Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh:
Raisha Triasari
N 111 17 136
Pembimbing Klinik :
dr. Imtihanah Amri, M.Kes, Sp. An
Anastesi umum adalah tindakan yang dilakukan dengan cara menghilangkan nyeri
sentral, disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversibel. Pada anastesi
umum harus memenuhi beberapa hal yaitu: hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot yang
diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan
pembedahan, stabilisasi otonom. 1
Pengelolaan jalan napas (airway) menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam
suatu tindakan anastesi. Hal ini disebabkan oleh beberapa efek dari obat-obatan yang
dipergunakan dalam anastesi dapat mempengaruhi keadaan jalan nafas untuk berjalan dengan
baik. 2
Penemuaan dan pengembangan “Laryngeal Mask Airway” (LMA) oleh seorang ahli
anastesi berkebangsaan Inggris dr. Archie Brain telah memberikan dampak yang luas dan
bermakna dalam praktek anastesi, penanganan airway yang sulit, dan resusitasi
kardiopulmonar. LMA telah mengisi kekosongan antara penggunaan “face mask” dengan
intubasi endotracheal. LMA memberikan ahli anastesi alat baru penanganan airway yaitu
jalan nafas supraglotik, sehingga saat ini dapat digolongkan menjadi tiga golongan yaitu: (1)
jalan nafas pharyngeal, (2) jalan nafas supraglotik, dan (3) jalan nafas intratracheal. Ahli
anastesi mempunyai variasi yang lebih besar untuk penanganan jalan nafas sehingga lebih
dapat disesuaikan dengan kondisi tiap-tiap pasien, jenis anastesi, dan prosedur pembedahan. 3
LMA atau sungkup laring menjadi sangat populer dalam beberapa dekade terakhir ini.
Penggunaan sungkup laring mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan penggunaan
intubasi endotracheal dan sungkup muka. Salah satu yang menjadi kelemahan penggunaan
sungkup muka adalah tidak dapat melindungi jalan nafas dari kemungkinan regurgitasi isi
lambung. Dalam pemasangannya, sungkup laring tidak memerlukan laringoskop, tidak perlu
pemberian pelumpuh otot, tidak merusak pita suara, respon kardiovaskuler sangat rendah
dibanding intubasi endotracheal. 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
b. Faring
Faring meluas dari bagian belakang hidung turun ke kartilago krikoid
berlanjut sampai esofagus. Bagian atas atau nasofaring dipisahkan dengan
orofaring dibawahnya oleh jaringan palutum mole. Prinsip kesulitan udara melintas
melalui nasofaring karena menonjolnya struktur jaringan limfoid tonsiler. Lidah
adalah sumber dari obstruksi pada orofaring, biasanya karena menurunnya
tegangan muskulus genioglosus, yang bila berkontraksi berfungsi menggerakkan
lidah kedepan selama inspirasi dan berfungsi sebagai dilatasi faring.1
c. Trakea
Trakea adalah sebuah struktur berbentuk tubulus yang mulai
setinggi servikal 6 columna vertebralis pada level kartilago tiroid. Trakea mendatar
pada bagian posterior, panjang sekitar 10-15 cm, didukung oleh 16-20 tulang
rawan yang berbentuk tapal kuda sampai bercabang menjadi dua atau bifurkasio
menjadi brongkus kanan dan kiri pada thorakal kolumna vertebrali. Luas
penampang melintang lebih besar dari glotis, antara 150 – 300 mm2. Beberapa tipe
reseptor pada trakea, sensitif terhadap stimulus mekanik dan kimia. Penyesuaian
lambat reseptor regang yang berlokasi pada otot-otot dinding posterior, membantu
mengatur rate dan dalamnya pernafasan, tetapi juga menimbulkan dilatasi pada
bronkus melalui penurunan aktivitas afferen nervus vagus. Respon cepat resptor
iritan yang berada pada seluruh permukaan trakea berfungsi sebagai reseptor batuk
dan mengandung reflek bronko kontriksi.1
Tujuan evaluasi jalan napas adalah untuk menghindari gagalnya penanganan jalan
napas dengan menerapkan cara alternatif pada pasien yang diduga akan sulit diventilasi
dan/atau diintubasi. Kesulitan mask ventilation terjadi bila terdapat penutupan yang
inadekuat antara wajah pasien dan mask, terdapat kebocoran oksigen dari face mask, atau
terdapat resistensi aliran masuk (inflow) atau aliran keluar (outflow) oksigen yang
berlebihan. Kesulitan laringoskopi terjadi bila tidak ada bagian glotis yang terlihat setelah
usaha laringoskopi dilakukan banyak kali.4
Pasien dianggap memiliki kesulitan jalan napas jika anestesiolog mengalami
kesulitan untuk memberikan ventilasi dengan facemask pada jalan napas bagian atas,
kesulitan mengintubasi trakea, atau keduanya.4
Untuk memperkirakan adanya kesulitan mask ventilation atau kesulitan intubasi
endotrakea, setiap pasien yang menerima perawatan anestesi harus menjalani anamnesis
dan pemeriksaan fisis jalan napas yang komprehensif. Pasien harus ditanyai mengenai
komplikasi jalan napas pernah terjadi sewaktu dianestesi dulu. Riwayat trauma selama
penanganan jalan napas sebelumnya pada bibir, gigi, gusi, atau mulut pasien dapat
menandakan adanya kesulitan jalan napas. Demikian pula halnya, jika pasien
memberitahukan bahwa dilakukan usaha yang berkali-kali untuk “memasukkan selang
pernapasan” atau bahwa ia “terbangun” pada intubasi sebelumnya, maka harus
dipertimbangkan adanya kesulitan jalan napas.4
Kondisi medis yang biasanya meramalkan adanya kesulitan jalan napas antara lain
riwayat trauma atau operasi wajah baru-baru ini atau pada masa lampau, artritis reumatoid,
hamil, epiglotitis, perlengketan servikal sebelumnya, massa leher, Down’s syndrome, dan
sindrom genetik lainnya seperti Treacher-Collins dan Pierre-Robin yang berkaitan dengan
kelainan wajah. Dengan anamnesis yang positif, maka harus ditinjau dokumentasi
mengenai penanganan jalan napas sebelumnya.4
Pemeriksaan yang paling sering dilakukan untuk mengevaluasi pasien untuk
menemukan adanya kesulitan intubasi adalah penentuan sesuatu yang disebut Kelas
Mallampati (Mallampati Class). Sistem klasifikasi ini, pertama kali dikembangkan pada
tahun 1985, digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi menilai secara fungsional
rasio ukuran lidah seseorang terhadap rongga mulutnya. 5
Meningkatnya kesulitan melakukan laringoskopi direk dihubungkan dengan hasil
pemeriksaan Kelas Mallampati III dan IV. Meskipun suatu prediktor yang mencurigai
adanya kesulitan penanganan jalan napas mungkin saja penting secara klinis, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan yang lebih banyak dan lebih prediktif melalui skrining berbagai
prediktor pada setiap pasien.5
b. Face Mask
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas
anestesi dari sistem pernapasan ke pasien dengan pemasangan face mask yang
rapat. Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien.6
Kebanyakan jalan napas pasien dapat dipertahankan dengan face mask dan
oral atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat
menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Bila
face mask dan ikatan masker digunakan dalam jangka lama maka posisi harus
sering dirubah untuk menghindari cedera. Hindari tekanan pada mata, dan mata
harus diplester untuk menghindari resiko aberasi kornea.6
c. Intubasi Endotrakeal
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakeal adalah untuk
membersihkan saluran tracheobronchial, mempertahankan jalan napas agar tetap
paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan
oksigenasi bagi pasien operasi. Intubasi endotrakeal diindikasikan pada berbagai
keadaan saat sakit ataupun pada prosedur medis untuk mempertahankan jalan
napas seseorang, pernapasan, dan oksigenasi darah. Pada cakupan tersebut,
tambahan oksigen yang menggunakan face mask sederhana masih belum
adekuat.7
LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian
proksimal dihubungkan dengan sirkuit napas dengan konektor berukuran 15 mm, dan
dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat pipa.
Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara membuta ke
hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di muara
laring. Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk
memasukan oral airway.6
Gambar 2. Bagian – bagian LMA
LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau ETT.
Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya abses),
sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau
komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan napas) yang memerlukan
tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O.6
Tabel 2. Perbandingan LMA, Facemask, dan ETT
d. Flexible LMA
Bentuk dan ukuran mask nya hampir menyerupai cLMA, dengan airway
tube terdapat gulungan kawat yang menyebabkan fleksibilitasnya meningkat yang
memungkinkan posisi proximal end menjauhi lapang bedah tanpa menyebabkan
pergeseran mask. Berguna pada pembedahan kepala dan leher, maxillo facial
danTHT. fLMA memberikan perlindungan yang baik terhadap laring dari sekresi
dan darah yang ada diatas fLMA. Populer digunakan untuk pembedahan nasal dan
pembedahan intraoral, termasuk tonsilektomy. Airway tube fLMA lebih panjang
danlebih sempit, yang akan menaikkan resistensi tube dan work of breathing.9
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 3. (a) LMA Classic®; (b) LMA Flexible®; (c) Intubating Laryngeal
Mask Airway®; (e) LMA ProSeal®
diri
b. Kontraindikasi 10
1. Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung (penggunaan pada
emergency adalah pengecualian).
2. Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan, karena
seal yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran
pada tekanan inspirasi tinggi dan akan terjadi pengembangan lambung.
Tekanan inspirasi puncak harus dijaga kurang dari 20 cm H2O untuk
meminimalisir kebocoran cuff dan pengembangan lambung.
3. Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu
lama.
4. Pasien-pasien dengan refleks jalan nafas atas yang intack karena insersi dapat
memicu terjadinya laryngospasm.
c. Efek Samping 10
Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri tenggorok,
dengan insidensi 10% dan sering berhubungan dengan over inflasi cuff LMA.
Efek samping yang utama adalah aspirasi.
Propofol merupakan agen induksi yang paling tepat karena propofol dapat
menekan refleks jalan napas dan mampu melakukan insersi cLMA tanpa batuk
atau terjadinya gerakan. Introduksi LMA ke supraglotis dan inflasi cuff akan
menstimulasi dinding faring dan akan menyebabkan
peningkatan tekanan darah dan nadi. Perubahan kardiovaskuler setelah insersi
LMA dapat ditumpulkan dengan menggunakan dosis besar propofol yang
berpengaruh pada tonus simpatis jantung.3
Setelah insersi, patensi jalan nafas harus di test dengan cara mem-
bagging dengan lembut. Perlu diingat, cuff cLMA menghasilkan sekat
bertekanan rendah sekitar laryng dan tekanan jalan nafas diatas sekat ini akan
menyebabkan kebocoran gas anestesi dari jalan nafas. Dengan lembut, ventilasi
tangan akan menyebabkan naiknya dinding dada tanpa adanya suara ribut pada
jalan napas atau kebocoran udara yang dapat terdengar. Saturasi oksigen harus
stabil. Jika kantung reservoir tidak terisi ulang kembali seperti normalnya, ini
mengindikasikan adanya kebocoran yang besar atau obstruksi jalan nafas yang
partial, jika kedua hal tadi terjadi maka cLMA harus dipindahkan dan di insersi
ulang.9
e. Teknik Ekstubasi
Pada akhir pembedahan, cLMA tetap pada posisinya sampai pasien
bangun dan mampu untuk membuka mulut sesuai perintah, dimana refleks
proteksi jalan napas telah normal pulih kembali. Melakukan penghisapan pada
faring secara umum tidak diperlukan dan malah dapat menstimuli dan
meningkatkan komplikasi jalan nafas seperti laryngospasm. Saat pasien dapat
membuka mulut mereka, cLMA dapat ditarik. Kebanyakan sekresi akan terjadi
pada saat–saat ini dan adanya sekresi tambahan atau darah dapat dihisap saat
cLMA ditarik jika pasien tidak dapat menelansekret tersebut.9
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri pada kaki kiri
Riwayat Penyakit Sekarang :
Seorang pasien datang dengan keluhan nyeri pada kaki kiri setelah jatuh
ditabrak motor pada pukul 15.30 sore hari, posisi jatuh lupa, luka lecet ditangan kiri
ukuran 9x0,5 cm.
Demam (-), sesak (-), muntah (-), nyeri menelan (-) dan gangguan menelan (-).
o Riwayat alergi (-)
o Riwayat asma (-)
o Riwayat penyakit jantung (-)
o Riwayat penyakit berat lainnya (-)
o Riwayat anestesi (-)
Riwayat penyakit keluarga:
o Riwayat penyakit paru (-)
o Riwayat penyakit jantung (-)
o Riwayat penyakit diabetes melitus (-)
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
Kesadaran : Compos mentis (GCS E4 V5 M6)
Berat Badan : 21 kg
Status Gizi : Gizi Baik
Pernafasan : 24 kali/menit
Nadi : 96 kali/menit
TD : 90/70 mmHg
Suhu : 36o C
a. B1 (Breath)
Airway bebas, gurgling/snoring/crowing: (-/-/-), potrusi mandibular (-), buka mulut 5
cm, jarak mentohyoid 4 cm, jarak hyothyoid 4 cm, leher pendek (-), gerak leher bebas,
tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-), frekuensi pernapasan 24 kali/menit, suara
pernapasan : bronkovesikular (+/+), suara pernapasan tambahan ronchi (-/-),wheezing
(-/-), skor Mallampati score 1, massa (-), gigi ompong (-), gigi palsu (-).
b. B2 (Blood)
Akral hangat, ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah (+/+), tekanan darah
90/70 mmHg, denyut nadi 96 kali/menit, bunyi jantung S1/S2 murni regular.
c. B3 (Brain)
Kesadaran composmentis, pupil isokor 2mm/2mm, refleks cahaya (+/+), anemis (-/-),
ikterik (-/-).
d. B4 (Bladder)
BAK (+) spontan.
e. B5 (Bowel)
Abdomen tampak datar, peristaltik (+) kesan normal, timpani (+) diseluruh kuadran
abdomen, nyeri tekan (-).
3.7 Penatalaksanaan
Rencana operasi ORIF
3.9 Di Ruangan
- Surat persetujuan tindakan operasi (+), surat persetujuan tindakan anestesi (+)
- Puasa selama 8 jam preoperasi
3.10 Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka:
Diagnosis Pre Operatif : Fraktur os Tibia-Fibula pro ORIF
Status Operatif : ASA I, Mallampati I
Jenis Anastesi : General Anestesi
3.12 Preinduksi
B3 (Brain)
Kesadaran composmentis, pupil isokor 2mm/2mm, refleks cahaya (+/+), anemis (-/-),
ikterik (-/-).
B4 (Bladder)
BAK (+) spontan.
B5 (Bowel)
Abdomen tampak datar, peristaltik (+) kesan normal, timpani (+) diseluruh kuadran
abdomen, nyeri tekan (-).
IVFD RL 150 ml
Sevoflurance 2 vol %
Petidin 1 mg
Propofol 30 mg
Perhitungan Cairan
a. Input yang diperlukan selama operasi :
1. Cairan Maintanance (M) : 21 kg x 35 = 735 = 30,6 cc/jam
2. Cairan Defisit Pengganti Puasa (P) :
8 x 30,6 = 244,8 ml
244,8 ml - 150 = 94,8 ml
3. Stress operasi sedang : 4 ml x 21 kg = 84 cc/jam
4. Cairan defisit darah selama operasi : 200 ml x 3 = 600 ml
Untuk mengganti kehilangan darah 200 ml diperlukan 600 ml cairan
kristaloid
Total kebutuhan cairan selama 2 jam 5 menit operasi : 30,6 + 94,8 + 84 + 600 =
809 ml.
Pasien, An. N, 10 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi ORIF pada
tanggal 31 Januari 2019 dengan diagnosis pre operatif Tibia-Fibula Sinistra pro ORIF. Pada
anamnesis didapatkan riwayat fraktur tibia-fibula sinistra, dan pasien tidak memiliki riwayat
menjalani operasi dan anestesi sebelumnya.
Pada pasien ini, sebelumnya telah dilakukan informed consent terhadap orang tua
pasien terkait tindakan yang diberikan beserta konsekuensinya. Kemudian dilakukan
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan hematologi
rutin untuk mengetahui ada tidaknya gangguan perdarahan serta dilakukan juga pemeriksaan
uji imunoserologi HbsAg.
Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 90/70 mmHg; nadi
96x/menit; respirasi 24x/menit; suhu 36OC. Dari pemeriksaan laboratorium hematologi,
WBC 13 g/dL, RGB 3,9 g/dL, HGB 11,3 g/dL, HCT 32 %, GDS 110 mg/dL, dan HbsAg
(non reaktif). Pasien juga tidak memiliki riwayat penyakit berat, alergi, dan dapat
berkomunikasi serta beraktivitas dengan normal. Dengan keadaan tersebut, pasien termasuk
dalam kategori ASA I. Adapun pembagian kategori ASA adalah:
Pada pasien ini, pemeriksaan fisik ataupun laboratorium tidak menunjukkan adanya
gangguan yang dapat menjadi kontraindikasi dilakukannya tindakan.
Pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis general anestesi. Adapun indikasi
dilakukan general anestesi adalah karena pada kasus ini diperlukan hilangnya kesadaran, rasa
sakit, amnesia dan mencegah resiko aspirasi dengan menggunakan premedikasi. Teknik
anestesinya dengan pemasangan LMA nomor 2,5.
Selama operasi juga perlu dimonitoring kebutuhan cairan, dimana perkiraan berat
badan pasien adalah 21kg, maka estimated blood volume = 21kg x 65cc = 1.365 cc (estimated
blood volume pada perempuan 65cc/kgBB). Jumlah perdarahan yang terjadi durante operasi
adalah sekitar ± 200 cc (14,65 %). Pemberian transfusi darah diberikan sesuai dengan
banyaknya darah yang hilang. Diberikan apabila terjadi kehilangan darah 15-20% EBV. Pada
pasien ini didapatkan EBV sekitar 14,65% sehingga tidak dilakukan pemberian transfusi
darah.
Kebutuhan cairan maintenance pada pasien ini 30,6 cc/jam ditambah cairan defisit
pengganti puasa 94,8 ml. Ditambah stress operasi (sedang) 84 cc/jam, ditambah perdarahan
200 cc (200 cc darah diganti dengan 600 ml cairan kristaloid). Sehingga total kebutuhan
cairan durante operasi adalah 809 ml.
Selama operasi pasien diberikan obat golongan analgetik narkotik berupa petidin 1
mg, propofol 30 mg, dan analgetik ketorolac 30 mg.
Setelah masa pasca bedah, pasien perlu mendapatkan pemantauan di ruang pulih
sadar. Masalah pulih sadar pada anastesi tidak hanya dinilai asal pasien telah sadar, tetapi ada
beberapa hal penting yang perlu diperhatikan. Selama di ruang pemulihan, didapatkan pada
pasien jalan napas dalam keadaan baik, pernapasan spontan dan adekuat serta kesadaran
composmentis.
BAB V
KESIMPULAN
Pasien An. N umur 10 tahun dengan diagnosis fraktur tibia-fibula sinistra pro ORIF
menjalani tindakan open reduction internal fixation (ORIF) dengan status fisik ASA I dan
skor mallampati 1. Teknik anestesi yang dipilih adalah anestesi general (umum) dengan
LMA, respirasi spontan.
Anestesi general tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara menghilangkan nyeri
secara sentral, disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau
reversibel. Laryngeal Mask Airway (LMA) atau sungkup laring adalah alat bantu pernapasan
(penanganan jalan nafas) yang dimasukkan kedalam laring.
Selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi
maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang
memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi
berlangsung dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA. Dahlan, M.R. Anestesiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007.
2. Thomas J Gal. Airway Management in Miller’s Anesthesia, Chapter 42, Elsivier: 2005:
page 1617.
3. Turan et al.Comparison of the laryngeal mask (LMA) and laryngeal tube (LT) with the
new perilaryngeal airway (CobraPLA) in short surgical procedures. EJA 2006; 23: 234 –
238
4. ASA. 2013.Practice Guidelines for Management of the Difficult Airway. The American
Society ofAnesthesiology. V 118. No. 2. P. 1-2.
5. Gwinnutt CL. Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3. Penerbit EGC: Jakarta. 2014.
6. Orebaugh SL. Atlas Of Airway Management Techniques and Tools. Philadelphia:
Lippincott, Williams, and Wilkins. 2007.
7. Dobson MB. 2012. Penuntun Praktis Anestesi. Penerbit EGC: Jakarta
8. Verghese C, Brimacombe JR.Survey of Laryngeal mask airway usage in 11910 patients:
safety and efficacy for conventional and nonconventional usage. Anesth Analg 1996; 82:
129 – 133
9. Tim Cook, Ben Walton. The Laryngeal Mask Airway. In: Update inAnaesthesia: 32 – 42
10. Peter F Dunn.Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital.
Lippincot Williams & Wilkins. 2007 : 213 -217