You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asfiksia neonatorum ialah suatu keadaan bayi baru lahir yang menderita gagal

nafas secara spontan dan teratur beberapa saat setelah lahir. Secara klinik ditandai

dengan sianosis, bradikardi, hipotonia dan tidak ada respon terhadap rangsang, yang

secara obyektif dapat dinilai dengan APGAR score. Pada asfiksia terjadi kombinasi

hipoksemia,hiperkapnia dan asidosis metabolik, Asfiksia bisa disebabkan oleh faktor

maternal, plasental atau fetal.Insiden asfiksia berat (skor apgar 0-3 pada menit ke 5)

adalah 2,8% dari kelahiran hidup. Berbagai komplikasi bisa terjadi pada neonatus

yang lahir dengan asfiksia berat. Komplikasi tersebut bisa terjadi pada

(Wahyudi,2003)

a. Susunan saraf pusat: ensefalopati hipoksik iskemik

b. Paru : SAM , Hipertensi pulmonal presisten, perdarahan paru

c. Ginjal : gagal ginjal akut

d. Kardiovaskuler: disfungsi miokard dan penurunan kontraktilitas miokard,

syok kardiogenik , gagal jantung

e. Hematologik : Pembekuan intravaskuler menyeluruh

f. Gastrointestinal : Enterokolitis nekrotikan

1
Angka kematian pada bayi asfiksia berat adalah sebesar 50% tetapi 75 % yang

hidup tidak mengalami kelainan yang berat sedangkan yang dengan kelainan,

biasanya mengalami kelainan seperti retardasi mental, kuadriplegi spastic,

mikrosefali, epilepsy dan kelainan sensoris. Indarso pada pengamatanya terhadap 21

bayi dengan asfiksia berat sampai umur 2 tahun menemukan 33% bayi mengalami

kelainan berupa: 42% cerebal palsy, 42% retardasi mental dan 16% DDST tidak

sesuai umur.Komplikasi jangka panjang pada beratnya HIE. 80% bayi yang hidup

dengan riwayat HIE berat mengalami komplikasi serius, 10-20% kecacatan sedang

dan 10 % normal. Bayi yang hidup dengan riwayat HIE sedang 30- 50 % mengalami

komplikasi serius dan 10-20 % komplikasi ringan. Bayi dengan HIE ringan tidak

mengalami komplikasi pada susunan saraf pusat. Walaupun pada saat periode

neonatal tidak dijumpai defisit neurologis yang jelas, masih dapat terjadi gangguan

fungsi dalam jangka panjang (Wahyudi,2003).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarakan uraian latar belakang diatas penulis tertarik untuk membahas

tentang asfiksia

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui definisi, etiologi, dan prevalensi Asfiksia

2. Mengetahui patofisiologi, manifestasi klinis, derajat dan gradasi Asfiksia

3. Mengetahui cara mendiagnosa, komplikasi dan prognosis Asfiksia

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan gawat bayi yang tidak bernafas

spontan dan teratur segera setelah lahir, yang dapat menurunkan O2 (oksigen) dan

makin meningkatkan CO2 (Karbondioksida) sehingga bayi tidak dapat memasukkan

oksigen dan tidak dapat mengeluarkan zat asam arang dari tubuhnya dan

menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut. Keadaan ini disertai

hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis. Konsekuensi fisiologis yang

terutama terjadi pada asfiksia adalah depresi susunan saraf pusat dengan criteria

menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008 didapatkan adanya

gangguan neurologis berupa hypoxic ischaemic enchepalopaty (HIE), akan tetapu

kelainan ini tidak diketahui segera(Wardhani,2008).

Keadaan asidosis dengan gangguan kardiovaskuler serta komplikasinya sebaia

akibat langsung dari hipoksia merupakan penyebab utama kegagalan adaptasi bayi

baru lahir.Kegagalan ini juga berakibat pada terganggunya fungsi dari masing-masing

jaringan dan organ yang akan menjadi masalah pada hari-hari pertama perawatan

setelah lahir (Wardhani,2008).

3
2.2 Epidemiologi

Salah satu penyebab kematian pada masa Perinatal adalah Asfiksia

Neonatorum. Berdasarkan data WHO (World Health Organization), setiap tahunnya

kira-kira 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi baru lahir mengalami asfiksia, hampir satu

juta bayi ini meninggal sedangkan survei WHO tahun 2002 dan 2004, kematian bayi

baru lahir disebabkan oleh Asfiksia Neonatorum sebesar (27%). Di Indonesia Angka

Kematian Bayi (AKB) masih tinggi yaitu 34/1.000 Kelahiran Hidup (SDKI 2007 -

2008). Sedangkan target MDGS 2015 adalah menurunkan Angka Kematian Bayi

menjadi 23/1.000 kelahiran hidup. dari seluruh kematian bayi, sebanyak 47%

meninggal pada masa neonatal ( usia di bawah 1 bulan), setiap 5 menit terdapat 1

neonatal yang meninggal dan penyebab kematian neonatal di Indonesia adalah BBLR

sebanyak 29%, Asfiksia Neonatorum sebanyak 27%, trauma lahir, tetanus

neonatorum, infeksi lain dan kelainan congenital (Herawati,2013)

2.3 Etiologi

Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama

kelahiran kemudian di usul dengan pernafasan teratur. Bila di dapati adanya

gangguan pengangkutan oksigen dari ibu ke janin akan berakibat asfiksia janin.

Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan dan saat lahir.

4
Hampir sebagian besar asfiksia bayi baru lahir merupakan kelanjutan asfiksia

janin, karena itu penilaian janin selama masa kehamilan dan persalinan memegang

peranan penting untuk keselamatan bayi. AHA dan American Academy of Pediatrics

(AAP) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan pernafasan pada bayi uang

terdiri dari (Gomella,2009) :

2.3.1 Faktor Ibu

1) Hipoksia Ibu: Hal ini berakibat pada hipoksia janin. Hipoksia ibu dapat

terjadi karena hipoventikasi akibat pemberian obat analgetik atau anastesi

lain

2) Gangguan aliran darah uterus: berkurangnya aliran darah pada uterus akan

menyebabkan berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan janin

2.3.2 Faktor Plasenta

Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi

plasenta. Asfiksia akan terjadi bila terdaoat gangguan mendadak pada

plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta dan janin

2.3.3 Faktor Janin

Komprensi umbilicus dan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam

pebuluh darah umbilicus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan

janin. Hal ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, tali

pusata melintir leher dan lain-lain

5
2.3.4 Faktor Neonatus

Depresi pusat pernafasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa

hal yaitu:

1) Pemakaian obat anastesi dan analgesia yang berlebihan

2) Trauma persalinan

3) Kelainan kogenital bayi seperti hernia diafragmatika, atresia saluran

pernafasan , hipoplasia paru dan lain-lain

2.4 Patofisiologi

Gangguan suplai darah teroksigenasi melalui vena umbilical dapat terjadi

pada saat antepartum, intrapartum, dan pascapartum saat tali pusat dipotong. Hal ini

diikuti oleh serangkaian kejadian yang dapat diperkirakan ketika asfiksia bertambah

berat (Brilliyangnityas,2011).

a. Awalnya hanya ada sedikit nafas. Sedikit nafas ini dimaksudkan untuk

mengembangkan paru, tetapi bila paru mengembang saat kepala dijalan

lahir atau bila paru tidak mengembang karena suatu hal, aktivitas singkat

ini akan diikuti oleh henti nafas komplit yang disebut apnea primer.

b. Setelah waktu singkat-lama asfiksia tidak dikaji dalam situasi klinis

karena dilakukan tindakan resusitasi yang sesuai –usaha bernafas otomatis

dimulai. Hal ini hanya akan membantu dalam waktu singkat, kemudian

6
jika paru tidak mengembang, secara bertahap terjadi penurunan kekuatan

dan frekuensi pernafasan.

c. Selanjutnya bayi akan memasuki periode apnea terminal. Kecuali jika

dilakukan resusitasi yang tepat, pemulihan dari keadaan terminal ini tidak

akan terjadi.

d. Frekuensi jantung menurun selama apnea primer dan akhirnya turun di

bawah 100 kali/menit. Frekuensi jantung mungkin sedikit meningkat saat

bayi bernafas terengah-engah tetapi bersama dengan menurun dan

hentinya nafas terengah-engah bayi, frekuensi jantung terus berkurang.

Keadaan asam-basa semakin memburuk, metabolisme selular gagal,

jantungpun berhenti. Keadaan ini akan terjadi dalam waktu cukup lama.

e. Selama apnea primer, tekanan darah meningkat bersama dengan

pelepasan ketokolamin dan zat kimia stress lainnya. Walupun demikian,

tekanan darah yang terkait erat dengan frekuensi jantung, mengalami

penurunan tajam selama apnea terminal.

f. Terjadi penurunan pH yang hamper linier sejak awitan asfiksia. Apnea

primer dan apnea terminal mungkin tidak selalu dapat dibedakan. Pada

umumnya bradikardi berat dan kondisi syok memburuk apnea terminal.

Proses kelahiran selalu menimbukan asfiksia ringan yang bersifat sementara,

proses ini dianggap perlu untuk merangsang kemoreseptor pusat pernafasan agar

terjadi Primary Gasping yang kemudian berlanjut dengan pernafasan teratur.

7
Sifat asfiksia ini tidak mempunyai pengaruh buruk karena reaksi adaptasi bayi

dapat mengatasinya. Kegagalan pernafasan mengakibatkan gangguan pertukaran

oksigen dan kabondioksida sehingga menimbulkan berkurangnya oksigen dan

meningkatnya karbondioksida, diikuti dengan asidosis respiratorik. Apabila proses

berlanjut maka metabolism sel akan berlangsung dalam suasana metabolic yang

berupa glikolisis gilkogen sehingga sumber utama glikogen terutama pada jantung

dan hati akan berkurang dan asam organic yang terjadi akan menyebabkan asidosis

metabolic. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan yang disebabkan beberapa

keadaan diantaranya;

a. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi

jantung akan memepengaruhi fungsi jantung

b. Terjadinya Asidosi metabolic mengakibatkan menurunnya sel jaringan

termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung

c. Pengisisan udara alveolus yang kurang adkuat menyebabkan tetap

tingginya resistensi pembuluh darah paru, sehingga sirkulasi darah ke paru

dan system sirkulasi tubuh lain mengalami gangguan

Sehubungan dengan proses faal tersebut maka fase awa asfiksia ditandai

dengan pernafasan cepat dan dalam selama tiga menit ( Periode hiperpneu) diikuti

dengan apneu primer kira-kira satu menit dimana pada saat ini denyut jantung dan

tekanan darah menurun(Wardhani,2008).

8
Kemudian bayi akan mulai bernafas )Gasping) 8-10 x/menit selama beberapa

menit , gasping ini semakin melemah sehingga akhirnya timbul apneu sekunder. Pada

keadaan normal fase-fase ini tidak jelas terlihat karena setelah pembersihan jalan

nafas bayi maka bayi akan segera bernafas dan menangis kuat.

Pemakaian sumber

glikogen untuk energy dalam

metabolism anaerob

menyebabkan dalam waktu

singkat tubuh bayi akan

menderita hipoglikemia. Pada

asfiksia berat menyebabkan

kerusakan membrane sel

terutama sel susunan saraf pusat

sehingga mengakibatkan

gangguan elektrolit, berakibat

menjadi hiperkalemia dan pembengkakan sel. Kerusakan sel otak terjadi asfiksia

berlangsung selama 8-15 menit.

Manifestasi dari kerusakan sel otak dapat berupa HIE yang terjadi setelah 24

jam pertama dengan didapatkan adanya gejala seperti kejang subtle, multifaktorial

atau fokal klonik. (Wardhani,2008)

9
Manifestasi ini dapat muncul sampai hari ketujuh dan untuk penegakan

diagnosis diperlukan pemeriksaan penunjang seperti USG kepala dan rekaman

elektroensefalografi. Iskemia dapat mengakibatkan sumbatan pada pembuluh darah

kecil setelah mengalami asfiksia selama lima menit atau lebih sehingga darah tidak

dapat mengalir merkipun tekanan perfusi darah sudah kembali normal. Peristiwa ini

mungkin mempunyai peranan penting dalam menentukan kerusakan menetap pada

proses asfiksia (Wardhani,2008)

2.5 Manifestasi Klinis

1) Asfiksia Livida, ciri-cirinya : warna kulit kebirubiruan, tonus otot masih

baik, reaksi rangsangan positif, bunyi jantung reguler,prognosi lebih baik.

2) Asfiksia Pallida, ciri-cirinya : warna kulit pucat, tonus otot sudah kurang,

tidak ada reaksi rangsangan, bunyi jantung irreguler, prognosis jelek (Mochtar

2013). Manifestasi Klinis Umum :

1) Bayi tidak bernafas atau bernafas megapmegap

2) Denyut jantung kurang dari 100 kali permenit

3) Warna kulit sianosis, (pucat atau kebiruan)

4) Tonus otot menurun

5) Kejang

6) Untuk diagnosis asfiksia tidak perlu menunggu nilai / Apgar Skor

10
2.6 Diagnosa

Neonatus yang mengalami asfiksia neonatorum didapatkan riwayat gangguan

lahir, lahir tidak bernafas dengan adekuat, riwayat ketuban bercampur mekonium.

Temuan klinis yang didapat pada neonatus dengan asfiksia neonatorum dapat berupa

lahir tidak bernafas/megap-megap, denyut jantung <100x/menit , kulit sianosus atau

pucat dan tonus otot yang melemah. Secara klinis dapat digunakan skor APGAR pada

menit ke-1,ke-5 dan ke-10 untuk mendiagnosa dan mengklasifikasikan derajat

asfiksia secara cepat. Skor APGAR merupakan metode obyektif untuk menilai kodisi

bayi baru lahir dan berguna untuk memberikan informasi mengenai keadaan bayi

secara keseluruhan dan keberhasilan tindakan resusitasi. Walaupun demikian,

tindakan resusitasi harus dimulai sebelum perhitungan pada menit pertama

(Radityo,2011)

Jadi skor APGAR tidak digunakan untuk menentukan apakah seorang bayi

memerlukan resusitasi, langkah mana yang dibutuhkan atau kapan kita

menggunakanya. Ada 3 tanda utama yang digunakan untuk menentukan bagaimana

dan kapan melakukan resusitasi ( pernafasan, frekuensi jantung, warna kulit ) dan ini

merupakan bagian dari skor APGAR. Dua tanda tambahan ( tonus Otot dan reflex

rangsangan) menggambarkan keadaan neurologis. Skor APGAR biasanya dinilai

pada menit 1 kemudian pada menit ke 5. Jika nilainya pad amenitt kelima <7,

tambahan penilaian harus dilakukan setiap 5 menit sampai 20 menit. (Radityo,2011)

11
Walaupun skor APGAR bukan merupkan nilai prediksi yang baik untuk hasil,

akan tetapi perubahan nilai yang terjadi pada saat resusitasi dapat menggambarkan

bagaimana bayi memberikan respon tindakan resusitasi.Pemeriksaan penunjang yang

diperlukan adalah analisis gas darah dimana pada neonatus dengan asfiksia

neonatorum didapatkan PaO2 < 50mmH2O, PaCO2>55 mmH2O2, pH<7,3.WHO

pada tahun 2008 sudah menambahkan criteria dalam penegakan diagnosis asfiksia

selaian berdasarakan skor APGAR dan adanya asidosis metabolic ditambahkan

adanya gangguan fungsi organ berupa gejala neurologis seperti HIE, akan tetapi

penegakan diagnose HIE tidak dapat dilakukan dengan segera dan terdapat berbagai

keterbatasan dalam aplikasinya di komunitas (Radityo,2011)

Hal ini membuat diagnosis asfiksia secara cepat dikomunitas menggunakan

criteria penilaian adanya gangguan pada pernafasan. Frekuensi jantung dan warna

kulit ditunjang dengan hasil analisa gas darah yang menunjukan adanya asidosis

metabolik (Radityo,2011)

2.7 Penatalaksanaan

 Bila nafas bayi kurang dati 20x/menit atau bayi mengalami megap-megap atau

tidak bernafassecara spontan , maka lakukan resusitasi dengan menggunakan

balon dan sungkup (IDAI,2005)

 Bila bayi Apneu lakukan manjemen gangguan napas

12
 Ajari ibu untuk mengenali adanya kejang dan tanda kegawatan lainya,bila bayi

kejang tangani kejang (IDAI,2005)

13
 Beri oksigen, bila diperlukan untuk gangguan nafas. Kurangi oksigen secara

bertahap sampai batas paling rendah untuk memperbaiki gangguan nafas dan

mencegah sianosis sentral

 Ukur suhu aksiler setiapdua jamdan tangani bila ditemukan suhu tubuh abnormal

 Yakinkan bahwa bayi dapat minum dengan baik

o Bila bayi dapat menghisap dengan baik dan tidak sedang mendapat oksigen

anjurkan bayi untuk tetap menyusu ASI

o Bila bayi sedang mendapatkan oksigen atau tidak dapat menyusui ASI, beri

ASI peras dengan salah satu alternative cara pemberian minum

o Bila bayi tidak bias menerima minum termasuk melalui pipa lambung maka

pasang jalur invus dan beri cairan dengan dosis rumatan secara IV

 Bila bayi dapat minum dengan baik dan tidak ada masalah lain yang memerlukan

perawatan di rumah sakit, maka bayi dapat dipulangkan. Lakukanlah tindak

lanjut dalam satu minggu atau kurang dari satu minggu bila ibu menemukan

masalah

 Sebelum memulangkan bayi kerumah, lakukan diskusi dengan ibu tentang

kemungkinan timbulnya masalah pada bayi setelah pulang kerumah (Rewel,

malas minum) dan bagaimana cara mengenalinya. Juga diskusikan dengan ibu

tentang prognosis bayinya. Bayi dengan asfiksis neonatorum dapat menderita

beberapa dampak. Kadang kadang dampak ini berupa gangguan nafas minimal,

sampai sedang , tetapi kadang –kadang sampai terjadi kerusakan otak

14
o Kerusakan otak tipe ringan menyebabkan bayi sulit tidur (hyperalert) atau

tremor /gemetar, yang dapat menetap selama 24 jam-48 jam dan kemudian

akan berhenti secara spontan

o Kerusakan otak sedang dapat mengakibatkan letargi, tonus otot menurun dan

bayi sering mengalami kejang. Masalah ini dapat berlangsung selama satu

minggu dab biasanya akan menghilang secara spontan

o Kerusakan otak berat sering mengakibatkan penurunan kesadaran atau bayi

tidak sadar, diserati dengan opistotonus, penurunan frekuensi napas atau

apnea. Bayi ini sering menderita kerusakan otak menetap (IDAI,2005).

Terapi bersifat suportif dan berhubungan langsung dengan manifestasi kelainan

sistem organ. Tetapi hingga saat ini, tidak ada terapi yang terbukti efektif untuk

mengatasi cedera jaringan otak, walaupun banyak obat dan prosedur telah dilakukan7.

Fenobarbital merupakan obat pilihan keluhan kejang yang diberikan dengan dosis

awal 20mg/kg dan jika diperlukan dapat ditambahkan 10mg/kg hingga 40-

50mg/kg/hari intravena.(Wahyudi,2003)

Fenitoin dengan dosis awal 20mg/kg atau lorazepam 0,1mg/kg dapat digunakan

untuk kejang yang bersifat refrakter. Kadar fenobarbital dalam darah harus dimonitor

dalam 24 jam setelah dosis awal dan terapi pemeliharaan dimulai dengan dosis

5mg/kg/hari. Kadar fenobarbital yang berfungsi terapeutik berkisar 20-40g/mL.

Pada beberapa percobaan dengan hewan dan manusia ditemukan keuntungan dalam

hubungannya dengan hasil akhir neurologi (Wahyudi,2003).

15
Cara yang digunakan disebut selective cerebral cooling yang menggunakan air

dingin disekitar kepala. Penelitian lanjutan masih dibutuhkan untuk dapat

merekomendasikan pengobatan ini khususnya pada bayi. .(Wahyudi,2003)

Allopurinol pada bayi prematur ternyata tidak mempunyai manfaat dalam

menurunkan insiden periventrikuler leukomalasia. Dikatakan pada hewan coba,

allopurinol mempunyai peranan sebagai additive cerebral cooling sebagai

neuroprotektor. Penelitian lanjutan masih dibutuhkan untuk merekomendasikan

penggunaan allopurinol pada neonatus dengan ensefalopati hipoksik iskemik.

.(Wahyudi,2003)

Penggunaan steroid pada percobaan hewan tidak mempunyai manfaat

menurunkan cedera otak. Pada serial kasus yang dilaporkan, steroid hanya

menurunkan tekanan intra kranial secara temporer dan tidak memperbaiki hasil akhir

penderita dengan ensefalopati hipoksik iskemik .(Wahyudi,2003)

2.8 Komplikasi

Asfiksia neonatorum dapat berakibat gangguan pada berbagai jaringan dan organ,

kematian atau sekuele akibat terjadinya proses penyembuhan disfungsi organ yang

berlangsung lama. Manifestasi yang didapatkan .(Wahyudi,2003):

1. Depresi neonatus saat lahir akibat asidosis dan rendahnya nilai APGAR

2. Disfungsi Sistem Multiorgan

16
a. Sistem saraf pusat

Ensefalopati hipoksisk iskemik dibagi menjadi 3 stadium . stadium 1

(ringan) ditandai gelisah , iritabel, tonus otot masih normal, hiporefleksi,

takikardi, sekresi saluran nafas berurang, motilitas gastrointertinal

menururn, pupil dilatasi , belum terjadi kejang, pemeriksaan EEG masih

normal, Stadium 2 (sedang) ditandai letargik, hipotoni, kelemahan otot

proksimal, reflex melemah, bradikardi, sekresi saluran nafas berlebihan,

motilitas gastrointestinal meningkat, pupil miosis, kejang pemeriksaan

EEG adnya aktiitas kejang dan atau penurunan voltase. Pada stadium 3

(berat) ditandai dengan stupor dan falksid, hiposefleksi, tidak dapat

mengenyut, reflex morro hilang, pupil anisokor, reflex pupil menurun ,

suhu tidak stabil, dan kejang berulang.HIE terjadi pada 12 jam sampai 7

hari pertama kehidupan

b. Gangguan fungsi ginjan, ditandai dengan oliguria dan meningkatnya

kreatinin

c. Kardiomiopati

d. Gangguan fungsi paru seperti hipertensi pulmonal

e. DIC

f. Kegagalan fungsi hati

17
2.9 Prognosis

Ekert dkk (1997) meneliti variabel-variabel yang dapat digunakan untuk

menentukan kapan neonatus pasca ensefalopati hipoksik-iskemik memerlukan obat-

obat neuroprotektif untuk mencegah kecacatan. Variabel-variabel tersebut adalah

usia saat bernafas spontan, perlunya kompresi dada, dan usia saat terjadinya kejang.

Disimpulkan jika nafas spontan terjadi > 10 menit dan kejang yang timbul dalam usia

< 4 jam berhubungan dengan prognosis yang buruk. Mercuri dkk (2000), melakukan

studi dengan menggunakan MRI untuk mengetahui hubungan antara lingkar kepala

anak usia 1 tahun dengan riwayat ensefalopati hipoksik-iskemik pada saat neonatus.

Disimpulkan bahwa lingkar kepala yang suboptimal dan mikrosefali sekunder sering

terjadi pada anak dengan riwayat ensefalopati hipoksik-iskemik. Keadaan ini

dihubungkan dengan adanya lesi pada masa putih, talamus dan ganglia basalis.

Dianjurkan pengukuran lingkar kepala secara teratur untuk mengetahui kapan

terjadinya mikrosefali sekunder (Manoe dan Amir,2003)

18
(Queensland,2010)

19
BAB III

KESIMPULAN

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada

saat lahir atau beberapa saat setelah lahir Di Indonesia Angka Kematian Bayi (AKB)

masih tinggi yaitu 34/1.000 Kelahiran Hidup (SDKI 2007 - 2008). Sedangkan target

MDGS 2015 adalah menurunkan Angka Kematian Bayi menjadi 23/1.000 kelahiran

hidup. Yang secara etiologi dapat disebabkan oleh faktor ibu , janin , plasenta dsb.

Angka kematian pada bayi asfiksia berat adalah sebesar 50% tetapi 75 % yang hidup

tidak mengalami kelainan yang berat sedangkan yang dengan kelainan, biasanya

mengalami kelainan seperti retardasi mental, kuadriplegi spastic, mikrosefali,

epilepsy dan kelainan sensoris

20
DAFTAR PUSTAKA

 Dharmasetiawani, N.(2008) Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Badan Penerbit

IDAI.

 Gomella Lacy, T. (2009). Neonatology : Management, Procedures, On-Call

Problems, Diseases, and Drugs. United States of America : The McGraw-Hill

Companies,Inc

 Herawati,R (2013) Faktor – Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Asfiksia

Neonatorum Pada Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit Umum Daerah

Kabupaten Rokan Hulu. Jurnal Maternity and Neonatal Vol 1 No 2 diakses dari :

http://e-journal.upp.ac.id/index.php/akbd/article/view/148/150 [20 juni 2015]

 Kosim, dkk (2008) Buku Panduan Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir

untuk Dokter, Bidan dan Perawat di Rumah Sakit. Jakarta :IDAI (UKK

Perinatalogi, MNH-JHPIEGO , dan Departement Kesehatan Republik

Indonesia.

 Manoe,V.M. Amir, I (2003) Gangguan Fungsi Multi Organ pada Bayi

Asfiksia Berat. Sari Pediatri, Vol. 5, No. 2, September 2003: 72 – 78 diakses

dari : http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/5-2-6.pdf [22 juni 2015]

 Mochtar, Rustam,(2013) Sinopsis Obstetri. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta: Buku

Kedokteran EGC

21
 Prambudi, R. (2013). Prosedur Tindakan Neonatusi. Dalam; Neonatologi

Praktis. Anugrah Utama Raharja. Cetakan Pertama. Bandar Lampung, hal.

115 – 31

 Radityo,S.A.N (2011) Asfikisa Neonatorum sebagai Faktor Resiko Gagal

Ginjal Akut.Semarang :Universitas Diponogoro diakses dari :

http://eprints.undip.ac.id/29132 [ 21 Juni 2015].

 Wahyudi,S (2003) Thesis Asfiksia Berat pada Neonatorum Aterm.Semarang:

Universitas Diponogoro diakses dari :

http://core.ac.uk/download/pdf/11713105.pdf [23 Juni 2015]

 Wardhani (2008) Hubungan Asfiksia Sedang dan Berat dengan Gagal Ginjal

Akut pada Neonatus di RSUP dr.Kariadi. Semarang : Universitas Diponogoro

diakses dari: http://core.ac.uk/download/pdf/11713696.pdf. [22 Juni 2015]

22

You might also like