You are on page 1of 11

Riwayat penyakit / gejala :

 Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan

 Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak

 Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari

 Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu

 Respons terhadap pemberian bronkodilator

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :

 Riwayat keluarga (atopi)

 Riwayat alergi / atopi

 Penyakit lain yang memberatkan

 Perkembangan penyakit dan pengobatan


Sumber : Antariksa, Budhi. 2009. Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma. Jakarta: Departemen Pulmonologi
dan ilmu kedokteran Respiratori FKUI.

Berdasarkan etiologinya urtikaria dibagi menjadi

1) urtikaria imunologik : urtikaria autoimun, kontak alergi dan kompleks imun.

2) urtikaria nonimunologik: urtikaria fisik, karena obat-obatan dan kontak non alergi.

3) Urtikaria idiopatik.

Menurut European Academy of Allergology and Clinical Immunology (EAACI) tahun 2006 secara klinis
urtikaria diklasifikasikan menjadi

1) urtikaria spontan: urtikaria akut dan urtikaria kronis.

2) Urtikaria fisik: dermografik, delayed pressure, panas, dingin, solar dan getaran.

3) Urtikaria spesifik: kolinergik, adrenergik, kontak (alergi/non alergi) dan aquagenik.

Para ahli yang lain menambahkan klasifikasi dengan urtikaria yang berhubungan dengan penyakit lain
seperti urtikaria pigmentosa (mastositosis) dan vaskulitis.

Sumber : JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 13 Nomor 2 Agustus 2013. Fitria. ASPEK ETIOLOGI
DAN KLINIS PADA URTIKARIA DAN ANGIOEDEMA. Banda Aceh
(http://download.portalgaruda.org/article.php?article=428854&val=3947&title=ASPEK%20ETIOLOGI%20D
AN%20KLINIS%20PADA%20URTIKARIA%20%20DAN%20ANGIOEDEMA)

- Adanya bentol kemerahan pada kulit yang umumnya mudah dikenali bahkan oleh orangtua pasien.
- Awitan dan riwayat penyakit serupa sebelumnya: untuk membedakan akut atau kronik dan
mengidentifikasi faktor pencetus yang mungkin sama dengan cetusan sebelumnya
- Faktor pencetus, ditanyakan faktor yang ada di lingkungan, seperti: alergen berupa debu, tungau
debu rumah (terdapat pada karpet, kasur, sofa, tirai, boneka berbulu), hewan peliharaan,
tumbuhan, sengatan binatang, serta faktor makanan, seperti zat warna, zat pengawet, zat
penambah/modifikasi rasa, obat-obatan (contoh: aspirin, atau antiinflamasi non steroid lain),
faktor fisik (seperti: dingin, panas, dsb).
- Riwayat sakit sebelumnya: demam, keganasan, infestasi cacing.
- Riwayat pengobatan untuk episode yang sedang berlangsung.
- Riwayat atopi dan riwayat sakit lain pada keluarga: mastositosis

Pemeriksaan fisis

- Pada pemeriksaan fisis ditemukan lesi kulit berupa bentol kemerahan yang memutih di bagian
tengah bila ditekan.Lesi disertai rasa gatal.Yang perlu diperhatikan distribusi lesi, pada daerah yang
kontak dengan pencetus, pada badan saja, dan jauh dari ekstremitas, atau seluruh tubuh. Yang
perlu diperhatikan adalah bentuk lesi yang mirip, bintik kecil-kecil di atas daerah kemerahan yang
luas pada urtikaria kolinergik.
- Yang per diwaspadai: Adanya angioedema adanya distress napas, adanya kolik abdomen, suhu
tubuh meningkat bila lesi luas, dan tanda infeksi fokal yang mencetuskan urticaria
- Pada urtikaria kronik
Hal terpenting pada urtikaria kronik adalah mencari bukti dan pola yang menunjukkan penyakit
lain yang mendasari, misalnya, mastositosis yang terjadi pada kisaran usia 2 tahun pertama dengan
predileksi pada tubuh (bukan ekstremitas):lesi yang menghilang apabila dilakukan eliminasi diet
tertentu, seperti pada penyakit seliak, yaitu urtikaria menghilang setelah diberi diet bebas gluten.

Penatalaksanaannya

Tata laksana

Menghindari pencetus merupakan tata laksana definitif untuk mencegah terjadinya urtikaria.

Medikamentosa

Medikamentosa utama adalah antihistamin karena mediator utama pada urtikaria adalah histamin,
Preparat yang bisa digunakan

- Antihistamin H, generasi I, misal klorfeninamin maleat dengan dosis: 0,25 mg kgBB/hari dibagi
dalam 3 dosis atau antihistamin H, generasi II yang kurang sedatif dibandingkan yang generasi I.
Contoh: setirizin dengan dosis: 0,25 mg/kgBB kali (usia <2 tahun 2 kali per hari: >2 tahun: I kali
perhari)
- Penambahan antihistamin H2, misal simetidin 5 mg/kgBB/kali, 3 kali sehari dapat membantu
efektifitas antihistamin I
- Adrenalin 1:1000, 0.01 ml kg (maksimum 0,3 ml) intramuskular diberikan bila urtikaria luas atau
meluas dengan cepat atau terdapat distres pernapasan
- Kortikosteroid jangka pendek ditambahkan bila urtikaria disertai angioedema, atau bila urtikaria
diduga berlangsung akibat reaksi alergi fase lambat.
- Leukotriene pathway modifiers.

Suportif

- Lingkungan yang bersih dan nyaman (suhu ruangan tidak terlalu panas atau pengap. dan ruangan
tidak penuh sesak) Pakaian,handuk.sprei dibilas bersih dari sisa detenien dan diganti lebih sering.
- Pasien dan keluarga diedukasi untuk kecukupan hidrasi, dan menghindarkan garukan untuk
mencegah infeksi sekunder.

Sumber : Badriul Hegar et al. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid 1.
Jakarta.
Dermatitis Atopic

Gejala :

Gejala klinis DA secara umum adalah gatal, kulit kering dan timbulnya eksim (eksematous
inflammation) yang berjalan kronik dan residiv. Rasa gatal yang hebat menyebabkan garukan siang dan
malam sehingga memberikan tanda bekas garukan (scratch mark) yang akan diikuti oleh kelainan-
kelainan sekunder berupa papula, erosi atau ekskoriasi dan selanjutnya akan terjadi likenifikasi bila
proses menjadi kronis.

Penatalaksanaan

1. Menghindari bahan iritan


Bahan-bahan seperti sabun, detergen, bahan kimiawi, rokok, pakaian kasar, suhu yang ekstrem
dan lembab harus dihindari karena penderita DA mempunyai nilai ambang rendah dalam
merespon berbagai iritan. Penggunaan sabun mandi harus yang mild dan dengan pH netral.
Pemakaian krim tabir surya perlu untik mencegah paparan sinar matahari yang berlebihan.
2. Mengeliminasi allergen yang telah terbukti
Alergen yang telah terbukti sebagai pemicu kekambuhan harus dihindari, seperti makanan,
debu rumah, bulu binatang, serbuk sari tanaman dan sebagainya.
3. Menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi)
Kulit penderita atopik menunjukkan adanya transepidermal water loss yang meningkat. Oleh
karena itu hidrasi penting dalam berhasilnya terapi, misalnya pada kulit penderita atopik
diberikan suatu bebat basah selama 15- 20 menit agar terjadi penyerapan air atau mandi
dengan air hangat.
4. Pemberian pelembab kulit (moisturizing)
Pelembab bisa berbentuk cairan, krim atau salep. Pemakaian pelembab dapat memperbaiki
fungsi barier stratum korneum dan mengurangi kebutuhan steroid topikal.
5. Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal dipakai sebagai anti inflamasi dan anti pruritus dan berguna pada saat
eksserbasi akut. Selain itu berkhasiat pula sebagai anti mitotik. Pada prinsipnya penggunaan
steroid topikal dipilih yang paling lemah potensinya yang masih efektif .Oleh karena makin
kuat potensi makin banyak efek samping seperti atrofi kulit, hipopigmentasi, erupsi
akneformis, infeksi sekunder dan terjadinya striae
6. Pemberian antibiotik
Penderita DA mempunyai kepekaan yang meningkat terhadap berbagai agen mikrobial, seperti
virus jamur maupun bakteri. Penggunaan antibiotik terutama ditujukan pada lesi DA dengan
infeksi sekunder (oleh S. aureus). Sebagai obat pilihan adalah eritromisin; dan bila ada
gangguan gastroiintestinal atau telah resistan, maka obat alternatif adalah sefalasporin
generasi pertama atau kedua. Mupirocin sebagai anti-staphylococcal topikal dapat mencegah
meluasnya lesi kulit.
7. Pemberian antihistamin
Antihistamin digunakan sebagai antipruritus yang cukup memuaskan untuk terapi simptomatis
pada DA. Klasifikasi antihistamin berdasarkan ada tidaknya efek sedasi adalah: - antihistamin
generasi pertama atau generasi lama - antihistamin generasi kedua atau non sedatif
antihistamine Generasi pertama dapat menembus sewar darah otak sehingga mempunyai efek
sedasi sebagai contoh : klorfeneramin, difenhidramin, hidroksizin, prometazin, pirilamin dan
tripolidin. Sedangkan generasi kedua termasuk antara lain: astemizol, loratadin, citirisin,
terfenadin dan fexofenadin. Loratadine 10 mg ataupun citirisin 5-10 mg dosis tanggal
dikatakan dapat mengurangi gejala secara cepat. Selain itu citirisin atau fexofenadine
mempunyai efek antiinflamasi pula yaitu dengan menghambat ekspresi molekul adesi sehingga
mengurangi migrasi sel-sel radang menuju ketempat inflamasi. Apabila rasa gatal pada malam
hari masih mengganggu dapat diberikan antihistamin generasi pertama, seperti hidroksizin
atau doxepin agar penderita dapat tidur nyenyak. Pemberian antihistamin lokal tidak
dianjurkan oleh karena mempunyai potensi sensitisasi, sehingga dapat menyebabkan reaksi
hipersensitivitas.
8. Mengurangi stress
Stres emosi pada penderita DA merupakan pemicu kekambuhan, bukan sebagai penyebab. Di
dalam merespon stress, rasa frustasi atau kekecewaan sering kali dengan timbul gatal dan
garukan maka terjadi lingkaran setan: stres-gatal-garukan. Garukan pada kulit merupakan
trauma pada keratinosit yang dapat merangsang keluarnya sitokin IL-1 dan TNF- dan sitokin
ini akan meningkatkan ekspresi molekul adesi yang pada akhirnya akan lebih memudahkan
terjadinya inflamasi. Usaha-usaha mengurangi stres adalah dengan melakukan konseling pada
penderita DA, terutama yang mempunyai kebiasaan menggaruk. Pendekatan psiko-terapi
perlu pula dilaksanakan untuk mengurangi stress kejiwaan penderita.
9. Memberikan edukasi pada penderita maupun keluarganya
Unsur pendidikan mengenai penyakitnya, faktor-faktor pemicu kekambuhan, kebiasaan hidup
dansebagainya perlu diberikan pada penderita untuk memperoleh hasil pengobatan yang
optimal.

Sumber : Kariosentono, H. 2006. DERMATITIS ATOPIK (EKSEMA). Lembaga Pengembangan Pendidikan


(LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press). Jawa Tengah

rinitis alergi

Gejala

Gejala rinitis alergi yang dari berkhas ialah terdapatnya serangan bersin ulang. Gejala lain ialah
keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul
tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan
keluhan utama atau satu satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.

Gejala pada pemeriksaan fisik :

Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang
terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung Gejala ini disebut allergic shiner.
Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok gosok hidung, karena gatal, dengan punggung
tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan
akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang
disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga
akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring
tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal.
Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).

Klasifikasi Rinitis Alergi


Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,
yaitu

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).


Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang
mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu serbuk (pollen) dan spora
jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah pollinosis
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi
musim jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah
alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan
utama adalah alergen dalam rumah (indoor) contoh: tungau dan alergen diluar rumah
(outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya
disertai dengan gejala alergi yang lain seperti urtikaria, gangguan pencernaan.
Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan
golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering
ditemukan.

Saat ini digunakan rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA
(Allergic Rhinitis and its lmpact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi:

1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
2. Persisten/menetap: bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu

Sedangkan untuk derajat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi

1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu
2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

Penatalaksanaan

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi

2. Medikamentosa

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik
yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian
dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1


(klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga
dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta
mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah
difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat
diberikan secara topikal adalah azelastin. Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik,
sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1
perifer dan tidak mempunyai efek anti-kolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP
minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah
serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore bersin,
gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat.
Antihistamin non sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya.
Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik.
Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan
dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak
(sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin,setirisin, fexofenadin,
desloratadin dan levosetirisin.

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai


dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk
menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat


respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah
kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mo metassion
furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel
mastosit pada mukosa hidung mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,
mengurangi aktifitas limfosit mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel
hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan alergen (bekerja pada respon fase
cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja men stabilkan mastosit
(mungkin menghambat ion kalsium) sehingga penglepasan mediator dihambat. Pada
respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat
aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan
sebagai profilaksis.

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk


mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel
efektor. Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien (zafirlukast/
montelukast), anti lgE, DNA rekombinan.

3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti
atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior
hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3
25% atau triklor asetat.

4. lmunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan
sudah berlangsung lama, serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil
yang memuaskan. Tujuan dari imuno- terapi adalah pembentukkan IgG blocking
antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu
intradermal dan sublingual.
Sumber: FKUI, 2016, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher, Badan
Penerbit FKUI, Jakarta

Syok anafilaktik

Gejala respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja yang kemudian segera
diikuti dengan sesak napas.

Gejala pada kulit merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi anafilaktik. Walaupun
gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat penting untuk diperhatikan sebab ini mungkin
merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan nafas dan
gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gejala kulit berupa gatal, kulit kemerahan harus diwaspadai
untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat. Manifestasi dari gangguan gastrointestinal berupa
perut kram,mual,muntah sampai diare yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya
gejala gangguan nafas dan sirkulasi.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan

a. Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal dengan kursi) akan
membantu menaikkan venous return sehingga tekanan darah ikut meningkat.

b. Pemberian Oksigen 3–5 ltr/menit harus dilakukan, pada keadaan yang


amat ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu
dipertimbangkan.
c. Pemasangan infus, Cairan plasma expander (Dextran) merupakan
pilihan utama guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya.
Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis
dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus
sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.
d. Adrenalin 0,3 – 0,5 ml dari larutan 1 : 1000 diberikan secara
intramuskuler yang dapat diulangi 5–10 menit. Dosis ulangan umumnya
diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon
pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara
intravenous setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spuit 10 ml
dengan NaCl fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian subkutan,
sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya lambat
bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga
absorbsi obat tidak terjadi.
e. Aminofilin, dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila
bronkospasme belum hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg
aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit intravena. Dapat
dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila dianggap perlu.
f. Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah
adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok
anafilaktik, dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna
mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged
effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5 –
20 mg IV dan untuk golongan kortikosteroid dapat digunakan
deksametason 5 – 10 mg IV atau hidrokortison 100 – 250 mg IV.
g. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP), seandainya terjadi henti jantung (cardiac
arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan
sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan
terjadinya henti jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka
sewajarnya ditiap ruang praktek seorang dokter tersedia selain obat-obat
emergency, perangkat infus dan cairannya juga perangkat resusitasi
(Resuscitation kit) untuk memudahkan tindakan secepatnya.
Sumber : Badriul Hegar et al. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid 1.
Jakarta.

You might also like