You are on page 1of 37

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


“KUTUBUS SITTAH”

DISUSUN OLEH

Azis Rosidi
NIM : 41416310004

KELAS D2-205-2

UNIVERSITAS MERCU BUANA


FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK ELEKTRO
2016/2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
bimbingan-Nya, serta petunjuknya sehingga makalah agama dengan judul kutubus
sittah dapat terselesaikan. Makalah ini dibuat atas dasar karena tugas yang diberikan
oleh guru agama penulisi. Selain itu makalah ini penulis jadikan sarana untuk
berdiskusi dalam memecahkan masalah dalam materi pembelajaran agama.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab
itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk menyempurnakan
pada pembuatan makalah berikutnya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan ilmu yang berguna
dan berfungsi pada setiap kesempatan yang bermanfaat.

Bekasi , 02 Oktober 2016

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG ...................................................................... 1-2
1.2 RUMUSAN MASALAH .................................................................. 2
1.3 TUJUAN PENULISAN .................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 3
2.1 IMAM BUKHARI (194‐256 H/810‐870 M) .................................... 4-10
2.2 IMAM MUSLIM (206‐261 H) ......................................................... 10-17
2.3 IMAM ABU DAWUD (202‐275 H/817‐889 M) .............................. 17-22
2.4 IMAM AT‐TIRMIDZI (209‐279 H/824‐892 M) .............................. 23-27
2.5 IMAM AN‐NASA'I (215‐303 H/839‐915 M) .................................. 27-30
2.6 IMAM IBNU MAJAH (209‐273 H/824‐887 M) .............................. 31-32
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 33
3.1 KESIMPULAN ....................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 34

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Segala puji bagi Allah yang telah berfirman:

Dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan
(Q.S. an‐Nahl: 44).

Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang telah diberi al‐Qur’an dan yang
serupa dengannya yakni as‐Sunnah, sebagai syarah
dan penjelasanan bagi al‐Qur’an.

Nabi Muhammad yang terpelihara dari perbuatan dosa telah bersabda:

1
Allah membahagiakan seseorang yang mendengarkan sabdaku, kemudian dia
menyampaikan kepada orang lain sebagaimana ia telah mendengarnya. Boleh jadi
orang yang mendapatkan berita hadits itu lebih mengerti daripada orang yang
memberitakannya (HR. Ashabus Sunan)

Dalam riwayat lain beliau bersabda:

Banyak orang yang membawakan fiqih tetapi bukan ahli fiqih, bisa terjadi orang
yang membawa fiqih menyampaikan kepada orang yang lebih faqih daripadanya
(HR. Ashabus Sunan dan lainnya)

Maka tidak heran jika sejak masa shahabat para ulama bersungguh‐sungguh
mengumpulkan hadits dan sunnah, menghafal dan menyampaikannya kepada
manusia. Kemudian dilanjutkan oleh para imam yang tidak diragukan lagi
keahliannya di bidang hadits. Mereka mengoreksi secara tuntas untuk menentukan
hadits yang shahih dan yang dhaif, serta yang palsu. Mereka selalu mencari
hadits, menghafal dan menulisnya, memilih hadits yang haq dan benar, serta
menyisihkan yang batil, sehingga mereka mewariskan kitab‐kitab besar tentang
periwayatan dan kekayaan yang sangat berharga mengenai hadits Nabi Shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Di dalamnya, setiap muslim akan mendapatkan apa yang
diinginkan untuk urusan agama dan dunia, akidah dan syari’ah, akhlak dan adab,
nasihat dan larangan, cerita dan sejarah, hikmah dan 5ocial, serta sastra dan bahasa.

2
Dalam risalah ini, kami memperkenalkan kitab‐kitab hadits yang populer dan
para pengarangnya yaitu Kutubus Sittah (enam kitab hadits) yang sudah dikenal oleh
kalangan ulama hadits. Enam kitab hadits tersebut adalah Shahih al‐Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan An‐Nasa'i, Sunan Abu Dawud, Sunan At‐Tirmidzi,
dan Sunan Ibnu Majah.
Semoga Allah memberikan pertolongan dan petunjuk
Ya Allah, tolonglah dan bimbinglah kami.

2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana riwayat hidup imam al-bukhari ?


2. Bagaimana riwayat hidup imam muslim ?
3. Bagaimana riwayat hidup imam abu dawud ?
4. Bagaimana riwayat hidup imam at-tarmidzi ?
5. Bagaimana riwayat hidup imam an-nasa’I ?
6. Bagaimana riwayat hidup ibnu majah ?

3. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui riwayat hidup imam al-bukhari


2. Untuk mengetahui riwayat hidup imam muslim
3. Untuk mengetahui riwayat hidup imam abu dawud
4. Untuk mengetahui hidup imam at-tarmidzi
5. Untuk mengetahui riwayat hidup imam an-nasa’I
6. Untuk mengetahui hidup ibnu majah

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 IMAM BUKHARI (194‐256 H/810‐870 M)


Riwayat Hidup Imam Bukhari

a.Silsilahnya
Beliau adalah Amirul Mukminin dalam hadits, dia bernama Abu Abdullah
Muhammad ibnu Ismail ibn Ibrahim ibn al‐Mughirah ibnu Bardizbah. Kakeknya
yang bernama Bardizbah ini beragama Majusi, agama kaumnya. Puteranya yang
bernama Mughirah memeluk Islam dibawah bimbingan Yaman al‐Ju’fi, gubernur
Bukhara13 sehingga dia dipanggil Mughirah al‐Ju’fi.
Sedangkan riwayat kakeknya, Ibrahim, tidak jelas. Namun ayahnya yang
bernama Ismail adalah ulama besar di bidang hadits. Ia belajar hadits dari
Hammad ibn Zayd dan Imam Malik. Hadits‐haditsnya diriwayatkan oleh orang
Irak. Riwayat hidupnya ditulis oleh Ibnu Hibban dalam kitab as‐Siqah. Begitu juga
puteranya, imam al‐Bukhari menulis riwayatnya dalam at Tarikh al‐Kabir.
Ayah imam al‐Bukhari adalah seorang yang alim, wara’, dan taqwa.
Menjelang wafatnya, beliau berkata: “Di dalam hartaku tidak terdapat uang yang
haram atau yang subhat sedikitpun”. Dengan demikian, jelaslah bahwa imam
al‐Bukhari hidup dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama dan wara’.
Tidak heran bila dia mewarisi sifat‐sifat mulia dari ayahnya.

b. Kelahirannya
Imam al‐Bukhari dilahirkan di Bukhara setelah shalat Jum’at, 13 Syawal 194 H.

4
Ayahnya meninggal ketika beliau masih kecil dan meninggalkan banyak harta
yang cukup untuk hidup dengan baik dan terhormat. Dia dibina dan dididik oleh
ibunya dengan tekun dan penuh perhatian. Sejak kecil, ia selalu mendapatkan
lindungan dan bimbingan Allah. Ada riwayat yang mengatakan bahwa pada waktu
kecil, matanya tidak bisa melihat. Ibunya sangat sedih karenanya, dan selalu berdoa
untuk kesembuhannya. Lalu dia bermimpi bertemu dengan Nabi Ibrahim Alaihis
Salam yang berkata: “Wahai ibu, Allah telah menyembuhkan penyakit mata
anakmu karena doamu”. Esok harinya sang ibu melihat mata anaknya sudah
bercahaya. Maka duka hati ibu berganti dengan kegembiraan.

c. Kecerdasan dan Keunggulannya


Kecerdasan imam al‐Bukhari sudah tampak sejak kecil. Allah menganugerahi
daya hafalan yang sangat kuat, jiwa yang cemerlang. Ketika berusia sepuluh
tahun, beliau sudah banyak menghafal hadits.Kemudian dia menemui para ulama
dan imam di negerinya untuk belajar hadits, bertukar fikiran dan berdiskusi dengan
mereka. Sebelum berusia enam belas tahun, dia sudah hafal kitab Ibnu Mubarak dan
Waki’, serta memahami pendapat ahlu ra’yi (rasionalis), ushul dan mahdzab mereka.

d. Imam Al‐Bukhari Wafat


Penduduk Samarkand memohon kepada imam al‐Bukhari agar menetap di
negeri mereka. Beliau pergi untuk memenuhi keinginan itu. Ketika sampai di
Khartand – desa kecil yang terletak enam mil dari kota Samarkand, beliau singgah di
kota itu, untuk mengunjungi saudaranya yang masih hidup di daerah itu. Di desa itu,
imam al‐Bukhari jatuh sakit dan menemui ajalnya. Beliau wafat pada malam Idul
Fitri tahun 256 H (31 Agustus 870 M) dalam usia 62 tahun kurang 13 hari.

5
Sebelum wafat, beliau berpesan agar jenazahnya dikafani tiga helai, tanpa baju dan
sorban. Jenazahnya dimakamkan setelah zhuhur di hari idul fitri itu. Dia telah
menempuh perjalanan hidup yang panjang dihiasi amal yang mulia. Semoga Allah
melimpahkan rahmat dan ridha‐Nya kepadanya.

e. Sifat dan Akhlak Imam Al‐Bukhari


Imam al‐Bukhari berbadan kurus,berperawakan sedang, kulitnya kecoklatan,
makannya sedikit, pemalu, pemurah, dan zuhud. Hartanya banyak disedekahkan baik
secara terang‐terangan atau tersembunyi, terutama untuk kepentingan pendidikan dan
para pelajar. Beliau memberikan dana yang cukup besar kepada para pelajar. Dia
pernah berkata, “Sebulan penghasilan saya 500 dirham, semuanya untuk
kepentingan pendidikan, sebab yang ada di sisi Allah itu lebih baik dan kekal”.
Imam al‐Bukhari sangat berhati‐hati dan sopan berbicara, terutama dalam
mengkritik para perawi. Terhadap perawi yang diketahui jelas kebohongannya, ia
cukup mengatakan fiihi nadzoruun (perlu dipertimbangkan), tarokuuhu (ahli hadits
meninggalkannya), sakatuu ‘anhu (mereka tidak menghiraukannya). Perkataan
yang tegas terhadap perawi yang tercela adalah munkarul hadiits (haditsnya
diingkari).

f. Karya‐Karya Imam Al‐Bukhari


Imam al‐Bukhari mempunyai karya tulis cukup banyak, antara lain:
1. al‐Jamu’us Shahih
2. Adabul Mufrad
3. At‐Tarikh ash‐Shaghir
4. At‐Tarikh al‐Ausath
5. At‐Tarikh al‐Kabir

6
6. At Tafsir al‐Kabir
7. al‐Musnad al‐Kabir
8. Kitabul I’lal
9. Raf’ul Yadain fis Salah
10. Birrul Walidain
11. Kitabul Asyribah
12. Al‐Qira’ah Khalfal Imam
13. Kitab ad‐Du’afa
14. Asami as‐Sahabah
15. Kitab al‐Kuna

Sebagian dari kitab tersebut sudah dicetak, sebagian lagi masih berupa tulisan
tangan. Sebagian lagi dikenal melalui sebagian ulama yang menukilnya15. Yang
paling terkenal dan beredar luas sepanjang masa adalah kitab Shahih al‐Bukhari atau
Jami’us Shahih. Kitab ini akan diulas lebih lanjut dalam pembahasan berikutnya.

g. Kitab Jami’us shahih

Para ulama sebelum al‐Bukhari tidak hanya mengumpulkan hadits‐hadits


shahih saja, tetapi mereka menghimpun hadits shahih, hasan, dan dhoif. Untuk
membedakan ketiga hadits tersebut, mereka menyerahkan kepada pembaca dan
pelajar untuk mengkritik dan menelitinya, membedakan hadits yang maqbul
(diterima) dengan mardud (ditolak). Setelah itu al‐Bukhari menyusun kitab khusus
yang berisi hadits‐hadits shahih dengan nama al‐Jami’ al‐Musnad as‐Shahih
al‐Mukhtashar min Umuri Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi.

7
Al‐Bukhari sebagai penyusun kitab itu telah memberikan sumbangan
yang sangat berharga untuk mempermudah mengetahui dan membahas hadits bagi
para pelajar terutama bagi generasi selanjutnya.

h. Syarat‐syarat hadits shahih menurut al‐Bukhari


Syarat hadits shahih yang telah disepakati oleh para ulama adalah sebagai berikut:
1. Perawi hadits harus muslim, berakal, jujur, tidak mudallis
dan tidak mukhtalit adil, kuat ingatan, dan selalu memelihara apa yang
diriwayatkan, sehat fikirannya, pancainderanya dipakai untuk mendengar dan
menghafal, sedikit salahnya dan baik aqidahnya
2. Sanadnya bersambung, tidak mursal , tidak munqathi, tidak mu’dal
3. Matan hadits tidak janggal dan tidak cacat

Bila syarat‐syarat tersebut telah terpenuhui, maka haditsnya dianggap


shahih, dan bisa dinisbahkan kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Dan
ulama hadits pun akan meyakini kebenarannya. Jelaslah bagi kita, bahwa
syarat‐syarat yang dipakai para ulama dalam menetapkan keshahihan hadits, dapat
memberikan rasa percaya pada kebenaran hadits itu.
Perlu ditegaskan, imam al‐Bukhari tidak mengajukan syarat‐syarat
tertentu yang dipakai untuk menetapkan keshahihan hadits secara jelas. Namun
persyaratan itu diketahui melalui penelitian terhadap kitabnya. Menurut kesimpulan
dari para ulama, imam al‐Bukhari dalam kitab shahihnya selalu berpegang pada
tingkat keshahihan yang paling tinggi, kecuali bagi beberapa hadits yang bukan
materi pokok, seperti hadits muttabi’ dan syahid, serta hadits yang diriwayatkan dari
shahabat dan tabi’in.

8
Para perawi itu berbeda‐beda dalam menerima hadits dari para guru‐gurunya.
Ada yang kuat hafalannya, dan ada yang lemah, ada yang lama belajar dan ada pula
yang hanya sebentar. Mereka juga berbeda sifat adil dan kejujurannya. Imam
al‐Bukhari hanya berpegang pada perawi yang paling tinggi tingkatannya. Sebagai
contoh murid az‐Zuhri dapat digolongkan menjadi lima tingkatan.
Masing‐masing tingkatan mempunyai keistimewaan lebih tinggi dari tingkat
sesudahnya. Tingkat pertama, adalah yang memiliki sifat adil, kuat hafalan, teliti,
jujut dan lama mengikuti az‐Zuhri, seperti imam Malik dan Sufyan bin Uyainah.
Perawi inilah yang dipakai oleh al‐Bukhari dalam kitab shahihnya. Tingkat
kedua, adalah mereka yang mempunyai sifat‐sifat seperti tingkat pertama, tetapi tidak
lama mengikuti az‐Zuhri. Dengan demikian, ketelitian dan pengetahuannya tentang
hadits az‐Zuhri di bawah tingkat pertama. Seperti al‐Auza’i, dan al‐Laits Ibn Sa’ad.
Perawi tingkat kedua inilah yang dipakai oleh imam Muslim, sedangkan al‐Bukhari
hanya sedikit meriwayatkan hadits mereka. Tingkat ketiga, adalah mereka yang berad
di bawah tingkat kedua. Seperti Ja’far bin Barqan dan jam’ah bin Salih. Imam
al‐Bukhari sama sekali tidak meriwayatkan hadits dari mereka, kecuali hanya hadits
muttabi’ dan syahid. Tingkat keempat dan kelima, adalah mereka yang tercela
(majruh) dan lemah (dhoif). Al‐Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan hadits dari
mereka. Sudah jelas bahwa syarat‐syarat hadits shahih yang dipergunakan oleh
al‐Bukhari menempati tingkat yang paling tinggi.

i. Sistematika Kitab Shahih al‐Bukhari


Shahih al‐Bukhari terdiri dari beberapa kitab. Dia memulai dengan bab permulaan
wahyu, yang menjadi dasar utama bagi syariat Islam. Kemudian disusul dengan kitab
iman, kitab ilmi, kitab thaharah, kitab shalat, kitab zakat dan seterusnya.

9
Dalam beberapa naskah terdapat perbedaan mengenai urutan antara kitab shaum dan
kitab haji. Kemudian kitab buyu’, muamalah, murafaat (hukum acara), syahadat,
sulh (perdamaian), wasiat, wakaf dan jihad. Selanjutnya bab‐baba yang tidak
menyangkut fiqih seperti tentang penciptaan maghluk, riwayat para Nabi, cerita
surga dan neraka, manaqib Quraisy dan keutamaan shahabat.
Selanjutnya bab sirah nabawiyah (sejarah hidup Nabi Shallallaahu 'alaihi
wa sallam) dan maghazi (peperangan) serta hadits yang berkaitan dengannya. Lalu
kitab tafisr, kemudian kembali lagi ke masalah fiqih mengenai nikah, talaq dan
nafakah, kemudian kitab at’imah (makanan), asyribah (minuman), kitab tibb
(pengobatan), kitab adab (etika), birr (kebaikan), silah (silahturahmi), dan
isti’zan (minta izin). Kemudian kitab nuzur (nazar) dan kifarat, hudud (hukum
pidana), ikrah (pemaksaan), ta’bir ru’yah (penafsiran mimpi), fitan (fitnah), ahkam
(peraturan hukum). Dalam kitab ini juga dimuat mengenai para penguasa dan para
hakim. Kemudian kitab i’tisam bil kitab was sunnah (berpegang teguh pada
kitabullah dan sunnah Rasul) dan yang terakhir kitab tauhid, sebagai penutuh kitab
shahihnya yang terdiri dari 97 kitab dan 3.450 bab.
Namun perlu diketahui, dalam naskah‐naskah yang ada, terdapat beberapa
perbedaan, yaitu ada “kitab” yang dianggap sebagai ‘bab”, juga sebaliknya, ada “bab”
yang dianggap “kitab”. Hal ini dapat diketahui melalui muraja’ah atau penelitian
terhadap matan shahih al‐Bukhari yang sudah dicetak dan syarahnya.
Dalam kitab Shahih al‐Bukhari ada beberapa bab yang memuat banyak hadits.
Ada pula bab yang hanya berisi satu hadits, dan ada pula bab yang berisi ayat‐ayat
al‐Qur’an tanpa hadits, bahkan ada pula yang kosong tanpa isi. Tampaknya imam
al‐Bukhari belum mendapatkan hadits untuk mengisi bab itu sesuai dengan
kriterianya. Oleh karena itu bab tersebut dibiarkan kosong, dengan harapan suatu saat
akan menemukan hadits‐hadits yang memenuhi syarat‐syarat keshahihannya.

10
2.2 IMAM MUSLIM (206‐261 H)
Riwayat Hidup Imam Muslim

a. Silsilah

Nama lengkap beliau adalah Imam Abdul Husain bin al‐Hajjaj bin Muslim bin
Kausyaz al‐Qusyairi an‐Naisaburi. Dia dilahirkan di Naisabur tahun 206 H.
Sebagaimana dikatakan oleh al‐Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya Ulama’ul
Amsar, imam muslim adalah penulis kitab shahih dan kitab ilmu hadits. Dia adalah
ulama terkemuka yang namanya tetap dikenal sampai kini.

b. Kehidupan dan Pengembaraannya

Kehidupan imam Muslim penuh dengan kegiatan mulia. Beliau merantau ke


berbagai negeri untuk mencari hadits. Dia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan
negara‐negara lainnya. Dia belajar hadits sejak masih kecil yakni mulai tahun 218 H.
Dalam perjalanannya, Muslim bertemu dan berguru pada ulama hadits. Di
Khurasan, dia berguru kepada Yahya bin Yahya dan ishaq bin Rahawaih. Di Ray, dia
berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu Ansan. Di Irak, dia belajar kepada
Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah. Di Hijaz, berguru kepada Sa’id bin
Manshur dan Abu Mas’ab. Di Mesir, belajar kepada ‘Amar bin Sawad dan Harmalah
bin Yahya dan berguru kepada ulama lainnya.
Imam Muslim berulangkali pergi ke Baghdad untuk belajar hadits dan
kunjungannya yang terakhir tahun 259 H. Ketika imam al‐Bukhari datang ke
Naisabur, Muslim sering berguru kepadanya. Sebab dia mengetahui kelebihan
ilmu imam al‐Bukhari.

11
Ketika terjadi ketegangan antara imam al‐Bukhari dengan
az‐Zuhali, dia memihak imam al‐Bukhari sehingga hubungannya dengan az‐Zuhali
menjadi putus. Dalam kitab shahih‐nya maupun kitab lainnya, Muslim tidak
memasukkan hadits yang diterima dari az‐Zuhali, meskipun dia adalah guru imam
Muslim. Dan dia pun tidak memasukkan hadits yang diterima dari al‐Bukhari
padahal dia juga sebagai gurunya. Bagi Muslim, lebih baik tidak memasukkan
hadits yang diterimanya dari dua gurunya itu. Tetapi dia tetap mengakui mereka
sebagai gurunya.

c. Wafatnya
Setelah mengarungi kehidupan yang penuh berkah, Muslim wafat hari ahad sore
dan dimakamkan di kampung Nasr Abad di daerah Naisabur pada hari senin, 25
Rajab 261 H dalam usia 55 tahun. Selama hidupnya, Muslim menulis beberapa kitab
yang sangat bermanfaat.

d. Kitab tulisan imam Muslim


Imam Muslim mempunyai kitab hasil tulisannya yang jumlahnya cukup banyak,
diantaranya:
1. Al‐Jami’us Shahih
2. Al‐Musnadul Kabir alar Rijal
3. Al‐Asma wal Kuna
4. Al‐Ilal
5. Al‐Aqran
6. Sualatihi Ahmad bin Hanbal
7. Al‐Intifa’ bi Uhubis Siba’
8. Al‐Muhadramain
9. Man Laisa Lahu Illa Rawin Wahidin
10. Auladus Sahabah
11. Auhamul Muhaditsin
Kitabnya yang paling terkenal sampai kini ialah al‐Jami’us Shahih atau Shahih
Muslim.

12
e. Mengenal Kitab Shahih Muslim

Kitab ini adalah salah satu dari dua kitab yang paling shahih setelah al‐Qur’an.
Kedua kitab shahih ini diterima umat Islam dengan baik. Imam Muslim sangat teliti
dalam mempelajari para rawi, menyeleksi yang diriwayatkan,dan membandingkan
antara riwayat yang satu dengan lainnya, meneliti susunan lafazhnya, dan
memberikan petunjuk bila terdapat perbedaan pada lafazh‐lafazh tersebut.
Dari usaha ini menghasilkan kitab shahih yang menjadi rujukan bagi para peneliti
dan para ulama. Muslim menyaring hadits yang dimasukkan dalam kitabnya dari
ribuan hadits yang telah didengarnya. Dia pernah berkata, “Aku menyusun kitab
shahih ini hasil saringan dari 300.000 hadits”.
Kitab shahih ini adalah hasil dari kehidupan yang penuh berkah yang ditulis
dimana saja ia berada baik dalam waktu sempit maupun lapang. Dia mengumpulkan,
menghafal, menyaring dan menulis sehingga menjadi sebuah kitab shahih yang
sangat baik dan teratur. Dia dan beberapa muridnya menyelesaikan penyusunan kitab
shahih itu dalam waktu lima belas tahun. Ahmad bin Salamah mengatakan, “Aku
menulis bersama Muslim untuk menyusun kitab shahih itu selama lima belas tahun”.
Kitab itu berisi 12.000 hadits”. Kita tidak usah heran bila Muslim sangat bangga
dengan kitab shahihnya itu. Dia pernah berkata sebagai ungkapan rasa syukur kepada
atas nikmat Allah yang diterimanya: “Apabila penduduk bumi ini menulis hadits ini
selama 200 tahun, maka mereka hanya berputar sekitar kitab ini saja”. Ketelitian
Muslim terhadap hadits yang diriwayatkan dalam kitab shahih‐nya dapat
diketahui dari perkataannya sebagai berikut:

“Aku tidak mencantumkan hadits dalam kitabku ini, kecuali dengan alasan. Aku juga
tidak menggugurkan sesuatu kecuali dengan alasan pula”.

13
f. Metode Imam Muslim dalam shahih‐nya
Imam Muslim tidak menetapkan syarat tertentu yang dipakai dalam shahih‐nya,
tetapi para ulama telah menggali syaratnya itu melalui pengkajian terhadap kitabnya.
Mereka menyimpulkan bahwa syarat yang dipakai dalam Shahih Muslim ialah:
1. ia tidak meriwayatkan hadits kecuali dari perawi yang adil, kuat hafalannya,
jujur, amanah, tidak pelupa. Dia juga meriwayatkan dari perawi yang
memiliki sifat‐sifat lebih rendah dari sifat tersebut diatas
2. Dia sama sekali tidak meriwayatkan kecuali hadits musnad (sanadnya
lengkap), muttasil (sanadnya bersambung), dan marfu’ (disandarkan kepada
Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam)

Berarti Muslim tidak selamanya harus berpegang teguh pada ketentuan


sebagaimana yang dipakai oleh imam al‐Bukhari, yaitu tingkatan tertentu dalam
periwayatan dan para perawi. Karena itu, dia meriwayatkan hadits dari perawi
yang haditsnya tidak dicantumkan oleh al‐Bukhari dalam Shahih‐nya.
Agar lebih jelas, mari membicarakan lagi syarat‐syarat imam al‐Bukhari
dalam shahih‐nya. Murid‐murid Ibnu Syihab az‐Zuhri dibagi menjadi lima tingkatan:
pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima. Masing‐masing tingkatan mempunyai
keistimewaan lebih tinggi dari tingkatan berikutnya.
Al‐Bukhari hanya meriwayatkan hadits dari murid tingkat pertama dan sedikit
sekali meriwayatkan hadits dari murid tingkat kedua, itupun bukan hadits utama.
Sedangkan Muslim meriwayatkan hadits dari murid tingkat kedua, juga
meriwayatkan dari tingkat ketiga, meskipun dalam jumlah sedikit dan terbatas pada
hadits muttabi’ dan hadits syahid, bukan hadits utama. Imam Muslim dalam
muqaddimahnya memberikan penjelasan yang lebih gamblang mengenai syarat
yang dipakai dalam shahih‐nya.

14
Dia membagi hadits dalam tiga macam:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan kuat hafalannya
2. Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak diketahui keadaannya (mastur)
dan kekuatan hafalannya dipertengahan
3. Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah hafalannya, dan banyak
salahnya

Apabila Muslim meriwayatkan hadits dari kelompok pertama, dia selalu


meriwayatkan hadits dari kelompok kedua. Muslim tidak meriwayatkan dari
kelompok ketiga.

g. Jumlah hadits Shahih Muslim


Ahmad bin Salamah, penulis naskah Shahih Muslim mengatakan bahwa Shahih
Muslim itu berisi 12.000 hadits. Namun Ibnu Salah menyebutkan dari Abi Quraisy
bahwa jumlah hadits Shahih Muslim itu sebanyak 4.000 buah. Kedua pendapat itu
dapat dikompromikan karena perhitungan pertama memasukkan hadits yang
diulang‐ulang, sedangkan perhitungan yang kedua hanya menghitung hadits yang
tidak terulang.
Sebagian penulis ada yang salah hitung, seperti Prof Ahmad Amin
dalam bukunya Duhal Islam. Ia mengatakan bahwa hadits Shahih Muslim
termasuk yang terulang sebanyak 7.275 hadits. Sebenarnya hitungan ini dari Ibnu
Salah untuk Shahih al‐Bukhari bukan untuk Shahih Muslim.

h. Perbandingan antara Shahih al‐Bukhari dan Muslim


Para ulama sepakat bahwa kitab hadits yang paling shahih adalah kitab shahih
al‐Bukhari dan Muslim.

15
Dan kitab al‐Bukhari lebih shahih dibanding Muslim. Imam an‐Nasa'i berkata, “Tidak
ada kitab hadits yang paling baik selain kitab karya Muhammad bin Ismail
al‐Bukhari”. Yang dimaksud dengan “baik” adalah “shahih”. Pengakuan dari ulama
seperti an‐Nasa'i ini adalah pengakuan yang jujur. Sebab imam an‐Nasa'i adalah
ulama hadits yang sangat teliti, kritis dan tidak sembarangan berkata, serta ulama
terkemuka di masanya.
Ad‐Daraquthni mengatakan, “Seandainya tidak ada al‐Bukhari niscaya tidak
ada Muslim”. Namun perkataan Abu Ali an‐Naisaburi lebih mengutamakan imam
Muslim. Dia pernah berkata,

“Tidak ada di kolong langit ini kitab yang lebih shahih selain kitab Muslim bin
Hajjaj”

Pendapat ini diikuti oleh sebagian ulama maghribi dan Abu Muhammad
ibnu Hazim az‐Zahiri. Sebenarnya, orang yang mengutamakan Shahih Muslim ini
disebabkan :
1. Karena kebagusan dan susunannya teratur
2. Hadits yang periwayatannya sejalan dan dalam satu tema dikumpulkan disatu
tempat, tanpa memotong hadits untuk dimasukkan ke bab lain
3.Disamping itu, dia hanya meriwayatkan hadits marfu’ dan tidak meriwayatkan
hadits mauquf dan mu'allaq.
4.Faktor‐faktor lain yang telah dipaparkan sebelumnya di buku ini.

16
Jika mereka mengutamakan Muslim berdasarkan syarat‐syarat keshahihan hadits,
maka kami tidak sependapat. Walaupun begitu, kitab Shahih Al‐Bukhari dan
Muslim merupakan kitab yang paling shahih yang pernah ditulis oleh ahli hadits.
Pengarangnya telah memberikan sumbangan dan pengabdian yang sangat besar
kepada agama dan umat Islam. Kita patut bersyukur dengan menghormati mereka
atas jasanya yang tidak bisa lagi dipungkiri.

2.3 IMAM ABU DAWUD (202‐275 H/817‐889 M)


Riwayat Hidup Imam Abu Dawud

a. Silsilah
Nama lengkap Abu Dawud ialah Sulaiman bin al‐Asy’as bin Ishak bin Basyir
bin Syidad bin Amar al‐Azdi as‐Sijistani. Dia adalah imam dan tokoh ahli hadits serta
pengarang kitab Sunan. Dia dilahirkan tahun 202 H di Sijistan.

b. Perkembangan dan Pengembaraannya


Sejak kecil Abu Dawud sangat mencintai ilmu dan sudah bergaul dengan para ulama
untuk menimba ilmu. Sebelum dewasa, dia sudah mempersiapkan diri untuk
melanglang buana ke berbagai negeri. Dia belajara hadits dari para ulama yang
ditemuinya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri lainnya.
Pengembaraannya ke beberapa negeri itu menunjang dia untuk mendapatkan hadits
sebanyak‐banyaknya. Kemudian hadits itu disaring, lalu ditulis pada kitab Sunan.
Abu Dawud sudah berulangkali mengunjungi Baghdad. Di kota itu, dia mengajar
hadits dan fiqih dengan menggunakan kitab Sunan sebagai buku pegangan. Kitab
sunan itu ditunjukkan kepada ulama hadits terkemuka, Ahmad bin Hanbal. Imam
Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa kitab itu sangat bagus.

17
Kemudian Abu Dawud menetap di Basrah atas permintaan gubernurnya yang
mengharapkan Bashrah menjadi kiblat bagi ulama dan pelajar hadits.

c. Sifat dan kepribadiannya


Abu Dawud termasuk lama yang mencapai derajat tinggi dalam beribadah,
kesucian diri, keshalihan dan wara’ yang patut diteladani. Sebagian ulama berkata:
“Perilaku Abu Dawud, sifat dan kepribadiannya menyerupai imam Ahmad bin
Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal menyerupai Waki’, Waki’ menyerupai Sufyan
ats‐Tsauri, Sufyan seperti Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an‐Nakha’i, Ibrahim
menyerupai ‘Alqamah, ‘Alqamah seperti Ibnu Mas’ud dan Ibnu Mas’ud seperti Nabi
Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Sifat dan kepribadian seperti ini
menunjukkan kesempurnaan beragama, perilaku dan akhlak Abu Dawud.
Abu Dawud mempunyai falsafah tersendiri dalam berpakaian. Salah satu
lengan bajunya lebar dan satunya lagi sempit. Bila ada yang bertanya, dia
menjawab: “Lengan yang lebar ini untuk membawa kitab sedangkan yang satunya
tidak diperlukan. Kalau dia lebar berarti pemborosan”.

d. Wafatnya
Setekah hidup penuh dengan kegiatan ilmu, mengumpulkan dan menyebarluaskan
hadits. Abu Dawud wafat di Bashrah, tempat tinggalnya atas permintaan Amir
sebagaimana yang telah diceritakan. Ia wafat tanggal 16 Syawal 275 H. Semoga
Allah melimpahkan rahmat dan ridha‐Nya kepadanya.

e. Kitab karangan Abu Dawud


Abu Dawud mempunyai karangan yang banyak, antara lain:
1. as‐Sunan

18
2. al‐Marasil
3. al‐Qadar
4. an‐Nasikh wal Mansukh
5. Fadha’ilul Amal
6. az‐Zuhud
7. Dalailun Nubuwwwah
8. Ibtida’ul Wahyu
9. Ahbarul Khawarij
Diantara kitab tersebut, yang paling populer adalah kitab as‐Sunan, yang biasa
dikenal dengan Sunan Abu Dawud.

f. Mengenal Kitab Sunan Abu Dawud


Metode penyusunan
Penyusunan kitab hadits baik berupa Jami’ ataupun Musnad dan sebagainya,
disamping memuat hadits hukum juga mencantumkan hadits mengenai amalan yang
terpuji (fadha’ilul amal), kisah‐kisah, nasihat, adab dan tafsir. Cara seperti ini
terus berlangsung sampai periode Abu Dawud. Maka Abu Dawud menyusun
kitab yang khusus memuat sunnah dan hadits hukum. Ketika selesai menyusunnya,
Abu Dawud memperlihatkan kitab itu kepada imam Ahmad bin Hanbal. Imam
Ahmad mengatakan bahwa kitab itu bagus dan baik.
Dalam kitab itu, Abu Dawud tidak hanya memuat hadits shahih saja –
sebagaimana al‐Bukhari dan Muslim‐ tetapi dia juga memasukkan hadits hasan dan
dhaif yang tidak ditinggalkan (dibuang) oleh ulama hadits. Apabila dia
mencantumkan hadits dhoif maka dia juga akan menjelaskan kelemahan hadits
tersebut.

19
Metode seperti ini dapat diketahui dari suratnya yang dikirimkan ke penduduk
Makkah, sebagai jawaban dari pertanyaan mereka mengenai kitab sunannya. Abu
Dawud menulis sebagai berikut: “Aku telah menulis hadits Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam sebanyak 500.000 hadits. Dari sekian itu, aku
memilih 4.800 hadits yang kemudian kutulis dalam kitab sunan itu. Dalam kitab itu,
kuhimpun hadits shahih, semi shahih, dan yang mendekati shahih. Dan aku
tidak akan mencantumkan hadits yang ditinggalkan oleh para ulama. Hadits yang
sangat lemah aku beri penjelasan. Sebagian hadits lemah ini sanadnya tidak shahih.
Adapun hadits yang tidak kami beri penjelasan sedikitpun, maka hadits tersebut
adalah shahih, dan sebagian lebih shahih dari yang lain. Setelah al‐Qur’an, saya
belum mengetahui kitab yang harus dipelajari selain kitab ini. Empat hadits saja dari
kitab ini sudah cukup menjadi pegangan beragama bagi setiap orang.
Hadits tersebut adalah:

Sesungguhnya segala perbuatan itu hanya menurut niatnya. Dan setiap orang akan
mendapatkan sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan
Rasul‐Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul‐Nya pula. Dan barangsiapa
yang hijrah karena untuk mendapatkan dunia atau karena perempuan yang ingin
dikawininya, maka hijrahnya hanyalah kepada apa yang ia hijrah kepadanya.

20
Termasuk dari kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan yang tidak berguna
baginya.

Seorang mukmin belum menjadi mukmin yang sebenarnya sebelum merelakan untuk
saudaranya apa yang ia rela untuk dirinya .

Yang halal itu sudah jelas, dan yang haram pun juga sudah jelas. Diantara keduanya
terdapat yang syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barangsiapa
yang menghindari syubhat maka dia telah menyelamatkan agamanya dan
kehormatan dirinya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam syubhat, maka dia
telah terjerumus ke dalam yang haram. Seperti penggembala menggiring ternaknya
ketempat terlarang. Ketahuilah larangan Allah adalah segala yang diharamkan
oleh‐Nya. Ingatlah di dalam tubuh ini terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka
baik pula seluruh tubuh. Dan jika rusak, maka rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah
ia adalah hati.

21
Pernyataan Abu Dawud itu dapat diberi penjelasan sebagai berikut: hadits
pertama, adalah ajaran dasar tentang niat dan keiklasan yang menjadi dasar utama
dalam setiap amal yang bersifat agama maupun dunia. Hadits kedua, adalah ajaran
Islam yang mendorong umatnya untuk melakukan setiap yang bermanfaat bagi
agama dna dunianya. Hadits ketiga, mengatur tentang hak‐hak keluarga dan tetangga,
berbuat baik kepada orang lain, meninggallkan sifat egois menjauhi sifat iri, dengki
dan benci. Hadits keempat, adalah dasar untuk mengetahui yang halal dan yang
haram, serta mencapai sifat wara’. Yakni dengan cara menjauhi yang musykil dan
yang syubhat yang diperselisihkan oleh para ulama. Karena mempermudah
melakukan yang syubhat akan membuat seseorang melemah meremehkan yang
haram. Dan penjelasan ini, dapat diketahui bahwa keempat hadits diatas sudah cukup
dipakai pegangan untuk mendapatkan kebahagiaan.

g. Jumlah hadits Sunan Abu Dawud


Sebagaimana yang telah disebutkan, jumlah hadits yang terdapat dalam kitab
Sunan Abu Dawud sebanyak 4.800 buah. Namun sebagian ulama ada yang
menghitungnya sebanyak 5.274 hadits. Perbedaan ini disebabkan sebagian orang
menghitung hadits yang diulang sebagai satu hadits, sedangkan yang lain
menganggap dua hadits atau lebih. Dua cara menghitung seperti ini sudah dikenal di
kalangan ulama hadits. Abu Dawud membagi sunannya dalam beberapa kitab, dan
setiap kitab dibagi menjadi beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah,
diantaranya ada tiga kitab yang tidak dibagi ke dalam bab‐bab. Sedangkan
jumlah bab sebanyak 1.871 buah.

22
2.4 IMAM AT‐TIRMIDZI (209‐279 H/824‐892 M)
Riwayat Hidup Imam At-Tarmidzi

a. Silsilah
Nama lengkap at‐Tirmidzi ialah Abu Isa Muhammad bin Musa bin ad‐Dahhak
as‐Sulami at‐Tirmidzi. Beliau adalah ulama hadits ternama dan penulis beberapa
kitab yang terkenal. Dia dilahirkan di kota Tirmiz.

b. Perkembangan dan Pengembaraannya


Kakek at‐Tirmidzi berasal dari daerah Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan
hidup disana. Di kota itulah Abu Isa dilahirkan. Sejak kecil dia sudah senang
mempelajari ilmu dan hadits. Dia pergi ke beberapa negeri seperti Hijaz, Irak,
Khurasan dan lain‐lain. Dalam perjalanan itu dia bertemu dengan ulama besar ahli
hadits untuk memperoleh hadits, kemudian dihafal dan dicatatnya baik di tengah
perjalanan maupun ketika sudah sampai di suatu tempat. Ia tidak pernah
menyia‐nyiakan waktu begitu saja, sebagaimana dapat diketahui dalam kisah
pertemuannya dengan seorang syaikh di perjalanan menuju Makkah.
Setelah melakukan perjalanan panjang untuk belajar dan berdiskusi, serta
mengarang, pada akhirnya dia hidup sebagai tunanetra. Beberapa tahun kemudian
beliau meninggal dunia. Beliau wafat di Tirmiz pada malam senin 13 Rajab tahun
279 H dalam usia 70 tahun.

c. Karya‐Karyanya
Kitab hasil imam at‐Tirmidzi adalah:
1. al‐Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at‐Tirmidzi
2. al‐‘Illat, kitab ini terdapat di akhir kitab al‐Jami’

23
3. at‐Tarikh
4. as‐Syama’il Muhammadiyah
5. az‐Zuhud
6. as‐Asma wal Kuna
diantara sekian kitab itu, yang paling termasyhur adalah kitab al‐Jami’ (Sunan
at‐Tirmidzi).

d. Mengenal Kitab Al‐jami’ At-Tirmidzi


Kitab ini adalah salah satu hasil karya imam at‐Tirmidzi terbesar dan paling
berharga. Ia termasuk salah satu dari Kutubus Sittah (enam hadits pokok) dan kitab
yang ternama. Al‐Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ at‐Tirmidzi dinishbahkan
kepada penulisnya, yang juga dikenal dengan nama Sunan at‐Tirmidzi.
Namun nama pertamalah yang termasyur. Sebagian ulam tidak keberatan
menyebutkan kitab itu sebagai as‐Shahih at‐Tirmidzi. Sebenarnya pemberian
nama itu tidak tepat dan terlalu gegabah, sebagaimana yang akan dibahas nanti.
Setelah menyusun kitab ini, at‐Tirmidzi memperlihatkannya kepada para
ulama dan mereka gembira menerimanya. Dia mengatakan, “Setelah selesai
menyusun, aku tunjukkan kitab itu kepada ulama di Hijaz, Irak dan Khurasan.
Mereka menerimanya dengan gembira. Barangsiapa menyimpan kitab ini dirumahnya
maka di rumahnya itu seakan‐akan ada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam yang
selalu berbicara”.

e. Metode at‐Tirmidzi dalam Al‐Jami’


Dalam kitab al‐Jami’, at‐Tirmidzi tidak hanya meriwayatkan hadits shahih saja,
tetapi juga meriwayatkan hadits hasan, dhoif, gharib dan mu’allal dengan
menerangkan kelemahannya.

24
Disamping itu, dia tidak meriwayatkan hadits kecuali yang diamalkan oleh ahli
fiqih. Metode ini merupakan syarat yang longgar. Oleh karena itu dia meriwayatkan
hadits baik yang shahih atau yang tidak shahih. Tetapi dia selalu memberikan
penjelasan sesuai dengan derajat haditsnya.
At‐Tirmidzi pernah berkata, “Semua hadits yang terdapat di dalam kitab
ini dapat diamalkan”. Oleh karena itu, sebagian ulama memakainya sebagai
pegangan kecuali dua hadits:

Pertama,

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam menjama’ shalat zhuhur


dengan ashar, dan maghrib dengan ‘isya tanpa sebab “takut” atau “dalam
perjalanan”.

Kedua,

“Jika peminum khamr meminum lagi yang keempat, maka bunuhlah ia”.

25
Hadits tentang “menjama’ shalat”, para ulama tidak sepakat
meninggalkannya. Sebagian besar dari mereka berpendapat, menjama’ shalat
tanpa ada sebab “takut” atau dalam “perjalanan” hukumnya boleh, asalkan tidak
dijadikan kebiasaan. Ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyhab, Ibnu Mundzir dan
sebagian besar ulama fiqih dan hadits.
Tentang hadits mengenai “peminum khamr”, telah dijelaskan sendiri oleh
at‐Tirmidzi. Dan menurut ijma’ ulama, hadits tersebut sudah dimansukh. Hadits dhoif
dan munkar yang terdapat pada kitab ini pada umumnya hanya menyangkut fadha’ilul
amal(anjuran melakukan kebaikan). Persyaratan bagi hadits semacam ini lebih
longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadits tentang halal dan haram.
Salah satu kritikan terhadap at‐Tirmidzi, antara lain karena dia meriwayatkan
hadits dari al‐Maslub dan al‐Kilbi. Padahal kedua orang itu “tertuduh” telah
membuat hadits palsu. Inilah sebabnya mengapa kedudukan Jami’ at‐Tirmidzi
lebih rendah dari Abu Dawud dan an‐Nasa'i. Meskipun Jami’ at‐Tirmidzi mendapat
kritikan, namun di sisi lain ia memiliki beberapa keistimewaan.

f. Keistimewaan Jami’ at‐Tirmidzi

Majduddin Ibnul Asir dalam muqaddimah kitabnya, Jami’ul Ushul mengatakan:


“Kitab shahih at‐Tirmidzi ini merupakan kitab yang baik, banyak faedahnya, bagus
sistematikanya dan sedikit pengulangan isinya. Di dalamnya banyak keterangan
penting yang tidak ditemukan pada kitab lain, seperti pembahasan mengenai
mahdzab‐mahdzab, cara beristidhal dan penjelasan tentang hadits shahih, hasan dan
gharib. Juga pembahasan mengenai jarh dan ta’dil, dan di akhir kitab Jami’ itu
dilengkapi dengan kitab al‐Ilal. Garis besarnya kitab ini sangat berharga dan
berfaedah bagi yang mempelajarinya.

26
Diantara keistimewaannya yang lain adalah adanya hadits sulasi (hanya tiga
perawi). Dalam kitab Jami’nya, at‐Tirmidzi meriwayatkan hadits sanad yang tinggi
(‘Ali) sehingga antara at‐Tirmidzi dengan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam hanya
terdapat tiga perawi. At‐Tirmidzi hanya meriwayatkan satu buah
hadits sulasi sebagaimana termaktub di bawah ini:

Ismail bin Musa menceritakan kepada kami, ia berkata: Umar bin Syakir
menceritakan kepada kami, dari Anas bin Malik ra., ia berkata: Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Akan datang kepada umat manusia, di
suatu masa, orang yang sabar melaksanakan ajaran agamanya, laksana
menggenggam bara api”.

2.5 IMAM AN‐NASA'I (215‐303 H/839‐915 M)


Riwayat Hidup Imam An-nasa’I

a. Silsilah
Dia adalah ulama terkemuka melebihi ulama lain di masanya. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh adz‐Dzahabi dalam kitabnya yang berjudul Tazkirah, nama
lengkap imam an‐Nasa'i adalah Abu Abdurrahman Ahmad bin Ali bin Syu’aib bin
Ali bin Sinan bin Bahar al‐Khurasani al‐Qadhi. Dialah pengarang kitab sunan dan
kitab‐kitab berharga lainnya. Dilahirkan di daerah Nasa pada tahun 215 H. Ada yang
berpendapat dia dilahirkan tahun 214 H.

27
b. Perkembangan dan Pengembaraannya
Dia lahir dan dibesarkan di Nasa. Ia menghafalkan al‐Qur’an dan mempelajari
ilmu‐ilmu dasar dari guru‐guru madrasah di negerinya. Setelah menginjak remaja, dia
senang mengembara untuk mendapatkan hadits. Sebelum berusia lima belas tahun,
dia pergi ke Hijaz, Irak, Mesir dan Jazirah untuk belajar hadits dari ulama‐ulama
negeri itu, sehingga an‐Nasa'i menjadi ulama hadits terkemuka yang mempunyai
sanad ‘Ali (sedikit sanadnya).

c. Wafatnya
Tidak ada kesamaan pendapat tentang tempat beliau wafat. Ad‐Daraquthni
menjelaskan ketika ditimpa musibah di Damaskus itu, ia minta dipindahkan ke
Makkah dan meninggal di tanah haram itu, kemudian dimakamkan di suatu tempat
antara safa dan marwah. Begitu pula pendapat Abdullah bin Mandah dari Hamzah
al‐Uqbi al‐Misri dan ulama lainnya.
Imam adz‐Dzahabi berbeda pendapat dengan pendapat diatas. Menurutnya,
an‐Nasa'i meninggal di Ramlah, Palestina. Ibnu Yunus dalam Tarikh‐nya
sependapat dengan adz‐Dzahabi. Begitu pula Abu Ja’far ath‐Thahawi dan Abu Bakar
bin Naqatah. Mereka juga mengatakan bahwa an‐Nasa'i wafat tahun 303 H dan
dimaqamkan di Baitul Maqdis.

d. Periwayatan An‐Nasa'i
An‐Nasa'i menerima hadits dari beberapa ulama terkemuka. Ketika berusia lima
belas tahun, dia belajar ke Qutaibah selama empat belas bulan. Guru lainnya adalah
Ishaq bin Rahawaih, Al‐Haris bin Miskin, Ali bin Khasram dan Abu Dawud (penulis
as‐Sunan) dan at‐Tirmidzi (penulis al‐Jami’).

28
Banyak ulama yang meriwayatkan haditsnya. Diantara Abul Qasim
ath‐Thabrani (penulis tiga Mu’jam), Abu Ja’far ath‐Thahawi, al‐Hasan bin al‐Khidir
as‐Suyuthi, Muhammad bin Mu’awiyah bin al‐Ahmaar al‐Andalusi dan Abu Bakar
bin Ahmad as‐Sunni.

e. Karya‐Karyanya
Diantara kitab karya imam an‐Nasa'i adalah:
1. as‐Sunanul Kubra
2. as‐Sunanul Kubra, terkenal dengan nama al‐Mujtaba
3. al‐Khasa’is
4. Fadha’ilus Shahabah
5. a‐Manasik
diantara karya tersebut, yang paling besar dan terkenal adalah kitab as‐Sunan.

f. Kitab Sunan an‐Nasa'i


Ketika selesai menyusun kitabnya, as‐Sunanul Kubra, imam an‐Nasa'i
memberikan kepada Amir ar‐Ramlah. Amir itu bertanya, “Apakah isi kitab ini
shahih semua?” Dia menjawab, “Ada yang shahih, ada pula yang hasan dan ada pula
yang mendekati keduanya”. Sang amir berkata, “Pilihkan hadits yang shahih saja
untukku”. Kemudian an‐Nasa'i menghimpun hadits shahih saja dalam kitab yang
diberi nama as‐Sunanul Sughra. Dan kitab ini disusun menurut sistematika fiqih
seperti kitab sunan yang lain.
Imam an‐Nasa'i sangat teliti dalam menyusun kitab Sunanul Sugra. Oleh
karena itu, ulama berkata, “Derajat kitab Sunanul Kubra di bawah Shahih
al‐Bukhari dan Muslim. Karena sedikit sekali hadits dhoif
yang terdapat di dalamnya”.

29
Oleh karena itu hadits sunan ini yang dikritik oleh Abul Faraj Ibnu al‐Jauzi dan
dianggap sebagai hadits maudlu jumlahnya amat sedikit, yakni sebanyak sepuluh
buah. Penilaian maudlu itu tidak sepenuhnya dapat diterima bahkan as‐Suyuthi
menyanggahnya. Dalam Sunan an‐Nasa'i terdapat hadits shahih, hasan dan dhoif.
Tetapi yang dhoif jumlahnya sangat sedikit. Adapun pendapat sebagian ulama yang
mengatakan bahwa hadits sunan itu shahih semua, adalah penilaian yang terlalu
sembrono. Atau maksud pernyataan itu adalah sebagian besar isi Sunan itu adalah
hadits shahih.
Sunanul Sughra yang dikatagorikan sebagai salah satu kitab hadits pokok
yang dapat dipercaya menurut penilaian ahli hadits. Sedangkan di Sunanul Kubra
tidak terdapat hadits yang ditinggalkan ulama. Apabila ada hadits yang dinisbahkan
kepada an‐Nasa'i misalnya dikatakan, “Hadits riwayat an‐Nasa'i”, yang dimaksudkan
ialah hadits yang terdapat dalam Sunanul Sughra. Tetapi ada pula yang mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan “riwayat an‐Nasa'i” adalah hadits yang terdapat dalam
Sunanul Kubra, sebagaimana pendapat penulis kitab Aunul Ma’bud Syarhu Sunan
Abi Dawud sebagai berikut: “Ketahuilah perkataan al‐Mundziri dalam
Mukhtasharnya dan perkataan al‐Mizzi dalam al‐Atraf‐nya, “hadits ini
diriwayatkan oleh an‐Nasa'i”, maka yang dimaksud adalah hadits yang terdapat
dalam Sunanul Kubra yang kini beredar di seluruh negeri seperti India, Arabia dan
negeri‐negeri lainnya. Oleh karena itu hadits yang dikatakan oleh al‐Mundziri dan
al‐Mizzi, “Diriwayatkan oleh an‐Nasa'i” adalah hadits yang terdapat pada Sunanul
Kubra. Kita tidak usah bingung dengan tiada hadirnya kitab Sunanul Sughra, sebab
isinya sudah tercakup dalam Sunanul Kubra. Al‐Mizzi dalam beberapa tempat
berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh an‐Nasa'i dalam bab Tafsir”, padahal dalam
Sunanul Sughra tidak terdapat bab tafsir, melainkan ada di Sunanul Kubra. Perlu
diketahui Sunan an‐Nasa'i adalah salah satu kitab hadits pokok yang menjadi
pegangan umat Islam.
30
2.6 IMAM IBNU MAJAH (209‐273 H/824‐887 M)
Riwayat Hidup Imam Ibnu Majah

a. Silsilah
Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar‐Rabi’i al
Qazwini. Dilahirkan di Qazwin tahun 209 H, dan wafat tanggal 22 Ramadhan 273 H.
Jenazahnya dishalatkan oleh saudaranya, Abu Bakar sedangkan pemakamannya
dilakukan oleh kedua saudaranya Abu Bakar dan Abdullah, serta puteranya Abdullah.

b. Perkembangan dan Pengembaraannya


Dia tumbuh sebagai orang yang mencintai ilmu pengetahuan terutama hadits dan
periwayatannya. Untuk mendapatkan dan mengumpulkan hadits, ia mengembara ke
beberapa negeri. Dia pergi ke Irak, Hijaz, Syam, Mesir, Kufah, Basrah, dan kota‐kota
lain untuk mendapatkan hadits dari ulama setempat. Dia juga belajar kepada
murid‐murid Malik dan al‐Laits. Akhirnya Ibnu Majah menjadi imam hadits
terkemuka.

c. Karya‐Karyanya
Ibnu Majah mempunyai banyak sekali kitab hasil tulisannya, antara lain:
1. Kitab as‐Sunan, salah satu dari Kutubus Sittah (enam kitab hadits)
2. Tafsir al‐Qur’an
3. Kitab Tharikh, berisi sejarah sejak masa shahabat sampai masa Ibnu Majah

d. Kitab Sunan Ibnu Majah


kitab ini adalah salah satu karya Ibnu Majah yang terbesar dan masih beredar
sampai sekarang. Beliau menyusun sunan menjadi beberapa kitab dan bab. Sunan ini
terdiri dari 32 kitab dan 1.500 bab. Jumlah haditsnya sebanyak 4.000 buah.

Kitab sunan ini disusun secara baik dan indah menurut sistematika fiqih. Beliau
memulai sunan ini dengan bab mengikuti sunnah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
sallam. Dalam bab ini dia membahas hadits yang menunjukkan kekuatan sunnah,
kewajiban untuk mengikuti dan mengamalkannya.

31
e. Kedudukan Sunan Ibnu Majah diantara Kitab Hadits
Sebagian ulama sudah sepakat bahwa kitab hadits yang pokok ada lima, yaitu
Shahih al‐Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan an‐Nasa'i, Sunan
at‐Tirmidzi. Mereka tidak memasukkan Sunan Ibnu Majah mengingat derajat kitab
ini lebih rendah dari lima kitab tersebut. Tetapi sebagian ulama menetapkan enam
kitab hadits pokok, dengan menambah Sunan Ibnu Majah sehingga terkenal dengan
sebutan Kutubus Sittah (enam kitab hadits).
Ulama pertama yang menjadikan kitab Sunan Ibnu Majah sebagai kitab keenam
adalah al‐Hafizh Abdul Fadli Muhammad bin Tahir al‐Maqdisi (wafat tahun 507 H)
dalam kitabnya Atraful Kutubus Sittah dan dalam risalahnya Syurutul A’immatis
Sittah. Pendapat ini kemudian diikuti oleh al‐Hafizh Abdul Ghani bin al‐Wahid
al‐Maqdisi (wafat tahun 600 H) dalam kitabnya al‐Ikmal fi Asma’ ar‐Rijal. Pendapat
mereka inilah yang diikuti oleh sebagian besar ulama. Mereka memasukkan Sunan
Ibnu Majah sebagai kitab keenam tetapi tidak memasukkan al‐Muwatta' Imam Malik.
Padahal kitab ini lebih shahih daripada kitab milik Ibnu Majah. Hal ini dikarenakan di
dalam Sunan Ibnu Majah banyak terdapat hadits yang tidak tercantum dalam Kutubul
Khamsah (lima kitab hadits), sedangkan hadits yang terdapat di dalam
al‐Muwatta' seluruhnya sudah termaktub dalam Kutubul Khamsah.
Diantara para ulama ada yang menjadikan al‐Muwatta' ini sebagai kelompok
Usulus Sittah (enam kitab hadits pokok), bukan Sunan Ibnu Majah. Ulama pertama
yang berpendapat demikian adalah Abul Hasan Ahmad bin Razin al‐Abdari
as‐Sarqasti (wafat sekitar tahun 535 H) dalam kitabnya ad‐Tajrid fil Jami’Bainas
Sihah. Pendapat Razin ini diikuti oleh Abus Sa’adat Majduddin Ibnu Asir al‐Jazairi
asy‐Syafi’i (wafat tahun 606 H). Az‐Zabidi asy‐Syafi’i (wafat tahun 944 H) dalam
Taysirul Wusul juga punya pendapat demikian. Sebenarnya derajat al‐Muwatta' lebih
tinggi dari Sunan Ibnu Majah.

32
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Para ulama yang membukukan sunnah, meskipun tujuan utama hanya


untuk menghimpun, mereka juga memahami hadits itu beserta maksudnya
sebagaimana yang telah kami jelaskan.Mereka mengumpulkan hadits yang
menghabiskan waktu sepanjang hidupnya adalah untuk membimbing umat
agar dapat melaksanakan sunnah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam
dan menegakkan isi sunnah itu yaitu hukum, adab, nasihat, dan etika, yang
dapat memperbaiki dan membangun masyarakat.

2. Enam kitab hadits adalah sumber sunnah yang penting, dan para penyusunnya
mencurahkan seluruh kemampuannya untuk mendapatkan kebenaran hakiki.
Kami tidak memandang mereka terpelihara dari kesalahan. Sebab jauh dari
kesalahan hanya pada Allah dan Rasul‐Nya. Cukuplah sebagai keutamaan
bagi mereka yang telah berjihad untuk mengumpulkan dan meneliti hadits
yang shahih dan dhaif. Disamping itu mereka menguasai sarana untuk
menghantarkan mereka mencapai kebenaran. Oleh karena itu mereka sudah
berhak memperoleh imbalan dari tugas mulia berupa pahala yang besar dari
Allah SWT.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Dr. M .Muhammad Abu Syuhbah.1999. “Kutubus Sittah”. Terbitan Pustaka


Progressif. Surabaya. Cet‐2, Januari 1999. Penerjemah: Ahmad Usman
2. http://scribd.com/kutubus-sittah

34

You might also like