian ISPA
ISPA
Berat ISPA Tidak ISPA TOTAL P
Lahir value
n % n % n %
< 2500 28 29.2% 0 0 28 29.2
gram
% 0,121
≥ 2500 30 31.2% 38 39.6% 68 70,8
gram
Jumlah 58 60.4 38 39.6 96 100

b. Hubungan Asi Eksklusif dengan Keladian ISPA


Tabel 4.8 Hubungan Asi Eksklusif dengan Keladian ISPA
ISPA
ASI ISPA Tidak ISPA TOTAL P
Eksklusif value
n % n % n %
Asi
Tidak Asi
Jumlah

c. Hubungan Status Gizi dengan Keladian ISPA


Tabel 4.9 Hubungan Status Gizi dengan Keladian ISPA
ISPA
Status ISPA Tidak ISPA TOTAL P
Gizi value
n % n % n %
Baik
Kurang
Jumlah

3. Analisa Data Multivariat


Analisis multivariat dilakukan dengan tujuan untuk melihat
hubungan beberapa variabel (lebih dari satu) independen dengan satu
atau beberapa variabel dependen (umumnya satu variabel dependen).

B. Pembahasan

a. Berat Lahir
Berdasarkan data dari tabel 4.3 menurut distribusi berat lahir bayi di
Puskesmas Tipo Kota Palu bulan Oktober Tahun 2017 menunjukkan jumlah
bayi yang lahir dengan berat < 2500 gram sebanyak 63 orang (64,94%) dan
jumlah bayi yang lahir dengan berat ≥ 2500 gram sebanyak 34 orang
(35,05%). Dari data tabel 4.4 sebanyak 59 (61,2) orang bayi mengalami
pneumonia dan sebanyak 38 orang (38,8%) bayi tidak mengalami pneumonia.
Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 4.5 diketahui distribusi antara
BBLR dan kejadian ISPA pada bayi. Pada kelompok BBLR didapatkan 32
orang (54,23%) menderita pneumonia dan 31 orang (81,57%) tidak menderita
pneumonia.
Untuk mengetahui hubungan antara BBLR dengan kejadian ISPA pada
bayi dilakukan uji statistic menggunakan Lambda dan diperoleh nilai p0,001
yang secara statistik dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
BBLR dengan kejadian ISPA pada bayi usia 0-59 bulan yang di terdiagnosis
ISPA di Puskesmas Tipo Tahun 2017. Oleh karena itu, hipotesis kerja (H1)
ditolak.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang sebelumnya
dilakukan oleh Ribka (2013), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan
antara BBLR dengan kejadian ISPA pada balita. Namun hasil penelitian yang
berbeda dengan yang di dapatkan oleh Musdalifah (2013) yang menyatakan
bahwa ada hubungan antara Berat Bayi Lahir Rendah dengan kejadian ISPA.
Sadono, et al (2005) menyimpulkan dari hasil penelitian yang dilakukannya
bahwa terdapat hubungan antara Berat Bayi Lahir Rendah dengan kejadian
ISPA.
Hasil dari penelitian ini didapatkan 28 orang pasien pneumonia bayi
dengan BBLR. Nilai p (0,001) pada penelitian ini menunjukkan nilai negatif,
dimana tidak terdapat hubungan antara berat bayi lahir rendah dengan
kejadian ISPA pada balita. Pada penelitian yang dilakukan di Puskesmas Tipo
Tahun 2017 menunjukkan bahwa dari 59 kasus BBLR terpadapat 43
diantaranya memiliki riwayat dengan kelahiran prematur.
Berat lahir yang rendah dapat disebabkan oleh kelahiran prematur atau
retardasi pertumbuhan (Farrer, 2001). Bayi prematur adalah bayi lahir pada
umur kehamilan antara 28 minggu sampai 36 minggu. Pada umumnya bayi
kurang bulan disebabkan oleh ketidakmampuan uterus ibu dalam menahan
janin, gangguan selama kehamilan, lepasnya plasenta lebih cepat dari
waktunya atau rangsangan yang memudahkan terjadinya kontraksi uterus
sebelum cukup bulan. Bayi lahir kurang bulan mempunyi organ dan alat
tubuh yang belum berfungsi normal untuk bertahan hidup diluar rahim.
Semakin muda umur kehamilan, fungsi organ tubuh semakin kurang
sempurna dan prognosisnya semakin kurang baik (Waspodo, et a.l, 2005).
Tingkat kematangan fungsi sistem organ neonatus merupakan syarat
untuk dapat beradaptasi dengan kehidupan luar rahim. Secara anatomi dan
fisiologi fungsi sistem organ yang belum matang pada bayi prematur
cenderung mengalami masalah masalah yang bervariasi. Salah satunya adalah
imaturitas sistem organ pernapasan yang disebabkan oleh kurangnya
surfaktan pada paru-paru. Membran hialin surfaktan paru yang merupakan
suatu zat yang dapat menurunkan tegangan dinding alveoli paru. Fungsi lain
surfaktan berkaitan dengan imunologi yaitu melindungi paru dari cedera dan
infeksi yang disebabkan oleh partikel ataumikroorganisme yang terhirup saat
bernafas.
Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme termasuk
barier anatomi dan barier mekanik juga sistem pertahanan tubuh lokal
maupun sistemik. Sistem pertahanan tubuh yang terlibat baik sekresi lokal
imunoglobulin A maupun respon inflamasi oleh sel-sel leukosit, komplemen,
sitokin, imunoglobulin, alveolar makrofag dan cell mediated immunity.
Pneumonia terjadi bila satu atau lebih mekanisme diatas mengalami
gangguan sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran nafas bagian
bawah. Inokulasi patogen penyebab pada saluran nafas menimbulkan respon
inflamasi akut pada penjamu yang berbeda sesuai dengan patogen
penyebabnya.
Syarifuddin (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa bayi
dengan BBLR rentan terhadap infeksi. Untuk mencegah terjadinya infeksi
pada bayi dengan berat lahir rendah perlu memperhatikan prinsip-prinsip
pencegahan infeksi dengan cara mencuci tangan sebelum memegang bayi
karena bayi dengan berat lahir rendah belum memiliki sistem imun yang
matang sehingga mudah mengalami infeksi. Bayi dengan daya tahan tubuh
yang terganggu akan mudah mengalami pneumonia berulang.
Menurut Erlina (2008), upaya preventif pada kasus Berat Lahir Rendah
(BBLR) adalah langkah yang penting. Beberapa hal-hal yang dapat dilakukan
diantaranya adalah melakukan antenatal care secara berkala minimal empat
kali selama kehamilan. Ibu hamil yang diduga berisiko, terutama faktor risiko
yang mengarah melahirkan bayi BBLR harus cepat dilaporkan, dipantau dan
dirujuk pada institusi pelayanan kesehatan yang lebih mampu. Upaya lainnya
yang dapat dilakukan dalam menurunkan kasus BBLR adalah pemberian gizi
yang adekuat terhadap ibu hamil.
b. Asi Eksklusif
Berdasarkan data dari tabel 4.4 menurut distribusi Asi eksklusif di
Puskesmas Tipo Kota Palu bulan Oktober Tahun 2017 menunjukkan jumlah
bayi yang mendapatkan ASI Eksklusif sebanyak 46 balita (47,9%) sedangkan
yang tidak mendapat ASI Eksklusif sebanyak 49 balita (51,0%). Dari data
tabel 4.6 sebanyak 58 (60,4%) orang balita mengalami ISPA dan sebanyak 38
orang (39,6%) balita tidak ISPA.

Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 4.8 diketahui distribusi


antara Asi Eksklusif dan kejadian ISPA pada balita. Pada kelompok Asi
Eksklusif yang menderita ISPA didapatkan 32 orang (54,23%) dan 31 orang
(81,57%) tidak menderita ISPA.

Untuk mengetahui hubungan antara Asi Eksklusif dengan kejadian


ISPA pada balita dilakukan uji statistic menggunakan uji Lambda dan
diperoleh nilai p 0,001 yang secara statistic dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara Asi Eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita usia 0-59
bulan yang di terdiagnosis ISPA di Puskesmas Tipo Tahun 2017. Oleh karena
itu, hipotesis kerja (H0) diterima.
Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Nataprawira et al (2010)
melaporkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian ASI
eklusif terhadap kejadian pneumonia, jika dilihat dari nilai RR = 3 berarti
balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif dapat meningkatkan kejadian
pneumonia 3 kali.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sugiharto (2012) bahwa balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif
mempunyai hubungan yang signifikan terhadap terjadinya pneumonia dan
mempunyai risiko 8 kali lebih besar untuk menderita pneumonia,
dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI EKsklusif (p = 0,000).
Banyak penelitian yang membuktikan bahwa Air Susu Ibu merupakan
makanan terbaik dan utama bagi bayi karena di dalam ASI terkandung
antibodi yang diperlukan bayi untuk melawan penyakit-penyakit yang
menyerangnya. Pada dasar-nya ASI adalah imunisasi pertama karena ASI
mengandung bergbagai zat kekebalan antara lain immunoglobulin. (Umboh et
al,2013)

ASI eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan cairan
lain. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu
setidaknya selama 6 bulan, dan setelah 6 bulan bayi mulai diperkenalkan
dengan makanan padat. Sistem pertahanan tubuh balita akan berusaha
mempertahankan atau melawan benda asing yang masuk kedalam tubuh,
sistem pertahanan tubuh yang paling baik diperoleh dari ASI. Bayi yang
diberi ASI terbukti lebih kebal terhadap berbagai penyakit infeksi.
(Sugihartono & Nurjazuli,2012)

ASI menyediakan vitamin A yang diperlukan selama usia 6 bulan


pertama dan sebagian besar kebutuhan hingga usia 2 tahun Vitamin A
menstabilkan struktur dan fungsi permukaan mukosa dan terlibat dalam
respon imun dan produksi mucus. (Arvin dkk,2000)

Komplemen terdiri dari sejumlah besar protein yang bila diaktifkan


akan memberikan proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respon
inflamasi. Laktoferin dapat menghambat pertumbuhan bakteri karena
merupakan glikoprotein yang dapat mengikat besi yang dibutuhkan untuk
perkembangan bakteri aerobik. (Agusjaya Mataram,2011)

Secara teori, telah diketahui bahwa ASI mengandung komponen-


komponen yang memiliki efek perlindungan seperti sel limfosit B dalam ASI
juga dapat masuk ke dalam kelenjar limfe mesenterika, berproliferasi dan
masuk ke dalam pembuluh darah. Dari pembuluh darah, sel limfosit B akan
bermigrasi ke mukosa tempat lain seperti mukosa traktus respiratorius. Pada
tempat ini sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang akan
memproduksi IgA, IgA yang dihasilkan akan berikatan dengan komponen
sekretori sel epitel mukosa menjadi sIgA . Antibodi sIgA berfungsi utama
sebagai inhibitor penempelan bakteri atau virus ke epitel (Matondang et
al,2008)
c. Status Gizi
Berdasarkan data dari tabel 4.5 menurut distribusi status gizi balita
yang di berobat jalan di puskesmas Tipo selama bulan oktober 2017
menunjukkan bahwa jumlah balita dengan status gizi kurang sebanyak 63
orang (65,6%) dan jumlah balita dengan status gizi baik sebanyak 33 orang
(34,4%).). Berdasarkan data dari tabel 4.6 menunjukkan jumlah pasien balita
yang menderita ISPA sebanyak 58 (60,4%) dan 38 orang (39,6%) balita tidak
menderita ISPA. Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 4.9 diketahui
distribusi antara status gizi dan kejadian ISPA pada balita di dapatkan 58
(59,8%) balita yang berobat jalan di Puskesmas Tipo Palu menderita ISPA
dan sebanyak 39 (40,2%) balita tidak menderita ISPA.

Untuk mengetahui hubungan antara Status gizi dengan kejadian ISPA


pada balita dilakukan uji statistic menggunakan Lambda dan diperoleh nilai p
0,025 ( p < α ) yang secara statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita usia 0-59
bulan yang berobat jalan di Puskesmas TIpo Palu tahun 2017. Oleh karena
itu, hipotesis kerja (H1) diterima.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang sebelumnya
dilakukan oleh Athanasia dkk (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan
antara Status Gizi dengan kejadian ISPA. Sudan Yos (2013) menyimpulkan
dari hasil penelitian yang dilakukannya bahwa terdapat hubungann antara
status gizi terhadap terjadinya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada
balita di Puskesmas Pajang Surakarta . Sukmawati & Sri Dara Ayu (2010) di
wilayah kerja Puskesmas Tunikamaseang Kabupaten Maros Sulawesi juga
menunjukkan kejadian ISPA berulang yang lebih banyak pada balita dengan
status gizi kurang dengan p = 0,03, hal ini disebabkan karena status gizi yang
kurang menyebabkan ketahanan tubuh menurun dan virulensi patogen lebih
kuat, sehingga akan menyebabkan keseimbangan terganggu dan akan terjadi
infeksi.
Gizi merupakan salah satu penentu dari kualitas sumber daya manusia.
Akibat kekurangan gizi akan menyebabkan beberapa efek serius seperti
kegagalan dalam pertumbuhan fisik serta tidak optimalnya perkembangan dan
kecerdasan. Akibat lain adalah terjadinya penurunan produktifitas,
menurunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit yang akan meningkatkan
resiko kesakitan salah satunya adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Status gizi yang kurang atau tidak normal akan lebih rentan terhadap infeksi
akibat menurunnya kekebalan tubuh terhadap invasi patogen. Sebaliknya,
pertumbuhan fisik yang terhambat biasanya disertai dengan status imunologi
yang rendah sehingga mudah terkena penyakit. Pada anak dengan keadaan
malnutrisi, proses fisiologi ini tidak berjalan dengan baik, sehingga agen
penyakit yang seharusnya.

You might also like