You are on page 1of 9

ANALISA KASUS 4

Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Disaster Nursing


Dosen Pengampu : Ns. Dody Setyawan S.Kep

Disusun Oleh :
A.16-1 Kelompok 8

Tyas Widi Rahayu 22020116130088


Sabilla Sanriza Suprapto 22020116130097
Musdalifah Choirumdani 22020116130100
Nur Anisa Ur Rosyada 22020116130096

DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2018

Kasus 4
Dua bulan yang lalu telah terjadi bencana letusan gunung berapi di daerah M.
Gunung tersebut terakhir kali meletus adalah sekitar 100 tahun yang lalu. Proses
evakuasi dan tanggap darurat telah selesai dan sekarang memasuki tahap pasca
bencana. Terdapat laporan bahwa banyak masyarakat mengalami keluhan fisik yang
tidak ditemukan gangguan fisiknya. Berdasarkan pengkajian lebih lanjut, warga
masyarakat menyatakan bingung dan putus asa serta tidak tahu apa yang harus
dilakukan setelah kehilangan rumah dan harta bendanya, mereka cenderung
menyampaikan pengandaian terkait kejadian sebelum bencana.

PERTANYAAN UNTUK DISKUSI


1. Masalah kesehatan mental apa yang dialami korban bencana pada kasus di atas?
2. Lengkapilah data pengkajian sesuai dengan masalah kesehatan mental yang
dialami
3. Apa intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kesehatan mental
tersebut?
4. Apa strategi trauma healing yang dapat diterapkan pada korban bencana tersebut
dan jelaskan?

1. Masalah Kesehatan Mental Korban Bencana


I. DIAGNOSA MEDIS

Berdasarkan kasus diatas masalah mental yang muncul adalalah Post


traumatic stress disorder (PTSD) merupakan gangguan kecemasan yang dapat
terjadi setelah mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa traumatis.
PTSD dapat terjadi secara akut (gejala berlangsung < 3 bulan), kronis (gejala
berlangsung > 3 bulan), atau onset tertunda (selang 6 bulan dari acara untuk
onset gejala). Banyak korban menunjukkan gejala terjadinya PTSD segera
sesudah terjadinya bencana, sementara sebagian lainnya baru berkembang
gejala PTSD beberapa bulan ataupun beberapa tahun kemudian. Pada
sebagian kecil orang, PTSD dapat menjadi suatu gangguan kejiwaan yang
kronis dan menetap beberapa puluh tahun bahkan seumur hidup.
 Gejala utama PTSD terbagi menjadi tiga, yaitu:
a. Re-experience phenomena
1. Munculnya kembali perasaan tertekan atau terancam baik dalam
imajinasi, pikiran ataupun persepsi.
2. Munculnya mimpi-mimpi yang menakutkan.
3. Adanya reaksi psikologis yang merupakan simbol/ terkait dengan
peristiwa trauma.
4. Adanya reaksi fisik yang merupakan simbol/ terkait dengan peristiwa
trauma.
b. Avoidance or numbing reaction
1. Menghindari pikiran, perasaan atau pembicaraan yang
berkaitan dengan peristiwa traumatic.
2. Menghindari kegiatan, tempat atau orang-orang yang terkait dengan
trauma
3. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari trauma.
4. Berkurangnya minat atau partisipasi dalam kegiatan yang terkait.
5. Kekakuan perasaan atau ketidakmampuan mengekspresikan perasaan
seperti kasih sayang.
6. Kehilangan harapan seperti tidak memiliki minat terhadap karir,
perkawinan, keluarga atau kehidupan jangka panjang.
c. Symptoms of increased arousal : peningkatan gejala distress
Adapun kriterianya adalah :
1. Seseorang biasanya mengalami atau dihadapkan pada ancaman yang
serius termasuk bencana, kematian, kecelakan luar biasa, ancaman
fisik terhadap diri maupun orang lain.
2. Individu mengalami kondisi ketakutan, tidak berdaya dan selalui
dihantui oleh peristiwa tersebut. Pada kasus anak sering terjadi
perilaku yang disorganized atau agitasi. Jika kedua kriteria
tersebut muncul maka dapat dilakukan pengelompokan gejala
kedalam tiga gejala utama tadi.
 Fase-fase PTSD

Fase-fase keadaan mental pasca bencana:


a. Fase kritis
Fase dimana terjadi gangguan stres pasca akut (dini/cepat) yangmana
terjadi selama kira-kira kurang dari sebulan setelah menghadap
bencana. Pada fase ini kebanyakan orang akan mengalami gejala-gejala
depresi seperti keinginan bunuh diri, perasaan sedih mendalam, susah
tidur,dan dapat juga menimbulkan berbagai gejala psikotik.
b. Fase setelah kritis
Fase dimana telah terjadi penerimaan akan keadaan yang
dialami dan penstabilan kejiwaan, umumnya terjadi setelah 1 bulan
hingga tahunan setelah bencana, pada fase ini telah tertanam
suatu mindset yang menjadi suatu phobia/trauma akan suatu
bencana tersebut (PTSD) sehingga bila bencana tersebut terulang lagi,
orang akan memasuki fase ini dengan cepat dibandingkan
pengalaman terdahulunya.
c. Fase stressor
Fase dimana terjadi perubahan kepribadian yang
berkepanjangan (dapat berlangsung seumur hidup) akibat dari suatu
bencana dimana terdapat dogma “semua telah berubah”

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Diagnosa keperawatan yang sesuai dengan kasus di atas yaitu : sindrom
pascatrauma (00141)

2. Data Pengkajian Sesuai Masalah Kesehatan Mental


NO. Data pengkajian Diagnosa keperawatan

1. Data subjektif Sindrom pascatrauma (00141)

 Warga mengatakan
bahwa warga merasa
bingung dan putus asa

 Warga mengatakan
bahwa warga tidak
mengetahui apa yang
harus warga lakukan
setelah mengalami
kehilangan rumah dan
harta bendanya

 Banyak warga yang


mengatakan,
“seandainya sebelum
kejadian saya sudah
mempersiapkan
semua kemungkinan
yang terjadi, pasti
saya tidak akan
seputus asa ini”

Data objektif

 Warga terlihat sedih,


murung, dan tidak
melakukan aktivitas
apa-apa

 Banyak warga yang


hanya terlihat
mondar-mandir saja di
tempat pengungsian
karena tidak tau apa
yang harus warga
lakukan

 Warga cenderung
melakukan berbagai
macam pengandaian
sebagai wujud rasa
sedih yang dialami

3. Intervensi untuk sindrom pascatrauma


Ada beberapa intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk menangani
pasien dengan sindrom pascatrauma bencana bebrapa di antaranya yaitu :
a) Play Therapy sebagai model intervensi bagi anak korban bencana yang
mengalami PTSD
Terapi bermain ini berguna dalam memberikan terapi pada anak yang
mengalami PTSD. Biasanya terapis memakai permainan untuk memulai topik yang
tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasakan
nyaman dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya (Nawangsih, 2014).
Axline (1947), menjelaskan bahwa penggunaan play therapy dilakukan
dengan alasan bahwa bermain adalah media yang alami yang dapat digunakan anak
untuk meng-ungkapkan dirinya. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa bermain sebagai
bahasa simbolik anak yang bersifat alami untuk menyatakan emosi dan pengalaman-
pengalaman sehari-hari, bahkan bermain adalah proses penyembuhan diri anak.
Dengan demikian bermain dapat membantu upaya menjalin hubungan dengan anak,
membangun konsentrasi anak, meningkatkan kesehatan dan perkembangan anak
(Nawangsih, 2014).
Langkah-langkah dalam melakukan intervensi Play Therapy
a. Langkah pertama
Menyediakan permainan yang digemari oleh anak
b. Langkah pertengahan
Menyediakan sarana bermain anak agar dapat mengekspresikan berbagai
perasaan yang dialami oleh anak dengan cara melibatkan diri pada aktivitas
yang sedang dilakukan anak kemudian lakukan ekspolrasi terhadap aktivitas
yang dilakukan oleh anak. Misalnya, melalui menggambar anak akan
mengekspresikan suasana emosinya, bercerita, dan lain sebagainya
c. Langkah akhir
Yang perlu diperhatikan dalam langkah terakhir ini adalah dengan melihat
bagaimana kemajuan yang dialami anak terhadap bentuk perilaku yang
dilakukan oleh anak. Pada langkah ini biasanya ditandai dengan anak mampu
mengekspresikan atau menyatakan simbolik secara minimal dengan cara anak
mampu berkespresi terhadap emosinya secara lisan bahkan mampu
melibatkan atau menunjukkan kreativitasnya dalam seni atau perilaku lainnya
secara positif (Nawangsih, 2014).
b) Mindfulness based cognitive therapy (MBCT)
Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT), terapi ini merupakan
kombinasi terapi kognitif dengan teknik meditasi dan pengembangan
mindfulness, yang dikembangkan oleh Segal, Williams dan Teasdale (2000).
Penelitian dilakukan untuk menyelidiki apakah memori otobiografi bisa
dipengaruhi oleh perawatan psikologis. Keuntungan dari terapi ini yaitu dapat
mengatasi stress, kekambuhan depresi, gangguan kecemasan, dan gangguan
makan (Gamayanti & Wulandari, 2014).
Terbentuknya konsep diri yang negatif pada remaja yang diakibatkan
dari trauma peristiwa erupsi gunung merapi seperti yang dialami subjek,
diharapkan mampu dibentuk kembali menjadi konsep diri yang positif dengan
sebuah terapi. Salah satunya dengan menggunakan terapi melalui metode
MBCT (Mindfulness Based Cognitive Therapy). Peneliti memilih
menggunakan Mindfulness Based Cog nitive Therapy dikarenakan pada terapi
ini tidak hanya diajarkan restrukturisasi kognitif saja tapi juga diajarkan untuk
lebih peka dengan kesadaran penuh mengenali dan menerima hal-hal yang
berkaitan dengan pikiran dan perasaan subjek baik itu positif maupun negatif
serta lebih memfokuskan ke keadaan saat ini (Gamayanti & Wulandari, 2014).
Komponen yang ada pada MBCT sendiri melatihkan individu untuk
membangun kesadaran dirinya dari dalam hingga ke luar yang berkaitan
dengan lingkungan di luar dirinya. Fokus pada perubahan perhatian subjek
hingga pada pikiran-pikiran negatif subjek termasuk di dalamnya fokus
terhadap perasaan dan sensasi tubuh yang menyertai dan bagaimana subjek
mampu mengatasinya. Penelitian ini sendiri bertujuan untuk meningkatkan
konsep diri positif pada remaja korban luka dan riwayat PTSD akibat erupsi
merapi 2010 dengan menggunakan metode Mindfulness Based Cognitive
Therapy (Gamayanti & Wulandari, 2014).
c) Spiritual emotional freedom technique atau disingkat dengan SEFT
Salah satu penanganan psikologis yang dapat dilakukan untuk
mengatasi gangguan stres pasca trauma erupsi gunung Merapi adalah dengan
intervensi spiritual emotional freedom technique atau yang disingkat dengan
SEFT.
Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) yaitu suatu teknik
yang menggabungkan antara spiritualitas berupa do’a, keikhlasan dan
kepasrahan dengan energi psikologi berupa seperangkat prinsip dan teknik
memanfaatkan sistem energi tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi
dan perilaku melalui tiga teknik sederhana yaitu set-up, tunein dan
taping(Ulfah, 2013) .
Set-up adalah langkah awal yang dilakukan dalam intervensi SEFT
yang bertujuan untuk menetralisir perlawanan psikologis (psychological
reversal) berupa pikiran negatif dengan melakukan dua aktivitas yaitu
mengucapkan kalimat do’a (setup words) seperti “Ya Allah (Ya Tuhan),
meskipun saya merasa cemas erupsi gunung Merapi terjadi lagi, saya ikhlas
menerima perasaan ini, saya pasrahkan ketenangan jiwaku pada-Mu”.
Kalimat do’a ini diucapkan sebanyak tiga kali sambil menekan dada tepatnya
di bagian sore spot (titik nyeri yang terletak di sekitar dada atas sebelah kiri,
yang jika ditekan terasa sakit) atau mengetuk dengan dua ujung jari di bagian
karate chop (bagian yang biasa digunakan untuk mematahkan balok saat
karate, yang terletak di samping telapak tangan) (Ulfah, 2013)
Tune-in adalah merasakan sakit yang dialami subjek akibat kejadian
traumatis erupsi gunung Merapi dan menerimanya dengan ikhlas dan pasrah.
Kemudian memikirkan atau membayangkan kejadian traumatis erupsi gunung
Merapi yang dapat membangkitkan emosi negatif yang ingin dihilangkan.
Ketika terjadi reaksi negatif seperti cemas, sedih, marah, dan takut, maka
ucapkan dalam hati dan mulut “Ya Allah (Ya Tuhan) saya ikhlas saya pasrah”
(Ulfah, 2013) .
Tapping adalah mengetuk ringan dengan dua ujung jari pada titik-titik
tertentu di tubuh sambil terus melakukan tune-in. Ketukan ringan ini
bertujuan untuk menetralisir gangguan emosi atau rasa sakit yang dirasakan
sehingga aliran darah dalam tubuh berjalan dengan lancar dan seimbang
(Ulfah, 2013) .

DAFTAR PUSTAKA

Nanda International Inc, diagnosis keperawatan: definisi & klasifikasi 2015-2017 /


editor, T. Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru ; alih bahasa, Budi Anna Keliat
… [et al.]. ; editor penye;aras, Monica Ester. - Ed. 10. - Jakarta : EGC, 2015.
Gamayanti & Wulandari. (2014). Mindfulnes Based Cognitive Therapy untuk
Meningkatkan Konsep Diri Remaja Post-Traumatic Stress Disorder. Jurnal
Intervensi Psikologi Vol 6 No.2
Nawangsih, Endah. (2014). Play Therapy Untuk anak-anak Korban Bencana Alam
Yang Mengalami Trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD). Psymphatic
Jurnal Ilmiah Psikologi.
Rasmun. 2001. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan
Keluarga. Edisi Pertama. Jakarta : CV Sagung Seto.
Ulfah , E. (2013). Intervensi Spiritual Emotional Freedom Technique Untuk
Menurunkan Gangguan Stres Pasca Trauma Erupsi Gunung Merapi.
Psychology.

You might also like