You are on page 1of 24

17

3.2.4 Langkah 4 : pembuatan pit bottom


Setelah model cadangan diketahui langkah berikutnya adalah pembuatan pit
bottom (Gambar 3.7).

Tanpa skala, (Sumber : Surpac Vision 2005)


Gambar 3.7
Pit Bottom

3.2.5. Langkah 5 : pembuatan pit


Langkah kelima adalah mengerjakan perancangan pit sesuai dengan target
produksi yang dikehendaki (Gambar 3.8).

Tanpa skala, (Sumber : Surpac Vision 2005)


Gambar 3.8
Perancangan Pit
18

3.3. Parameter-parameter Rancangan (Design)


Untuk pembuatan perancangan tambang sesuai dengan target produksi
diperlukan parameter-parameter. Parameter tersebut meliputi :
(1) Topografi Detil
Informasi ini dapat dalam bentuk kontur hasil digitasi yang tersimpan dalam file
komputer, atau berupa file survey titik-titik ketinggian, termasuk drillhole collars.
Alternatif lain yaitu memodelkan permukaan dari data titik-titik ketinggian
menggunakan Digital Terrain Modelling (DTM) yang dibangun secara efektif dengan
metode triangulasi.
(2) Kemiringan Jenjang (Batter)
Pada awalnya sebuah desain pit dibuat dengan overall slope sebesar 45º dan
kemudian dimodifikasi berdasarkan informasi geoteknik dari material yang ada dalam
pit tersebut. Batter dapat diatur pada kemiringan 30º-35º untuk overburden, meningkat
hingga 35º-40º untuk batuan yang lapuk, dan hingga 55º untuk batuan fresh. Menurut
Robert, Hook dan Fish (1972) sebaiknya kemiringan lereng kurang dari 60º pada
kedalaman 65m dan kurang dari 40º pada kedalaman 300m.
(3) Tinggi Jenjang
Ketinggian jenjang berbeda-beda untuk setiap pit. Tergantung pada peralatan
yang digunakan, kedalaman pit dan pada geologi lokal atau derajat iklimnya. Lereng
pada overburden yang lemah atau tak terkonsolidasi, atau pada tanah yang telah terbuka;
relatif lebih tipis, kurang lebih 2-5m. Sebuah survei yang dilakukan Canadian Mining
Journal (1988) menunjukkan bahwa untuk range yang lebar dari beberapa badan
endapan, lereng-lereng bervariasi tingginya dari 6-20m. Pada operasi tambang dengan
produksi 10.000 ton/hari; penambangan dapat dioperasikan pada lereng dengan
ketinggian 10m. Pada Continental Pit, Butte, Montana, terdapat lereng dengan
ketinggian 12m pada batuan alluvium hingga 24m pada batuan kompeten. Operasi-
operasi tambang yang lebih kecil biasanya menggunakan lereng dengan ketinggian 6-
8m.
(4) Permuka Lereng (Berm Face)
Kemiringan dari lereng dapat dibedakan menurut jenis dari lereng tersebut.
Misalnya sebuah lereng aktif atau jenjang kerja (working bench) dapat menggunakan
19

pedoman stabilitas jangka pendek yaitu lereng dapat dibuat relatif lebih terjal. Namun
untuk lereng permanen, pertimbangan utama yang digunakan adalah jangka panjang.
Kemiringan lereng dapat ditentukan dan dicapai dengan pemilihan alat yang tepat.
Menurut Walton & Atkinson (1978), penggunaan shovel dapat membentuk lereng
dengan kemiringan 60º-80º, hydraulic shovel excavator untuk 45º-90º kemiringan,
sedang hydraulic backhoe dapat membentuk 30º-90º dan front end loaders untuk lereng
30º-80º. Sebuah desain pit atau quarry terdiri dari kontur-kontur yang menggambarkan
crest dan toe dari tiap lereng.
(5) Lebar Berm
Lebar jenjang disesuaikan dengan ultimate slope dan single slope pada
ketinggian yang ditentukan. Apabila pit semakin dalam, maka lebar jenjang juga
semakin lebar. Berm dapat pula merefleksikan ukuran endapan. Lebar dari jalan angkut
yang umumnya mengikuti berm, ditentukan oleh ukuran truk yang digunakan, yang
relatif terhadap ukuran ore body dan kapasitas produksi yang diharapkan.
(6) Kedalaman Pit Bottom
Penentuan pit bottom (dasar pit) sangat tergantung pada banyak faktor seperti
perubahan stripping ratio, naiknya biaya produksi dan pengangkutan, nilai mineral yang
ditambang, ukuran (jumlah) deposit, serta kapasitas produksi. Batas kedalaman
penambangan dapat dioptimisasi menggunakan prosedur-prosedur optimisasi
perancangan seperti Lerchs and Grossman.
(7) Jalan angkut (haul road)
Jalan angkut biasanya dibuat setelah dimensi pit bottom ditentukan. Jalan angkut
dirancang pada jenjang dasar kemudian mengikuti naiknya jenjang ke arah permukaan
dengan gradien (kemiringan) berkisar antara 8-12%. Ramp ini dapat berupa jalan yang
melingkar ke atas melalui jenjang-jenjang pit atau switchback yang hanya melalui salah
satu dinding pit (switchback dibuat berdasarkan kekuatan material pada dinding tersebut
dan kapasitas muat dan angkut.)
(8) Faktor-faktor lain dalam parameter desain
a) Informasi geoteknik
Hal yang diperhatikan berdasarkan info geoteknik adalah kekuatan batuan,
diskontinuitas pada massa batuan dan hubungannya terhadap orientasi tiap face
penambangan yang akan dirancang (potensi munculnya longsoran).
20

b) Informasi hidrogeologi
Informasi hidrogeologi antara lain curah hujan tahunan, daerah tangkapan hujan, air
tanah, kedalaman muka air tanah, dan fluktuasi seperti : tekanan piezometrik, gradien
hidrolik, porositas, permeabilitas pada lapisan-lapisan yang akan ditambang, drainase
alami pada permukaan, kemungkinan keberadaan lapisan akuifer, lokasi daerah yang
pernah banjir, dan lain sebagainya.
c) Overburden
Hal yang harus diketahui antara lain kedalaman overburden yang harus dikupas.
d) Kapasitas produksi
e) Batas fisik
f) Lokasi waste dump dan stockpile
g) Lokasi pengolahan
h) Sistem transportasi batubara dan overburden

1.4. Pertimbangan Penentuan Pit Limit (Batas Pit)


Setelah parameter perancangan ditentukan, langkah selanjutnya adalah
penentuan batas-batas penambangan. Batas ini merujuk pada luasan daerah ijin
penambangan. jumlah endapan yang tertambang, jumlah overburden yang harus dikupas
selama umur tambang. Selanjutnya ukuran, geometri, dan lokasi dari batas pit akhir ini
yang akan menjadi patokan dalam merencanakan penimbunan overburden, jalan masuk,
pabrik pengolahan dan sebagainya. Batas akhir pit ini dapat berubah sesuai dengan
perubahan pasar atau kemajuan dalam teknologi penambangan.

2.5. Pemilihan Sistem dan Peralatan Penambangan


Penentuan peralatan penambangan yang digunakan sebenarnya hampir sama
dengan penentuan metode pengupasan yang digunakan. Dalam memilih metode
pengupasan dan peralatan yang akan digunakan yang bertujuan untuk mengupas, maka
faktor–faktor seperti yang telah disebutkan di atas harus dipertimbangkan dan
dievaluasi.
Geometri pit sangat berpengaruh pada jenis dan ukuran peralatan yang akan digunakan
agar peralatan tersebut dapat bekerja secara efektif dan efisien. Target produksi juga
menjadi parameter penting dalam pemilihan sistem dan peralatan penanganan material.
21

1.1. Cara penggalian batubara


Pada kegiatan penambangan open pit (Hartman,1988) lapisan tanah penutup
dipindahkan untuk mendapatkan cadangan mineral yang berasal dari penggalian alat
gali, baik dilakukan sendiri atau dengan kombinasi alat lain. Cara penggalian batubara
yang digunakan pada metode penambangan open pit terdiri dari :
1) Sistem jenjang tunggal (Single bench)
Sistem jenjang tunggal biasanya dipakai untuk menambang bahan galian
yang relatif dangkal dan memungkinkan untuk beroperasi dengan jenjang tunggal.
(Lihat Gambar 3.9 dan Gambar 3.10).

Ta m p a k a t a s

O rig in a l S u r f a c e

Ra m p
X X’

Ta m p a k S a m p in g
( S a y a t a n X - X ’)

Be n c h
fa c e

Tanpa skala, (Sumber : Kennedy 1990)


Gambar 3.9
Jenjang tunggal open pit pada endapan yang dangkal
22

B - B' A - A'

2
1 2 A
Batubara

Host Rock

B A B

1. Jalan
2. Jalan masuk tempat kerja
3. Endapan

Tanpa skala, (Sumber : Kennedy 1990)


Gambar 3.10
Jenjang tunggal pada endapan permukaan datar

Tinggi jenjang maksimum yang stabil, kemiringannya tergantung pada jenis


batuan yang ditambang. Ketinggian jenjang yang aman ditetapkan dengan
mempertimbangkan keselamatan pekerja dan peralatan.
Ketinggian jenjang berhubungan erat dengan kestabilan permukaan yang
aman atau tidak. Yang dimaksud dengan kestabilan permukaan yang tidak aman
adalah apabila alat-alat yang beroperasi dan pekerja dalam kondisi tidak aman,
dimana tempat yang menjadi landasan terdapat kemungkinan akan runtuh/longsor.
Besarnya hasil produksi yang dihasilkan dengan jenjang tunggal sangat
terbatas dan ditentukan oleh kapasitas alat. Selain itu juga ditentukan oleh luas
permuka kerja (front).
2) Sistem jenjang bertingkat (multiple bench)
Penambangan open pit dengan jenjang bertingkat umumnya digunakan
untuk menambang bahan galian yang kompak (masif) dan endapan bijih tebal yang
tidak sanggup ditambang jika menggunakan cara penambangan dengan jenjang
tunggal. Jenis batuannya harus kuat dan keras agar dapat mendukung beban yang ada
diatasnya (lihat Gambar 3.11).
23

Tampak Atas

Tampak Samping
Jenjang Sayatan x - x'

Jalan

Dasar
Pit lebar jenjang

tinggi jenjang

Sudut jenjang

Tanpa skala, (Sumber : Kennedy 1990)


Gambar 3.11
Jenjang bertingkat open pit
1.2. Dimensi jenjang.
Kedalaman ukuran bukaan tambang, rancangan kestabilan jenjang berguna
untuk menunjang kelancaran produksi, dan masa depan penambangan bijih berkadar
rendah.
Perencanaan jenjang meliputi panjang, lebar serta tinggi jenjang. Tinggi jenjang
berhubungan dengan kemampuan alat gali/muat, yaitu pada ketinggian berapa alat dapat
bekerja efektif. Lebar jenjang berhubungan dengan penentuan ukuran minimal dimana
alat dapat beroperasi dengan baik. Panjang jenjang berguna dalam penghitungan
produksi sebab produksi merupakan hasil perkalian antara panjang, lebar, dan tinggi
jenjang.
Dimensi jenjang (tinggi dan kemiringan) bergantung pada peralatan yang
digunakan, endapan yang digali dan kondisi kerja.
Tinggi jenjang yang sesuai dengan ukuran excavator menjamin keselamatan dan
efisiensi kerja yang tinggi, dimana peralatan dapat bekerja secara ekonomis dan dapat
memindahkan material sesuai dengan kemampuannya.
Dari persamaan yang diberikan NV Melnikov dengan berdasarkan perhitungan
pada kondisi penambangan dan peralatan yang digunakan untuk lapisan (Gambar 3.12)
24

R C C1 L

Tanpa skala

Gambar 3.12
Lebar jenjang untuk lapisan lunak

Lebar jenjang atau bench width (Bw) adalah: dua kali radius penggalian
(menggali dan memuat) ditambang jarak garis tengah alat dan jalan dump truck.
Lebar jenjang dinyatakan dengan notasi:
Bw = 2R + C + C1 + L .........................................................................(3.1)

3.6. Dasar Rancangan Jalan Tambang (Ramp)


Geometri jenjang ditentukan berdasarkan peralatan yang dipakai, oleh karena itu
diperoleh rancangan jalan yang benar. Pada suatu tambang yang baru letak jalan (ramp)
keluar tambang sangat penting untuk diperhitungkan. Jalan tambang umumnya
merupakan akses ke lokasi pembuangan tanah penutup (waste dump) dan peremuk bijih
(crusher) faktor topografi merupakan pertimbangan utama untuk pembuatan rancangan
ramp.
Kinerja alat muat dan alat angkut tergantung dari kondisi topografi. Lebar jalan
tergantung pada lebar alat angkut. Umumnya lebar jalan yang aman adalah 4 (empat)
Berdasarkan dimensi tersebut memungkinkan untuk lalu lintas dua arah, ruangan untuk
truk yang akan menyusul, selokan penyaliran, dan tanggul pengaman. Rancangan lebar
jalan untuk dump truck tambang terbesar saat ini (kapasitas 240 ton) biasanya 30– 5 m.
25

Kemiringan jalan angkut di dalam tambang biasanya dirancang pada kemiringan


8% atau 10%. Rancangan kemiringan jalan untuk tambang-tambang besar umumnya
sekitar 8%. Rancangan ini dapat memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam
perancangan dan memudahkan dalam akses ke jenjang-jenjang penambangan.
Kemiringan maksimum yang masih praktis pada jalan tambang yang panjang adalah
10%. Umumnya tambang-tambang skala kecil merancang kemiringan jalan sebesar
10%.
Rancangan spiral dan switchback biasanya dihindari karena cenderung
melambatkan arus lalulintas. Pertimbangan lain adalah ban akan cepat aus, perawatan
ban menjadi lebih besar dan faktor keamanan. Apabila switchback tidak mungkin
dihindari, jalan dapat dirancang lebih panjang dengan bagian sebelah dalam dari
tikungan dirancangan tidak terlalu terjal.
Apabila geometrik memungkinkan dan memepertimbangkan keamanan :
dibeberapa lokasi jalan tambang dapat dibuat belokan tanjakan darurat (runaway ramps)
untuk menghentikan laju dump truck yang tidak terkendali. Selain itu perlu dibuat
tanggul pemisah (straddle berm) di tengah jalan. Pembuatan jalan tambang memiliki
dampak pada volume penggalian material yang sangat besar sehingga aspek ekonomik
dari pembuatan jalan tambang cukup signifikan.

Tahap 1: plot crest pada peta dasar. Plotting crest ini didasarkan pada letak dan ukuran
model cadangan batubara.

100 H
D ................................................................................................................................(3.2)
G (%)

dengan :
H : tinggi jenjang
G : kemiringan jalan dalam %
26

Panjang pit bottom berdasarkan target produksi

885 m

Lebar pit bottom


berdasarkan
spesifikasi alat 12.86 m

Tanpa skala

Gambar 3.13
Plotting crest

crest to crest
sudut   sin 1
D .........................................................................................................(3.3)

dengan :
Lt : lebar jalan
Sudut  : sudut antara lebar jalan dan lebar jenjang

Wt
Wa  ..........................................................................................................................(3.4)
cos 

dengan :
Wa : lebar jalan
Wt : lebar jalan semu
Tahap 2 : plot crest dan toe dengan dimensi pit bottom yang telah ditentukan. Jarak crest
dan toe diplot berdasarkan geometri jenjang.
27

0.1 m
Lt
Tanpa skala
Gambar 3.14
Plot crest dan toe

Tahap 3 : membuat titik awal sebagai dasar akses masuk ramp. Plot titk selanjutnya
memotong garis crest berikutnya. Jarak antar titik dari crest satu dengan
lainnya berdasarkan geometri jenjang penambangan, lebar dan kemiringan
jalan yang telah ditentukan.

D
Ø 81 m

Tanpa skala
Gambar 3.15
Titik awal sebagai akses jalan masuk
28

Tahap 4 : menghubungkan titik-titik A, B, C, D. Garis ini merupakan akses ke tambang.

Ditentukan lebar jalan sesungguhnya, Wt. Dimisalkan lebarnya


0,52 (26 m) maka didapat Wa = Wt/cos 13,35° (26,3 m)
Wt~Wa

Tanpa skala
Gambar 3.16
Membuat garis akses ke tambang

Tahap 5 : membuat garis vertikal dan horisontal yang masing-masing sejajar satu
dengan yang lainnya.

Digambar garis dari ujung garis Wa dengan simbol a ke a’


Dilakukan juga pada jenjang berikutnya

Tanpa skala
Gambar 3.17
Membuat garis vertikal dan horisontal
29

Tahap 6 : menghubungkan garis horisontal dai setiap titik ke garis crest masing-masing,
setelah itu hapuslah garis crest yang tidak terpakai.

Wa

A
B
C
D

Tanpa skala
Gambar 3.18
Menghapus garis crest yang tidak terpakai

Tahap 7 : menghubungkan setiap titik dan plot ke toe hingga membentuk pola ramp ke
arah pit

Dihasilkan ramp yang terbentuk dari hasil gabungan gambar sebelumnya

Tanpa skala
Gambar 3.19
30

Menghubungkan tiap titik dan plot toe

Setelah menyelesaikan rancangan pit dan ramp dilanjutkan dengan perancangan yaitu
urut-urutan penambangan yang didasarkan pada produksi yang telah ditentukan.
Geometri jalan angkut yang memenuhi syarat yaitu bentuk dan ukuran dari jalan
angkut sesuai dengan tipe (bentuk, ukuran dan spesifikasi) alat angkut yang
dipergunakan dan kondisi medan yang ada dapat serta menjamin kelancaran dalam
pengangkutan material.
Adapun faktor-faktor yang merupakan geometri penting yang akan
mempengaruhi keadaan jalan angkut adalah:
1) Lebar jalan angkut
Penentuan lebar jalan angkut minimum untuk jalan lurus dengan dua jalur
didasarkan pada “rule of thumb” yang digunakan pada tambang terbuka kurang
lebih 4 kali lebar alat angkut terbesar yang digunakan (Couzens,1979)
Pada jalan lurus, (Gambar 3.20) jalan angkut minimum yang dipakai sebagai
jalur ganda atau lebih menurut Aassho Manual Rural Highway Design, yaitu :
L m   n.Wt   n  1. 12 .Wt , meter .....................................................(3.5)
dengan :
L m  : Lebar jalan angkut minimum, (meter ).
n : Jumlah jalur jalan angkut.
Wt : Lebar alat angkut total, (meter ).
Nilai 0,5 pada rumus di atas menunjukkan bahwa ukuran aman kedua kendaraan
berpapasan adalah sebesar 0,5 Wt, yaitu setengah lebar terbesar dari alat angkut
yang bersimpangan. Ukuran 0,5 Wt juga digunakan untuk jarak dari tepi kanan
atau kiri jalan ke alat angkut yang melintasi secara berlawanan.
Apabila tidak sesuai dengan ketentuan menurut perhitungan, maka harus
dilakukan perubahan karena selain dapat menghambat dalam kegiatan
pengangkutan juga berbahaya bagi keselamatan operator dan kendaraan yang
beroperasi.
31

Tanpa skala
Gambar 3.20
Lebar alat angkut lurus
Pada jalan tikungan (Gambar 3.23), jalan angkut yang dibuat selalu lebih besar
dari pada jalan lurus. Untuk lebar jalan angkut minimum pada belokan dapat
dipergunakan rumus :
L t  nU  Fa  Fb  Z   C ....................................................................(3.6)

Z  C  12 U  Fa  Fb  ..........................................................................(3.7)
dengan :
Lt : Lebar jalan angkut pada tikungan, (meter ).

U : Jarak jejak roda, (meter ).


Fa : Lebar juntai depan, (meter ).
Fb : Lebar juntai belakang, (meter ).
Z : Lebar bagian tepi jalan, (meter ).
C : Jarak antara alat angkut saat bersimpangan, (meter ).
32

U Z
Fa

C
U
Fb

Fb Fa
Z

Tanpa skala
Gambar 3.21
Lebar jalan pada tikungan

2) Radius jalan
Jari-jari tikungan (belokan) berhubungan langsung dengan bentuk dan kontruksi
alat angkut yang digunakan. Untuk itu dalam keperluan perencanaan jelan
angkut, diperhitungkan alat angkut yang terbesar yang akan melewati jalan
angkut tersebut. Dalam penerapannya jari-jari tikungan yang dijalani oleh roda
depan dan roda belakang membentuk sudut sama dengan besarnya
penyimpangan roda.
Jari-jari tikungan minimum umumnya digunakan untuk menentukan besarnya
area manuver di permuka kerja (Gambar 3.22).
Besarnya jari-jari tikungan minimum dapat ditentukan dengan persamaan
R = Wb / sin ....................................................................................(3.8)
dengan :
R = Jari-jari lintasan roda depan, meter.
Wb = Jarak sumbu roda depan dan belakang.
 = Sudut penyimpangan roda depan.
33

Wb

Tanpa skala
Gambar 3.22
Radius tikungan truck

3) Kemiringan jalan
Super elevasi (Gambar 3.23) merupakan kemiringan jalan pada tikungan yang
terbentuk oleh batas antara tepi jalan terluar dengan tepi jalan terdalam karena
perbedaan kemiringan. Tujuan dibuat super elevasi pada daerah tikungan jalan
angkut yaitu untuk menghindari atau mencegah kendaraan tergelincir keluar
jalan atau terguling.
Berdasarkan teori Atkinson D.I.C. pada kondisi jalan kering, nilai super elevasi
merupakan harga maksimum yaitu 90 mm/m sedangkan pada kondisi jalan
berlumpur atau licin, nilai super elevasi terbesar adalah 60 mm/m.
Secara matematis kemiringan tikungan jalan merupakan perbandingan antara
tinggi jalan dengan lebar jalan. Untuk menentukan besarnya kemiringan
tikungan jalan dihitung berdasarkan kecepatan rata-rata kendaraan dengan
koefisien friksinya.
34

2 )/R
. V
(m

in 
N S

N Cos 

N

Tanpa skala
Gambar 3.23
Super elevasi tikungan jalan angkut

Persamaan yang digunakan untuk menghitung super elevasi yaitu:


tan α = V2/R.G......................................................................................(3.9)
dengan :
V = Kecepatan kendaraan saat melewati tikungan.
R = Radius tikungan.
G = Gravitasi bumi = 9,8 m/s2
Kemiringan jalan angkut “grade” merupakan suatu faktor penting yang harus
diamati secara detail dalam kegiatan kajian terhadap kondisi jalan tambang. Hal
ini dikarenakan kemiringan jalan angkut berhubungan langsung dengan
kemampuan alat angkut, baik dalam pengereman maupun dalam mengatasi
tanjakan.
Kemiringan jalan angkut biasanya dinyatakan dalam persen (%) yang dapat
dihitung dengan mempergunakan rumus sebagai berikut :
h
grade    ...........................................................................................(3.10)
x

dengan :
35

h : Beda tinggi antara dua titik yang diukur.


x : Jarak antara dua titik yang diukur.

Secara umum kemiringan jalan maksimum yang dapat dilalui dengan


baik dan aman oleh alat angkut saat menaiki atau turun dari ketinggian
maksimum 8%-10%.

4) Cross slope dari jalan masuk permuka kerja.


Maksud dari pembuatan cross slope adalah agar jika terdapat air pada jalan,
maka air tersebut akan mengalir pada tepi jalan (Gambar 3.24).

1 2

Y
 X

Keterangan
1 = Permukaan jalan masuk
2 = Bidang horisantal
Cross Slope
X = Jarak horisontal (meter)
Y = Tinggi jalan dari permukaan tanah, (Meter)

Tanpa skala
Gambar 3.24
Penampang melintang jalan masuk

Cross slope didapat dari perbandingan y : x. untuk jalan yang tidak berlapis salju
atau jalan yang materialnya masih bias meresap air, maka cross slope dibuat 1:
25. jika jalan belum memenuhi cross slope diatas, maka perlu menimbun bagian
tengah jalan, sehingga memenuhi persyaratan cross slope.

3.7 Jarak pandang aman


36

Jarak pandang adalah jarak yang diperlukan oleh pengemudi untuk melihat ke
depan secara bebas pada tikungan, baik pandangan vertikal (Gambar 3.25) maupun
horizontal (Gambar 3.26).

Tanpa skala
Gambar 3.25
Jarak pandang vertikal

Tanpa skala
Gambar 3.26
Jarak pandang horizontal
Jarak pandang yang terlalu pendek akan mempengaruhi kecepatan alat angkut,
dan juga akan berpengaruh terhadap safety (keselamatan) karena besar kemungkinan
operator pengemudi alat angkut akan kaget melihat kendaraan lain di depan alat angkut
saat melewati tikungan atau tanjakan. Jarak pandang minimum yang aman adalah sama
dengan jarak berhenti dari kendaraan sedang bergerak secara tiba-tiba dihentikan.

3.8 Penyaliran Tambang


37

Dalam rancangan pembuatan jalan angkut dan struktur diperlukan adanya


saluran air untuk mengalirkan air dari permukaan jalan dan sekitarnya yang dapat
memberikan pengaruh buruk terhadap jalan angkut itu sendiri dan struktur pendukung
dalam operasi penambangan. Air yang berasal dari hujan yang jatuh di atas permukaan
tanah harus diantisipasi sehingga jalan angkut dan bangunan dapat berfungsi
sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, data curah hujan yang akurat sangat diperlukan untuk rancangan
pembuatan saluran penirisan. Dalam menentukan dimensi saluran air harus
diperhitungkan periode ulang hujan, yaitu berulangnya hujan dengan intensitas yang
sama pada masa mendatang.
Terdapat beberapa harga acuan periode ulang hujan dalam merancang saluran penirisan
pada tambang terbuka, seperti terlihat pada Tabel 3.1. Periode ulang hujan ini berguna
untuk memperkirakan besarnya curah hujan harian maksimum yang mungkin terjadi,
berdasarkan data-data curah hujan yang telah ada.

Tabel 3.2
Periode Ulang Hujan untuk Sarana Penirisan Tambang
Letak / Fungsi Periode Ulang Hujan (Tahun)
Daerah Terbuka 0.5
Sarana Tambang 2-5
Lereng Tambang dan Penimbunan 5 - 10
Sumuran Utama 10 - 20
Penirisan Keliling Tambang 25
Pemindahan Aliran Sungai 100

Selain itu, untuk perhitungan selanjutnya juga diperlukan koefisien limpasan.


Harga koefisien limpasan untuk berbagai kondisi daerah pengaliran dapat dilihat pada
Tabel 3.2

Tabel 3.3
Koefisien Limpasan
38

Kemiringan Tutupan Koefisien Limpasan


<3% Sawah, Rawa 0.2
Hutan, Perkebunan 0.3
Perumahan dengan Kebun 0.4
3 - 15 % Hutan, Perkebunan 0.4
Perumahan 0.5
Tumbuhan jarang 0.6
Tanpa Tumbuhan, Daerah Penimbunan 0.7
>15 % Hutan 0.6
Perumahan, Kebun 0.7
Tumbuhan jarang 0.8
Tanpa Tumbuhan, Daerah Tambang 0.9

Berdasarkan data-data curah hujan yang ada maka dapat dilakukan pengolahan
data curah hujan yang langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
1. Penentuan harga rata-rata tinggi curah hujan maksimum :

X
x ................................................................................................(3.11)
n

dengan :
X = Curah hujan rata-rata maksimum, mm/hari
x = Jumlah curah hujan maksimum, mm/hari
n = Jumlah data
2. Penentuan curah hujan harian maksimum :

x
Xr  X   Yr  Yn  ..............................................................................(3.12)
n
dengan :
Xr = Curah hujan harian maksimum (R24), mm/hari
X = Curah hujan rata-rata maksimum, mm/hari
x = Expected standart deviasi
n = Standart deviasi
Yr = Variasi reduksi
Yn = Expected Mean

3. Perhitungan intensitas curah hujan:


39

2/3
R 24  24 
I   (Metode Manonobe) .....................................................(3.13)
24  tc 

t c  0,0195 L0, 77 S 0, 382 (Rumus Kirpich) ..............................................(3.14)

Dengan :
I = Intensitas curah hujan
R24 = Curah hujan harian maksimum, mm/hari
tc = Waktu konsentrasi, jam
L = Jarak terjauh dalam daerah penyaliran ke titik perhitungan
S = Gradien

4. Perhitungan debit air limpasan :


Q  0,278 . C . I . A ..............................................................................(3.15)
Dengan :
Q = Debit air limpasan, m3/detik
C = Koefisien limpasan
I = Intensitas curah hujan, mm/jam
A = Luas daerah tangkapan hujan, km2

Untuk luas penampang saluran (A) mempunyai beberapa komponen yaitu :


- Jari-jari hidrolis (R)
- Kedalaman aliran (d)
- Lebar dasar saluran (b)
- Panjang sisi saluran (a)
- Lebar permukaan aliran (B)
- Kemiringan dinding saluran (m)
Mempunyai hubungan dengan persamaan
A = b.d + m.d2 ……………………………………………………………….(3.16)
R = 0,5.d ……………………………………………………………………..(3.17)
B = b + 2.m.d ………………………………………………………………...(3.18)
a = d.sin …………………………………………………………………….(3.19)
m = cotg  …………………………………………………..………………..(3.20)
40

d a

b
Gambar 3.27
Penampang Saluran Penirisan

Untuk penampang saluran berbentuk trapezium ( Gambar 3.27), besarnya  adalah 60°.
Maka harga m
= Cotg 60° = 0.58
Untuk mencari harga b dipakai persamaan
b/d 
= 2 1  m 2 
1/2

- m ………………………………………………….(3.21)
= 1,152
Maka, b = 1,152.d ( disubtitusikan ke persamaan 3.16)
A = b.d + m.d2
= 1,152.d2 + (0,58.d2)
= 1,732 d2

You might also like