You are on page 1of 23

REFERAT

Tuberculosis Paru pada Anak

Dokter Pembimbing

dr. Suhesti, SpA

Disusun Oleh

Billy Danarto 11.2016.317

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ILMU PENYAKIT KANDUNGAN


RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN UDARA dr. ESNAWAN ANTARIKSA
PERIODE 11 DESEMBER – 16 FEBRUARI 2018
FAKULTAS KEDOKTERA UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JAKARTA
Pendahuluan

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebutdengan TB
paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalamtubuh, dan TB jenis
ini lebih berbahaya dari TB paru. Tuberkulosis anak mempunyaipermasalahan khusus yang
berbeda dengan orang dewasa. Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah
diagnosis, pengobatan, pencegahan serta TB dengankeadaan khusus.
World Health Organization memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi
yang paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa. Data TB Anak
Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB pada tahun 2010
adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Berbeda
dengan TB dewasa, gejala TB anak sering kali tidak khas. Diagnosispasti ditegakkan dengan
menemukan kuman TB. Pada anak, sulit didapatkan specimen diagnostik yang dapat dipercaya.
Tata laksana medikamentosa TB Anak terdiri atas terapi (pengobatan) dan
profilaksis (pengobatan pencegahan). Pengobatan TB diberikan pada anak yang sakit TB,
sedangkan pengobatan pencegahan TB diberikan pada anak sehat yang berkontak dengan pasien
TB (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
Epidemiologi

Menurut WHO sepertiga penduduk dunia telah tertular TB, tahun 2000 lebih dari 8 juta
penduduk dunia menderita TB aktif. Penyakit TB bertanggung jawab terhadap kematian hampir
2 juta penduduk setiap tahun, sebagian besar terjadi di negara berkembang. World Health
Organization memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak
menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa. Kematian akibat TB lebih banyak daripada
kematian akibat malaria dan AIDS. Pada wanita kematian akibat TB lebih banyak dari pada
kematian karena kehamilan, persalinan, dan nifas. Menurut perkiraan antara tahun 2000–2020
kematian karena TB meningkat sampai 35 juta orang. Setiap hari ditemukan 23.000 kasus TB
aktif dan TB menyebabkan hampir 5000 kematian. Total insidens TB selama 10 tahun, dari
tahun 1990- 1999 diperkirakan 88,2 juta dan 8 juta di antaranya berhubungan dengan infeksi
HIV. Pada tahun 2000 terdapat 1,8 juta kematian akibat TB 226.000 di antaranya berhubungan
dengan HIV.1,2 Setiap tahun didapatkan 250.000 kasus TB baru di Indonesia dan kira-kira
100.000 kematian karena TB. Tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor satu diantara
penyakit infeksi dan menduduki tempat ketiga sebagai penyebab kematian pada semua umur
setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit infeksi saluran napas akut. Pasien TB di Indonesia
terutama berusia antara 15-5 tahun, merupakan kelompok usia produktif. Menurut perkiraan
WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia 583.000 orang per tahun dan
menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun.1
Data TB Anak Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus
TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2% pada
tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai
15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB anak yang masih sangat bervariasi pada level
provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14 tahun,
dengan data jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tingi dari kelompok umur
0-4 tahun. Sesuai dengan epidemiologinya, seharusnya jumlah kasus TB pada kelompok umur 0-
4 tahun lebih tinggi dari kelompok umur 5-14 tahun. Kasus BTA positif pada TB anak tahun
2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan
tahun 2012 menjadi 6%.2

Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit
melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan
panjang 1 – 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup
tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks
(complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial
sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai
panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan
dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel
bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding
sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan
larutan asam – alkohol.
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,
polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan
menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat
molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan
spesifisiti yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M.
tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen
yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a, protein MTP
40 dan lain lain.2

Biomolekuler
Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan guanin (G)
dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen dan
penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen yang merupakan sikuen DNA
mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA target, kelompok II merupakan sikuen
DNA yang menyandi antigen protein, sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA ulangan
seperti elemen sisipan. Gen pab dan gen groEL masing masing menyandi protein berikatan
posfat misalnya protein 38 kDa dan protein kejut panas (heat shock protein) seperti protein 65
kDa, gen katG menyandi katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs) menyandi protein
ribosomal S12 sedangkan gen rpoB menyandi RNA polimerase. Sikuen sisipan DNA (IS)
adalah elemen genetik yang mobile. Lebih dari 16 IS ada dalam mikobakteria antara lain IS6110,
IS1081 dan elemen seperti IS (IS-like element). Deteksi gen tersebut dapat dilakukan dengan
teknik PCR dan RFLP.3

Cara Penularan TB.


a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang
dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA negatif
tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah
kuman yang terkandung dalam contoh uji 5 dan 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi
melalui pemeriksaan mikroskopis langsung.
b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB.
Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil
kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks
positif adalah 17%.
c. lnfeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renik dahak
yang infeksius tersebut.
d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan
dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak.1

Patogenesis
Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru
sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer.
Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai
kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)


2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya Salah satu contoh adalah epituberkulosis,
yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh
kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar
sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan
peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai
epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya atau tertelan
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya
tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh
secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini
akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis
tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia
dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada
anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau
- Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.2
Bagan 1. Patogenesis TB.4
Tuberkulosis Postprimer
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis primer,
biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang
bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis
menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah
kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer
dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun
lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang
pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh
dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis,
kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan
menjadi:
- meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni ini akan
mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas
- memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali,
mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
- bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh
dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai
kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate
shaped).2

Klasifikasi pasien TB

Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi pasien juga diklasifikasikan menurut :
a. Lokasi anatomi dari penyakit
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
d. Status HIV

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:

Tuberkulosis paru:
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB paru
karena adanya lesi pada jaringan paru. Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau
mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada
paru, dinyatakan sebagai TB
ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
Tuberkulosis ekstra paru:
Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe,
abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat
ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru
harus diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis. Pasien TB ekstra paru
yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru pada
organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).
2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan
OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan
berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
• Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).
• Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):
adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini
sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
• Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan
sebelumnya tidak diketahui.
3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat


Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari Mycobacterium
tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
• Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja
• Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
• Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan
• Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua
jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)
• Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) atau
metode fenotip (konvensional).

d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV


1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV): adalah pasien TB dengan:
• Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART, atau
• Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.
2) Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan:
• Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau
• Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.
Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi positif,
pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TB dengan HIV positif.
3) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa ada bukti pendukung
hasil tes HIV saat diagnosisTB ditetapkan.
Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV pasien,
pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes HIV terakhir.

Diagnosis TB pada Anak


Penemuan Pasien TB Anak Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan
pemeriksaan pada:
a. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular. Yang dimaksud dengan kontak erat
adalah anak yang tinggal serumah atau sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB
menular adalah terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan dahaknya BTA positif dan umumnya
terjadi pada pasien TB dewasa. Pemeriksaan kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci
dalam pembahasan pada bagian selanjutnya tentang profilaksis TB pada anak.
b. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB pada anak.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering terkena adalah
paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait.
Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.5

Gejala TB pada anak

Gejala sistemik/umum adalah sebagai berikut:


a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat atau
tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.
b. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid,
infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam
saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lain.
c. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin
lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.
d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive).
e. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
f. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.
Gejala klinis spesifik terkait organ
Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung pada jenis organ yang terkena, misalnya
kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang dan kulit, adalah sebagai berikut:
a. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli): Pembesaran KGB multipel
(>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau
konfluens.
b. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
• Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat
keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
• Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
c. Tuberkulosis sistem skeletal:
• Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
• Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di daerah
panggul.
• Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas.
• Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
d. Skrofuloderma: Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin
bridge).
e. Tuberkulosis mata:
• Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
• Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
f. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila ditemukan
gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan
adanya infeksi TB.

Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak

Pemeriksaan bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis adalah pemeriksaan yang penting untuk menentukan diagnosis
TB, baik pada anak maupun dewasa. Pemeriksaan sputum pada anak terutama dilakukan pada
anak berusia lebih dad 5 tahun, HIV positif, dan gambaran kelainan pan luas. Namun demikian,
karena kesulitan pengambilan sputum pada anak dan sifat pausibasiler pada TB anak,
pemeriksaan bakteriologis selama ini tidak dilakukan secara rutin pada anak yang dicurigai sakit
TB. Dengan semakin meningkatnya kasus TB resistan obat dan TB FIN, saat ini pemeriksaan
bakteriologis pada anak merupakan pemeriksaan yang seharusnya dilakukan, terutama di fasilitas
pelayanan kesehatan yang mempunyai fasilitas pengambilan sputum dan pemeriksaan
bakteriologis. Cara Mendapatkan sputum pada anak
a. Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun biasanya sudah dapat mengeluarkan sputum/dahak
secara langsung dengan berdahak.
b. Silas lambung
Bilas lambung dengan NGT (nasogastric tube) dapat dilakukan pada anak yang tidak
dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan minimal 2 hari
berturut-turut pada pagi hari.
c. Induksi sputum
lnduksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur,
dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila menggunakan
lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan
pelatihan dan peralatan yang memadai untuk melakukan metode ini.

Beberapa pemeriksaan bakteriologis untuk TB:


a. Pemeriksaan mikroskopis BTA sputum atau spesimen lain (cairan tubuh atau jaringan biopsi)
Pemeriksaan BTA sputum sebaiknya dilakukan minimal 2 kali yaitu sewaktu dan pagi hari.
b. Tes cepat molekuler (TCM) TB
1) Saat ini beberapa teknologi bare telah dikembangkan untuk dapat mengidentifikasi
kuman Mycobacterium tuberculosis dalam waktu yang cepat (kurang lebih 2 jam), antara lain
pemeriksaan Line Probe Assay (misalnya Hain GenoType) dan NAAT-Nucleic Acid
Amplification Test) (misalnya Xpert MTB/RIF).
2) Pemeriksaan TCM dapat digunakan untuk mendeteksi kuman Mycobacterium
tuberculosis secara molecular sekaligus menentukan ada tidaknya resistensi terhadap Rifampicin.
Pemeriksaan TCM mempunyai nilai diagnostik yang lebih balk dari pada pemeriksaan
mikroskopis sputum, tetapi masih di bawah uji biakan. Basil negatif TCM tidak menyingkirkan
diagnosis TB.
c. Pemeriksaan biakan Baku emas diagnosis TB adalah dengan menemukan kuman penyebab TB
yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan biakan (dari sputum, bilas lambung,
cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan). Pemeriksaan biakan sputum dan uji
kepekaan obat dilakukan jika fasilitas tersedia. Jenis media untuk pemeriksaan biakan yaitu: 1)
Media padat: basil biakan dapat diketahui 4-8 minggu 2) Media cair: basil biakan bisa diketahui
lebih cepat (1-2 minggu), tetapi lebih mahal.

2. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk membantu menegalckan diagnosis TB
pada anak:
a. Uji tuberkulin
1) Uji tuberkulin bermanfaat untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak, khususnya
jika riwayat kontak dengan pasien TB tidak jelas. Uji tuberkulin tidak bisa membedakan antara
infeksi dan sakit TB. Hasil positif uji tuberkulin menunjukkan adanya infeksi dan tidak
menunjukkan ada tidaknya sakit TB. Sebaliknya, basil negatif uji tuberkulin belum tentu
menyingkirkan diagnosis TB.
2) Cara melakukan dan pembacaan basil uji tuberkulin diuraikan sccara rind di lampiran.
3) Pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya infeksi TB adalah dengan Imunoglobulin Release
Assay (IGRA). IGRA tidak dapat membedakan antara infeksi TB laten dengan TB aktif.
Penggunaannya untuk deteksi infeksi TB tidak lebih unggul dibandingkan uji tuberkulin.
Program nasional belum mcrckomcndasikan pcnggunaan IGRA di lapangan.
b. Foto toraks
Foto toraks merupakan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis TB pada anak.
Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas kecuali gambaran TB miller. Secara umum,
gambaran radiologis yang menunjang TB adalah sebagai berikut: 1) Pembesaran kelenjar hilus
atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus
disertai foto toraks lateral) 2) IConsolidasi segmental/lobar 3) Efusi pleura 4) Miller 5)
Atelektasis 6) Kavitas 7) Kalsifikasi dengan infiltrate 8) Tuberkuloma.
d. Pemeriksaan histopatologi
(PA/Patologi Anatomi) Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan
nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau
kuman TB.
Pemeriksaan serologi TB (misalnya Ig G TB, PAP 7B, la TB, MycoDOT, dsb) tidak
direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur
Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang
larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB.4

Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring


Dalam menegakkan diagnosis TB pada anak, semua prosedur diagnostik dapat dikerjakan,
namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat menggunakan suatu
pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem skoring tersebut dikembangkan
diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli yang berasal dari IDAI, Kemenkes dan
didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan
diagnosis TB pada anak terutama di fasilitas kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu
tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan
penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun
overdiagnosis TB. Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:
• Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai
tertinggi yaitu 3.
• Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB
pada anak dengan menggunakan sistem skoring.5

Tabel 1. Sistem Skoring TB Anak.5


Alur diagnosis TB
pada anak Secara umum penegakan diagnosis TB pada anak didasarkan pada 4 hal, yaitu:
1. Konfirmasi bakteriologis TB 2. Gejala klinis yang khas TB 3. Adanya bukti infeksi TB (basil
uji tuberkulin positif atau kontak erat dengan pasien TB) 4. Gambaran foto toraks sugestif TB.
Langkah awal pada slur diagnosis TB adalah pengambilan dan pemeriksaan sputum:
1. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM, sesuai dengan fasilitas yang tersedia)
positif, anak didiagnosis TB dan diberikan OAT.
2. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM) negatif atau spesimen tidak dapat
diambil, lakukan pemeriksaan uji tuberkulin dan foto toraks maka:
a. Jika tidak ada fasilitas atau tidak ada akses untuk uji tuberkulin dan foto toraks:
1) Jika anak ada riwayat kontak erat dengan pasien TB menular, anak dapat
didiagnosis TB dan diberikan OAT.
2) Jika tidak ada riwayat kontak, lakukan observasi klinis selama 2-4 minggu.
Bila pada follow up gejala menetap, rujuk anak untuk pemeriksaan uji tuberkulin
dan foto toraks.

b. Jika tersedia fasilitas untuk uji tuberkulin dan foto tonics, hitung skor total
menggunakan sistem skoring:
1) Jika skor total >/= 6  diagnosis TB dan obati dengan OAT
2) Jika skor total < 6, dengan uji tuberkulin positif atau ada kontak erat 3
diagnosis TB dan obati dengan OAT
3) Jika skor total < 6, dan uji tuberkulin negatif atau tidak ada kontak erat 
observasi gejala selama 2-4 minggu, bila menetap, evaluasi ulang kemungkinan diagnosis
TB atau rujuk ke faislitas pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.
Catatan penggunaan alur diagnosis TB anak: Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah
ini, pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan: 1. Foto toraks menunjukan
gambaran efusi pleura atau miller atau kavitas 2. Gibbus, koksitis 3. Tanda bahaya: a. Kejang,
kaku kuduk b. Penurunan kesadaran c. Kegawatan lain, misalnya sesak napas.4
Bagan 2. Alur Diagnosis TB Paru Anak.4

Tata Laksana TB Anak


Tata laksana medikamentosa TB Anak terdiri atas terapi (pengobatan) dan profilaksis
(pengobatan pencegahan). Pengobatan TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan
pengobatan pencegahan TB diberikan pada anak sehat yang berkontak dengan pasien TB
(profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).

Obat Anti Tuberculosis (OAT)


Anak umumnya memiliki jumlah kuman yang lebih sedikit (pausibasiler) sehingga
rekomendasi pemberian 4 macam OAT pada fase intensif hanya diberikan kepada anak dengan
BTA positif, TB berat dan TB tipe dewasa. Terapi TB pada anak dengan BTA negatif
menggunakan paduan INH, Rifampisin, dan Pirazinamid pada fase inisial (2 bulan pertama)
diikuti Rifampisin dan INH pada. 4 bulan fase lanjutan.

a. Isoniazid (H)
Dosis harian 10 (7-15) mg/kgBB/hari, Dosis Maksimal 300 mg /hari
Efek samping: Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitis
b. Rifampisin (R)
Dosis harian15 (10-20) mg/kgBB/hari, Dosis maksimal 600 mg /hari
Efek samping:Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna oranye kemerahan
c. Pirazinamid (Z)
Dosis harian 35 (30-40) mg/kgBB/hari,
Efek samping: Toksisitas hepar, artralgia, gastrointestinal
d. Etambutol (E)
Dosis harian 20 (15–25) mg/kgBB/hari,
Efek samping: Neuritis optik, ketajaman mataberkurang, buta warna merahhijau,
hipersensitivitas, gastrointestinal
e. Streptomisin (S)
Dosis harian 15 – 40 mg/kgBB/hari, Dosis maksimal 1000 mg /hari
Efek samping: Ototoksik, nefrotoksik.

Tabel 2. Panduan OAT dan Lama Pengobatan pada Anak.4

Tabel 3. Kombinasi Dosis Tetap OAT pada Anak.4

Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada, kondisi : TB meningitis, sumbatan jalan napas akibat TB
kelenjar (endobronkhial TB), perikarditis TB, TB miller dengan gangguan napas yang berat,
efusi pleura TB, TB abdomen dengan asites.
Obat yang sering digunakan adalah prednison dengan dosis 2 mg/kg/ hari, sampai 4
mg/kg/hari pada kasus sakit berat, dengan dosis maksimal 60 mg/hari selama 4 minggu.
Tappering-off dilakukan secara bertahap setclah 2 minggu pembcrian kecuali pada TB
meningitis pemberian selama 4 minggu sebelum tappering-off .
Piridoksin
Isoniazid dapat menycbabkan defisicnsi piridoksin simptomatik, terutama pada anak
dengan malnutrisi berat dan anak dengan HIV yang mendapatkan ART Suplementasi piridoksin
(5-10 mg/hari) direkomendasikan pada HIV positif dan malnutrisi berat.4

Nutrisi Status
gizi pada anak dengan TB akan maripaiganahi kebahasilan pengobatan TB. Malnutrisi berat
meningkatkan risiko kematian pada anak dengan TB. Penilaian status gizi harus dilakukan secara
rutin selama anak dalam pengobatan. Penilaian dilakukan dengan mengukur berat, tinggi, lingkar
lengan atas atau pengamatan gejala dan tanda malnutrisi seperti edema atau muscle wasting.
Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan selama pengobatan. Jika tidak
memungkinkan dapat diberikan suplementasi nutrisi sampai anak stabil dan TB dapat di atasi.
Air susu ibu tetap diberikan jika. anak masih dalam masa menyusu.

Tabel 4. Hasil Akhir Pengobatan TB.4

Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur


Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi dan
meningkatkan risiko terjadinya TB resistan obat.
1. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di fase lanjutan
DAN menunjukkan gejala TB, ulangi pengobatan dan awal.
2. Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di fase lanjutan
DAN menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai.
Pengobatan Ulang TB pada Anak
Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan gejala TB,
perlu dievaluasi apakah anak tersebut menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara
pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan sistem skoring harus lebih cermat dan
dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka
anak diklasifikasikan sebagai kasus Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat
pengobatan TB, tidak dianjurkan untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.

TB Resisten Obat

Diagnosis TB RO harus dipikirkan pada anak yang mempunyai gejala TB disertai dengan
kondisi berikut: riwayat pengobatan TB 6-12 bulan sebelumnya, tidak ada perbaikan setelah
pengobatan TB lini pertama selama 2-3 bulan, kontak dengan pasien TB RO, kontak dengan
pasien TB yang mcninggal saat pengobatan TB atau pengobatan TB yang gagal. Alur
pemeriksaan anak terduga TB RO seperti alur pemeriksaan dewasa terduga TB RO.

Bagan 3. Alur Diagnosis TB Resisten Obat.4


Catatan:
a) suhu > 40 C, hipoksia, distress respirasi, hemoptysis, gizi buruk, kejang, penurunan kesadaran,
b) TB meningitis, TB milier pemberian terapi secara empiris hares didiskusikan dan diputuskan
oleh Tim Ahli Klinis TB RO anak. Regimen terapi empiris disesuaikan dengan pola resistensi
dari kasus indeks penularannya
d) OAT lini sate tidak diberikan jika kasus indeks adalah pasien TB RO terkonfirmasi atau jika
anak gagal terapi TB.

Prinsip Penatalaksanaan TB RO pada Anak


Prinsip dasar paduan terapi pengobatan untuk anak sama dengan paduan terapi dewasa pasien
TB RO. Obat-obatan yang dipakai untuk anak TB RO juga same dengan dosis disesuaikan
dengan berat badan pada anak. Prinsip pengobatan TB RO pada anak adalah sebagai berikut:
1. Dasar paduan obat TB RO pada anak:
a. Anak dengan TB RO terkonfirmasi: berdasarkan basil uji kepekaan obat anak tersebut
b. Terapi empiris TB RO:
1) Jika kontak erat kasus TB RO : sesual dengan basil uji kepekaan obat kasus
indeks (sumber penularan)
2) Jika kontak dengan kasus TB RO tidak jelas dan/atau anak gagal terapi OAT
lint 1: diasumsikan resistan terhadap rifampicin dan INH
2. Scmua obat diberilcan setiap hari dengan pengawasan langsung petugas kesehatan
3. Pengobatan TB RO Dasar-dasar pengobatan TB RO di Indonesia:
a. Semua pasien yang sudah tcrbukti sebagai TB resistan obat, yaitu pasien TB
Resistan Rifampisin (TB RR), TB MDR, TB pre XDR maupun TB XDR berdasarkan
pemeriksaan uji kepekaan M. tuberculosis balk dengan tes cepat molekuler maupun
metode biakan konvensional dapat mengakses pengobatan TB resistan obat yang baku
dan bermutu.
b. Paduan OAT untuk pasien TB resistan obat terdiri dari paduan OAT standar
dan paduan OAT IndivlduaL Kedua paduan tersebut merupalcan kombinasi dari OAT
lini kedua dan lini pertama.
c. Sesuai rekomendasi WHO 2016, prinsip paduan pengobatan TB resisten obat
harus terdiri dari kombinasi sekurangnya 5 (lima) jenis OAT pada tahap awal, yaitu:
• 4 (empat) OAT inti yaitu OAT lini kedua yang terbukti masih efektif
atau belum pernah digunakan, yaitu: 1). salah satu OAT dari grup A (golongan
flurokuinolon), 2), salah satu OAT dari grup B ( golongan OAT suntik lini kedua)
dan 3). 2 OAT dari grup C (golongan OAT oral lini kedua)
• 1 (satu) OAT lini pertama yaitu Pirazinamid (grup DI), masuk sebagai
bagian dari 5 obat yang harus diberikan tetapi tidak dihitung sebagai obat inti.
• Tidak dihitung sebagai bagian dari 5 (lima) OAT TB-RO yang
dipersyaratkan di atas adalah OAT dari grup DI yang bisa ditambahkan untuk
memperkuat efikasi paduan. Pasien TB RR dan TB MDR akan mendapatkan
Isoniazid dosis tinggi dan atau Etambutol.
• OAT dari grup D2 dan D3 digunakan untuk paduan OAT individual
sebagai pengganti OAT inti dari grup A,B,C agar syarat 4 (empat) OAT inti dapat
dipenuhi.
d. Paduan OAT standar diperuntukkan bagi pasien TB Resisten Rifampisin (TB
RR) dan TB MDR di Faskes TB-RO dan Faskes TB-RO Rujukan. Berdasarkan
durasi pengobatan, Paduan OAT standar dibedakan menjadi:
a. Paduan OAT standar konvensional (20-26 bulan)
b. Paduan OAT standar jangka pendek (9-11 bulan)
e. Paduan OAT individual diperuntukkan bagi pasien TB pre XDR dan TB XDR.
Paduan individual merupakan kombinasi OAT lini pertama,lini kedua dan OAT jenis
baru. Tatalaksana TB resistan obat mamakai paduan individual dilaksanakan di Faskes
TB-RO Rujukan. Durasi pengobatan menggunakan OAT individual untuk pasien TB pre-
XDR dan TB XDR minimal 24 bulan.
f. Paduan OAT standar dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan
M. tuberculosis menjadi paduan individual yang ditetapkan oleh dokter terlatih di Faskes
TB-RO Rujukan.
g. Paduan individual juga diberikan untuk pasien yang memerlukan OAT jenis
bare karena efek samping berat terhadap OAT lini kedua golongan fluorokuinolon (grup
A) atau OAT suntik lini kedua (grup B) sehingga dikhawatirkan mengurangi efikasi
paduan OAT yang diberikan.
4. Inisiasi pengobatan pada anak dilakukan secara rant inap di RS Rujukan / Sub Rujukan
TB MDR selama 2 minggu.
5. Piridoksin (vitamin B6) ditambahkan pada pasien yang mendapat sikloserin dengan
dosia 10 mg untuk setiap 50 mg sikloserin dan pada penderita HIV.
6. berikan obat dalam dosis tinggi jika memungkinkan.
7. Dosis obat disesuaikan dengan kenaikan berat badan.
8. Penggunaan kortikosteroid sama dengan pada TB sensitif that dan pada SPI
9. Berikan dukungan, konseling dan edukasi pada orang tua/pengasuh anak tentang efek
samping that, lama pengobatan, dan pentingnya kepatuhan annum obat pada setiap
kunjungan.
Tabel 4. Golongan dan Dosis Obat TB MDR.4

Paduan OAT MDR di Indonesia Pilihan paduan OAT MDR saat ini adalah
paduan standar (standardized treatment), yang pada permulaan pengobatan akan
diberikan kepada semua pasien TB RR/TB MDR.
a. Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah:
Km — Lfx — Eto — Cs — Z — (E) / Lfx — Eto — Cs — Z — (E)
Altematif pengobatan standar pada kondisi khusus adalah sebagai berikut:
1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar
adalah sebagai berikut:
Cm — Lfx — Eto — Cs — Z - (E) / Lfx — Eto — Cs — Z — (E)
2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka paduan standar
adalah sebagai berikut:
Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)
3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB
XDR) maka paduan standar adalah sebagai berikut:
Cm-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)
b. Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB RR/MDR secara
laboratoris.
c. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap
awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan dengan lama paling sedikit 6 bulan atau 4
bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap lanjutan adalah pemberian paduan OAT oral tanpa
suntikan.
d. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi konversi biakan. Lama
pengobatan berkisar 19-24 bulan.5

Pencegahan
Vaksinasi BCG
Pemberian BCG meninggikan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberkulosis yang
virulen. Imunitas timbul 6 – 8 minggu setelah pemberian BCG. Imunitas yang terjadi tidaklah
lengkap sehingga masih mungkin terjadi super infeksi meskipun biasanya tidak progresif dan
menimbulkan komplikasi yang berat.

Kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis primer diberikan pada anak yang belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif) tetapi
kontak dengan penderita TB aktif. Obat yang digunakan adalah INH 5 – 10 mg/kgBB/hari
selama 2 – 3 bulan.
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak dengan uji tuberkulin positif tanpa gejala klinis,
dan foto paru normal, tetapi memiliki faktor resiko menjadi TB aktif, obat yang digunakan
adalah INH 5 – 10 mg/kgBB/hari selama 6 –12 bulan.

Komplikasi
Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke
ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang dilahirkan dari orang tua yang
menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang besar untuk menderita tuberkulosis.
Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan pada
pasien dengan pelebaran mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus.6

Prognosis
Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT terkini
memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman sensitif dan
pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang minimal. Terapi ulangan
lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada pasien dengan
imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai rejimen obat, yang berespon buruk terhadap
terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi multiple terhadap OAT jumlahnya
meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena para dokter meresepkan rejimen terapi
yang tidak adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam menjalanin pengobatan. 6
Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin, angka
kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT (terutama isoniazid)
terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB milier. Tanpa terapi OAT pada TB
milier maka angka kematian hampir mencapai 100%.

Kesimpulan

TB paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis


yang merupakan bakteri tahan asam. Berbeda dengan orang dewasa, pada anak gejala penyakit
TB memiliki gambaran yang tidak khas. Penegakan diagnosis didasarkan pada Konfirmasi
bakteriologis TB, Gejala klinis, adanya bukti infeksi TB (basil uji tuberkulin positif atau kontak
erat dengan pasien TB) dan gambaran foto toraks sugestif TB
Pengobatan TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan pengobatan pencegahan
TB diberikan pada anak sehat yang berkontak dengan pasien TB (profilaksis primer) atau anak
yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder). Penyakit ini memerlukan pengobatan
yang lama dan teratur dengan kombinasi beberapa obat seperti rifampisin, isoniasid, pirazinamid
dan eambutol, dengan pembagian fase awal dan fase lanjutan.
Daftar Pustaka

1. Jassal MS , Bishai WR.Epidemiology and Challenges to the Global Elimination of


TuberculosisClin Infect Dis. (2010) 50 (Supplement 3): S156-S164 doi: 10.1086 / 651
486
2. PDPI. Tuberkulosis : pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006.
3. Djojodibroto RD. Respirologi. Jakarta: EGC, 2009.h.166
4. Dirjen Pengendalian penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Petunjuk teknis manajemen
dan penanganan TB anak. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI,2016.h.7-54
5. Dirjen Pengendalian penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional
pengendalian TB, Jakarta: Kementrian Kesehatan RI,2014.h.18-58.
6. Rahajoe NN, Basir D, Kartasasmita CB, editor. Pedoman nasional tuberculosis anak.
Jakarta : UKK Pulmonologi PP IDAI; 2007.

You might also like