You are on page 1of 23

A.

Sejarah munculnya berbagai Aliran dalam Islam


Timbulnya aliran-aliran kalam Islam tidak terlepas dari fitnah-fitnah yang beredar
setelah wafatnya Rasulullah SAW. Setelah Rasulullah Saw wafat peran sebagai
kepala Negara digantikan oleh para sahabat -sahabatnya, yang disebut khulafaur
Rasyidin yakni Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi
Thalib. Namun, ketika pada masa Utsman bin Affan mulai ti mbul adanya
perpecahan antara umat Islam yang disebabkan oleh banyaknya fitnah yang timbul
pada masa itu. Sejarah mencatat, akibat dari banyaknya fitnah yang di timbulkan pada
masa itu menyebabkan perpecahan pada umat Islam, dari masalah politik sampai pada masalah
teologis.
Pada zaman khalifah Abu Bakar ( 632-634 M ) dan Umar bin Khattab ( 634-644 M)
problema keagamaan juga masih relative kecil termasuk masalah aqidah. Tapi setelah Umar
wafat dan Ustman bin Affan naik tahta ( 644-656 M) fitnah pun timbul. Abdullah bin Saba’,
seorang Yahudi asal Yaman yang mengaku Muslim, salah seorang penyulut pergolakan.
Meskipun itu ditiupkan, Abdullah bin Saba’ pada masa pemerintahan Ustman namun kemelut
yang serius justru terjadi di kalangan Umat Islam setelah Ustman mati terbunuh ( 656 M) oleh
pemuka-pemuka pemberontakan dari Mesir.
Setelah Utsman wafat, Ali sebagai calon terkuat, menjadi khalifah yang ke empat. Tapi
segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama
Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari ‘Aisyah. Tantangan dari ‘Aisyah
– Talhah – Zubeir ini dipatahkan Ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak di tahun 656 M.
Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.[2]
Tantangan kedua datang dari Mu‘awiyah. Ia tak mau mengakui Ali sebagai khalifah. Ia
menuntut Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Utsman, bahkan ia menuduh Ali turut
ikut campur dalam soal pembunuhan itu.
Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan ini di Siffin, berakhir
dengan tahkim ( Arbritrase ) karena tangan kanan Mu’awiyah Amr Ibn al -’As yang
terkenal sebagai orang licik minta berdamai dengan mengangkat al-Quran keatas.
S i ka p Al i ya n g menerima d an m e n gad a k an a rbi t a s e i ni , sungguhpun dalam
keadaan terpaksa, dan tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa hal
serupa itu, tidak dapat diputuskan oleh arbitase manusia. Putusan hanya datang dari Allah.
La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain hukum dari Allah) atau la hakama illa Allah (tidak
ada pengantar selain dari hukum Allah), menjadi semboyan mereka. M e re k a m em a nd an g
Al i t el a h b er bu at sal a h, o l e h k a r en a i t u m e re k a meninggalkan barisannya.
Golongan mereka inilah dalam sejarah islam terkenal dengan nama al-Khawarij, yaitu
orang yang keluar dan memisahkan diri. Karena memandang Ali bersalah dan berbuat
dosa, mereka melawan Ali. A l i s e ka r an g m en gh ad ap i du a m usu h, ya i t u
M u’ a wi ya h d an K h a wa ri j . K a r en a selalu mendapat serangan dari kedua pihak ini
Ali terlebih dahulu memusatkan usahanya untuk menghancurkan Khawarij. Setelah
Khawarij kalah Ali terlalu l el a h u nt uk m e ne r usk a n p e rt em p ur a n de n gan
M u’ a wi ya h . M u’ a w i ya h t et ap berkuasa di Damaskus dan setelah Ali wafat, ia
dengan mudah dapat memperoleh pengakuan sebagai khalifah umat Islam pada tahun 661 M.
Persoalan-persoalan politik yang terjadi ini akhirnya menimbulkan persoalan kalam. Timbullah
persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan k af i r . Kh a wa ri j m e n gan gga p A l i ,
M u’ a wi ya h , Am r Ibn al -‘ As , Abu M us a a l - Asy’ari dan lain-lain yang telah
menerima arbitase adalah kafir. P ersoal an orang yang berbuat dosa i ni l ah yang
kem udi a n m e m pu n yai pengaruh besar terhadap pertumbuhan kalam selanjutnya dalam
islam. Persoalan ini menimbulkan tiga aliran kalam yaitu Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah. Aliran
Khawarij mengatakan bahwa orang yang telah berbuat dosa besar adalah kafir, dalam arti
telah keluar dari agama islam dan ia wajib dibunuh. Kaum Murji’ah mengatakan bahwa orang
yang telah melakukan dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa
yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT yang mengampuninya atau tidak.
Sedangkan Mu’tazilah sebagai a l i ra n k et i ga t i d a k m e n er i m a p e n da pa t di at as. B a gi
m e r ek a or a n g ya n g t el ah berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin.
Dalam keadaan seperti ini timbullah dua aliran yang terkenal dengan nama al-qadariah dan
al-jabariah. Menurut al-qadariah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan
perbuatannya. Sebaliknya dengan al-jabariah berpendapat bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya . Selanjutnya, kaum
Mu’tazilah m em ba w a m e re k a un t uk m en ga m bi l k al am l i be r al , d al am ar t i
ba hw a s un ggu hp un ka um M u’t az i l a h banyak mempergunakan rasio mereka, mereka
tidak meninggalkan wahyu. Aliran mu’tazilah yang bersifat rasional ini menimbulkan tantangan
keras d ar i go l on ga n t r adi si o na l Is l am , t e rut am a gol o n ga n H am b al i , ya i t u
pe n gi kut - p en gi k ut m az h ab Ib n H am b al . P e rl a wa n an i ni k e m udi an m en gam bi l
be nt u k al i r an t r ad i s i on al ya n g di su su n ol e h Ab u al - H as an a l - As y’ a r i (9 32 M )
ya i t u al-Asy’airah. D i s a m p i n g a l i r a n asy’ariah t i m b u l p u l a d i S a m a r k a n d
' p e r l a w a n a n menentang aliran Mu’tazilah yang didirikan oleh Abu Mansur
Muhammad al-Maturidi. Aliran ini dikenal dengan nama al-Maturidiah yang mana
tidak bersifat setradisional al-Asy’ariah, akan tetapi tidak pula seliberal Mu’tazilah. S el ai n
Abu al -H as a n al -A s y’ a r i da n Ab u M a ns ur al - Ma t u ri d i ad a l a gi seorang teolog
dari Mesir yang juga bermaksud menentang ajaran -ajaran kaum Mu’tazilah. Teolog
itu bernama al-Tahawi (933 M) yang mana ajaran-ajaran ini tidak menjelma sebagai
aliran kalam Islam.[3]
Dengan demikian aliran-aliran kalam penting yang timbul dalam islam adalah
aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah. Aliran Kh aw a ri j ,
M ur j i ’a h, M u’t az i l a h t i d ak m e m p un ya i wuj ud l a gi k e cu al i dal am sejarah. Yang
masih ada sampai sekarang ialah aliran Asy’ariah dan Maturidiah, dan keduanya
disebut Ahl Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh umat Islam
yang bermazhab Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariah pada umumnya dipakai oleh umat Islam
Sunni lainnya. Dengan masuknya kembali paham rasionalisme kedunia islam yang mana
sekarang masuk melalui kebudayaan modern. Banyak ajaran -ajaran Mu’tazilah m ul ai
t i m bu l k em b al i , k hu sus n ya di ka l a n ga n k aum i nt el e ge nsi a i s l am ya n g mendapat
pendidikan Barat.

ILMU KALAM
1 . Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu ’t az i l ah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan kalam
yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada p e rso al an -persoalan yang
dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai
akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasonalis Islam”.
Kata mu’tazilah berasal dari kata I’tazala (memisahkan). Dalam referensi ilmu ,
nama itu berpusat dari pe ri st i wa pemisahan diri Wasil ibn ‘Ata’ dan temannya, “amr
ibn ‘Ubaid dari gurun
ya yang bernama Hasan al-Bisri. Wasil murid Hasan al-Bisri yang senangtiasa
mengikuti pengajiannya di masjid Basrah. Suatu saat ada orang yang berdosa besar.
Sudah diketahui bahwa pendapat Khawarij menyatakan kafir, sedang Murji’ah
menyatakan mukmin. Katika al-Basri berpikir, wasil menyatakan: “orang yang
berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir, tetapi berposisi diantara keduanya,
tidak mukmin dan tidak kafir”. Kemudian Wasil berdiri men jauhkan diri dari al-
Basri, pergi ketempat lain di masjid itu, dan mengulangi pendapatnya tersebut. Atas
peristiwa tersebut, al-Basri menyatakan: “Wasil menjauhkan diri dari kita ( I’tazala
‘anna)”.[4] Dengan demikian Wasil dan teman-temannya disebut Mu’tazilah. Tentang
penanaman Mu’tazilah ini terdapat beberapa versi, namun sebagai tanda bagi aliran
Ilmu kalam yang rasional dan liberal setelah perisiwa Wasil Ibn ‘Ata’ (81-131 H di
Madinah), dan jauh sebelum itu telah terdapat kata ‘itazala, Mu’tazilah.[5] Wasil
disebut Syaikul Mu’tazilah wa qadimuna,[6] pemimpin dan pendahulunya.

Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah:


1. Wasil bin ‘Ata al Ghazzal (80-131 H/699-748 M)
2. Abdul Huzail Muhammad bin al Huzail al ‘Allaf (135-226 H/752-840 M)
3. Ibrahim bin Sayyar bin Hani an Nazzaham (wafat 231 H/845 M)
4. al Jubbai (wafat 303 H/915 M)
5. Basyr bin al Mu’tamir (wafat 226 H/840 M)
6. al Khayyath (wafat 300 H/912 M)
7. Al-Qadli Abdul Jabbar (wafat 412 H/1024 M)
8. Az-Zamakhasayari (467-538 H/1075-1144).[7]
Ajaran Pokok Mu’tazilah
1. At-Tauhid (Keesaan Allah)
At-Tauhid (Keesaan Allah) sebagai pokok dan ajaran pertama dalam islam. Namun, karena
Mu’tazilah telah menafsirkan dan mempertahankan sedemikian jauh, maka prinsip ini
dipertalikan kepadanya. Mungkin mereka maksudkan untuk menghadapi golongan Rafidlahyang
ekstrim dan menggambarkan Tuhan dalam bentuk jisim, bias diindera, dan golongan-golongan
agama yang dualism dan trinitas. Kelanjutan dari prinsip ini mereka nyatakan :
a. Tidak mengakui sifat-sifat Tuhan sebagai suatu qadim yang lain dari pada dzat-Nya.
b. Al-Qur’an adalah makhluk, ullah adalah makhluk, yang dijadikan Tuhan saat dibutuhkan.
ullah tidak pada zat Tuhan, tetapi diluar-Nya.
c. Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala akhirat.
d. Mengingkari arah bagi Tuhan, dan menakwilkan ayat-ayat yang mengesankan adanya
persamaan Tuhan dengan Manusia.

2. Al –‘Adl (keadilan Tuhan)


Semua orang muslim dan golongannya mempercayai terhadap keadilan Tuhan.
Tetapi karena Mu’tazilah memperdalam arti keadilan dan menentukan batas -batasnya,
sehingga menimbulkan permasalahan. Bagi Mu’tazilah, keadilan Tuhan adalah
meletakkan pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya. Selanjutnya
disebutkan:
a. Tuhan menciptakan makhluk berdasarkan tujuan dan hikmah kebijaksanaan.
b. Tuhan tidak menghendaki keburukan dan tidak memerintahkannya.
c. Manusia mempunyai kesanggupan untuk mewujudkan perbuatannya. Sebab dengan
cara demikian, dapat dipahami adanya perintah, janji dan ancaman, pengutusan Rasul,
tidak ada kedzaliman bagi Tuhan.
d. Tuhan mesti mengerjakan yang baik dan terbaik. Sebab itu menjadi kewajiban
Tuhan untuk menciptakan manusia, memerintahkan dan membangkitkankembali
manusia.
3. Al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman)
Prinsip ini merupakan kelanjutan dari prinsip tentang keadilan Tuhan. Mu’tazilah
meyakini bahwa janji Tuhan memberi pahala kepada orang yang taat pasti terjadi, dan
siksa bagi orang yang maksiat pasti dilaksanakan. Pendapat Mu’ta zilah berbeda
dengan Murji’ah yang menyatakan, kemaksiatan tidak dipengaruhi keimanan. Jika ini
dibenarkan berarti ancaman Tuhan tidak ada artinya, dan ini mustahil. Sebab, Tuhan
tidak akan menyalahi janji-Nya. Dari sini Mu’tazilah mengigkari adanya syafa’ at
pada hari kiamat. Sebab, menyalahi adanya prinsip janji dan ancaman.
Almanzilah bainal Manzilatain (tempat diantara dua tempat). Prinsip ini
menyebabkan Wasih Ibn ‘Ata’ memisahkan diri dari gurunya, Hasan al -Basri.
Menurutnya, orang islam yang melakukan dosa besar (selain syirik) bukan lagi
menjadi mukmin, dan juga tidak menjadi kafir. Adapun tempat di akhirat tetap di
neraka, tetapi lebih ringan siksaannya daripada orang kafir. Prinsip ini , mereka
dasarkan pada ayat 31 dan 110 surat al -Isra’, dan ayat 137 surat al-Baqarah.
4. Al-Amru bil ma’ruf wannabyu anilmunkar (memerintahkan kebaikan dan melarang
keburukan).
Prinsip ini lebih banyak berkaitan dengan amalan lahir dan bidang fiqh daripada
lapangan aqidah serta ketauhidan. Seperti dalam ayat 104 s urat Ali Imran, ayat 17
surat Luqman.
2. Qadariyah
Golongan Qodariyah, pokok pemikirannya adalah bahwa usaha dan gerak perbuatan
manusia ditimbulkan sendiri, bukan dari Allah. Faham ini, mula-mula dianjurkan oleh Ma’bad
Al-Juhainy, Ghailan al-Dimasyqi dan Al-Ja’du bin Dirham. Ketiga tokoh ini hidup pada zaman
Daulah Umaiyah dan ketiganya mati terbunuh.
Lahirnya Aliran Qadariyah
Sebagaimana khawarij dan murji’ab, aliran teologi qadariyah juga lahir dengan
dilatarbelakangi oleh kegiatan politik, yakni pada masa pemerintahan mu’awiyah bin Abu
Sufyan, dari Daulah Banu Umayah. Sepeninggal Ali bin Abi Thalib, tahun 40 H mu’wiyah
menjadi penguasa daulah islamiyah. Dan untuk memperkokoh kekuasaannya itu, dia
menggunakan berbagai cara, khususnya dalam menumpas semua oposisi, bahkan mendiang Ali
bin Abi Thalib dicaci maki dalam setiap kesempatan berpidato termasuk saat berkhotbah Jum’at.
Para ulama yang shalil banyak yang tidak setuju dengan gaya dan cara mu’awiyah,
namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk menutupi kesalahan itu, mereka
mengembalikan semuanya kepada Allah bahwa semua yang terjadi atas kehendak-Nya. Isu ini
kemudian dimanfaatkan pula oleh mu’awiyah dalam memimpin daulah islamiyah, bahwa semua
yang dilakukan itu atas kehendak Allah.
Dalam suasana inilah muncul Ma’bad al-Jauhani dan Ghailan al-Damasyqi, dua tokoh
pemberani yang melontarkan kritik terhadap mu’awiyah sekaligus menentang pernyataan
teologis yang membenarkan tindakan politiknya. Menurut keduanya, manusia bertanggung
jawab untuk menegakkan kebenaran dan kebaikan serta menghancurkan kedhaliman. Manusia
diberi Allah daya dan kekuatan untuk melakukan suatu perbuatan. Manusia juga diberi
kebebasan untuk memilih antara melakukan sesuatu kebaikan dan keburukan, dan mereka harus
mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya kelak di hari akhir.
Bila manusia memilih untuk melakukan perbuatan baik, maka dia akan memperoleh
pahala di sisi Allah dan akan memperoleh kebahagiaan dalam hidup di akhiratnya kelak. Sedang
mereka yang memilih melakukan perbuatan buruk, akan memperoleh siksa dalam neraka.
Manusia tidak boleh berpangku tangan melihat kedzaliman dan keburukan. Manusia harus
berjuang melawan kedzaliman dan menegakkan kebenaran. Manusia bukanlah majbur (dipaksa
oleh Allah). Karena Ma’bad dan Ghailan ini mengajarkan bahwa manusia memiliki qudrah untuk
mewujudkan suatu perbuatan, maka fahamnya dinamakan faham “qadariyah”.
Kemudian Ma’bab al-Jauhani ikut menentang kekuasaan Bani Umayah dengan
membantu Abdurrahman ibnu al-Asy’ats, gubernur Syijistan yang memberontak melawan daulah
Banu Umayah. Dalam suatu pertempuran tahun 80H. Ma’bad al-Jauhani mati terbunuh. Sedang
temannya Ghailan al-Darmasqi terus menyirakan faham qadariyah itu, dengan banyak
melontarkan kritik terhadap Banu Umayah, dan sering keluar masuk penjara, dan akhirnya dia
menjalani hukuman mali pada masa pemerintahan Hisyam bin Abd al-Malik (105-125 H).
Sesuai dengan uraian diatas, pemikiran yang menonjol dari aliran ini adalah soal
perbuatan manusia dan kekuatan Tuhan. Dalam pandangannya, manusia mempunyai kebebasan
untuk menentukan perbuatannya serta melakukan perbuatannya itu. Dan di akhirat mereka harus
mempertanggungjawabkan semua perbuatan itu. Sejalan dengan pemikirannya ini, mereka
berpendapat bahwa Tuhan telah memberikan daya kepada manusia, serta memberikan aturan-
aturan hidup yang sangat jelas dengan berbagai akibatnya. Ada perbuatan-perbuatan baik yang
akan memberi mereka imbalan pahala dan kebahagiaan akhirat, dan ada pula perbuatan-
perbuatan jahat dan ancaman siksaan mereka bagi yang melanggarnya.
Daya yang diberikan Tuhan itu kemudian menjadi milik manusia sendiri untuk mereka
gunakan melakukan berbagai perbuatan. Kalau mereka gunakan untuk melakukan perbuatan baik
sesuai petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, maka mereka akan memperoleh kebahagiaan. Dan
sebaliknya, kalau mereka gunakan untuk melakukan perbuatan buruk, maka mereka harus
mempertanggung jawabkan semua perbuatannya itu. Inilah yang kemudian disebut
dengan konsep keadilan Tuhan.
Pemikiran mereka ini mempunyai landasan yang cukup kuat antara lain firman Allah
dalam Surat Al-Kahfi ayat 29 yang
Artinya : “Barang siapa mengehendaki (untuk menjadi orang berimab) maka berimanlah, dan barang
siapa menghendaki (untuk menjadi orang kafir) maka kafirlah”.
Ungkapan senada juga dikemukakan Allah dalam Surat Al-Ra’du ayat ke-11 yang
Artinya:“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu masyarakat bila mereka sendiri tidak
melakukan perubahan apa-apa terhadap dirinya.
Dengan demikian, aliran qadariyah merupakan suatu aliran ilmu kalam yang menekankan
kebebasan manusia dalam melakukan perbuatannya, dan mereka harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya itu di sisi Allah kelak di hari perhitungan. Mereka yang
berprestasi dalam melakukan amal kebajikan akan memperoleh imbalan pahala di dalam surga,
sementara yang justru banyak melakukan perbuatan jahat, serta kurang berprestasi dalam
melakukan perbuatan baik, akan terkena ancaman siksa di dalam neraka. Posisi manusia di surga
atau neraka tersebut, menurut aliran ini sangat tergantung pada perbuatannya selama hidup di
dunia ini.
Pemikiran-pemikiran qadariyah ini kemudian diikuti den diteruskan oleh para penganut
aliran mu’tazilah, khususnya pada aspek pemikiran mereka tentang perbuatan manusia, dan
kekuasaan mutlak Tuhan. Yakni bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan
kehendak serta perbuatannya, namun mereka harus mempertanggungjawabkan semua
perbuatannya di hadapan Tuhan. Aliran mu’tazilah meneruskan pemikiran qadariyah mi, karena
aliran terakhir ini mempunyai kecenderungan yang sama dalam memahami ajaran-ajaran aqidah,
terutama dalam aspek-aspek yang boleh berbeda pendapat, yaitu pada ajaran-ajaran yang
dikemukakan dengan lafal zhanni Aliran qadariyah dan mu’tazilah sama-sama menganut aliran
rasional dalam pemahaman kalam mereka.

3. Jabariyah
Golongan ini muncul di Khurasan, yang dipelopori oleh Al-Jaham bin Shafwan la
berpendapat bahwa hidup manusia ini sudah ditentukan oleh Allah Ta’ala. Segala gerak-geriknya
dijadikan Tuhan semata-mata, manusia tidak dapat berusaha dan menggerakkan dirinya. Mereka
juga meniadakan sifat-sifat Allah Ta’ala. “Kita tidak boleh menyifati Allah Ta’ala, dengan suatu
sifat yang bersamaan dengan sifat-sifat yang terdapat pada makhluknya”. Pemimpin golongan
ini, akhirnya terbunuh juga di Khurasan.
Lahirnya Aliran Jabariyah
Kalau qadariyah lahir seiring dengan lontaran-lontaran kritik terhadap kekejaman Daulah
Banu Umayah, maka Jabariyah sebaliknya, aliran ini lahir bermula dari ketidak berdayaan dalam
menghadapi kekejaman mu’awiyah bin Abu Sufyan, dan mengembalikan semuanya atas
kehendak dan kekuasaan Tuhan. Kemudian isu keagamaan ini dipegang oleh mu’awiyah sendiri
untuk membenarkan perlakuan-perlakuan politiknya itu. Oleh sebab itu masa kelahirannya
sebenarnya berbarengan dengan kelahiran qadariyah. Namun pada masa munculnya, yang
dipelopori oleh Ja’ad bin Dirham, pemikiran kalam ini belum berkembang. Dan menjadi satu
aliran yang punya pengaruh serta tersebar di masyarakat setelah dikembangkan oleh Jahm bin
Shafwan (W.131 H). Oleh sebab itu, aliran ini sering juga disebut aliran Jahmiyah.
Dilihat dari segi pemikiran kalamnya, aliran Jabariyah bertolak belakang
dengan qadariyah. Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan
untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih. Segala gerak
dan perbuatan yang dilakukan manusia, pada hakikatnya adalah
dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau
siksa, karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Faham bahwa yang
dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya
pahala dan siksa.
Menurut faham ini, manusia tidak hanya bagaikan wayang, yang digerakkan oleh dalang,
tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Sementara nasib mereka di akhirat sangat ditentukan oleh kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.
Yakni posisi mereka ditentukan oleh kekuasaan mutlak Tuhan. Pemikiran-pemikiran kalam dari
aliran Jabariyah ini kemudian banyak diserap oleh aliran Asy’ariyah, karena keduanya sama-
sama memiliki kecenderungan untuk mengikuti aliran tradisional, yakni aliran ilmu kalam yang
kurang menghargai kebebasan manusia, serta kurang melakukan pendekatan logika nalar dalam
pemikiran kalam mereka.
4. Aliran Asy’ariyah
Pendirinya adalah Abul Hasan Ali Ibn Isma’il al - Asy’ari. (lahir di Basrah tahun
873 M dan wafat di Baghdad tahun 935 M), keturunan sahabat Nabi, Abu Musa al -
Asy’ari. Ia dididik dan dibesarkan dalam keluarga Mu’tazilah, ayah tiri dan gurunya.
Bahkan dalam beberapa kesempatan al-Jubba’I mempercayakan untuk berdialog
dengan lawan kepadanya. Dengan alasan yang tidak begitu jelas, setelah empat puluh
tahun al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah. Biasanya yang disebut alasannya
adalah ia mengasingkan diri selama 15 hari, kemudian ke masjid. Ia menyatakan pada
suatu malam bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW menyatakan yang
benar adalah mazhab Ahlul Hadits, dan Mu’tazilah salah.[8] Maka sejak itu ia
meninggalkan kepercayaaan lama (Mu’tazilah) dengan kepercayaan baru
(Asy’ariyah).
Tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah
1. Al- Baihaqi (wafat 403 H)
2. Ibnu Furak (wafat 406 H)
3. Ibn Ishaq al-Isfaraini (wafat 418 H)
4. Abdul Qadir al-Baghdadi (wafat 429 H)
5. Imam al-Haramain al Juwaini (wafat 478 H)
6. Abul Muzaffar al-Isfarayini (wafat 478 H)
7. Al Ghazali (wafat 505 H)
8. Ibnu Tamart (wafat 524 H)
9. Asy-Syahrastani (wafat 548 H)
10. Ar-Razi (wafat 1209 M)
11. Al-Iji (wafat 756 H)
12. As-Sanusi (wafat 895 H)[9]
Ajaran Pokok Asy’ariyah
Sebagai orang yang pernah menganut faham Mu’tazilah, Asy’ari tidak dapat memisahkan
diri dari pemakaian akal atau argumentasi rasional. Ia menentang orang-orang yang mengatakan
bahwa pemakaian akal pikiran dalam soal agama dianggap suatu kesalahan. Sebaliknya, ia juga
mengingkari orang-orang yang berlebihan dalam menghargai akal pikiran semata sebagaimana
aliran Mu’tazilah.
Pokok-pokok ajaran al-Asy’ari yang menjadi I’titiqad Ahlussunnah wal Jamaah,
antara lain:
1. Tuhan mempunyai sifat.[10]
2. AlQur’an bukanlah makhluk.
3. Tuhan dapat dilihat di akhirat.
4. Perbuatan – perbuatan manusia bukanlah diciptakan sendiri, tetapi diciptakan
Tuhan.
5. Tentang antromorphisme, menerima apa yang terdapat dalam nas, seperti Tuhan
memiliki muka, tangan dan sebagainya tetapi tidak ditentukan bagaimana, yaitu tidak
memiliki bentuk dan batasan.
6. Tuhan berkuasa mutlak dan tidak ada satupun yang wajib bagi -Nya.
7. Menolak posisi tengah (Almanzilah bainal Manzilatain).[11] Al-Asy’ari berpendpat
bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin
hilang karena dosa selain kufr.
5. Aliran Maturidiyah
Latar belakang lahirnya aliran ini, hampir sama dengan aliran Al-Asy’ariyah, yaitu sebagai
reaksi penolakan terhadap ajaran dari aliran Muktazilah, walaupun sebenarnya pandangan
keagamaan yang dianutnya hampir sama dengan pandangan Mu’tazilah yaitu lebih menonjolkan
akal dalam sistem kalamnya.
Pendiri dari aliran ini adalah Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-
Maturidi yang lahir di Samarkand pada pertengahan kedua dari abad ke sembilan Masehi dan
wafat pada tahun 332 H/944 M. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-pahamnya
mempunyai banyak persamaan dengan paham-paham yang diajarkan oleh Abu Hanifah. Aliran
kalam ini dikenal dengan nama Al-Maturidiyah, yang sesuai dengan nama pendirinya yaitu Al-
Maturidi.[12]
Ada 3 tahapan yang harus dilalui aliran Maturidiyah dalam mengembangkan aliran ini yaitu:
Tahapan pertama, tahapan pendirian (ta`sis) dengan tokohnya Abu Manshur al Maturidi.
Tahapan Kedua, tahapan pembentukan (takwin). Yaitu ditandai dengan tersebarnya paham ini di
Samarqand melalui tulisan-tulisan yang disisipkan dalam kitab-kitab fiqih madzhab Hanafi.
Tahapan ketiga, yaitu fase penulisan dan pembukuan aqidah Maturidiyyah (500-700 H). Tahapan
ini banyak dipenuhi dengan penulisan karya tulis yang berisi berbagai dalil untuk memberikan
justifikasi atas aqidah Maturidiyyah.
Pada mulanya, aliran ini masih teguh pada satu kiblat yakni pemikiran-pemikiran dari
pendirinya (al-Maturidi). Namun jauh setelah al-Maturidi meninggal, yakni cucu dari salah
seorang murid al-Maturidi, yaitu Abu Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H) memberikan
pemahaman yang bertentangan dengan pemikiran-pemikiran al-Maturidi. Sehingga banyak hal-
hal yang berbeda dalam konsep ajaran yang diberikan oleh pendirinya dengan pemikiran al-
Bazdawi itu sendiri. Maka dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, aliran Maturidiyah
terpecah menjadi dua golongan besar yaitu pengikut setia al-Maturidi yang akhirnya disebut
Maturidiyah Samarkand yang lebih condong pada ajaran Mu’tazilah dan pengikut al-Bazdawi
yang disebut dengan Maturidiyah Bukhara yang lebh condong pada Asy’ariyah.
Tokoh-tokoh aliran Maturidiyah
1. Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad Al-Maturidi.
2. Abu al-yusr Muhammad Al-bazdawi.
3. Al-Bayadi.
4. Muhammad bin Zahid al Kautsari al Maturidi
5. Abul Qasim al Hakim, dll.
Ajaran Pokok Maturidiyah
a. Tuhan memiliki sifat-sifat. Maka Tuhan mengetahui tidak dengan tidak dengan
zat-Nya tetapi dengan pengetahuan-Nya.
b. Manusialah yang mewujudkan perbuatannya. Maka sepaham dengan qadariyah,
bukan Jabariyah.
c. Menolak ajaran Mu’tazilah tentang as salah wa aslah. Namun menurutnya Tuhan
mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu.
d. Menolak paham Mu’tazilah tentang kemakhlukan al -Qur’an tetapi ullah itu bersifat
qadim.
e. Orang yang berdosa besar masih mukmin. Soal dosanya terserah pada Tuhan di
akhirat. Hal ini didasarkan pada Al-Qur’an Surah An-Nissa’:48. Dan Maturidiyah juga
menolak posisi tengah (al manzilah bainal manzilatain).
f. Sependapat dengan Mu’tazilah tentang al-wa’du wal wa’id, janji dan ancaman
Tuhan pasti terjadi.
g. Masalah Antrophophisme, ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai
bentuk jasmani harus ditakwilkan. Menurut al -Maturidi, wajah, tangan dan
sebagainya harus diberi arti kiasan.[13]
h. Allah dapat dilihat pada hari kiamat. Hal ini didasarkan pada Surah Al-Qiyamah: 22-23.
i. Mengenai iman dan kufur, aliran Maturidiyah berpendapat iman adalah tashdiq bi al-qalb
yaitu meyakini dan membenarkan dalam hal tentang keesaan Allah dan tashdiq bi al-lisan adalah
mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal.

Asbabun Nuzul

1.Surah al Ikhlas

"Katakanlah (wahai Muhammad): "(Tuhanku) ialah Allah YangMahaEsa." (Surah al Ikhlash:


112:1)
"Allah Yang menjadi tumpuan sekalian makhluk untuk memohon sebarang hajat." (Surah al
Ikhlash: 112: 2) "
“la tiada beranak, dan la pula tidak diperanakkan." (Surah al Ikhlash: 112: 3)
"Dan tidak ada sesiapa pun yang setara denganNya." (Surah al Ikhlash: 112:4)
“Dalam suatu riwayat ada dikemukakan bahawa kaum musyrikin meminta penjelasan tentang
sifat-sifat Allah kepada Rasulullah s.a.w. dengan berkata: "Jelaskan kepada kami sifat-sifat
Tuhanmu."
Maka penurunan ayat di atas adalah sebagai tuntutan untuk menjawab pertanyaan kaum
musyrikin tersebut. (Diriwayatkan oleh at Tirmizi, al Hakim dan Ibnu Khuzaimah dari Abi
Aliyah dari Ubay bin Kaab) (Diriwayatkan pula oleh at Thabarani dan Ibnu Jarir dari Jabir bin
Abdillah dan dijadikan dalil bahawa surah ini adalah surah Makiyah)
Dalam riwayat lain ada dikemukakan bahawa kaum Yahudi datang mengadap Rasulullah,
di antaranya ialan Ka'bubnul Asyraf dan Hay bin Akhtab. Mereka berkata: "Hai Muhammad,
ceritakan kepada kami sifat-sifat Tuhan yang mengutusmu."
Maka penurunan ayat ini (Surah al Ikhlash: 112: 1-4) adalah disebabkan peristiwa
tersebut. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas) (Diriwayatkan pula oleh Ibnu
Jarir dari Qatadah dan Ibnu Munzir dari Said bin Jubair. (Dengan riwayat ini Said bin Jubair
menegaskan bahawa surah ini adalah Madaniyyah)
Dalam riwayat lain pula ada dikemukakan bahawa kaum Ahzab [Penyatuan di antara
kaum Quraisy, Yahudi Madinah, Kaum Ghatfan dari Taif dan munafiqin Madinah dan beberapa
suku di sekeliling Mekah. (Zubrah Sirah Nabawiyah Juz II hal. 87-88. 1355h 1936m] berkata:
"Ceritakan sifat Tuhanmu kepada kami." Maka datanglah Jibril menyampaikan surah ini (Surah
al Ikhlash: 112: 1-4) yang menceritakan tentang sifat-sifat Allah. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir
dari Abi Aliyah dari Qatadah)
KETERANGAN
Menurut pendapat as Sayuthi perkataan "al Musyrikin" dalam hadis dari Ubay bin Kaab
ialah musyrikin dari Kaum Ahzab sehingga dapat dipastikan bahawa surah ini adalah
Madaniyyah bersesuaian dengan hadis Ibnu Abbas.
Dengan demikian tidak ada pertentangan di antara dua hadis di atas dan dikuatkan pula
riwayat Abu Syaikh di dalam kitab Adhamah dari Aban dari Anas yang meriwayatkan bahawa
Yahudi Khaibar datang mengadap Nabi dan berkata: "Hai Abal Qasim! Allah menjadikan para
Malaikat dari cahaya Hijab, Adam dari tanah hitam, Iblis dari api yang menjulang, langit dari
asap dan bumi dari buih air. Maka teranglah kepada kami tentang Tuhanmu."
Kemudian Rasulullah tidak menjawab sehingga turunlah Jibril membawa wahyu dari
surah ini (Surah al Ikhlash: 112: 1-4) yang menceritakan sifat-sifat Allah.

2.Tafsir Al Anbiya Ayat 87-95

Ayat 87-88: Kisah Nabi Yunus ‘alaihis salam.

َّ ‫س ْب َحانَكَ إِنِِّي ُك ْنتُ ِمنَ ال‬


َ‫ظا ِل ِمين‬ ُ َ‫ت أَ ْن ال إِلَهَ إِال أ َ ْنت‬ ُّ ‫ظ َّن أ َ ْن لَ ْن نَ ْقد َِر َعلَ ْي ِه فَنَادَى فِي ال‬
ِ ‫ظلُ َما‬ َ َ‫َاضبًا ف‬
ِ ‫َب ُمغ‬ َ ‫ون إِذْ ذَه‬ ِ ُّ‫َوذَا الن‬
٨٨) َ‫(فَا ْست َ َج ْبنَا لَهُ َونَ َّج ْينَاهُ ِمنَ ْالغ ِ َِّم َو َكذَلِكَ نُ ْن ِجي ْال ُمؤْ ِمنِين‬٨٧)

Terjemah Surat Al Anbiya Ayat 87-95

87. [1]Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah[2], lalu
dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya[3], maka dia berdoa dalam keadaan
yang sangat gelap[4], "Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Mahasuci Engkau.
Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim[5]."

88. Maka Kami kabulkan doanya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan[6]. Dan
demikianlah[7] Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman[8].

Ayat 89-91: Kisah Nabi Zakariyya, Nabi Yahya dan Nabi ‘Isa ‘alaihimus salam.

ْ َ‫(فَا ْست َ َج ْبنَا لَهُ َو َو َه ْبنَا لَهُ يَحْ يَى َوأ‬٨٩) َ‫ب ال تَذَ ْر ِني فَ ْردًا َوأ َ ْنتَ َخي ُْر ْال َو ِارثِين‬
‫صلَحْ نَا لَهُ زَ ْو َجهُ إِنَّ ُه ْم كَانُوا‬ ِ ِّ ‫َوزَ ك َِريَّا إِذْ نَادَى َربَّهُ َر‬
‫وحنَا‬ ِ ‫َت فَ ْر َج َها فَنَفَ ْخنَا فِي َها ِم ْن ُر‬
ْ ‫صن‬ َ ْ‫( َوالَّتِي أَح‬٩٠) َ‫ت َويَدْعُونَنَا َر َغبًا َو َر َهبًا َوكَانُوا لَنَا خَا ِشعِين‬ ِ ‫ارعُونَ فِي ْال َخي َْرا‬ ِ ‫س‬َ ُ‫ي‬
َ ْ ً ْ
٩١) َ‫َو َجعَلنَاهَا َوا ْب َن َها آيَة ِللعَال ِمين‬

Terjemah Surat Al Anbiya Ayat 89-91

89. Dan (ingatlah kisah) Zakaria, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, "Ya Tuhanku, janganlah
Engkau biarkan aku hidup seorang diri[9] dan Engkaulah ahli waris yang terbaik[10].”

90. Maka Kami kabulkan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan
istrinya dapat mengandung[11]. [12]Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan)
kebaikan[13] dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas[14]. Dan mereka
orang-orang yang khusyu' kepada Kami[15].

91. Dan (ingatlah kisah Maryam) yang memelihara kehormatannya, lalu Kami tiupkan (roh) dari
Kami ke dalam (tubuh)nya[16]; Kami jadikan dia dan anaknya sebagai tanda kekuasaan Allah
bagi seluruh alam[17].

Ayat 92-95: Agama Allah adalah satu yaitu Islam, dan sikap manusia terhadapnya.
‫ت َوه َُو‬ ِ ‫طعُوا أ َ ْم َر ُه ْم بَ ْينَ ُه ْم ُك ٌّل ِإلَ ْينَا َر‬
َّ ‫( فَ َم ْن يَ ْع َم ْل ِمنَ ال‬٩٣) َ‫اجعُون‬
ِ ‫صا ِل َحا‬ َّ َ‫( َوتَق‬٩٢) ‫ُون‬ ِ ‫ِإ َّن َه ِذ ِه أ ُ َّمت ُ ُك ْم أ ُ َّمةً َو‬
ِ ‫احدَة ً َوأَنَا َربُّ ُك ْم فَا ْعبُد‬
٩٥) َ‫( َو َح َرا ٌم َعلَى قَ ْريَ ٍة أَ ْهلَ ْكنَاهَا أَنَّ ُه ْم ال يَ ْر ِجعُون‬٩٤) َ‫س ْعيِ ِه َوإِنَّا لَهُ كَاتِبُون‬ َ ‫ُمؤْ ِم ٌن فَال ُك ْف َرانَ ِل‬

Terjemah Surat Al Anbiya Ayat 92-95

92. [18]Sungguh, (agama Tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu[19], dan Aku adalah
Tuhanmu[20], maka sembahlah Aku.

93. [21]Tetapi mereka terpecah belah dalam urusan (agama) mereka di antara mereka[22].
Masing-masing (golongan itu semua) akan kembali kepada Kami[23].

94. Barang siapa mengerjakan amal saleh[24], dan dia beriman[25], maka usahanya tidak akan
diingkari (disia-siakan)[26], dan sungguh, Kamilah yang mencatat untuknya[27].

95. Dan tidak mungkin bagi (penduduk) suatu negeri yang telah Kami binasakan, bahwa mereka
tidak akan kembali (kepada Kami)[28].

[1] Yakni ingatlah hamba dan rasul Kami Dzunnun, yaitu Yunus bin Mata dengan menyebutkan
kebaikannya dan memujinya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengutusnya kepada penduduk
Neinawa dan mengajak mereka beriman, namun ternyata mereka tidak beriman, maka Beliau
mengancam mereka dengan azab yang akan turun setelah berlalu tiga hari. Ketika azab datang,
dan mereka menyaksikannya dengan mata kepala, maka mereka keluar ke gurun membawa
anak-anak dan hewan ternak mereka, lalu mereka bersama-sama berdoa kepada Allah dengan
merendahkan diri kepada-Nya dan bertobat, maka Allah angkat azab itu dari mereka
sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang
beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Ketika mereka (kaum
Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan
dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu.” (Terj.
Yunus: 98) dan firman-Nya, “Dan Kami utus dia kepada seratus ribu orang atau lebih.---Lalu
mereka beriman, karena itu Kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu
yang tertentu.” (Terj. Ash Shaffaat: 147-148) Kaum Yunus akhirnya beriman, akan tetapi Yunus
pergi meninggalkan kaumnya karena marah kepada mereka padahal Allah belum mengizinkan,
Beliau pergi bersama beberapa orang menaiki perahu dan ketika itu datang ombak yang besar,
mereka pun khawatir akan tenggelam, maka mereka melakukan undian untuk melempar salah
seorang di antara mereka ke laut agar beban perahu semakin ringan, ternyata hasil undian tertuju
kepada Yunus, lalu mereka enggan melemparnya, maka mereka mengulangi lagi, dan ternyata
tertuju kepada Yunus lagi, namun mereka tetap enggan melemparnya, maka dilakukan undian
sekali lagi dan ternyata hasil undian tetap jatuh kepada Yunus, maka Yunus berdiri dan melepas
pakaiannya lalu melemparkan dirinya ke laut, dan Allah telah mengirimkan ikan besar, maka
ikan itu datang menelan Yunus. Allah mewahyukan kepada ikan itu agar tidak memakan
dagingnya dan tidak meremukkan tulangnya karena Yunus bukanlah rezeki untuknya, perutnya
hanyalah sebagai penjara baginya. Ada yang berpendapat, bahwa Beliau tinggal dalam perut ikan
selama 40 hari. Ketika Beliau mendengar ucapan tasbih dari batu kerikil di tempatnya itu, maka
Beliau mengucapkan, “Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Mahasuci
Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.” Beliau mengakui keberhakan Allah
untuk diibadahi dan menyucikan-Nya dari segala aib dan kekurangan serta mengakui kezaliman
dirinya, maka Allah mengabulkan doanya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Maka
kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah,---Niscaya ia
akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.--- Kemudian Kami lemparkan dia ke
daerah yang tandus, sedang ia dalam keadaan sakit.--- Dan Kami tumbuhkan untuknya sebatang
pohon dari jenis labu.” (Terj. Ash Shaaffaat: 143-146).

[2] Kepada kaumnya.

[3] Yakni memutuskan baginya untuk ditahan dalam dalam perut ikan atau menyempitkannya.

[4] Yang dimaksud dengan keadaan yang sangat gelap ialah di dalam perut ikan, di dalam laut
dan di malam hari.

[5] Karena meninggalkan kaumku tanpa izin-Mu.

[6] Karena kalimat yang diucapkannya itu.

[7] Yakni sebagaimana Kami telah menyelamatkan dia.

[8] Maksudnya, dari penderitaan mereka ketika mereka berdoa memohon pertolongan kepada
Kami. Hal ini merupakan janji dan kabar gembira dari Allah untuk setiap mukmin yang sedang
menderita, bahwa Allah akan menyelamatkannya, menghilangkan deritanya dan meringankannya
karena keimanan yang ada dalam dirinya sebagaimana yang Dia lakukan terhadap Yunus ‘alaihis
salam.

[9] Maksudnya, tidak mempunyai keturunan yang mewarisi. Beliau berdoa demikian ketika
merasa ajalnya sudah dekat dan khawatir tidak ada yang menggantikannya berdakwah kepada
Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan mengurus masyarakat.

[10] Maksud Nabi Zakaria adalah seandainya Allah tidak mengabulkan doanya, yakni
memberikan keturunan, maka dia (Zakaria) menyerahkan dirinya kepada Allah karena Dia ahli
waris yang paling baik, yang kekal setelah semuanya binasa. Meskipun demikian, Zakaria
menginginkan sesuatu yang menenangkan hatinya dan melegakan jiwanya, yaitu agar
dikaruniakan kepadanya seorang anak untuk menggantikannya berdakwah kepada Allah.

[11] Setelah sebelumnya mandul berkat doa Zakaria. Inilah di antara pentingnya mencari teman
hidup yang saleh agar mendapatkan pula kebaikannya.

[12] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan para nabi dan rasul secara sendiri-
sendiri, maka Allah puji mereka secara umum.

[13] Yakni ketaatan. Mereka segera melakukannya pada waktu-waktu yang utama,
menyempurnakannya dan tidak meninggalkan satu keutamaan pun yang mampu dilakukan
kecuali dilakukannya serta memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.
[14] Maksudnya, mereka meminta kepada Allah dalam hal yang yang diinginkan yang terkait
dengan maslahat dunia dan akhirat, serta berlindung kepada-Nya dari sesuatu yang tidak
diinginkan yang ada di dunia dan akhirat. Mereka berharap dan cemas, tidak lalai dan tidak
mengulur-ulur. Menurut Ats Tsauri, maksud dengan harap dan cemas adalah, bahwa mereka
mengharapkan apa (kenikmatan) yang ada di sisi-Nya dan takut terhadap azab di sisi-Nya.

[15] Dalam ibadahnya. Hal ini karena tingginya ma’rifat (pengenalan) mereka terhadap Tuhan
mereka.

[16] Jibril datang kepadanya dalam wujud seorang laki-laki yang sempurna, lalu karena
ketinggian ‘iffah (kesucian) diri Maryam, ia berkata, “Aku berlindung kepada Tuhan yang Maha
Pengasih dari kamu, jika kamu seorang yang bertakwa,” maka Allah memberikan balasan
terhadap amalnya yang salih dan mengaruniakan anak tanpa bapak, bahkan dengan tiupan Jibril
yang meniup ke dalam leher baju Maryam, lalu Maryam mengandung Isa ‘alaihis salam dengan
izin Allah.

[17] Karena dia lahir tanpa ada bapak, dan yang demikian adalah mudah bagi Allah,
sebagaimana Dia menciptakan Adam tanpa ibu dan bapak dan menciptakan Hawa’ dari tulang
rusuk Adam. Demikian pula terdapat tanda kekuasaan Allah, yaitu ketika anak Maryam Isa
‘alaihis salam dapat berbicara di masa buaian, dibersihkan-Nya Maryam dari tuduhan zina yang
ditujukan kepadanya, dan diberikan mukjizat kepada anaknya.

[18] Setelah Allah menyebutkan semua para nabi, Dia berfirman kepada semua manusia.

[19] Yani para rasul yang telah disebutkan adalah satu umat dengan kamu dan pemimpin kamu
yang harus kamu ikuti dan kamu pakai petunjuknya, dan bahwa mereka berada di atas agama
yang satu, yaitu agama tauhid atau Islam, di mana mereka semua sama-sama menyeru kepada
tauhid (mengesakan Allah).

[20] Semua.

[21] Oleh karena Tuhan mereka hanya satu, agama yang diturunkan Allah itu adalah satu, yaitu
agama tauhid (agama Islam), seruan para nabi adalah sama, maka seharusnya mereka berkumpul
di atas agama yang satu itu (Islam) dan tidak berpecah belah. Akan tetapi kedengkian dan
permusuhan menghendaki mereka berpecah belah.

[22] Masing-masing mereka menyangka bahwa merekalah yang benar sedangkan yang lain salah
dan masing-masing bangga dengan kelompoknya. Padahal sudah maklum, bahwa yang benar di
antara mereka adalah orang yang menempuh jalan yang lurus mengikuti para nabi, tidak sekedar
pengakuan di lisan, dan kebenarannya akan nyata ketika yang tersembunyi menjadi nampak,
yaitu ketika Allah mengumpulkan semua makhluk untuk diberikan keputusan. Ketika itulah,
nampak siapa yang benar dan siapa yang dusta.

[23] Untuk diberikan balasan.

[24] Amal yang diperintahkan para rasul dan didorong oleh semua kitab.
[25] Kepada rukun iman yang enam.

[26] Bahkan Allah akan melipatgandakannya. Sebaliknya, barang siapa yang tidak beramal saleh
atau beramal saleh namun tidak beriman, maka ia terhalang mendapatkan pahala dan rugi pada
agama dan akhiratnya.

[27] Yakni dengan memerintahkan para malaikat hafazhah (penjaga manusia) untuk mencatatnya
untuk diberikan balasan, di samping telah dicatat dalam Al Lauhul Mahfuzh.

[28] Ada pula yang mengartikan, bahwa mustahil bagi mereka kembali ke dunia setelah mereka
mati. Yakni negeri-negeri yang telah dibinasakan tidak mungkin kembali ke dunia untuk
mengerjakan perbuatan yang telah mereka lalaikan. Oleh karena itu, hendaknya manusia berhati-
hati terhadap sebab yang dapat membinasakan mereka, di mana ketika tiba azab itu, mereka tidak
mungkin menolaknya dan tidak mungkin mengerjakan amal saleh yang telah mereka tinggalkan.

3.Tafsir Surat Al Maidah Ayat 74-82

Ayat 74-77: Bantahan Al Qur’an dengan dalil yang qath’i terhadap orang yang
menganggap Al Masih sebagai tuhan atau salah satu dari yang tiga, dan berlepasnya Al
Masih ‘alaihis salam dari anggapan tersebut

‫ص ِدِّيقَةٌ كَانَا‬ ِ ُ‫س ُل َوأ ُ ُّمه‬ ْ َ‫سو ٌل قَدْ َخل‬


ُّ ‫ت ِم ْن قَ ْب ِل ِه‬
ُ ‫الر‬ ُ ‫( َما ْال َمسِي ُح ا ْبنُ َم ْريَ َم إِال َر‬٧٤) ‫ور َر ِحي ٌم‬ ٌ ُ‫َّللاُ َغف‬ َّ ‫أَفَال يَتُوبُونَ إِلَى‬
َّ ‫َّللاِ َويَ ْستَ ْغ ِف ُرونَهُ َو‬
‫ض ًّرا َوال نَ ْف ًعا‬ َ ‫َّللاِ َما ال َي ْم ِلكُ لَ ُك ْم‬ ِ ‫( قُ ْل أَت َ ْعبُد ُونَ ِم ْن د‬٧٥) َ‫ظ ْر أَنَّى يُؤْ فَ ُكون‬
َّ ‫ُون‬ ُ ‫ت ث ُ َّم ا ْن‬
ِ ‫ْف نُ َب ِِّينُ لَ ُه ُم اآل َيا‬
َ ‫ظ ْر َكي‬ ُ ‫ام ا ْن‬
َ ‫ط َع‬ ِ ‫َيأ ْ ُك‬
َّ ‫الن ال‬
‫ضلوا‬ ُّ َ
َ ‫ضلوا ِم ْن قَ ْب ُل َوأ‬ُّ َ
َ ْ‫ق َوال تَت َّ ِبعُوا أ ْه َوا َء قَ ْو ٍم قَد‬ ْ ُ
ِ ِّ ‫ب ال ت َ ْغلوا فِي دِينِ ُك ْم َغي َْر ال َح‬ ْ َ ُ ْ
ِ ‫( ق ْل يَا أ ْه َل ال ِكت َا‬٧٦) ‫َّللاُ ه َُو الس َِّمي ُع العَ ِلي ُم‬ َّ ‫َو‬
(٧٧) ‫س ِبي ِل‬ َّ ‫اء ال‬
ِ ‫س َو‬
َ َ ْ
‫ن‬ ‫ع‬ ‫وا‬ ُّ ‫ل‬ َ َ ً ِ‫َكث‬
‫ض‬ ‫و‬ ‫ا‬ ‫ير‬

Terjemah Surat Al Maidah Ayat 74-77

74.[1] Mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah[2] dan memohon ampunan kepada-Nya?.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[3].

75.[4] Al Masih putra Maryam hanyalah seorang Rasul. Sebelumnya pun sudah berlalu beberapa
rasul. Dan ibunya seorang yang berpegang teguh pada kebenaran, keduanya biasa memakan
makanan[5]. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan ayat-ayat (yang menunjukkan keesaan
Kami) kepada mereka (Ahli Kitab), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka dipalingkan
(dari kebenaran).

76. Katakanlah (Muhammad), "Mengapa kamu menyembah yang selain Allah[6], sesuatu yang
tidak dapat menimbulkan bencana kepadamu dan tidak (pula) memberi manfaat?" Dan Allah
Maha Mendengar[7] lagi Maha Mengetahui[8].

77. Katakanlah (Muhammad), "Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui
batas) dengan cara yang tidak benar dalam agamamu[9]. Dan janganlah kamu mengikuti
keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulu[10] dan (telah) menyesatkan banyak
(manusia)[11], dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus".

Ayat 78-81: Laknat untuk orang-orang Yahudi melalui lisan para nabi mereka dan sebab
mereka dilaknat

َ‫( كَانُوا ال َيتَنَاه َْون‬٧٨) َ‫ص ْوا َوكَانُوا يَ ْعتَدُون‬ َ ‫سى اب ِْن َم ْريَ َم ذَلِكَ بِ َما َع‬ َ ‫ان دَ ُاودَ َو ِعي‬
ِ ‫س‬َ ‫لُعِنَ الَّذِينَ َكفَ ُروا ِم ْن بَنِي ِإس َْرائِي َل َعلَى ِل‬
َّ ‫ط‬
ُ‫َّللا‬ َ ‫س ِخ‬ َ ‫س ُه ْم أَ ْن‬
ُ ُ‫ت لَ ُه ْم أ َ ْنف‬ َ ْ‫يرا ِم ْن ُه ْم َيت ََولَّ ْونَ الَّذِينَ َكفَ ُروا لَ ِبئ‬
ْ ‫س َما قَدَّ َم‬ ً ‫( ت ََرى َك ِث‬٧٩) َ‫س َما َكانُوا َي ْف َعلُون‬ َ ْ‫َع ْن ُم ْنك ٍَر فَ َعلُوهُ لَ ِبئ‬
َ‫يرا ِم ْن ُه ْم فَا ِسقُون‬ َ ُ ُ
ً ِ‫ي َو َما أ ْن ِز َل إِلَ ْي ِه َما ات َّ َخذو ُه ْم أ ْو ِليَا َء َولَ ِك َّن َكث‬ َّ ِ‫( َولَ ْو كَانُوا يُؤْ ِمنُونَ ب‬٨٠) َ‫ب ُه ْم خَا ِلد ُون‬
ِِّ ِ‫اَّللِ َوالنَّب‬ ِ ‫َعلَ ْي ِه ْم َوفِي ْالعَذَا‬
(٨١

Terjemah Surat Al Maidah Ayat 78-81

78. Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Dawud[12] dan Isa
putra Maryam[13]. Yang demikian itu karena mereka durhaka[14] dan selalu melampaui
batas[15].

79. Mereka satu sama lain tidak saling mencegah perbuatan munkar yang selalu mereka
kerjakan[16]. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat.

80. Kamu melihat banyak di antara mereka[17] tolong menolong dengan orang-orang kafir[18].
Sungguh, sangat buruk apa yang mereka siapkan untuk diri mereka sendiri, yaitu kemurkaan
Allah, dan mereka akan kekal dalam azab.

81. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Muhammad) dan kepada apa yang
diturunkan kepadanya, niscaya mereka tidak akan menjadikan orang musyrik itu sebagai teman
setia. Tetapi banyak di antara mereka, orang-orang yang fasik[19].

Ayat 82: Kerasnya permusuhan orang-orang Yahudi dan musyrikin kepada kaum
mukmin

‫ارى ذَلِكَ بِأ َ َّن‬


َ ‫ص‬َ َ‫اس َعدَ َاوة ً ِللَّذِينَ آ َمنُوا ْاليَ ُهودَ َوالَّذِينَ أ َ ْش َر ُكوا َولَت َِجدَ َّن أ َ ْق َربَ ُه ْم َم َودَّة ً ِللَّذِينَ آ َمنُوا الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا ن‬ َ َ ‫لَت َِجدَ َّن أ‬
ِ َّ‫شدَّ الن‬
َ
٨٢) َ‫ِم ْن ُه ْم قِ ِسِّيسِينَ َو ُر ْهبَانًا َوأنَّ ُه ْم ال يَ ْست َ ْك ِب ُرون‬

Terjemah Surat Al Maidah Ayat 82

82. Pasti akan kamu dapati orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang
beriman, ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik[20]. Dan pasti akan kamu dapati
orang yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang
yang berkata, "Sesungguhnya kami adalah orang Nasrani" Yang demikian itu karena di antara
mereka terdapat para pendeta dan para rahib[21], (juga) karena mereka tidak menyombongkan
diri[22].
[1] Ya Allah, sungguh tinggi semua sifat-Mu, sungguh indah nama-nama-Mu, sungguh terpuji
perbuatan-Mu, meskipun Engkau menguasai manusia semuanya dan mampu menghukum
mereka yang kafir dan bermaksiat kepada-Mu, namun Engkau Maha Santun, Engkau tidak
langsung menghukum mereka, bahkan mengajak mereka untuk bertobat, dan Engkau
menjanjikan, bahwa jika mereka bertobat, tentu mereka akan mendapatkan Engkau Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.

[2] Dengan mengikrarkan keesaan Allah dan bahwa Isa adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.

[3] Dia mengampuni dosa-dosa orang yang bertobat meskipun setinggi langit, serta menyayangi
mereka dengan menerima tobat mereka dan menggantikan keburukan dengan kebaikan.

[4] Pada ayat ini, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkan hakikat yang sebenarnya, yakni
bahwa Nabi Isa 'alaihis salam hanyalah seorang rasul sebagaimana rasul-rasul yang lain,
sedangkan ibunya Maryam adalah seorang shiddiiqah, orang yang sangat membenarkan, di mana
kedudukannya di bawah kedudukan para nabi. Sifat shiddiqiyyah berasal dari ilmu yang
bermanfaat yang membuahkan keyakinan dan amal saleh.

[5] Maksudnya adalah bahwa Isa 'alaihis salam dan ibunya adalah manusia, yang memerlukan
apa yang diperlukan oleh manusia yang lain, seperti makan, minum dan sebagainya. Jika
keduanya tuhan tentu, keduanya tidak membutuhkan yang dibutuhkan manusia.

[6] Yang merupakan makhluk yang fakir lagi membutuhkan sesuatu.

[7] Semua perkataanmu dengan berbagai bahasa dan beraneka kebutuhan.

[8] Semua keadaanmu. Dia mengetahui yang nampak maupun yang tersembunyi, yang lalu
maupun yang akan datang. Dia Maha Kaya dan tidak membutuhkan sesuatu pun dari makhluk-
Nya, oleh karenanya hanya Dia yang berhak disembah.

[9] Seperti menempatkan Nabi Isa 'alaihis salam melebihi posisinya sebagai hamba Allah dan
Rasul-Nya serta menjadikan ulama dan pendeta mereka sebagai tuhan dengan menghalalkan
semua yang mereka perintahkan meskipun diharamkan Allah atau mengharamkan apa yang
mereka tetapkan meskipun dihalalkan Allah.

[10] Yaitu nenek moyang mereka.

[11] Mereka inilah pemimpin kesesatan, di mana diri mereka tersesat dan menyesatkan orang
lain.

[12] Yaitu dengan doa Nabi Dawud 'alaihis salam, mereka dirubah rupanya menjadi kera.
Mereka ini adalah penduduk Ailah.

[13] Dengan doa Nabi Isa 'alaihis salam, mereka dirubah rupanya menjadi babi. Mereka ini
adalah orang-orang yang meminta diturunkan hidangan langsung dari langit.
[14] Kepada Allah.

[15] Dengan menzalimi hamba-hamba Allah.

[16] Sehingga mereka sama seperti pelaku kemungkaran itu karena mendiamkan kemungkaran
padahal mampu mencegahnya. Hal ini menunjukkan sikap remeh mereka terhadap perintah
Allah dan anggapan ringan bermaksiat kepada Allah oleh mereka. Sekiranya mereka memiliki
rasa ta'zhim (pengagungan) kepada Allah, tentu mereka akan cemburu karena larangan-Nya
dikerjakan, dan mereka akan marah karena-Nya.

Mendiamkan kemungkaran dapat berakibat banyak mafsadat, di antaranya:

- Mendiamkan kemungkaran itu sendiri merupakan kemaksiatan, meskipun dia tidak


mengerjakannya.

- Menunjukkan bahwa dirinya meremehkan maksiat.

- Membuat pelaku maksiat dan kefasikan berani melakukan banyak maksiat, sehingga kejahatan
bertambah, dan lama kelamaan banyak yang mengikutinya sehingga pelakunya menjadi
mayoritas, sedangkan orang-orang yang baik menjadi minoritas serta tidak mampu mencegah
kemungkaran itu.

- Meninggalkan kemungkaran dapat membuat ilmu agama menjadi hilang dan kebodohan
melanda. Hal itu, karena maksiat jika berulang kali dilakukan dan tidak diingkari akan
mengakibatkan persangkaan bahwa yang demikian bukan maksiat, bahkan orang yang tidak tahu
bisa mengiranya sebagai perkara baik, padahal kerusakan apa yang lebih besar daripada
anggapan halal terhadap apa yang diharamkan Allah?

- Mendiamkan kemungkaran, bisa menjadikan orang lain memandang baik perbuatan itu
sehingga diikuti.

[17] Yakni orang-orang Yahudi.

[18] Yakni kaum musyrik Mekah karena benci kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam.

[19] Yakni keluar dari ketaatan kepada Allah, keluar dari keimanan kepada-Nya dan kepada
nabi-Nya. Termasuk perbuatan fasik mereka adalah berwalaa' (bersikap setia) kepada musuh-
musuh Allah.

[20] Karena kebencian dan kedengkian mereka yang begitu mendalam kepada kaum muslimin,
dan karena kebodohan, kekafiran dan karena mereka selalu mengikuti hawa nafsu. Berdasarkan
ayat ini, bahwa musuh besar Islam dan kaum muslimin adalah orang-orang Yahudi dan orang-
orang musyrik, dan mereka adalah orang-orang yang paling banyak berusaha menimpakan
bahaya kepada kaum muslimin.
[21] Qissis (pendeta) adalah ulama mereka, sedangkan rahib adalah ahli ibadah di antara mereka.
Ilmu yang disertai kezuhudan serta ibadah merupakan hal yang menjadikan hati menjadi lunak
dan menyingkirkan kekerasannya. Oleh karena itu, tidak ditemukan dalam diri mereka sikap
keras dan kasar sebagaimana dalam diri orang-orang Yahudi dan musyrik.

[22] Untuk mengikuti kebenaran, tidak seperti orang-orang Yahudi dan kaum musyrik Mekah
yang menyombongkan diri. Orang yang tidak sombong (tawadhu') lebih dekat kepada kebaikan,
oleh karenanya mereka lebih dekat kepada kaum muslimin.

di 14.43
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
- See more at: http://www.tafsir.web.id/2013/02/tafsir-surat-al-maidah-ayat-74-
82.html#sthash.8aQoou6b.dpuf
Tafsir al-azhar
Al Ikhlas 1 – 4

“Katakanlah” – Hai Utusan-Ku- “Dia adalah Allah, Maha Esa.” (ayat 1). Inilah pokok pangkal
akidah, puncak dari kepercayaan. Mengakui bahwa yang dipertuhan itu ALLAH nama-Nya. Dan
itu adalah nama dari Satu saja. Tidak ada Tuhan selain Dia. Dia Maha Esa, mutlak Esa, tunggal,
tidak bersekutu yang lain dengan Dia.

Pengakuan atas Kesatuan, atau Keesaan, atau tunggal-Nya Tuhan dan nama-Nya ialah Allah,
kepercayaan itulah yang dinamai TAUHID. Berarti menyusun fikiran yang suci murni, tulus
ikhlas bahwa tidak mungkin Tuhan itu lebih dari satu. Sebab Pusat Kepercayaan di dalam
pertimbangan akal yang sihat dan berfikir teratur hanya sampai kepada SATU.

Tidak ada yang menyamai-Nya, tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak pula ada teman hidup-
Nya. Karena mustahillah kalau Dia lebih dari satu. Karena kalau Dia berbilang, terbahagilah
kekuasaan-Nya. Kekuasaan yang terbagi, artinya sama-sama kurang berkuasa.

“Allah adalah pergantungan.” (ayat 2). Artinya, bahwa segala sesuatu ini adalah Dia yang
menciptakan, sebab itu maka segala sesuatu itu kepada-Nyalah bergantung. Ada atas kehendak-
Nya.
Kata Abu Hurairah: “Arti Ash-Shamadu ialah segala sesuatu memerlukan dan berkehendak
kepada Allah, berlindung kepada-Nya, sedang Dia tidaklah berlindung kepada sesuatu jua pun.

Husain bin Fadhal mengartikan: “Dia berbuat apa yang Dia mau dan menetapkan apa yang Dia
kehendaki.”

Muqatil mengartikan: “Yang Maha Sempurna, yang tidak ada cacat-Nya.”

“Tidak Dia beranak, dan tidak Dia diperanakkan.” (ayat 3).

Mustahil Dia beranak. Yang memerlukan anak hanyalah makhluk bernyawa yang menghendaki
keturunan yang akan melanjutkan hidupnya. Seseorang yang hidup di dunia ini merasa cemas
kalau dia tidak mendapat anak keturunan. Karena dengan keturunan itu berarti hidupnya akan
bersambung. Orang yang tidak beranak kalau mati, selesailah sejarahnya hingga itu. Tetapi
seseorang yang hidup, lalu beranak dan bersambung lagi dengan cucu, besarlah hatinya, karena
meskipun dia mesti mati, dia merasa ada yang menyambung hidupnya.

Oleh sebab itu maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mustahil memerlukan anak. Sebab Allah hidup
terus, tidak akan pernah mati-mati. Dahulunya tidak berpemulaan dan akhirnya tidak
berkesudahan. Dia hidup terus dan kekal terus, sehingga tidak memerlukan anak yang akan
melanjutkan atau menyambung kekuasaan-Nya sebagai seorang raja yang meninggalkan putera
mahkota.

Dan Dia, Allah itu, tidak pula diperanakkan. Tegasnya tidaklah Dia berbapa. Karena kalau dia
berbapa, teranglah bahwa si anak kemudian lahir ke dunia dari ayahnya, dan kemudian ayah itu
pun mati. Si anak menyambung kuasa. Kalau seperti orang Nasrani yang mengatakan bahwa
Allah itu beranak dan anak itu ialah Nabi Isa Almasih, yang menurut susunan kepercayaan
mereka sama dahulu tidak bepermulaan dan sama akhir yang tidak berkesudahan di antara sang
bapa dengan sang anak, maka bersamaanlah wujud di antara si ayah dengan si anak, sehingga
tidak perlu ada yang bernama bapa dan ada pula yang bernama anak. Dan kalau anak itu
kemudian baru lahir, nyatalah anak itu suatu kekuasaan atau ketuhanan yang tidak perlu, kalau
diakui bahwa si bapa kekal dan tidak mati-mati, sedang si anak tiba kemudian.

“Dan tidak ada bagi-Nya yang setara, seorang jua pun.” (ayat 4). Keterangan: Kalau diakui Dia
beranak, tandanya Allah Tuhan itu mengenal waktu tua. Dia memerlukan anak untuk
menyilihkan kekuasaan-Nya.

Kalau diakui diperanakkan, tandanya Allah itu pada mulanya masih muda yaitu sebelum bapa-
Nya mati. Kalau diakui bahwa Dia terbilang, ada bapa ada anak, tetapi kedudukannya sama,
fikiran sihat yang mana jua pun akan mengatakan bahwa “keduanya” akan sama-sama kurang
kekuasaannya. Kalau ada dua yang setara, sekedudukan, sama tinggi pangkatnya, sama
kekuasaannya atas alam, tidak ada fikiran sihat yang akan dapat menerima kalau dikatakan
bahwa keduanya itu berkuasa mutlak. Dan kalau keduanya sama tarafnya, yang berarti sama-
sama kurang kuasa-Nya, yakni masing-masing mendapat separuh, maka tidaklah ada yang
sempurna ketuhanan keduanya. Artinya bahwa itu bukanlah tuhan. Itu masih alam, itu masih
lemah.
Yang Tuhan itu ialah Mutlak Kuasa-Nya, tiada berbagi, tiada separuh seorang, tiada gandingan,
tiada bandingan dan ada tiada tandingan. Dan tidak pula ada tuhan yang nganggur, belum
bertugas sebab bapanya masih ada!

Itulah yang diterima oleh perasaan yang bersih murni. Itulah yang dirasakan oleh akal cerdas
yang tulus. Kalau tidak demikian, kacaulah dia dan tidak bersih lagi. Itu sebabnya maka Surat ini
dinamai pula Surat Al-Ikhlas, artinya sesuai dengan jiwa murni manusia, dengan logika, dengan
berfikir teratur.

Tersebutlah di dalam beberapa riwayat yang dibawakan oleh ahli tafsir bahwa asal mula Surat ini
turun: “Shif lanaa rabaka” ialah karena pernah orang musyrikin itu meminta kepada Nabi (Coba
jelaskan kepada kami apa macamnya Tuhanmu itu, emaskah dia atau tembaga atau loyangkah?).

Menurut Hadis yang dirawikan oleh Termidzi dari Ubay bin Ka’ab, memang ada orang
musyrikin meminta kepada Nabi supaya diuraikannya nasab (keturunan atau sejarah) Tuhannya
itu. Maka datanglah Surat yang tegas ini tentang Tuhan.

Abus Su’ud berkata dalam tafsirnya: “Diulangi nama Allah sampai dua kali (ayat 1 dan ayat 2)
dengan kejelasan bahwa Dia adalah Esa, Tunggal, Dia adalah penggantungan segala makhluk,
supaya jelaslah bahwa yang tidak mempunyai kedua sifat pokok itu bukanlah Tuhan. Di ayat
pertama ditegaskan Keesaan-Nya, untuk menjelaskan bersih-Nya Allah dari berbilang dan
bersusun, dan dengan sifat Kesempurnaan Dia tempat bergantung, tempat berlindung; bukan Dia
yang mencari perlindungan kepada yang lain, Dia tetap ada dan kekal dalam kesempurnaan-Nya,
tidak pernah berkurang. Dengan penegasan “Tidak beranak”, ditolaklah kepercayaan setengah
manusi bahwa malaikat itu adalah anak Allah atau Isa Almasih adalah anak Allah. Tegasnya dari
Allah itu tidak ada timbul apa yang dinamai anak, karena tidak ada sesuatu pun yang mendekati
jenis Allah itu, untuk jadi jodoh dan “teman hidupnya”, yang dari pergaulan berdua timbullah
anak.” – Sekian Abus Su’ud.

Imam Ghazali menulis di dalam kitabnya “Jawahirul-Qur’an” : “Kepentingan Al-Qur’an itu ialah
untuk ma’rifat terhadap Allah dan ma’rifat terhadap hari akhirat dan ma’rifat terhadap Ash-
Shirathal Mustaqim. Ketiga ma’rifat inilah yang sangat utama pentingnya. Adapun yang lain
adalah pengiring-pengiring dari yang tiga ini. Maka Surat Al-Ikhlas adalah mengandung satu
daripada ma’rifat yang tiga ini, yaitu Ma’rifatullah, dengan memberishkan-Nya, mensucikan
fikiran terhadap-Nya dengan mentauhidkan-Nya daripada jenis dan macam. Itulah yang
dimaksud bahwa Allah bukanlah pula bapa yang menghendaki anak, laksana pohon. Dan bukan
diperanakkan, laksana dahan yang berasal dari pohon, dan bukan pula mempunyai tandingan,
bandingan dan gandingan.”

Ibnul Qayyim menulis dalam Zaadul Ma’ad: “Nabi SAW selalu membaca pada sembahyang
Sunnat Al-Fajar dan sembahyang Al-Witir kedua Surat Al-Ikhlas dan Al-Kaafiruun. Karena
kedua Surat itu mengumpulkan Tauhid, Ilmu dan Amal, Tauhid Ma’rifat dan Iradat, Tauhid
I’tiqad dan Tujuan. Surat Al-Ikhlas mengandungi Tauhid I’tiqad dan Ma’rifat dan apa yang
wajib dipandang tetap teguh pada Allah menurut akal murni, yaitu Esa, Tunggal. Naf’i yang
mutlak daripada bersyarikat dan bersekutu, dari segi mana pun. Dia adalah Pergantungan yang
tetap, yang pada-Nya terkumpul segala sifat kesempurnaan, tidak pernah berkekurangan dari segi
mana pun. Naf’i daripada beranak dan diperanakkan, karena kalau keduanya itu ada, Dia tidak
jadi pergantungan lagi dan Keesaan-Nya tidak bersih lagi. Dan Naf’i atau tidaknya kufu’,
tandingan, bandingan dan gandingan adalah menafikan perserupaan, perumpamaan ataupun
pandangan lain. Sebab itu makna Surat ini mengandung segala kesempurnaan bagi Allah dan
menafikan segala kekuarangan. Inilah dia Pokok Tauhid menurut ilmiah dan menurut akidah,
yang melepaskan orang yang berpegang teguh kepadanya daripada kesesatan dan
mempersekutukan.

Itu sebab maka Surat Al-Ikhlas dikatakan oleh Nabi Sepertiga Qur’an. Sebab Al-Qur’an berisi
Berita (Khabar) dan Insyaa. Dan Insyaa mengandung salah satu tiga pokok: (1) perintah, (2)
larangan, (3) boleh atau diizinkan. Dan Khabar dua pula: (1) Khabar yang datang dari Allah
sebagai Pencipta (Khaliq) dengan nama-nama-Nya dan hukum-hukum-Nya. (2) Khabar dari
makhluk-Nya, maka diikhlaskanlah oleh makhluk di dalam Surat Al-Ikhlas tentang nama-nama-
Nya dan sifat-sifat-Nya, sehingga jadilah isinya itu mengandung Sepertiga Al-Qur’an. Dan
dibersihkannya pula barangsiapa yang membacanya dengan Iman, daripada mempersekutukan
Allah secara ilmiah. Sebagaimana Surat Al-Kaafiruun pun telah membersihkan dari syirik secara
amali, yang timbul dari kehendak dan kesengajaan.” – Sekian Ibnul Qayyim.

Ibnul Qayyim menyambung lagi: “Menegakkan akidah ialah dengan ilmu. Persediaan ilmu
hendaklah sebelum beramal. Sebab ilmu itu adalah Imam, penunjuk jalan, dan hakim yang
memberikan keputusan di mana tempatnya dan telah sampai di mana. Maka “Qul Huwallaahu
Ahad” adalah puncak ilmu tentang akidah. Itu seba maka Nabi mengatakannya sepertiga Al-
Qur’an. Hadis-hadis yang mengatakan demikian boleh dikatakan mencapai derajat mutawatir.
Dan “Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruuna” sama nilainya dengan seperempat Al-Qur’an. Dalam sebuah
Hadis dari Termidzi, yang dirawikan dari Ibnu Abbas dijelaskan: “Idzaa Zulzilatil Ardhu” sama
nilainya dengan separuh Al-Qur’an. “Qul Huwallahu Ahad” sama dengan sepertiga Al-Qur’an
dan “Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruuna” sama nilainya dengan seperempat Al-Qur’an.

Al-Hakim merawikan juga Hadis ini dalam Al-Mustadriknya dan beliau berkata bahwa Isnad
Hadis ini shahih.

***

Maka tersebutlah dalam sebuah Hadis yang dirawikan oleh Bukhari dari Aisyah, – moga-moga
Allah meridhainya – bahwa Nabi SAW pada satu waktu telah mengirim siryah (patroli) ke suatu
tempat. Pemimpin patroli itu tiap-tiap sembahyang yang menjahar menutupnya dengan membaca
“Qul Huwallaahu Ahad.” Setelah mereka kembali pulang, mereka khabarkanlah perbuatan
pimpinan mereka itu kepada Nabi SAW. Lalu Nabi SAW berkata: “Tanyakan kepadanya apa
sebab dia lakukan demikian.” Lalu mereka pun bertanya kepadanya, (mengapa selalu ditutup
dengan membaca “Qul Huwallaahu Ahad”).

Dia menjawab: “Itu adalah sifat dari Tuhan Yang Bersifat Ar-Rahman, dan saya amat senang
membacanya.”

Mendengar keterangan itu bersabdalah Nabi SAW: “Katakanlah kepadanya bahwa Allah pun
senang kepadanya.”
Dan terdapatlah juga beberapa sabda Rasul yang lain tentang kelebihan Surat Al-Ikhlas ini.
Banyak pula Hadis-hadis menerangkan pahala membacanya. Bahkan ada sebuah Hadis yang
diterima dari Ubay dan Anas bahwa Nabi SAW pernah bersabda:

“Diasaskan tujuh petala langit dan tujuh petala bumi atas Qul Huwallaahu Ahad.”

Betapa pun derajat Hadis ini, namun maknanya memang tepat. Al-Imam Az-Zamakhsyari di
dalam Tafsirnya memberi arti Hadis ini: “Yaitu tidaklah semuanya itu dijadikan melainkan untuk
menjadi bukti atas mentauhidkan Allah dan mengetahui sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam
Surat ini.”

Diriwayatkan oleh Termidzi dari Abu Hurairah, berkata dia: “Aku datang bersama Nabi SAW
tiba-tiba beliau dengar seseorang membaca “Qul Huwallaahu Ahad”. Maka berkatalah beliau
SAW: “Wajabat” (Wajiblah). Lalu aku bertanya: “Wajib apa ya Rasul Allah?” Beliau menjawab:
“Wajib orang itu masuk syurga.” Kata Termidzi Hadis itu Hasan (bagus) dan shahih.

You might also like