You are on page 1of 27

Textbook Reading

Epikondilitis Humerus Lateral dan Medial


Chapter 18 Buku Clinical Orthopaedic Rehabilitation:
A Team Approach 4th Edition

Oleh:
Erentina Suarna Putri, S.Ked 04054821719054
Usamah Haidar, S.Ked 04054821820072
Rulitia Nairiza, S.Ked 04054821820092
Brillia Brestilova, S.Ked 04054821820129
Archita Wicesa Saraswati, S.Ked 04054821820130
Imam Hakiki Mama, S.Ked 04054881618008

Pembimbing:
dr. Jalalin, Sp.KFR

DEPARTEMEN REHABILITASI MEDIK


RSUP DR.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Textbook reading

Judul

Epikondilitis Humerus Lateral dan Medial


Chapter 18 Buku Clinical Orthopaedic Rehabilitation:
A Team Approach 4th Edition

Oleh:
Erentina Suarna Putri, S.Ked 04054821719054
Usamah Haidar, S.Ked 04054821820072
Rulitia Nairiza, S.Ked 04054821820092
Brillia Brestilova, S.Ked 04054821820129
Archita Wicesa Saraswati, S.Ked 04054821820130
Imam Hakiki Mama, S.Ked 04054881618008

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran
Univesitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang.

Palembang, Maret 2018

dr. Jalalin Sp.KFR


KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena atas rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan textbook reading
yang berjudul ‘Epikondilitis Humerus Lateral dan Medial (Chapter 18 Buku
Clinical Orthopaedic Rehabilitation: A Team Approach 4th Edition)’ ini sebagai
salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di bagian
Rehabilitasi Medik RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang/ FK Universitas
Sriwijaya.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada dr. Jalalin, Sp.KFRselaku


pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan
telaah ilmiah ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya
textbook reading ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan telaah


ilmiah ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak untuk
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga telaah ilmiah ini dapat memberi
manfaat bagi yang membacanya.

Palembang, Maret 2018

Penulis
Chapter 18: Epikondilitis Humerus Lateral dan Medial
Todd S. Ellenbecker, DPT, MS, SCS, OCS, CSCS dan George J. Davies, DPT,
Med, PT, SCS, ATC, LAT, CSCS, PES, FAPTA

PENDAHULUAN
Cidera terhadap siku, khususnya epikondilitis humerus, sering kali terjadi
pada atlet sebagai akibat dari beban yang berkelanjutan dalam aktivasi otot yang
berulang dan penuh tenaga seperti melempar, memukul, dan menyervis bola.
Manajemen yang harus dilakukan termasuk diagnosis dini dan penatalaksanaan
dengan penguatan total lengan atau penekanan pada rehabilitasi rantai kinetik.

EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI


Epikondilitis humerus adalah salah satu cidera tersering pada siku yang
disebabkan oleh penggunaan berulang siku secara berlebihan. Insidens dari
epikondilitis humerus berkisar pada 35-50% pada pemain tenis dewasa, lebih
banyak dari yang ditemukan pada pemain tenis elite junior (11-12%).
Tennis elbow pertama kali ditemukan oleh Runge pada tahun 1873. Pada
tahun 1983, Cyriax menjabarkan 26 penyebab dari tennis elbow, sedangkan
Goldie (1964) melaporkan bahwa hipervaskularisasi dari aponeurosis ekstensor
dan peningkatan jumlah ujung saraf bebas di ruang subtendon. Leadbetter (1992)
menyebutkan bahwa epikondilitis humerus terjadi akibat proses vaskular, kimia,
dan selular yang berlangsung degeneratif dan bergantung dengan waktu sehingga
menyebabkan kegagalan respon penyembuhan pada sel-matriks tendon.
Penggambaran tentang cidera tendon ini berbeda dengan teori-teori terdahulu
yang menjelaskan bahwa inflamasi merupakan faktor primer, sehingga
“tendinitis” dianggap berlawanan dengan teori Leadbetter dan Nirschl (1992).
Nirschl dan Ashman (2003) mengartikan epikondilitis humerus sebagai
cidera tendon ekstraartikular yang ditandai dengan granulasi vaskular berlebihan
dan terhambatnya respon penyembuhan tendon yang disebut dengan
”angiofibroblastic hyperplasia”. Penelitian Kraushaar dan Nirschl (1999)
terhadap spesimen tendon yang cidera akibat penggunaan berlebihan dalam waktu
lama menunjukkan bahwa jumlah limfosit, mikrofag, dan neutrofil tidak
meningkat. Tendinosis justru menunjukkan proses degeneratif yang ditandai
dengan peningkatan fibroblas, disorganisasi kolagen, dan hiperplasia vaskular.
Alasan timbulnya nyeri pada tendinosis saat tidak ditemukannya proses inflamasi
belum jelas diketahui, begitu juga dengan penemuan kolagen imatur.
Struktur primer yang terlibat dalam epikondilitis lateral humerus adalah
tendon ekstensor carpi radialis brevis (Nirschl, 1992). Sepertiga kasus
menunjukkan keterlibatan dari tendon ekstensor komunis. Ekstensor carpi radialis
longus dan ekstensor carpi ulnaris juga dapat terlibat. Struktur primer yang terlibat
dalam epikondilitis medial humerus adalah tendon fleksor carpi radialis, pronator
teres, dan fleksor carpi ulnaris. Nirschl (1992) juga melaporkan bahwa insidens
dari epikondilitis lateral humerus lebih tinggi pada pemain tenis non-profesional
dan pada lengan kiri pemain golf dengan tangan kanan dominan, sedangkan
epikondilitis medial humerus lebih tinggi pada pemain tennis profesional dan atlet
yang sering melempar karena beban yang tinggi pada tendon otot fleksor dan
pronator saat ekstensi valgus berlebihan dan percepatan saat pergerakan tangan ke
atas. Epikondilitis medial humeral juga sering ditemukan pada tangan kanan
pemain golf dengan tangan kanan dominan.

PEMERIKSAAN KLINIS PADA SIKU


Inspeksi harus dilakukan secara lengkap dan cermat pada seluruh struktur
ekstremitas atas dan badan. Pada olahraga dan aktivitas sehari-hari, rantai kinetik
sangat penting dalam membangkitkan tenaga. Siku memiliki peran penting
sebagai penyambung rantai kinetik sehingga diperlukan pemeriksaan fisik pada
ekstremitas atas dan badan. Banyaknya cidera akibat penggunaan berlebihan pada
atlet dapat mempersulit pemeriksaan pada siku yang cidera karena adanya
ketidaksimetrisan pada esktremitas atas. Perubahan adaptif sering ditemukan pada
siku sisi dominan atlit. Perbandingan ektremitas kontralateral pada atlit
merupakan hal yang penting dalam menentukan derajat adaptasi yang dapat
berkontribusi pada presentasi cidera. Gambaran umum terhadap adaptasi yang
terjadi pada atlit dengan nyeri siku dapat mempermudah pemeriksaan yang
dilakukan.

ADAPTASI ANATOMIS PADA ATHLETIC ELBOW


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat adaptasi terhadap range
of motion (ROM) dari siku.

- King dkk (1969) melaporkan bahwa terdapat perubahan ROM siku pada
pelempar baseball profesional, ditemukan 50% kontraktur fleksi pada siku
yang dominan dan 30% dari subjek penelitian menunjukkan deformitas
valgus cubiti.
- Chinn dkk (1974) meneliti atlit profesional tenis dan melaporkan bahwa
terdapat kontraktur fleksi pada sisi dominan yang cukup signifikan.
- Ellenbecker dkk (2002) menemukan kontraktor fleksi siku pada 40 pelempar
baseball dengan rata-rata 5 derajat. Fleksibilitas pergelangan tangan
berhubungan langsung terhadap fungsi siku, dan berkurang pada ekstensi
lengan yang dominan sebagai akibat dari kakunya otot-otot fleksor
pergelangan tangan.
- Wright dkk (2006) meneliti 33 atlet pelempar sebelum musim kompetisi dan
didapatkan rerata ekstensi siku berkurang 7 derajat dan rerata fleksi siku
berkurang 5 derajat.
- Ellenbecker dan Roetert (1994) menemukan kontraktur fleksi dengan rata-
rata 10 derajat pada siku dominan serta penurunan ROM fleksi pergelangan
tangan pada pemain tenis berusia 55 tahun ke atas. Semakin tinggi
penggunaan otot-otot ekstensor pergelangan tangan maka semakin tinggi
resiko penurunan ROM fleksor pergelangan tangan pada pemain tenis senior,
sedangkan penurunan ROM ekstensor pergelangan tangan disebabkan karena
penggunaan otot fleksor pergelangan tangan yang tinggi seperti pada
pelempar baseball.

ROM rotasi dari sendi glenohumeral juga harus diukur karena peran
defisiensi rotasi internal glenohumerus pada beban valgus pada siku pelempar
(Dines dkk, 2009). Identifikasi terhadap pengurangan internal rotasi sendi
glenohumeral serta ROM rotasi total dan ROM rotasi internal dapat membantu
untuk mementukan intervensi yang harus dilakukan untuk mengoreksi defisiensi
rotasi proksimal agar dapat menstabilisasi sendi skapulotoraks dan glenohumeral.
Beberapa penelitian lain juga menemukan adaptasi tulang pada athletic
elbow yakni:
- Priest dkk (1974 dan 1977) menemukan rata-rata 6.5 bony changes pada siku
dominan dari pemeriksaan radiografi dari 84 atlit tenis dunia. Selain itu,
ditemukan dua kali lebih banyak spur pada bagian medial siku dibandingkan
bagian lateral. Prosesus koronoid ulna merupakan tempat utama
ditemukannya spur. Ditemukan sebesar 44% penebalan korteks anterior
humerus pada lengan dominan dan 11% penebalan kortikal pada radius
lengan yang lebih dominan dipakai pada pemain tenis.
- Penelitian dengan MRI menujukkan osteofit pada insersi proksimal atau
distal ligamen kolateral ulnar pada 5 dari 20 pelempar baseball profesional
dan osteofit posterior pada 2 dari 20 pelempar (Waslewski dkk, 2002)
- Selain adaptasi ROM dan tulang, ditemukan juga adaptasi otot pada atlit
tenis anak sampai dewasa yakni peningkatan kekuatan genggaman isometrik
pada sisi unilateral sebesar 10-30%.
- Kekuatan isokinetik pergelangan tangan dan lengan bawah pada pemain
tenis diukur dan ditemukan peningkatan kekuatan fleksi dan ekstensi
pergelangan tangan serta pronasi lengan bawah sebesar 10-25% pada
ekstremitas yang dominan dibandingkan dengan yang tidak dominan. Tidak
ditemukan perbedaan pada kekuatan supinasi lengan bawah dan fleksi siku,
namun ditemukan bahwa kekuatan ekstensi siku sisi dominan lebih kuat
daripada sisi yang tidak dipakai bermain tenis (Ellenbecker, 1991, dan
Ellenbecker dan Roetert, 2003).
- Penelitian pada atlet pelempar profesional menunjukan kekuatan fleksi
pergelangan tangan dan pronasi lengan bawah sisi yang dominan lebih kuat
sebesar 10-35% dibandingkan sisi yang tidak dominan, tanpa perbedaan
kekuatan pada ekstensi pergelangan tangan atau supinasi lengan bawah
kedua sisi ekstremitas.
- Wilk, Arrigo, dan Andrews (1993) melaporkan bahwa pada pelempar
baseball profesional, fleksi siku (10-20%) dan ekstensi siku (5-15%) pada
sisi dominan lebih kuat dibandingkan sisi yang tidak dominan.
Data-data tersebut membantu menggambarkan adaptasi kronis otot dapat
timbul pada atlet pelempar dan individu dengan cidera siku. Penemuan ini dapat
membantu menentukan kekuatan lengan setelah direhabilitasi dengan akurat dan
realistik. Apabila stabilisasi otot pada sisi ekstremitas yang dominan tidak
dilakukan dengan sempurna, maka 10-35% atlet tersebut tidak direhabilitasi
secara komplit dan tidak boleh beraktifitas fisik secara penuh kembali.

TES KHUSUS PEMERIKSAAN SIKU

Di samping pemeriksaan luas gerakan (ROM) sendi proksimal dan distal


pada ekstremitas atas, skrining radiografi dan asesmen kekuatan otot secara
akurat, beberapa pemeriksaan lain harus dimasukkan ke dalam pemeriksaan siku
yang komprehensif. Pembaca dianjurkan untuk membaca morrey (1993),
ellenbecker and mattalino (1997), and magee (2013) untuk informasi pemeriksaan
siku yang lebih lengkap.

Pemeriksaan klinis pada sendi proksimal dan distal dari siku


memungkinkan penyingkiran gejala yang timbul akibat penjalaran dan
memastikan nyeri pada siku berasal dari sumber muskuloskeletal lokal.
Penekanan berlebih pada tulang servikal pada pergerakan fleksi-ekstensi dan
fleksi-rotasi lateral dan kuadran atau pemeriksaan Spurling digabungkan dengan
ekstensi dan fleksi lateral dan rotasu ipsilateral digunakan untuk membebaskan
tulang servikal dan menyingkirkan gejala radikuler. Tong et al (2002) menyatakan
akurasi diagnostik manuver Spurling adalah sensitivitas sebesar 30% dan
spesifisitas 93%. Karena pemeriksaan ini tidak sensitif namun spesifik untuk
radikulopati servikal, penegakan diagnosis klinis berdasarkan hasil manuver ini
sendiri saja harus dilakukan secara berhati-hati.

Di samping pembebasan tulang servikal pada sentral, pembebasan sendi


glenohumerus juga penting dilakukan. Harus diperiksa apakah terdapat
impingement atau instabilitas sendi. Penggunaan tanda Sulcus untuk menentukan
adanya instabilitas multidireksional pada sendi glenohumerus bersama dengan
tanda subluksasi-relokasi dan pemeriksaan load and shift dapat menyediakan
penilaian penting terhadap status instabilitas sendi glenohumerus. Tanda
impingement Neer (1983) dan Hawkins dan Kennedy (1980) berguna untuk
menyingkirkan kelainan tendon proksimal.

Pemeriksaan penuh terhadap sendi scapulothoracic juga


direkomendasikan. Pengalaman klinis menunjukkan adanya keterkaitan yang kuat
antara skapula dan kelemahan rotator cuff dengan penggunaan siku berlebih.
Karenanya, pemeriksaan menyeluruh pada sendi proksimal sangat penting dalam
manajemen kelainan bahu yang komprehensif.

Karenanya, melepaskan pakaian pasien saat pemeriksaan atau penggunan


gaun dengan paparan punggung atas secara penuh sangat dianjurkan. Kibler et al
(2002) menyusun klasifikasi kelainan skapula. Pemeriksaan pada pasien saat
istirahat dan dengan tangan diletakan pada pinggul dan saat pergerakaan aktif
melewati atas kepala, direkomendasikan untuk mengidentifikasi batas prominens
skapula tertentu dan tidak terdapatnya asosiasi dengan dinding dada selama
pergerakan. Perbandingan antara skapula kanan dan kiri merupakan dasar utama
untuk mengidentifikasi kelainan skapula; akan tetapi, pada banyak atlet, sering
ditemukan kelainan skapula bilateral.

Beberapa tes spesifik untuk siku harus dilakukan untuk membantu


menegakkan diagnosis epikondilitis humeri dan yang lebih penting, membantu
menyingkirkan jenis disfungsi siku lainnya. Ini termasuk tes Tinnel, varus and
valgus stress test, milking test, valgus extension overpressure test, bounce home
test, provocation test, dan moving valgus test.

 Tes Tinnel melibatkan pengetukan saraf ulnaris di daerah medial siku, di


atas retinakulum terowongan cubital. Adanya parestesia atau kesemutan di
sepanjang perjalanan ke distal nervus ulnaris menunjukkan iritabilitas
nervus ulnaris.
 Valgus stress test mengevaluasi integritas ligamentum kolateral ulnaris.
Posisi yang digunakan untuk menguji serat anterior pada ligamentum ulnaris
ditandai dengan fleksi siku 15 sampai 25 derajat dan supinasi lengan bawah.
Posisi siku sedikit fleksi akan membuka olekranon dari fosa olekranon dan
mengurangi stabilitas yang diberikan oleh kongregasi osseus sendi. Tekanan
relatif lebih besar ditempatkan pada ligamentum kolateral ulnaris medial.
Adanya nyeri siku medial, disamping peningkatan kelenturan ulnohumeral
secara unilateral, menunjukkan tes positif. Penilaian biasanya dilakukan
dengan menggunakan panduan American Academy of Orthopedic Surgeons
dimana 0 sampai 5 mm grade I; 5 sampai 10 mm grade II, dan lebih besar
dari 10 mm grade III. Penggunaan fleksi siku yang lebih besar dari 25
derajat akan meningkatkan rotasi humeri selama uji stres valgus dan
menyebabkan informasi yang menyesatkan. Safran dkk. (2005) mempelajari
pengaruh rotasi lengan bawah selama uji stres valgus pada siku. Mereka
menemukan bahwa kelemahan sendi ulnohumeral paling besar bila siku
diuji dengan lengan bawah dalam posisi rotasi netral dibandingkan dengan
posisi pronasi atau supinasi penuh.
 Milking test adalah pemeriksaan yang dilakukan pasien terhadap dirinya
sendiri, dengan siku dalam posisi fleksi kurang lebih 90 derajat. Dengan
meraih siku yang terlibat dengan ekstremitas kontralateral, pasien
menangkap ibu jari ekstremitas yang sakit dan menarik ke arah lateral,
sehingga memberikan tekanan valgus pada siku yang fleksi. Beberapa
pasien mungkin tidak memiliki fleksibilitas yang cukup untuk melakukan
manuver ini, dan stres valgus dapat dilakukan oleh pemeriksa untuk meniru
gerakan ini, yang menekankan serat posterior pada ligamentum kolateral
ulnaris.
 Varus stres test dilakukan dengan menggunakan tingkat fleksi siku dan
posisi bahu dan lengan yang serupa. Pemeriksaan ini menilai integritas serat
lateral ligamentum kolateral ulnaris, dan harus dilakukan bersamaan dengan
Vagus stress test untuk mengevaluasi secara menyeluruh stabilitas lateral
dan medial sendi ulnohumeral.
 Valgus extension overpressure test oleh Andrews et al. (1993) menentukan
apakah nyeri siku disebabkan oleh osteofit posteromedial yang menghalangi
batas medial trochlea dan fosa olekranon. Tes ini dilakukan dengan
mengekstensikan siku secara pasif sambil mempertahankan tekanan valgus
ke siku. Tes ini dimaksudkan untuk mensimulasikan tekanan yang
ditempatkan pada bagian posteromedial siku selama fase akselerasi pada
gerakan melempar atau servis. Adanya nyeri pada aspek posteromedial siku
mengindikasikan tes positif.

Beberapa tes yang paling berguna untuk mengidentifikasi epikondilitis


humeri mencakup tes provokasi untuk skrining tendon otot siku. Tes provokasi
terdiri dari tes otot manual untuk mengetahui reproduksi rasa sakit. Tes khusus
yang digunakan untuk skrining siku meliputi fleksi dan ekstensi pergelangan
tangan dan jari dan pronasi dan supinasi lengan bawah. Pemeriksaan ini dapat
digunakan untuk memprovokasi tendon dan otot pada epikondilus lateral atau
medial. Pada pemeriksaan siku yang dilakukan pada nyeri siku sekunder akibat
degenerasi tendon, reproduksi nyeri siku lateral atau medial dengan pengujian otot
resistif (pengujian provokasi) dapat mengindikasikan cedera tendon konkomitan
di siku dan akan mengarahkan klinisi untuk melakukan pemeriksaan siku yang
lebih lengkap. Palpasi yang hati-hati dari origo ekstensor pada epikondilus lateral
dan epikondilus medial juga dapat dilakukan. Inspeksi orientasi tendon pada
epikondilus lateral secara berhati-hati menunjukkan insersio primer ekstensor
carpi radialis longus sebenarnya berasal pada batas proksimal suprakondiler
lateral ke epikondilus humerus lateral. Sebagai tambahan, ekstensor carpi radialis
brevis dapat dipalpasi pada sisi medial epikondilus lateral proksimal terhadap
ekstensor digitorum komunis dan ekstensor carpi ulnaris berada pada distal
ekstensor digitorum komunis.

Pemeriksaan moving valgus dilakukan dngan ekstremitas atas pasien berada


dalam posisi abduksi sekitar 90 derajat. Siku difleksikan maksimal dan tekanan
valgus sedang diberikan pada siku untuk meniru fase akhir ayunan pada gerakan
melempar. Sambil menjaga tekanan valgus pada siku, siku diekstensikan dari
posisi fleksi penuh. Hasil positif terhadap cedera ligamen ligamen kolateral
ulnaris dikonfirmasi ketika reproduksi nyeri pada pasien terjadi secara maksimal
pada ligamen kolateral ulnar diantara sudut 120 hingg 70 derajat yang disebut
sebagai shear angle atau zona nyeri. O’Driscoll et al (2005) memeriksa 21 atlet
dengan keluhan nyeri siku medial primer akibat insufisiensi ligamen kolateral
medial atau kelainan kelebihan beban valgus lainnya dengan menggunakan
pemeriksaan moving valgus. Hasilnya menunjukkan pemeriksaan ini memiliki
sensitivitas yang tinggi (100%) dan spesifik (75%) bila dibandingkan eksplorasi
artoskopik pada ligamen kolateral ulnaris medial. Pemeriksaan ini dapat
memberikan data klinis yang penting selama evaluasi pada pasien dengan nyeri
sendi siku medial.

Teknik pemeriksaan khusus tersebut merupakan pemeriksaan yang unik


terhadap siku, dan ketika dikombinasikan dengan pemeriksaan rantai gerak
ekstremitas atas dan tulang servikal yang menyeluruh, dapat menghasilkan sebuah
asesmen yang objektif berdasarkan keadaan patologis pada pasien dan
memungkinkan klinisi untuk merancang penatalaksanaan berdasarkan hasil
pemeriksan.

Gambar 18.1 Uji provokasi ekstensi dilakukan dengan siku didekatkan saat ekstensi untuk
memprovoksi otot tendon
Gambar 18.2 A-C, melakukan tes valgus pada ligament medial ulnar collateral

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan utama adalah untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan
ROM, kekuatan otot, dan seluruh ekstremitas atas yang terkena cedera. Seluruh
rangkaian gerak kinetik pada ekstremitas atas dievaluasi dan saling berintegrasi
dengan proses pengobatan. Pemahaman mengenai penatalaksanaan awal tendinitis
dan tendinosis sangatlah penting untuk pengobatan epicondylitis humeral.
Stabilisasi otot rotator cuff dan skapular, yang biasanya hanya untuk
penatalaksanaan disfungsi bahu, merupakan dasar yang sangat penting dalam
penatalaksanaan ekstremitas atas bagian distal. Oleh karena itu, exercise dan
pedoman aktifitas dalam sehari-hari akan dijelaskan.

Tendinitis Versus Tendinosis


Wilson dan Best (2005), banyak kesalahpahaman yang mengatakan tentang
cedera tendon simptomatik merupakan penyakit inflamasi; oleh karena itu, cedera
ini sering dinamakan “tendinitis”. Pasien dengan inflamasi tendinopati akut
kebanyakan memiliki gejala kronis yang menunjukkan kondisi degeneratif dan
lebih tepat apabila diberi nama “tendinosis” atau “tendinopati”. Banyak istilah
yang digunakan untuk mendeskripsikan epicondylitis humerus lateral, termasuk
tennis elbow, epicondylalgia, tendinitis, tendinosis, dan tendinopati (Stasinopoulos
dan Johnson 2006). Lateral elbow tendinopati merupakan istilah yang paling
cocok digunakan dalam praktik klinis karena istilah lain mengacu pada istilah
etiologi, anatomi dan patofisiologi yang tidak tepat.
Zeisig et al. (2006) dan Riley (2008) mengatakan bahwa tennis elbow atau
ERCB tendinosis merupakan kondisi dengan etiologi yang tidak jelas dan
patogenesis yang sulit untuk ditangani. Croisier et al. (2007) melaporkan,
kebanyakan prosedur penanganan konservatif sering memperpanjang gejala dan
kambuh. Pilihan pengobatan sudah dievaluasi kemanjuran pada berbagai
kemampuan klinis, secara umum respon lebih baik pada non-operatif atau
penanganan konservatif. Wilson dan Best (2005) dan Gabel (1999) menyatakan
80% dari tendinopati akibat keseringan bekerja sembuh total dalam waktu 3
sampai 6 bulan.

DEFINISI: TENDINITIS DAN TENDINOSIS


Beberapa penelitian sudah menjelaskan penemuan histopatologi dari tennis
elbow sebagai proses degenerasi kronis, regenerasi, dan robekan kecil di jaringan
tendon disebut tendinosis. Senyawa neurokimia termasuk glutamat, senyawa P,
dan calcitonin gene-related peptides ditemukan pada pasien dengan tennis elbow
kronis dan pada hewan percobaan dengan tendinopati. Penelitian terbaru
menunjukkan daerah tendon yang berdegenerasi dan kurangnya sel inflamasi
(Ashe et al. 2004). Tendinosis adalah proses degenerasi dari jaringan kolagen
akibat penuaan, mikrotrauma, atau kelainan vaskular. Riley (2005) menjelaskan
matriks tendon diatur oleh tenosit, dan ada bukti dari proses berlanjut dari
remodelling matriks, meskipun rate of turnover berbeda pada berbagai tempat.
Perubahan aktivitas remodelling berhubungan dengan onset dari tendinopati dan
beberapa perubahan konsisten dengan perbaikan, tetapi dapat juga sebagai respon
adaptif untuk merubah beban mekanis. Strain minimal berulang menjadi faktor
yang memicu tendinopati. Enzim metalloproteinase memiliki peran penting pada
matriks tendon, namun peran dari ezim ini pada proses patologi tendon tidak
diketahui, dan pada pekerjaan selanjutnya dibutuhkan identifikasi dari benda asing
dan spesifik molekular target untuk terapi. Riley (2008) melaporkan neuropeptida
dan faktor lain yang dilepaskan dengan stimulasi sel atau ujung saraf didalam atau
di sekitar tendon dapat mempengaruhi matriks turnover dan meningkatkan target
untuk terapi intervensi.
Alfredson dan Ohberg (2005) dalam pemeriksaan menggunakan Doppler
menunjukkan perubahan stuktur tendon dengan area hipoekoik dan
neovaskularisasi lokal pada daerah yang sakit. Penatalaksanaan dengan injeksi
sclerosing pada daerah dengan neoveel, memiliki potensi menghilangkan sakit di
tendon dan memberikan pasien kesempatan untuk kembali memiliki beban
aktivitas pada tendon patella. Ohberg dan Alfredson (2004) melakukan
pemeriksaan ada atau tidaknya neovaskularisasi pada tendon achilles sebelum dan
sesudah latihan eksentrik. Setelah 12 minggu melakukan latihan eksentrik pada
otot betis, terlihat adanya struktur tendon normal, dan mayoritas neovaskularisasi
tidak kembali muncul.
Selain itu, Ohberg et al. (2004) melaporkan bahwa setelah melakukan
program 12 minggu latihan eksentrik otot betis, kebanyakan pasien kronis
tendinosis achilles dengan intensitas nyeri sedang menunjukkan penurunan lokal
pada ketebalan tendon dan perubahan struktur tendon menjadi normal. Kelainan
struktural dari tendon kemungkinan merupakan akibat nyeri sisa pada tendon.
Fredberg dan Stengaard-Pedersen (2008) mengatakan penelitian terbaru yang
menggunakan imunohistokimia dan aliran sitometri menemukan sel-sel inflamasi.
Oleh karena itu, “mitos tendinitis” membutuhkan penelitian lebih lanjut. Data
yang sudah ada sebelumnya mengatakan bahwa inisiasi dari perjalanan
tendinopati melibatkan banyak agen proinflamasi. Hal ini dikarenakan adanya
interaksi kompleks antara agen proinflamasi klasik dan neuropeptida, yang terlihat
tidak mungkin dan kurang relevan dalam membedakan antara inflamasi kimia dan
neurogenik. Selanjutnya, glukokortikoid pada saat ini merupakan pengobatan
efektif pada tendinopati yang menyebabkan rasa nyeri berkurang, ketebalan
tendon, dan neovaskularisasi. Proses inflamasi kemungkinan tidak hanya
berhubungan dengan berkembangnya tendinopati, tetapi juga tendinopati kronis.
Wilson dan Best (2005) mengatakan banyaknya penemuan klinis dari
tendinopati. Riwayat penyakitnya adalah peningkatan nyeri lokal pada daerah
yang sering mengangkat beban diimbangi dengan meningkatnya aktivitas.
Pemeriksaan harus mencakup tanda-tanda inflamasi (bengkak, nyeri, eritema, dan
panas), dimana hal ini dapat mengindikasikan adanya respon tendinitis, asimetris,
pengukuran ROM, palpasi pada kekakuan, dan manuver-manuver yang
menstimulasi beban tendon dan menyebabkan nyeri. Meskipun tidak adanya
inflamasi, pasien dengan tennis elbow datang dengan keluhan nyeri. Zeisig et al.
(2006) mengatakan bahwa nyeri yang melibatkan inflamasi neurogenik disalurkan
melalui substasi neuropeptida P. Lebih lanjut lagi, daerah dengan vaskularisasi
yang ditemukan pada origo extensor berhubungan dengan nyeri yang dirasakan.
Kebanyakan, penemuan ini sesuai dengan vasculo-neural in-growth yang sudah
dibuktikan pada kondisi tendinosis lainnya.
Tidak ada kesepakatan khusus dalam pengobatan optimal untuk tendinitis
atau tendinosis. Paoloni et al. (2003) mengatakan bahwa tidak ada pengobatan
yang secara keseluruhan berhasil. Nirschl (1992) dan Nirschl dan Ashman (2004)
menunjukkan tujuan utama dari penatalaksanaan non-bedah adalah
mengembalikan jaringan rusak yang menyebabkan nyeri. Revaskularisasi dan
perbaikan kolagen pada jaringan patologis merupakan kunci dari keberhasilan
program rehabilitasi. Keberhasilan dari penatalaksanaan non-bedah termasuk
latihan resistance dan progresi. Variasi dari intervensi sudah disebutkan dalam
literatur, seperti hypospray, nitrit oxide topikal, oxygen free radicals, es,
phonophoresis dan ultrasound (Klaiman et al. 1998), low-level laser,
extracorporeal shock wave therapy, deep transverse friction massage (DFTM),
manipulasi dan mobilisasi, akupuntur, bracing, orthotics, combined low-level laser
dan plyometric, program latihan eksentrik, program eksentrik isokinetik, dan
program latihan kombinasi.
Manias dan Stasinopolous (2006) membandingkan program exercise dengan
program yang dilapisi dengan es. Setelah 3 bulan dilakukan, tidak ada perubahan
pada penurunan nyeri diantara kedua grup tersebut. Dikarenakan banyaknya
variabel perancu dengan intervensi multipel, sulit menentukan kemanjuran icing.
Klaiman et al. (1998) membuktikan bahwa ultrasound dapat menurunkan nyeri
dan meningkatkan tekanan pada bagian jaringan lunak yang cedera.
Bjordal et al. (2008) menunjukkan sistematis dan meta-analisis dari
penelitian mengenai low-level laser therapy (LLLT) sebagai penatalaksaan dari
epicondylitis humerus. Sebanyak 12 subjek penelitian dipilih secara acak dan
memenuhi kriteria inklusi. LLLT dilakukan dengan dosis optimal panjang
gelombang 904-nm dan 632-nm langsung ke lateral tendon siku insersi
memberikan penurunan nyeri jangka pendek dan penurunan disabilitas.
Stasinopolous dan Johnson (2005) pada analisis kualitatif pada 9 penelitian
menghasilkan hasil yang kurang baik menggunakan LLLT, dikarenakan respon
modalitas dosis dan dosis optimal tidak dapat ditentukan.
Rompe dan Maffuli (2007) melakukan penelitian kualitatif dengan
mengidentifikasi 10 kelompok uji coba yang dipilih secara acak (948 subjek
penelitian) menunjukkan kemanjuran dari terapi shockwave untuk tennis elbow.
Brosseau et al. (2002) dalam ulasannya di Cochrane menentukan bahwa
DTFM dikombinasikan dengan modalitas fisioterapi lain tidak akan menunjukkan
keuntungan konsisten dalam mengendalikan nyeri atau meningkatkan kekuatan
genggam dan status fungsional untuk pasien dengan tendinitis extensor carpi
radialis. LLLT dan plyometrics lebih efektif dibandingkan dengan plyometrics
sendiri.

PROGRAM LATIHAN EKSENTRIK


Satu variabel umum yang dipelajari dengan patologi tendon adalah latihan
kelebihan beban eksentrik (EOT). Penelitian terbatas mengenai efektivitas EOT
yang berhubungan dengan epicondylitis humeral dan perawatan tendon lain akibat
cedera. Kingma et al, (2007) menunjukkan hasil sistematis dari EOT dengan
Tendinopati achiles kronis. Terdapat 9 yang diuji coba menunjukkan rasa nyeri
perbaikan setelah EOT. Namun, karena kurangnya metodelogik pada uji coba,
kesimpulan pasti berfokus pada efek dari EOT. Meskipun efek EOT pada
tendinopati adalah rasa nyeri, besarnya efek tidak dapat ditentukan. Knobloch et al
(2007) menggunakan sistem doppler laser untuk aliran darah kapiler, saturasi
oksigen jaringan, dan vena post kapiler mengisi tekanan dievaluasi tendon yang
mikrosirkulasi dalam 12 minggu yang setiap hari nyeri pada latihan eksentrik di
rumah (3x15 pengulangan per tendon setiap hari). EOT harian untuk tendinopati
achiles lebih aman dan mudah diukur, dengan efek yang menguntungkan pada
mikrosirkulasi tingkat tendontanpa efek samping pada bagian tengah dan insersi
tendinopati achiles. Malliaras et al (2008), ulasan dari program latihan eksentrik
untuk epicondylitis humeral menunjukkan bahwa EOT memberikan hasil yang
baik.

PROGRAM LATIHAN KOMBINASI


Stasinopoulos et al (2005) menjelaskan program latihan kekuatan dan
regangan untuk pengobatan epicondylitis humeral. Mereka merekomendasikan
latihan EOT yang progresif lambat dengan siku diekstensi, lengan bawah
dipronasi, dan pergelangan tangan diluruskan. Kecepatan pengisian dan detail
(pengulangan, set, volume) dari EOT tidak dapat ditentukan. Latihan regangan
statis untuk otot-tendon lateral sebelum dan sesudah EOT selama 30 sampai 45
detik dengan waktu istirahat 30 detik diantara waktu latihan juga
direkomendasikan. Rincian parameter optimal untuk latihan epicondylitis humeral
belum dapat dijelaskan pada percobaan yang dirancang dengan baik.

STABILISASI SCAPULAR DAN ROTATOR CUFF


Selain penggunaan modalitas terapetik dan EOT untuk pengobatan cedera
tendon siku, stabilisasi bagian atas dan teknik latihan juga diperlukan. Beberapa
latihan penguatan scapular direkomendasikan untuk mencapai trapezius bagian
bawah dan serratus anterior. Latihan stabilisasi scapular ditekankan dan mencakup
rotasi eksternal dengan retraksi, latihan ditujukkan untuk mencapai trapezius
bagian bawah 3,3 kali lebih banyak daripada trapezius bagian atas dan
memanfaatkan pentingnya posisi dari retraksi scapular. Bebrapa variasi
direkomendasikan termasuk the lawnmower dan variasi low row (Kibler et al,
2009) (video 18.1).
Kemajuan latihan dengan posisi “plus”, ditandai dengan protraksi scapular
maksimal, direkomendasikan oleh Moesley et al (1992) dan Decker et al (1999)
untuk serratus anterior yang maksimal (video 18.2). Penempatan stabilisasi ritme
posisi quadriceps dan variasi dari petunjuk posisi ( lengan unilateral dan beban
ekstensi kaki ipsilateral) semua digunakan berorientasi pada daya tahan ( waktu
set 30 detik atau lebih) untuk menambah stabilisasi scapular. Uhl et al (2003)
menunjukkan efek dari peningkatan beban dan penurunan berturut-turut jumlah
beban ekstremitas pada aktivitas otot dari rotator cuff dan otot scapular.
Kekuatan rotator cuff posterior sampai diberikan kekuatan, ketahanan
lelah, dan keseimbangan otot yang optimal penting ketika bekerja sebagai atlet.
Gambar 18.3 menunjukkan rekomendasi kami latihan untuk kekuatan rotator cuff,
berdasarkan penelitian EMG yang menunjukkan tingginya tingkat aktivasi otot
rotator cuff (video 18.3). Penggunaan abduksi horizontal ditekankan karena
penelitian menunjukkan posisi ini tingkat tinggi pada aktivasi otot supraspinatus,
yang menjadi alternative untuk bisa latihan, yang sering dapat menyebabkan
pelepasan gerakan kombinasi dari rotasi internal dan elevasi. 3 set terdiri dari 15
sampai 20 pengulangan direkomendasikan untuk merespon kelelahan dan
meningkatkan ketahanan otot lokal. Pada disfungsi siku, ini bisa dilakukan dengan
menggunakan berat cuff dilekatkan bagian atas sampai ke siku jika berat
dlekaktkan bagian distal menimbulkan nyeri atau menekan struktur penyembuhan.
Latihan isotonic dipasangkan dengan rotasi ekternal dengan tahanan elastis untuk
kekuatan rotator cuff posterior netral dan 90 derajat posisi abduksi pada bidang
scapula (video 18.4).
Carter et al (2007) mempelajari efek dari 8 minggu program pilometrik
ekstremitas atas dan kekuatan rotasi eksternal dengan tahanan elastis. Mereka
mendapatkan peningkatan kekuatan rotasi eksternal eksentrik, kekuatan rotasi
internal konsentrik dan kecepatan melempar yang lebih baik daripada pemain
baseball, gambar 18.4 menunjukkan 90/90 latihan pilometrik atlet dengan
membiarkan posisi scapular ditarik. Bola pilo dengan cepat turun dan tertangkap
pada 2 sampai 3 inci (3 sampai 6 cm) jarak gerakan untuk set 30 sampai 40 detik
untuk meningkatkan ketahanan otot lokal. Latihan ini juga memberikan respon
kelelahan pada pergelangan tangan fleksor dan ekstensor saat menggenggam dan
melepaskan bola dengan cepat. Latihan lain yang digunakan adalah latihan
pilometrik “reverse-catch” ditunjukkan dengan sendi glenohumeral pada 90/90
posisi. Bola dilempar dari belakang pasien ke esentrik rotator cuff posterior (rotasi
eksternal) dengan pergerakan rotasi eksternal konsentris cepat dilakukan saat
pasien melempar bola ke belakang, menjaga posisi abduksi 90/90 bahu dan siku.
Latihan pilometrik satu lengan ini bisa didahului oleh 2 tangkapan lengan
melebihi bahu untuk menentukan kesiapan pemuatan satu lengan. Bola kecil (0,5
kg, 1 pon) atau beban yang lunak dengan perkembangan menjadi 1-1,5 kg sebagai
perkembangan kekuatan dan keterampilan pasien.

1. Rotasi Eksternal
Berbaringlah pada sisi yang tidak terlibat, dengan lengan yang terlibat
diletakkan di samping, dengan bantal kecil diantara lengan dan badan.
Menjaga siku dan lengan yang terlibat tetap disamping, angkat lengan ke
rotasi eksternal. Perlahan turun ke posisi awal dan ulangi.

2. Ekstensi Bahu
Berbaringlah pada perut diatas meja, dengan lengan yang terlibat
tergantung pada lantai. Ibu jari menunjuk kearah luar. Angkat lengan lurus
ke belakang sejajar dengan punggung. Perlahan turunkan lengan dan
ulangi.

3. Abduksi Bidang Horizontal


Berbaring pada perut diatas meja, dengan lengan yang terlibat tergantung
dilantai. Ibu jari menunjuk kearah luar. Angkat lengan kesamping, sejajar
dengan lantai. Perlahan turunkan lengan dan ulangi.

4. Rotasi Eksternal 90/90


Berbaring pada posisi perut diatas meja dengan bahu abduksi 90 derajat
dan lengan yang disanggah diatas meja, siku ditekuk 90 derajat. Jaga bahu
dan siku terfiksasi, putar lengan kearah rotasi eksternal. Perlahan turunkan
ke posisi awal dan ulangi.

LATIHAN ADVANCED DISTAL UPPER EXTREMITY DALAM


REHABILITASI EPICONDILITIS HUMERUS
Latihan untuk meningkatkan kekuatan, ketahanan otot lengan bawah serta
pergelangan tangan mencakup traditional curls untuk fleksor dan ekstensor
menggunakan dumbel isotonik ringan (video 18,5 dan 18,6) atau tabung elastis
atau pita dan supinasi pronasi lengan bawah dan penyimpangan radioulnar dengan
berat badan seimbang. Latihan ini membantu memberikan dukungan otot
tambahan pada ekstremitas distal dan membantu melawan kekuatan besar yang
dihasilkan di regio ini dengan gerakan melempar dan gerakan overhead serving
(seperti serving awal pada badminton).

Fig. 18.4 Pronasi 90/90 pliometric rotasi external


Progresi latihan isokinetik untuk ekstensi fleksi pergelangan tangan dan
pronasi-supinasi lengan bawah direkomendasikan terhadap latihan isotonik yang
lebih mendasar. Kecepatan kontraktilitas menengah dan cepat (180 sampai 300
derajat per detik) digunakan untuk merangsang kecepatan yang digunakan dalam
aktivitas fungsional. Tiga sampai lima set dari 15 sampai 20 pengulangan
direkomendasikan untuk stimulasi daya tahan.
Latihan tipe balistik dapat diintegrasikan dalam penguatan tahap akhir pada
pasien yang sedang kembali ke akvitivitas kerja yang agresif atau bagi mereka
yang membutuhkan kekuatan dan ketahanan otot tingkat tinggi. Melakukan
dribble bola dengan cepat dalam durasi 30 detik dengan bola basket atau dengan
bola fisio kecil diatas lantai dan dalam posisi tinggi dari dinding menjadi
rekomendasi. Selain itu, latihan pliometrik khusus untuk otot-otot lengan bawah
mencakup fleksi pergelangan tangan membalik dan fleksi pergelangan tangan
terkunci.

PENGEMBALIAN KE PROGRAM OLAHRAGA/INTERVAL


Fase yang digunakan dalam proses rehabilitasi untuk cedera siku dan fase
pengembalian ke aktivitas adalah yang paling sering diabaikan atau dipersingkat,
mengakibatkan risiko cedera ulang. Kriteria obyektif untuk masuk ke tahap ini
adalah toleransi terhadap seri latihan resistif, kekuatan terdokumentasi secara
objektif yang setara dengan ekstremitas kontralateral dengan penilaian manual
atau pengujian isokinetik dan kekuatan isometrik yang lebih baik, kekuatan
pegangan distal diukur dengan dinamometer, dan ROM fungsional. Penting untuk
dicatat bahwa seringkali atlet elit menunjukkan adaptasi muskuloskeletal yang
telah dijelaskan sebelumnya di bagian ini.

Fig. 18.5 Ball dribbling untuk penguatan extremitas atas bagian distal
Karakteristik program olahraga interval termasuk kinerja harian dan
progresi intensitas dan pengulangan. Dalam program tenis interval, misalnya, bola
tenis dengan kompresi rendah seperti bola Pro-Penn Star (Penn Racquet Sports,
Phoenix, AZ) atau bola busa yang digunakan saat proses mengajar tenis untuk
anak-anak. Bola ini sangat dianjurkan untuk digunakan selama fase awal program
back-to-tennis yang menghasilkan penurunan tekanan dampak dan peningkatan
toleransi pasien terhadap aktivitas. Selain itu, tampil dalam program interval
dibawah pengawasan, baik selama terapi atau dengan pengajar profesional atau
pelatih yang berpengetahuan luas, memungkinkan evaluasi teknik dan penjaga
biomekanis terhadap tingkat intensitas yang terlalu tinggi, dapat menjadi
kesalahan umum bagi pasien dengan motivasi dan niat yang bagus. Dengan
menggunakan program pengembalian pada hari-hari alternatif, sisanya di antara
sesi, memungkinkan pemulihan penuh, sehingga mengurangi cedera ulang.
Pembaca publikasi untuk diskusi tambahan mengenai proses penting ini jika
program tenis jarak jauh (Ellenbecker et al 2006). Konsep serupa digunakan
dalam program pelemparan interval, yang telah dipublikasikan sebelumnya
(Reinhold dkk, 2002). Melontarkan evaluasi mekanika dengan menggunakan
video dan oleh pelatih atau biomekanis yang berkualifikasi merupakan bagian
yang sangat penting dari proses rehabilitasi dalam pengembalian aktivitas.
Dua aspek penting lain dari kembali ke olahraga adalah penerapan lanjutan
latihan resistif dan modifikasi atau evaluasi peralatan. Kelanjutan latihan
rehabilitasi kekuatan lengan total menggunakan ketahanan elastis, bola
pengobatan, dan resistensi isotonik atau isokinetik, penting untuk terus
meningkatkan kekuatan tak hanya kekuatan tetapi juga ketahanan otot. Inspeksi
dan modifikasi raket tenis pasien atau klub golf juga penting. Menurunkan
ketegangan senar beberapa kilogram dan memastikan bahwa pemain
menggunakan senar yang lebih elastis atau lebih lembut, seperti senar sintetis
multifilamen tanpa bagian tengah atau gut, banyak direkomendasikan untuk
pemain tenis dengan riwayat cedera ekstremitas atas. Ukuran pegangan juga
penting, dengan penelitian menunjukkan perubahan aktivitas otot dengan
perubahan pegangan atau ukuran pegangan. Pengukuran ukuran pegangan yang
tepat telah dijelaskan oleh Nirschl dan Sobel (1981) yang sesuai dengan jarak
antara ujung distal jari manis di sepanjang batas radial jari ke lipatan palmar
proksimal. Penjepit gaya kontra juga dapat digunakan untuk mengurangi tekanan
pada penyisipan flexor dan tendon ekstensor selama bekerja atau olahraga.

REFERENSI
Giangarra, E.C., et al. 2018. Clinical Orthopaedic Rehabilitation. Elsevier,
Canada. hal. 81-88.
Daftar referensi lengkap dapat dilihat di https://expertconsult.linkling.com/.

BACAAN LEBIH LANJUT


Adelsberg S. An. EMG Analysis of Selecter Muscles with Rackets of Increasing
Grip Size. AM J Sports Med. 1986;14:139-142.
Bagg SD, Forrest WJ. A Biomechanical Analysis of Scapular Rotation during Arm
Abduction in the Scapular Plane. Arch Phys Med Rehabil. 1988:238-245.
Blackburn TA, McLeod WD, White B, et al. EMG Analysis of posterior rotator
cuff exercises. Athletic Training. 1990:25-40.
Borsa PA, Dover GC, Wilk KE, et al. Glenohumeral range of motion and stiffness
in proffesional baseball pitchers. Med Sci Sports Exerc. 2006:38(1):21-26.
Boyer MI, Hastings H. Lateral tennis elbow: is there any science out there? J
Shoulder Elbow Surg. 1999(8):481-491.
Caroll R. Tennis elbow: incidence in local league players. Br J Sports Med.
1981(15):250-255.
Coonrad RW, Hooper WR. Tennis elbow: its course, natural history, conservative
and surgical management. J Bone Joint Surg. 1973(55-A):1177-1182.
Cyriax JH, Cyriax PJ. Illustrated Manual of Orthopaedic Medicine. London:
Butterworth:1983.
Dunn JH, Kim JJ, Davis I., et al. Ten to 14 year follo-up on the Nirschl surgical
procedure for lateral epicondylitis. Am J Sports Med. 2008;36(2):261-266.
Elllenbecker TS. Rehabilitation of shoulder and elbow injuries in tennis players.
Clin Sports Med. 1995;14(1):87-110.
Eygendaal D, Rahussen FT, Diercks RL. Biomechanics of the elbow joint in
tennis players and relation to pathology. Br J Sports Med. 2007;41:820-823.
Fedorczyk JM. Tennis elbow: blending basic science with clicinal practice. J Hand
Ther. 2006;19:146-153.
Fleck SJ, Kraemer WJ. Designing resistance training programs. Champaign, IL:
Human kinetics publishers; 1987.
Fleisig GS, Andrews JR, Dillman CJ, et al. Kinetics of basebbal pitching with
implications about injury mechanism. Am J Sports Med. 1995;23:233.
Glousman RE, Barron J, Jobe FW, et al. An electromyographic analysis of the
elbow in normal and injured picthers with medial collateral ligament
insufficiency. Am J Sports Med. 1992;20:311-317.
Greenbaum B, Itamura J, Vangness CT, et al. Extensor carpi radialis brevis. J
Bone Joint Surgery Br. 1999;81(926-929.
Groppel JL, Nirschl RP. A biomechanical and electromyographical analysis of the
effects of counter force braces on the tennis player. Am J Sports Med.
1986;14:195-200.
Hang YS, Peng SM. An epidemiological study of upper extremity injury in tennis
players with particular reference to tennis elbow. J Formos Med Assoc.
1984;83:307-316.
Hughes GR, Currey HL. Hypospray treatment of tennis elbow. Ann Rheum Dis.
1969;28:58-62.
Ilfeld FW, Field SM. Treatment of tennis elbow. Use of a special brace. JAMA.
1966;195:67-70.
Jobe FW. Kivitne RS. Shoulder pain in the overhand or throwing athlete. Orthop
Rev. 1989;18:963-975.
Kibler WB. Role of the scapula in athletic shoulder function. Am J Sports Med.
1998;26(2):325-337.
Maffuli N, Wong J, Almekinders LC. Types and epidemiology of tendinopathy.
Clin Sports Med. 2003;22:675-692.
McCabe RA, Tyler TF, Nicholas SJ, et al. Seective activation of the lower
trapezius muscle in patients with shoulder impingement. J Orthop Sports
Phys Ther. 2002;31(1). A-45. (Abstract)
Morrey B, An KN. Articular and ligamentous contributions to the stability of the
elbow joint. Am J Sports Med. 1983;11:315-319.
Murrel GA. Oxygen free radicals and tendon healing. J shoulder elbow surg.
2007;16:S208-S214.
Ollivierre CO, Nirschl Rp. Tennis elbow: current concepts of treatment and
rehabilitation. Sports Med. 1996;22(2):133-139.
Reinhold MM, Wilk KE, et al. Electromyographic analysis of the rortator cuff and
deltoid musculature during common shoulder external rotation excercise. J
Orthop Sports Phys. 2000; 14(2):140-143.
Romp[e JD, Furia J, Maffulli N. Eccentric loading compared with schock wave
treatment for chronic insertional Achhilles tendinopathy. A randomized
controlled trial. J Bone Joint Surg. 2008;90-A:52-61.
Seil R, Dimeff JP, Janotti. Extracorporal shock wave therapy for tendinopathies.
Expert Rev Med Devices. 2006;3:463-470.
Stergioulas A. Effects of low-level laser and plyometric exercises in the treatment
of lateral epicondylitis. Photomed laser surg. 2007;25:205-213.
Stoddard A. Manipulation of the elbow joint. Physither. 1971;57:259-260.
Twonsend H, Jobe FW, Pink M, et al. Electromyography analyisis of the
gleniohumeral muscles during a basebbal rehabilitation program. Am J Sports
Med. 1991;19:264.
United Stas Tennis Association; unpublished data.
Wainstein JL, Nailor TE. Tendinitis and tendinosis of the elbow, wirts and hands.
Clin Occup Environ Med. 2006;5:299-322.
Winge S, Jorgensen U, Nielsen AL. Epidemiology of injuries in Danish
championship tennis. Int J Sports Med. 1989;10:368-371.

You might also like