You are on page 1of 31

BAGIAN ILMU ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
JURNAL ANASTESI
FEBRUARI 2018

“ANESTESI - BAGIAN 3: HIPERTENSI”


(V Patil, M Shetmahajan Hypertension – part 3: anaesthesia hypertension.
Update in Anasthesia 2013;29-30)

Disusun Oleh:
Agung Perdana
11 16 777 14 121

Pembimbing Klinik:
dr. Ajutor Donny T, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ALKHAIRAAT

PALU

2018
Refleksi Kasus Januari 2018

“MANAJEMEN JALAN NAPAS DENGAN INTUBASI


ENDOTRAKEAL PADA PASIEN DENGAN SUMBATAN
JALAN NAPAS ET CAUSA ASPIRASI BENDA ASING”

Disusun Oleh:
IIN LASKMINI BABA
11 16 777 14 104

Pembimbing Klinik:
dr. Ajutor Donny T, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ALKHAIRAAT

PALU

2018

2
BAB I
PENDAHULUAN

Pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam
suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan
dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan napas untuk berjalan dengan baik.
Penanganan jalan nafas paling sering dilakukan selama pelaksanaan anestesi
umum. Anestesi umum menyebabkan pasien tidak merasakan stimulus noxius (nyeri)
di seluruh tubuhnya dan oleh karena itu diberikan selama berbagai prosedur
pembedahan dari kraniotomi dan tonsilektomi hingga reseksi hepar dan
prostatektomi. Induksi intravena anestesi umum sering kali bersamaan munculnya
dengan apnu.
Penanganan jalan nafas yang ahli (terampil) adalah landasan keamanan
untuk setiap anestesi umum. Penanganan jalan nafas tidak dilakukan secara rutin
selama anestesi regional. Namun, penanganan jalan nafas akan diperlukan bila pasien
mendapatkan efek akibat injeksi intravaskular dari anestesi lokal yang memicu
terjadinya kejang atau gangguan kardiovaskular. Risiko apnu yang sama juga terjadi
selama pemberian sedasi, bila pasien mendapat sedasi baik untuk anestesi regional itu
sendiri, atau selama prosedur pembedahan.
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan
tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam
saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam
anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas dapat berjalan
dengan lancar serta teratur.
Tahap akhir dari pelaksanaan intubasi adalah ekstubasi. Dalam pelaksanaan
ekstubasi dapat terjadi gangguan pernapasan yang merupakan komplikasi yang sering
kita temui pasca anestesi. Komplikasi bisa terjadi setelah dilaksanakannya ekstubasi
seperti : pengeluaran sekret dari mulut yang menyumbat jalan napas, edema laring,

3
dan bisa terjadi spasme laring. Komplikasi pernapasan pasca anestesi bisa
menyebabkan hipoventilasi dan hipoksemia.
Gejala komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun
tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan dalam mengatasi
komplikasi tergantung dari deteksi gejala dini dan tindakan koreksi untuk mencegah
keadaan yang lebih buruk.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Manajemen Jalan Napas


A. Anatomi
Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu
hidung yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju
orofaring (pars oralis). Kedua bagian ini dipisahkan oleh palatum pada bagian
anteriornya, tapi kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring. Faring
berbentuk U dengan struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar
tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian
depannya terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring,
orofaring dan laringofaring (pars laryngeal).
Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke
posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis memisahkan orofaring
dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi
dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan. Laring adalah
suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh
9 kartilago (gambar 5-2) : tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid,
kornikulata dan kuneiforme.

B. Evaluasi Jalan Napas


Tujuan evaluasi jalan nafas adalah untuk menghindari gagalnya
penanganan jalan nafas dengan menerapkan cara alternatif pada pasien yang
diduga akan sulit diventilasi dan/atau diintubasi. Kesulitan mask ventilation
terjadi bila terdapat penutupan yang inadekuat antara wajah pasien dan mask,
terdapat kebocoran oksigen dari face mask, atau terdapat resistensi aliran
masuk (inflow) atau aliran keluar (outflow) oksigen yang berlebihan. Kesulitan

5
laringoskopi terjadi bila tidak ada bagian glotis yang terlihat setelah usaha
laringoskopi dilakukan banyak kali.
Pasien dianggap memiliki kesulitan jalan nafas jika anestesiolog
mengalami kesulitan untuk memberikan ventilasi dengan facemask pada jalan
nafas bagian atas, kesulitan mengintubasi trakea , atau keduanya.
Untuk memperkirakan adanya kesulitan mask ventilation atau
kesulitan intubasi endotrakea, setiap pasien yang menerima perawatan
anestesi harus menjalani anamnesis dan pemeriksaan fisis jalan nafas yang
komprehensif. Pasien harus ditanyai mengenai komplikasi jalan nafas pernah
terjadi sewaktu dianestesi dulu. Riwayat trauma selama penanganan jalan
nafas sebelumnya pada bibir, gigi, gusi, atau mulut pasien dapat menandakan
adanya kesulitan jalan nafas. Demikian pula halnya, jika pasien
memberitahukan bahwa dilakukan usaha yang berkali-kali untuk
“memasukkan selang pernafasan” atau bahwa ia “terbangun” pada intubasi
sebelumnya, maka harus dipertimbangkan adanya kesulitan jalan nafas.
Kondisi medis yang biasanya meramalkan adanya kesulitan jalan nafas
antara lain riwayat trauma atau operasi wajah baru-baru ini atau pada masa
lampau, artritis reumatoid, hamil, epiglotitis, perlengketan servikal
sebelumnya, massa leher, Down’s syndrome, dan sindrom genetik lainnya
seperti Treacher-Collins dan Pierre-Robin yang berkaitan dengan kelainan
wajah. Dengan anamnesis yang positif, maka harus ditinjau dokumentasi
mengenai penanganan jalan nafas sebelumnya.
Berbagai hasil pemeriksaan fisis telah dihubungkan dengan kesulitan
jalan nafas:
Komponen pemeriksaan fisis jalan nafas preoperatif.
Komponen Temuan yang mencurigakan
- Panjang incisivus atas - Relatif panjang
- Hubungan incisivus maksilla - “Overbite” yang jelas (incisivus

6
dan mandibula saat rahang maksilla di anterior terhadap incisivus
dikatupkan biasa mandibula)
- Hubungan incisivus maksilla - Incisivus mandibula pasien di anterios
dan mandibula saat rahang (di depan) incisivus maksilla
dibuka
- Jarak antar-incisivus - <3 cm
(pembukaan mulut)
- Kemampuan uvula terlihat - Tidak terlihat saat lidah dijulurkan saat
pasien dalam posisi duduk (misalnya
Mallampati kelas >II)
- Bentuk palatum - Sangat melengkung atau sempit
- Kelainan ruang submandibula - Kaku, berindurasi, ditutupi massa, atau
tidak kenyal
- Jarak tiromentalis - <3 buku jari atau 6-7 cm
- Panjang leher - Pendek
- Ketebalan leher - Tebal (ukuran leher >17 inci)
- Kisaran gerakan kepala dan - Pasien tidak bisa menyentuh ujung
leher dagu pada dada atau tidak bisa
mengekstensikan lehernya
Diproduksi kembali atas izin Caplan RA, Benumof JA, Berry FA
(2003) Practice guidelines for the management of the kesulitan jalan nafas
an updated report by the American Society of Anesthesiologist’sTask Force

7
Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Gambar. Sistem klasifikasi Mallampati

Setiap pasien yang mendapat perawatan anestesi harus diperiksa secara


menyeluruh untuk mencari adanya gambaran ini. Pemeriksaan yang adekuat
sulit dilaksanakan tanpa partisipasi dan kerja sama yang aktif dari pasien.
Maksudnya, pemeriksaan yang semata-mata dilakukan dengan inspeksi
mungkin tidak hanya tidak lengkap, tetapi juga tidak akurat.
Pemeriksaan yang paling sering dilakukan untuk mengevaluasi pasien
untuk menemukan adanya kesulitan intubasi adalah penentuan sesuatu yang
disebut Kelas Mallampati (Mallampati Class). Sistem klasifikasi ini, pertama
kali dikembangkan pada tahun 1985, digunakan untuk memprediksi kesulitan
intubasi menilai secara fungsional rasio ukuran lidah seseorang terhadap rongga
mulutnya.
Meningkatnya kesulitan melakukan laringoskopi direk dihubungkan
dengan hasil pemeriksaan Kelas Mallampati III dan IV. Meskipun suatu
prediktor yang mencurigai adanya kesulitan penanganan jalan nafas mungkin
saja penting secara klinis, sebaiknya dilakukan pemeriksaan yang lebih banyak
dan lebih prediktif melalui skrining berbagai prediktor pada setiap pasien.

Selama anestesi, angka terjadinya kesulitan intubasi berkisar 3-18%.


Kesulitan dalam intubasi ini berhubungan dengan komplikasi yang serius,

8
terutama bila intubasi tersebut gagal. Hal ini merupakan salah satu
kegawatdaruratan yang akan ditemui oleh dokter anestesi.
Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal biasanya
dijumpai pada pasien-pasien dengan :
a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak
antara mental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar
memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi.
c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi
d. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
e. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang
sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine.
f. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena
fleksi kepala pada leher di sendi atlantooccipital.
g. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan
fleksi leher.

A. Alat-alat yang Digunakan


1) Oral & Nasal Airway
Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas (misalnya kelemahan dari
otot genioglosus) pada pasien yang dianestesi menyebabkan lidah dan
epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior faring. Mengubah posisi
kepala atau jaw thrust merupakan teknik yang disukai untuk membebaskan
jalan nafas. Untuk mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan
(artificial airway) dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk
menimbulkan adanya aliran udara antara lidah dengan dinding faring bagian
posterior.

9
Pasien yang sadar atau dalam anestesi ringan dapat terjadi batuk atau
spasme laring pada saat memasang jalan nafas artifisial bila refleks laring
masih intak. Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan
penekanan refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah
dengan spatel lidah. Oral airway dewasa umumnya berukuran kecil (80
mm/Guedel No 3), medium (90 mm/Guedel no 4), dan besar (100 mm/Guedel
no 5).
Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang
hidung ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway.
Disebabkan adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan
pada pasien yang diberi antikoagulan atau anak dengan adenoid. Juga, nasal
airway jangan digunakan pada pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa
yang dimasukkan melalui hidung (nasal airway, pipa nasogastrik, pipa
nasotrakheal) harus dilubrikasi. Nasal airway lebih ditoleransi daripada oral
airway pada pasien dengan anestesi ringan.

2) Face Mask
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau
gas anestesi dari sistem pernafasan ke pasien dengan pemasangan face
mask yang rapat Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk
muka pasien. Orifisium face mask dapat disambungkan ke sirkuit mesin
anestesi melalui konektor. Tersedia berbagai model face mask. Face mask
yang transparan dapat mengobservasi uap gas ekspirasi dan muntahan.
Face mask yang dibuat dari karet berwarna hitam cukup lunak untuk
menyesuaikan dengan bentuk muka yang tidak umum. Retaining hook
dipakai untuk mengaitkan head scrap sehingga face mask tidak perlu terus
dipegang. Beberapa macam face mask untuk pediatrik di disain untuk
mengurangi dead space.

10
Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan
untuk melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memeras
breathing bag. Face mask dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada
badan face mask dengan ibu jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis
menarik mandibula untuk ekstensi sendi atlantooccipital. Tekanan jari-jari
harus pada mandibula, jangan pada jaringan lunak yang menopang dasar
lidah karena dapat terjadi obstruksi jalan nafas. Jari kelingking ditempatkan
dibawah sudut rahang dan digunakan untuk jaw thrust manuver yang paling
penting untuk dapat melakukan ventilasi pasien.

Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw
thrust yang adekuat dan face. Obstruksi selama ekspirasi dapat disebabkan
karena tekanan kuat dari face mask atau efek ball-valve dari jaw thrust.
Kadang-kadang sulit memasang face maks rapat kemuka. Membiarkan gigi
palsu pada tempatnya (tapi tidak dianjurkan) atau memasukkan gulungan kasa
ke rongga mulut mungkin dapat menolong mengatasi kesulitan ini. Ventilasi
tekanan normalnya jangan melebihi 20 cm H2O untuk mencegah masuknya
udara ke lambung.

11
Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask
dan oral atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama
dapat menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau
fasial. Disebabkan tidak adanya tekanan positif pada jalan nafas selama nafas
spontan, hanya diperlukan tekanan minimal pada face mask supaya tidak
bocor. Bila face mask dan ikatan masker digunakan dalam jangka lama maka
posisi harus sering dirubah untuk menghindari cedera. Hindari tekanan pada
mata, dan mata harus diplester untuk menghindari resiko aberasi kornea.

3) Laryngeal Mask Airway (LMA)


Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face
mask dan ETT selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan
pemasangan ETT pada pasien dengan jalan nafas yang sulit, dan untuk
membantu ventilasi selama bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan
bronkhoskop.
Ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan: LMA yang dapat dipakai
ulang, LMA yang tidak dapat dipakai ulang, ProSeal LMA yang memiliki
lubang untuk memasukkan pipa nasogastrik dan dapat digunakan ventilasi
tekanan positif, dan Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi bagi
pasien dengan jalan nafas yang sulit.
LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian
proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15
mm, dan dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat
dikembangkan lewat pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas
dan masukan secara membuta ke hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon
dengan tekanan rendah ada di muara laring. Pemasangannya memerlukan
anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk memasukan oral airway.
Walaupun pemasangannya relatif mudah, perhatian yang detil akan
memperbaiki keberhasilan.

12
LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau ETT
(tabel 5-4). Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring
(misalnya abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan,
hernia hiatal), atau komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan
nafas) yang memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O.

4) Intubasi Endotrakeal
a. Tujuan
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakeal adalah untuk
membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar
tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi
dan oksigenasi bagi pasien operasi.

b. Indikasi
Intubasi endotrakeal diindikasikan pada berbagai keadaan saat sakit
ataupun pada prosedur medis untuk mempertahankan jalan napas
seseorang, pernapasan, dan oksigenasi darah. Pada cakupan tersebut,

13
tambahan oksigen yang menggunakan face mask sederhana masih belum
adekuat.
Indikasi intubasi endotrakeal adalah sebagai berikut.
1. Penurunan kesadaran
Kerusakan otak (misalnya stroke massif, cedera kepala non-penetrasi,
intoksikasi atau keracunan) dapat berakibat penurunan kesadaran. Saat
keadaan tersebut menjadi lebih buruk menjadi stupor atau koma
(didefinisikan sebagai Glasglow Coma Scale (GCS) kurang dari 8).
Kolaps dinamik pada otot ekstrinsik jalan napas dapat menyumbat
jalan napas, yang menunda aliran udara bebas ke dalam paru. Lebih jauh
lagi, reflex perlindungan jalan napas seperti batuk dan menelan dapat
berkurang atau hilang. Intubasi endotrakeal sering dipilih untuk
mengembalikan kepatenan jalan napas dan melindungi cabang
trakeobronkial dari aspirasi pulmoner dari isi lambung.

2. Hipoksemia
Intubasi dapat diperlukan pada pasien dengan penurunan kandungan
oksigen dan saturasi oksigen dalam darah yang disebabkan pernapasan
yang tidak adekuat (hipoventilasi), apnea atau saat paru tidak dapat cukup
mentransfer udara ke dalam darah. Pada beberapa pasien, yang dapat
bangun dan terjaga, memiliki tipe sakit yang kritis dengan penyakit
multisistem.
Sebagai contoh kondisi tersebut yaitu cedera servikal, fraktur kosta
multipel, pneumonia berat, acute respiratory distress syndrome (ARDS),
atau tenggelam. Secara spesifik, intubasi dapat dipertimbangkan apabila
tekanan arterial parsial oksigen (PaO2) kurang dari 60 mmHg, dimana
konsentrasi O2 inspirasi (FiO2) sebesar 50% atau lebih besar. Pada pasien
dengan peningkatan karbon dioksida arterial, tekanan arterial parsial dari
CO2 (PaCO2) lebih besar dari 45 mmHg pada keadaan asidemia

14
memerlukan intubasi, khususnya pada pengukuran yang memperburuk
asidosis respiratorik.

3. Obstruksi jalan napas


Obstruksi jalan napas merupakan indikasi yang sering pada intubasi
endotrakea. Pertolongan pada obstruksi jalan napas diperlukan saat benda
asing menjadi terjepit di jalan napas, hal ini khususnya sering terjadi pada
bayi dan anak kecil. Trauma tumpul yang berat atau trauma penetrasi
pada wajah atau leher dapat menyebabkan bengkak dan hematoma, atau
trauma laring, trakea maupun bronkus. Obstruksi jalan napas juga sering
terjadi pada orang yang sering terpapar inhalasi asap rokok
Tanda-tanda obstruksi jalan napas adalah sebagai berikut.
a. Stridor (mendengkur, snoring)
b. Napas cuping hidung (flaring of the nostrils)
c. Retraksi trakea
d. Retraksi torak
e. Tak terasa ada udara ekspirasi

4. Manipulasi jalan napas


Manipulasi jalan napas untuk keperluan diagnostik atau terapeutik
(seperti bronkoskopi, terapi laser) kadang-kadang dapat menyebabkan
ketidakmampuan bernapas, sehingga intubasi diperlukan pada kondisi
tersebut.
c. Kontraindikasi
Beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal antara
lain :
1. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus
dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.

15
2. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang
vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

d. Peralatan
Sebelum mengerjakan intubasi endotrakea, peralatan yang harus disiapkan
adalah STATICS, yaitu S (Scope, laringoskop, steteskop), T(Tube, pipa
endotrakeal),A (Airway tube,pipa orofaring / nasofaring), T (Tape, plester),
I (Introducer, stilet, mandren), C (Connector, sambungan-sambungan), S
(Suction, penghisap lendir).

1. Laringoskop
Fungsi laring adalah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop
adalah alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung agar dapat
memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal
2 macam laringoskop:
a. Bilah, daun (blade) lengkung (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa
b. Bilah lurus (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa

2. Stilet
Stilet untuk intubasi didesain untuk dimasukkan ke dalam endotracheal
tube untuk membuat pipa lebih baik pada anatomi jalan napas atas pada
individu yang spesifik. Hal ini sering menolong pada orang dengan
kesulitan laringoskopi. Seperti halnya blade laringoskop, terdapat beberapa
tipe stilet yang tersedia, misalnya stilet Verathon, yang secara spesifik
didesain untuk mengikuti sudut blade sebesar 60 derajat pada laringoskop.

3. Pipa trakea (endotracheal tube)


Pipa trakea (endotracheal tube) mengantar gas anestetik langsung ke
dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida.

16
Ukuran diameter lubang pipa trakea dalam millimeter. Karena penampang
trakea bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda, penampang melintang trakea
bayi dan anak kecil di bawah usia 5 tahun hamper bulat, sedangkan dewasa
seperti huruf D, maka untuk bayi anak digunakan tanpa cuff dan untuk
anak besar-dewasa dengan cuff, agar tidak bocor.
Penggunaan cuff pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput
lendir trakea dan selain itu jika ingin menggunakan pipa trakea dengan cuff
pada bayi harus menggunakan ukuran pipa trakea yang diameternya lebih
kecil dan ini membuat risiko tahanan napas lebih besar. Pipa trakea dapat
dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung
(nasotracheal tube).

Persiapan Untuk Rigid Laringoskopi


Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan posisi pasien.
ETT harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat ditest dengan menggembungkan
balon dengan menggunakan spuit 10 ml. Pemeliharaan tekanan balon menjamin
balon tidak mengalami kebocoran dan katup berfungsi. Beberapa dokter anestesi
memotong ETT untuk mengurangi panjangnya dengan tujuan untuk mengurangi
resiko dari intubasi bronkial atau sumbatan akibat dari pipa kinking. Konektor harus
ditekan sedalam mungkin untuk menurunkan kemungkinan terlepas, jika mandren
digunakan ini harus dimasukan ke dalam ETT dan ini ditekuk menyerupai stik hoki.
Bentuk ini untuk intubasi dengan posisi laring ke anterior. Blade harus terkunci di
atas handle laringoskop dan bola lampu dicoba berfungsi atau tidak. Intensitas
cahanya harus tetap walaupun bola lampu bergoyang. Sinyal cahaya yang berkedap
kedip karena lemahnya hubungan listrik, perlu diingat untuk mengganti baterai. Extra
blade, handle, ETT ( 1 ukuran lebih kecil atau lebih besar) dan mandren harus
disediakan. Suction diperlukan untuk membersihkan jalan nafas pada kasus dimana
sekresi jalan nafas tidak diinginkan, darah, atau muntah.

17
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala pasien
harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk mencegah
ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama laringoskopi. Rigid laringoskop
memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis langsung untuk melihat
dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang (sekitar 5-10 cm diatas meja
operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito joint menempatkan pasien pada posisi
sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari tulang leher adalah fleksi dengan
menempatkan kepala diatas bantal.
Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin.
Preoksigenasi dengan beberapa ( 4 dari total kapasitas paru paru) kali nafas dalam
dengan 100% oksigen memberikan ekstra margin of safety pada pasien yang tidak
mudah diventilasi setelah induksi. Preoksigenasi dapat dihilangkan pada pasien yang
akan di face mask, yang bebas dari penyakit paru, dan yang tidak memiliki jalan nafas
yang sulit.
Setelah induksi anestesi umum, dokter anestesi menjadi pelindung pasien.
Karena anestesi umum menghilangkan reflek proteksi kornea, perlindungan harus
dilakukan selama periode ini, tidak boleh ada cedera pada mata pasien dengan terjadi
abrasi kornea tanpa disengaja. Oleh karena itu mata rutin direkat dengan plester,
walaupun telah diberi petrolum atau salep mata.

Intubasi Orotrakeal
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar,
blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindari
gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir blade.
Ujung dari blade melengkung dimasukkan ke valekula, dan ujung blade lurus
menutupi epiglotis. Handle diangkat menjauhi pasien secara tegak lurus dari
mandibula pasien untuk melihat pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan
blade serta pengungkitan dari gigi harus dihindari.

18
ETT diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita
suara yang terbuka (abduksi). Balon ETT harus berada dalam trakea bagian atas tapi
dibawah laring. Langingoskop ditarik dengan hati-hati untuk menghindari kerusakan
gigi. Balon dikembungkan dengan sedikit udara yang dibutuhkan agar tidak ada
kebocoran selama ventilasi tekanan positif, untuk meminimalkan tekanan yang
ditransmisikan pada mukosa trakea. Merasakan pilot balon bukan metode yang dapat
dipercaya untuk menentukan tekanan balon yang adekuat.
Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan
capnograf dimonitor untuk memastikan ETT ada di intratrakeal. Jika ada keragu-
raguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau trakea, cabut lagi ETT dan
ventilasi pasien dengan face mask. Sebaliknya, jika sudah yakin, pipa dapat diplester
atau diikat untuk mengamankan posisi. Walaupun deteksi kadar CO2 dengan
capnograf merupakan konfirmasi terbaik untuk menentukan letak ETT di trakea, kita
tetap tidak dapat mengabaikan terjadinya intubasi bronkial. Manifestasi dini dari
intubasi bronkial adalah peningkatan tekanan respirasi puncak. Lokasi pipa yang tepat
dapat dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal notch sambil menekan pilot
balon dengan tangan lainnya. Balon jangan ada diatas level kartilago krikoid, karena
lokasi intralaringeal yang lama dapat menyebabkan suara serak pada post operasi dan
meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa dapat dilihat dengan
radiografi dada, tapi ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU.
Hal yang diuraikan diatas diambil dari pasien tidak sadar. Intubasi lewat
mulut ini biasanya kurang ditoleran pada pasien yang sadar. Jika perlu, dalam kasus
terakhir, sedasi intravena, penggunaan lokal anestetik spray dalam orofaring, regional
blok saraf akan memperbaiki penerimaan pasien.
Kegagalan intubasi jangan diikuti dengan pengulangan intubasi kembali
karena hasilnya akan sama. Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan
keberhasilan, seperti mengatur kembali posisi pasien, penurunan ukuran pipa,
pemasangan mandrin, memilih blade yang berbeda, mencoba lewat hidung atau
meminta bantuan dokter anestesi lainnya.

19
Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan face mask, pilihan pengelolaan
jalan nafas yang lain (contoh LMA, combitube, krikotirotomi dengan jet ventilasi,
trakeostomi). Petunjuk yang dikembangkan oleh ASA untuk penanganan jalan nafas
yang sulit, termasuk algoritma rencana terapi.

e. Komplikasi
1. Selama intubasi
a) Trauma gigi geligi
b) Laserasi bibir, gusi, laring
c) Merangsang saraf simpatis (hipertensi-takikardi)
d) Intubasi bronkus
e) Intubasi esophagus
f) Aspirasi
g) Spasme bronkus

2. Setelah ekstubasi
a) Spasme laring
b) Aspirasi
c) Gangguan fonasi
d) Edema glottis-subglotis
e) Infeksi laring, faring, trakea

f. Ekstubasi
Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika intubasi
kembali akan menimbulkan kesulitan ataupun pasca ekstubasi ada risiko
aspirasi. Ekstubasi dikerjakan umumnya pada anesthesia sudah ringan dengan
catatan tidak akan terjadi spasme laring. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga
mulut laring faring dari secret dan cairan lainnya.

20
2. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)
Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat
dan optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan
bedah.
Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior,
Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
(BSEF) dapat dilaksanakan.
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat
dalam bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan
konservatif yang lebih efektif dan fungsional.
Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan
yang sangat terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci
adanya kelainan patologi dirongga-rongga sinus.
Jaringan patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan normal dan
ostium sinus yang tersumbat diperlebar. Dengan ini ventilasi sinus lancar secara
alami, jaringan normal tetap berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila dan
frontal akan sembuh sendiri.

21
BAB III
TINJAUAN KASUS

1. IDENTITAS PENDERITA
 Nama : An. W
 Umur : 2 thn
 Alamat : Biromaru
 Agama : Islam
 Ruangan : Gelatik
 Tanggal Pemeriksaan : 05 Januari 2018
 No. Rek. Medis : 50-15-30

2. ANAMNESIS
 Keluhan Utama : Tertelan kelereng
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk RS diantar oleh orang tua dengan keluhan tertelan
kelereng sejak 30 menit sebelum masuk RS. Sianosis (+), sesak (+), batuk
berlendir (-), demam (-), sesak, muntah (-), Buang air besar (BAB) dan buang
air kecil (BAK) lancar seperti biasa.

 Riwayat Penyakit Sebelumnya


o Riwayat alergi (-)
o Riwayat asthma (-)
o Riwayat operasi sebelumnya (-)

3. PEMERIKSAAN FISIK
 Status Generalis
Keadaan Umum : Sakit Sedang

22
Kesadaran : Composmentis (GCS E4 V5 M6)
Berat Badan : 12 kg
Status Gizi : Gizi Baik
 Primary Survey
Airway : Paten
Breathing : Respirasi 20 kali/menit
Circulation : Nadi : 120 kali/menit, regular, kuat angkat,

 Secondary Survey
Kepala :
- Bentuk : Normocephal (+)
- Rambut : Warna hitam, rontok (-)
- Wajah : Simetris, paralisis facial (-), afek ekspresi serasi,
deformitas (-)
- Kulit : sianosis (-), massa (-), turgor < 2 detik.
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-),palpebra edema (-),
ptosis (-), kalazion (-)
Pupil : Bentuk isokor, bulat, diameter ± 2mm/2mm, refleks
cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung
(+/+).
Hidung & Sinus :
Kanan Kiri
Bentuk normorine Normorine
Nyeri tekan (+) Nyeri tekan (+)
Sinus
maksilaris maksilaris
Sekret Minimal Minimal
Mukosa Hiperemis (+) Hiperemis (+)

23
Mulut &Faring : Bibir : sianosis (-), pucat (-)
Lidah : deviasi lidah (-), lidah kotor (-), tremor (-)
Malampati : grade II
Leher :Inspeksi : Jaringan parut (-), massa (-)
Palpasi : Pembengkakan kelenjar limfe dan tiroid (-)
` Trakhea : Deviasi trakhea (-)
Thorax
 Inspeksi : Normochest, retraksi (-), massa (-), cicatrix (-)
 Palpasi : Ekspansi paru simetris kiri dan kanan, fremitus taktil kesan
normal.
 Perkusi : Sonor (+) diseluruh lapang paru
 Auskultasi : vesicular +/+, bunyi tambahan (-).
Jantung
 Inspeksi : lctus cordis tidak tampak
 Palpasi : lctus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula (s)
 Perkusi : Batas atas : SIC II linea parasternal dextra et sinistra
Batas kanan : SIC V linea parasternal dextra
Batas kiri : SIC V linea midclavicula sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung I/II reguler murni, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
 Inspeksi : Bentuk datar, massa (-).
 Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal, Bruit (-).
 Perkusi : Timpani (+) diseluruh kuadran abdomen.
 Palpasi : Organomegali (-), Nyeri tekan (-)

Genitalia : Dalam batas normal.


Ekstremitas :

24
Atas : Edema (-), Akral dingin (-/-), refleks fisiologis normal, kekuatan
5/5, tonus normal.
Bawah : Edema (-), Akral dingin (-/-), refleks fisiologis normal, kekuatan
5/5, tonus normal.
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 06 Januari 2018
Hematologi Rutin
Parameter Hasil Satuan Range Normal
RBC 5,41 106/mm3 3,80-5,80
Hemoglobin (Hb) 11,2 gr/dl 11,5-16,0
Hematokrit 37,4 % 37,0-47,0
PLT 232 103/mm3 150-500
WBC 6,29 103/mm3 4,0-10,0

5. RESUME
 Pasien anak laki-laki usia 2 tahun masuk RS dengan keluhan tertelan kelereng
sejak < 30 menit sebelum masuk RS. Sianosis (+), sesak (+).
 Pemeriksaan Fisik
 Primary Survey
Airway : Paten
Breathing : Respirasi 20 kali/menit
Circulation : Nadi : 120 kali/menit, regular, kuat angkat,

ASA :I
6. DIAGNOSIS KERJA : Sumbatan jalan napas et causa aspirasi benda asing

25
7. TINDAKAN :
Ekstraksi Corpus Alienum

 Persiapan di Kamar Operasi


1. Persiapan mesin anestesi dan sistem aliran gas dan cadangan volatile agent
2. Persiapan obat dan alat anestesi yang digunakan
3. Persiapan alat-alat, obat resusitasi
1. Menyiapkan pasien di meja operasi, memasang alat pantau tanda vital, tiang
infus, pulse oxymetri
2. Evaluasi ulang status present pasien :
- Nadi: 120 x/menit
- Respirasi: 20 x/menit

 Data Anestesia
1. Jenis anestesi : Anestesi umum (General Anestesi)
2. Teknik anestesi : Intubasi
3. Obat : Sevoflurane
4. E.T.T No. : 4.0
5. Lama anestesi : 2 jam 45 menit
6. Lama operasi : 1 jam
a. Pre-operatif
- Infus RL 500 ml
- Keadaan umum dan tanda vital dalam batas normal
b. Intraoperatif
- Jumlah cairan yang diberikan selama pembedah :
RL 1500 cc dan Gelofusal 1500 cc

26
C. Post operatif
- Nadi: 120 x/menit
- RR: 30 x/menit
- GCS E4V5M6, KU baik

7. Jumlah medikasi
- Sedacum 1 mg
- Fentanyl 30 mcg
- Propofol 2 mg/kg BB
- Sevoflurane
- Dexamethason 1/2 mg
- Ketorolac 15 mg

27
BAB IV
PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan operasi, pasien diperiksa terlebih dahulu, meliputi


anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang untuk menentukan status fisik
(ASA), serta ditentukan rencana jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu general
anestesi dengan intubasi. Setelah dilakukan pemeriksaan tentang keadaan umum
pasien tergolong dalam status fisik ASA I dan diputuskan untuk dilakukan anestesi
umum dengan intubasi, dengan alasan tindakan operasi tersebut dilakukan karena
pasien memiliki riwayat tertelan benda asing, sehingga dengan teknik tersebut
diharapkan benda asing tersebbut dapat dikeluarkan serta jalan napas dapat
dikendalikan dengan baik.
Pertama dilaksanakan premedikasi anestesi. Pasien diberikan premedikasi
berupa sedacum yang berisi midazolam termasuk golongan benzodiazepine. Telah
diketahui bahwa tujuan pemberian premedikasi ialah untuk mengurangi respon
terhadap stress hormone endogen, mengurangi obat induksi maupun rumatan.
Penggunaan midazolam untuk premedikasi pada anak-anak maupun orang usia lanjut
memberikan hasil yang baik. Premedikasi mengurangi stres hormone terutama pada
anak-anak. Dosis yang aman untuk premedikasi iv 0,1-0,2 mg/kgBB. Pada pasien
kali ini diberi midazolam dengan dosis 1 mg.
Selanjutnya induksi dilakukan dengan menggunakan fentanil 30 µg secara
intravena serta sevofluran 2% secara inhalasi. Fentanil 30 µg bolus intravena
digunakan sebagai analgesi opioid. Setelah suntikan intravena, ambilan dan distribusi
Fentanyl secara kualitatif hampir sama dengan morfin, tetapi sebagian besar dirusak
paru ketika pertama kali melewatinya. Dosis analgesi 1-3 g/kgBB intravena untuk
lama kerja 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan
bukan untuk pasca bedah.
Sevofluran (ultane) merupakan halogenisasi eter. Induksi dan pulih dari
anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan

28
tidak merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disamping halotan. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan
aritmia. Sevofluran pada dosis anestetik atau subanestetik menurunkan laju
metabolism otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan
intracranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial ini dapat dikurangi
dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga sevofluran banyak digunakan untuk
bedah otak.
Selain itu pasien juga diberikan Propofol 2 mg/kg BB.. Larutan emulsi
dengan konsentrasi 1%, metabolism sangat cepat terutama karena biotransformasi.
Dalam waktu 30 menit setelah pemberian didapatkan kurang dari 20% propofol yang
berada pada sirkulasi. Onset dan pemulihan cepat seperti halnya pentothal, tetapi
tidak ada hangover dan gangguan psikomotor. Insidens mual dan muntah yang rendah
menyebabkan penderita lebih cepat imobilisasi.
Sebelum dilakukan intubasi diberikan pelumpuh otot terlebih dahulu yakni
bisa digunakan golongan non depolarisasi seperti yang diberikan pada pasien ini yaitu
Esmeron yang berisi Rokuronium Bromida 10 mg/ml, non-depolarising agent bekerja
antagonis terhadap neurotransmitter asetilkolin melalui ikatan reseptor site pada
motor-end-plate. Dapat digunakan pada berbagai tindakan bedah dan untuk
memfasilitasi ventilasi terkendali. Intubasi endotrakeal biasanya sudah dapat
dilakukan dalam 90 detik setelah injeksi intravena 0,5 – 0,6 mg/kg.
Setelah pelumpuh otot bekerja barulah dilakukan intubasi dengan laringoskop
blade lengkung yang disesuaikan dengan anatomis leher pasien dengan metode chin-
lift dan jaw-trust yang berfungsi untuk meluruskan jalan nafas antara mulut dengan
trakea. Setelah jalan nafas dalam keadaan lurus barulah dimasukkan pipa
endotrakeal. Pada pasien ini digunakan ETT dengan cuff nomor 4.0. Pemasangan
ETT pada pasien ini 2 kali dilakukan, hal ini terjadi karena tidak dimasukkan stillet
pada ETT yang digunakan sehingga menyulitkan pemasangan intubasi.
Setelah ETT terfiksasi dilaksanakan pembedahan yang diikuti dengan rumatan
atau yang biasa dikenal dengan maintenance menggunakan O2 + Sevofluran

29
ditambah dengan pemberian cairan parenteral yakni kristaloid untuk mensubstitusi
cairan, baik darah maupun cairan tubuh lainnya, yang keluar selama pembedahan.
Beberapa saat setelah pasien dikeluarkan dari ruang operasi, didapatkan pada
pemeriksaan fisik nadi 82 x/menit, dan laju respirasi 18 x/menit. Maintenance pasien
dengan RL 500 cc/24 jam. GCS E4M6V5 dan kondisi umum pasien baik.

30
DAFTAR PUSTAKA

GwinnuETT CL. 2014. Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3. Penerbit EGC:
Jakarta

Dobson MB. 2012. Penuntun Praktis Anestesi. Penerbit EGC: Jakarta

Karjadi W. 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk Pendidikan


Kedokteran. DIKTI: Jakarta

Orebaugh SL. 2007. Atlas Of Airway Management Techniques and Tools.


Philadelphia: LippincoETT, Williams, and Wilkins.

Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange Medical
Book. 2006.

Peterson GN, Domino KB, Caplan RA et al. 2005. Management of The Difficult
Airway: A Closed Claims Analysis. Anesthesiology 103:33–39

Caplan RA, Benumof JA, Berry FA. 2003. Practice Guidelines For The Management
Of The Difficult Airway: An Updated Report by The American Society of
Anesthesiologist’s Task Force on Management of The Difficult Airway.
Anesthesiology 98:1269–1277

Mallampati SR, GaETT SP, Gugino LD et al. 1985. A Clinical Sign to Predict
Difficult Tracheal Intubation: a Prospective Study. Can J Anaesth 32:429

Hagberg CA (ed). 2007. Benumof ’s Airway Management, 2nd edn. Philadelphia:


Mosby Elsevier.

31

You might also like