You are on page 1of 15

BAB 2 RUGULASI KEUANGAN SEKTOR PUBLIK

2.1 DASAR HUKUM KEUANGAN SEKTOR PUBLIK


Penyelenggaraan pemerintah ditunjukan untuk mengkoordinasi pelaksanaan hak
dan kewajiban negara, baik keuangan negara maupun keunagan daerah, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 perlu dilaksanakan secara profesional,
terbuka, dan bertanggung jawab untuk sebsesar-besarnya.

2.1.1 Dasar Hukum Keuangan Negara

Keuangan negara dapat diinterpretasikan sebagai pelaksanaan hak dan kewajaiban


warga yang dapat dinilai dengan uang, dalam kerangka tata cara penyelenggaraan
pemerintahan. Wujud pelaksanaan keuangan negara tersebut dapat diidentifikasikan
sebagai segala bentuk kekayaan, hak, dan kewajiban negara yang tercantum dalam APBN
dan laporan pelaksanaan.

Pelaksanaan kewajiban atau tugas-tugas pemerintah tersebut dapat berupa


pengeluaran dan diakui sebagai belanja negara. Dalam UUD 1945 Amandemen IV secara
khusus diatur mengenai Keuangan Negara, yaitu pada BAB VIII 23 yang berbunyi sebagai
berikut:

1. Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang


apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan
Pemerintah, maka Pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu.
2. Segala pajak untukkeperluan negara berdasarkan Undang-Undang.
3. Jenis dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang.
4. Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan Undang-Undang.
5. Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan
Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengn Undang-Undang. Hasil
pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Penyusunan APBN bukan hanya untuk memenuhi ketentuan konstitusional yang dimaksud
pada pasal 23 ayat (1) UUD 1945, tetapi juga sebagai dasar rencana kerja yang akan
dilaksanakan oleh pemerintah dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Oleh karena itu,
penyusunannya didasarkan atas Rencana Strategi dalam UU Propenas, dan pelaksanaannya
dituangkan dengan Undang-Undang yang harus dijalankan oleh Presiden/Wakil Presiden
dan Mentri-mentri serta pimpinan Lembaga Tinggi Negara lainnya. Setelah pengesahan UU
APBN, APBN dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan dalam bentuk Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat.
2.1.2 Dasar Hukum Keuangan Daerah
Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional didasari
pada prinsip otonomi daerah dalam pengelolaan sumber daya. Prinsip otonomi daerah
memberikan kewenangan yang luas dan tanggung jawab nyata pada pemerintahan daerah
secara profesional. Dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya
nasiona, baik yang berupa uang maupun sumber daya alam, pemeritah pusat dan
pemerintah daerah mengembangankan suatu sistem perimbangan keuangan antara pusat
dan daerah yang adil. Sistem ini dilaksanakan untuk menceriminkan pembagian tugas
kewenangan dan tanggung jawab yang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
secara transparan. Kriteria keberhasilan pelaksanaan sistem ini adalah tertampungnya
aspirasi semua warga, dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam proses
pertanggung jawaban eksplorasi sumber daya yang ada dan pengembangan sumber-
sumber pembiayaan.
Berdasarka pasal 18 Amandemen IV, tujuan pembentukan Daerah Otonom adalah
meningkatkan daya guna penyelenggaraan pemerintah unuk melayani masyarakat dan
melaksanakan program pembangunan. Selanjutnya, Daerah Otonom didefinisikan sebagai
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu dan berwenang
mengatur serta mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatn Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam rangka penyelenggaraan daerah otonom, menurut penjelasan pasal 64
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, fungsi penyusunan APBD adalah untuk:
1. Menentukan jumlah pajak yang dibebankan kepada rakyat daerah yang
bersangkutan.
2. Mewujudkan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
3. Memberi isi dan arti kepada tanggung jawab Pemerintah Daerah umumnya dan
Kepala Daerah khususnya, karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah itu
menggambarkan seluruh kebijakan Pemerintah Daerah.
4. Melaksanakan pengawasan terhadap pemerintah daerah dengan cara yang lebih
mudah dan berhasil guna.
5. Merupakan suatu pemberian kuasa kepada kepala daerah untuk melaksanakan
penyelnggaraan keuangan daerah di dalam batas-batas tertentu.

Penyusunan APBN haruslah diletakan dalam kerangka perencanaan pembangunan


jangka menengah yang mempertimbangkan skala prioritas pembangunan.
Selanjutnya, pelaksanaan APBD haruslah dikendalikan menurut sasaran sasaran yang
jelas dan terukur. Jadi, baik penyusunan maupun pelaksanaan APBD tidak dapat
dipisahkan dengan proses pembangunan berjangka menengah san berskala nasional.
2.2 AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK MEMASUKI ERA DESENTRALISASI
Kebijakan desentarlisasi telah mengubah sifat hubungan antar pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah, antar BUMN dengan pemerintah pusat, antar pemerintah
dengan masyarakat, dan berbagai entitas lain dalam pemerintahan. Peranan pelaporan
keuangan telah berubah dari posisi administrasi semata menjadi posisi akuntabilitas di
tahun 2000. Pergeseran peranan laporan keuangan ini telah membuka peluang bagi posisi
akuntansi sektor publik dalam manajemen pemerintah dan organisasi sektor publik lainnya.
Jadi tujuan akuntansi sektor publik adalah untukmemastikan kualitas laporan keuangan
dalam pertanggungjawaban publik.

Sebagai perspektif baru, berbagai prasarana akuntansi sektor publik perlu dibangun,
seperti:

1. Standar akuntansi sektor publik untuk pemerintah pusat, pemerintah daerah,


dan organisasi sektor publik lainnya.
2. Account code untuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun organisasi
sektor publik lainnya, dimana review terhadap transaksi yang berkaitan dapat
dilakukan dalam rangka konsolidasi dan sudit.
3. Jenis buku besar atau Ledger ysng menjadi pusat pencatatan dat primer atas
semua transaksi keuangan pemerintah.
4. Manual sistem akuntansi pemerintah dan oraganisasi lainnya yang menjadi
pedoman atas jenis-jenis transaksi dan perlakuan akuntansinya.

Dengan kelengkapan prasarana tertentu, para petugas di bidang akuntansi dapat


melakukan pencatatan, peringkasan, dan pelaporan keuangan, baik secar manual maupun
komputasi. Akibat tak tersedianya prasana diatas, muncul presepsi bahwa:

1. Akuntansi adalah suatu yang sulit.


2. Akuntansi harus dikerjakan oleh SDM yang terdidik dalam jangka waktu panjang.
2.3REVIEW REGULASI YANG TERKAIT DENGAN AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK
2.3.1 Regulasi Akuntansi Sektor Publik di Era Pra Repormasi

Perjalanan akuntansi sektor publik di era pera reformasi didasari pada Undang-
Undan Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah. Pengertian daerah
dalam era reformasi dalah daerah tingkat I yang meliputi propinsi dan daerah tingkat ll yang
meliputi kotamadya atau kabupaten. Disamping itu, ada beberapa peraturan pelaksanaan
yang diturunkan dari perundang-undangan, antara lain:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pengurusan,


Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang Penyusunan APBD, Pelaksanaan
Tata Usaha Keuangan Daerah, dan Penyusunan Perhitungan APBD.
3. Keputusan Mentri Dalam Negri No. 900-099 Tahun 1980 tentang Manual
Administrasi Keuangan Daerah.
4. Peraturan Mentri Dalam Negri No.2 Tahun tentang Pelksanaan APBD.
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
6. Keputusan Mendagri Nomor 3 Tahun 1999 tentang Bentuk dan Susunan Perhitungan
APBD.

Berdasarkan peraturan-peraturan diatas, karakter pengelolaan keuangan daerah di era


pra reformasi dapat dirinci sebagai berikut:

1. Pengertia pemerintah daerah adalah kepala daerah dan DPRD (pasal 13 ayat (1)
Undang-Undang nomor 5 tahun 1975). Artinya, tidak terdapat pemisahan secar
konkrit antara eksekutif dan legislatif.
2. Perhitungan APBD berdiri sendiri, terpisah dari pertanggungjawaban Kepala Daerah
(pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975).
3. Bentuk laporan perhitungan APBD terdiri atas :
a. Perhitungan APBD.
b. Nota perhitungan.
c. Perhitungan kas dan pencocokan antar sisa kas dan sisa perhitungan dilengkapi
dengan lampiran ringkasan perhitungan pendapatan dan belanja (peraturan
pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 dan Keputusan Mendagri Nomor 3 Tahun
1999).
4. Pinjaman, baik pinjaman Pemda maupun pinjaman BUMD, diperhitungkan sebagai
pendapatan pemerintah daerah, yang dalam struktur APBD menurut Kepmendagri
No. 903-057 Tahun 1988 tentang Penyempurnaan Bentuk dan Susunan Anggaran
Pendapatan Daerah masuk dalam Pos Penerimaan Pembangunan.
5. Unsur-Unsur yang terlibat dalam penyusunan APBD adalah pemerintah daerah yang
terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD saja, belum melibatkan masyarakat.
6. Indikator pemerintah daerah mencangkup:
a. Perbandingan antara anggaran dan realisasinya.
b. Perbandingan antara standar biaya dengan realisasinya.
c. Target dan persentase fisik proyek yang tercantum dalam penjabaran
perhitungan APBD (Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang Cara
Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, dan Penyusunan
Perhitungan APBD).
7. Laporan keuangan pertanggungjawaban kepala daerah dan laporan perhitungan
APBD, baik yang dibahas DPRD maupun yang tidak dibahas DPRD, tidak mengandung
konsekuensi terhadap masa jabatan kepala daerah.

2.3.2 Regulasi Akuntansi Sektor Publik di Era Reformasi

Reformasi politik di Indonesia telah mengubah sisitem kehidupan negara. Tuntutan


good governance diterjemahkan sebagai terbebas dari tindakan korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Pemisahan kekuasaan anatreksekutif, judikatif, dan legislatif dilaksanakan.
Selain itu, partisipasi masyarakat akan mendorong praktis demokrasi dalam peklaksanan
akuntalitas publik yang sesuai dengan jiwa otonomi daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-


Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pertimbangan Keuangan Pusat Daerah adalah 2
Undang-Undang yang berupaya mewujudkan otonomi daeah yang lebih luas. Sebagai
penjabaran otonomi tersebut dibidang administrasi keuangan daerah, berbagai peraturan
perundangan yang lebih operasional dalam era repormasi pun telah dikeluarkan.

2.3.3 paradigma Baru Akuntansi Sektor Publik diEra Repormasi

Paradigma bsru dalam “Reformasi Manajemen Sektor Publik” adalah penerapan


akuntansi dalam praktik Pemerintah guna mewujudkan good governance. Landasan hukum
pelaksanaan reformasi tersebut tersebut telah disiapkan oleh pemerintah dalam suatu
Paket Undan-Undang Bidang Keuangan Negara yang terdiri dari UU Keuangan Negara, UU
Perbendaharaan Negara, dan UU Pemeriksaan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang pada
saat ini sudah disahkan oleh DPR. Sebelum menjadi UU, Paket RUU Bidang Keuangan Negara
diajukan oleh Pemerintah kepada DPR pada tanggal 29 September 2000.

Dan sebagai landasan hukum pengelolaan keuangan negara tersebut, pada tanggal 5
april 2003 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 ini menjabarkan lebih lanjut aturan-aturan
pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 kedalam asas-asas umum pengelolaan keuangan negara. Sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dalam
rangka pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan Negara yang ditetapkan dalam
APBN dan APBD, perlu ditetapkan kaidah-kaidah hukum administrasi keuangan negara.

Sebelum pengeahan perundangan diatas, kaidah-kaidah tersebut masih didasarkan


atas Undang-Undang Perbendaharaan Indonesia/Indische Comptabiliteitswet (ICW)
Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1968 Nomor 53, Tambahan Lembaga Negara Nomor 2860), Undang-Undang
Perbendaharaan Indonesia tersebut tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan pengelolaan
keuangan negara yang sesuai dengan tuntutan perekonomian demokrasi, ekonomi, dan
teknologi. Oleh karena itu, Undang-Undang tersebut perlu diganti dengan Undang-Undang
baru yang mengatur kembali ketentuan dibidang perbendaharaan negara, sesuai dengan
tuntutan perkembangan demokrasi, ekonomi, dan teknologi modern.

Terdapat empat prinsip dasar pengelolaan keuangan negara yang telah dirumuskan
dalam 3 Paket UU Bidang Keuangan Negara tersebut, yaitu:

1. Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja.

2. Keterbukaan dalam setiap transaksi pemerintah.

3. Pemberdayaan manajer profesional.

4. Adanya lembaga pemeriksa eksternal yang kuat, profesional, dan mandiri serta
dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan pemeriksaan.

Prisip-prinsip tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip desentralisasi dan otonomi


daerah yang telah ditetapka dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah. Dengan demikian, pelaksanaan tiga
Undang-Undang Bidang Keuangan Negara tersebut nantinya, selain menjadi acuan dalam
pelaksanaan reformasi manajemen keuangan pemerintah, diharapkan akan memperkokoh
landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di NKRI.

Selanjtnya, pembahasan akan dilanjutkan dengan pengertian manajemen keuangan


pemerintah, latar belakang reformasi manajemen keuangan pemerintah, dan pokok-pokok
reformasi dibidang penganggaran, di bidang perbendaharaan, dan di bidang auditing, serta
peranan pemerintah pusat dalam refor,asi manajemen keuangan daerah, dan akhirnya akan
dijelaskan secara ringkas agenda pelaksanaan reformasi tersebut.
2.4 BARANG DAN JASA PUBLIK
Pada dasarnya, alokasi barang dan jasa dalam suatu masyarakat dapat dilakukan
melalui dua mekanisme, yaitu pertama, melalui pasar (market mechanism) dan kedua,
mekanisme birokrasi (bureaucratic mechanism). Dengan sejumlah kondisi yang disyaratkan,
mekanisme pasar dianggap sebagai mekanisme yang dapat mendorong pemakaian sumber
daya secara efisien (Musgrave & Mugrave, 1984), (Brown dan Jackson,19860. Namun
ternyata masih terjadi kegagalan pasar (market failures) dalam mengalokasikan sejumlah
barang dan jasa, seperti ‘publik goods’ beserta eksternalitasnya. Jenis barang dan jasa inilah,
beserta sejumlah ‘mixed goods’ yang dialokasikan ke masyarakat melalui mekanisme
birokrasi.

2.4.1 Barang dan Jasa Publik vs Barang dan Jasa Swasta

Barang publik adalah barang kolektif yang seharusnya dikuasai oleh negara atau
pemerintah. Sifatnya tidak eksklusif dan diperuntutkan bagi kepentingan seluruh warga
dalam skala luas, syukur kalo bisa dinikmati warga secara gratis, misalnya udara bersih, air
bersih, dan lingkungan yang aman. Sedangkan barang swasta adalah barang spesifik yang
dimiliki oleh swasta. Sifatnya eksklusif dan hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu
membelinya, karena harganya disesuaikan dengan harga pasar menurut rumus sang
penjual, yaitu harus untung sebesar-besarnya, yang harus untung sebesar-besarnya,
misalnya perumahan mewah, villa, dan hotel.

Ada lagi barang setengah kolektif yang dimiliki oleh swasta atau milik patungan
swasta dan pemerintah. Seharusnya barang ini tidak boleh bersifat ekslusif, dan pemerintah
harus ikut menentukan harga penjualannya, yang biasanya tidak terjangkau oleh rakyat
kecil, misalnya sekolah swasta dan rumah sakit swasta.

Pada dasarnya, swasta akan merasa hanya bertanggung jawab atas biaya dan
manfaat yang menguntungkan dirinya sendiri. Swasta umumnya tidak perduli terhadap
biaya dan manfaat sosial, misalnya kerusakan lingkungan, baik lokal maupun dalam skala
wilayah yang lebih luas lagi, yang diakibatkan oleh proses produksi barang swasta tersebut.
Mereka menganggap biaya dan manfaaat sosial ini akan mengurangi keuntungan
(opportunity cost), apalagi biaya dan manfaat sosial ini sulit dihitung dan tidak ada padanaan
harganya dipasar .Swasta akan bersedia bertanggung jawab terhadap biaya dan manfaat
sosial yang telah diatur dalam perundang undangan /peraturan formal. Dan, dalam hal ini,
pelaksanaan hukum dan moral harus didukung dan diawasi oleh seluruh warga masyarakat.
2.4.2 Konsep-Konsep Pokok Barang dan Jasa Publik

Suatu barang dikategorikan sebagai barang ‘swasta’ atau ‘publik’ dalam kaitannya
dengan tingkat excludability dan persaingannya. Tingkat excludability suatu barang
ditentukan dengan kondisi dimana konsumen dan produsen barang atau pelayanan bisa
memastikan bahwa orang lain tidak memproleh manfaat dari barang/pelayanan tersebut.
Apabila tingkat exculudability rendah, maka ‘penumpang gratis’ dapat diidentifikasi sebagai
permasalahan. Sebagai contoh, penyelenggaraaan sebuah konser musik ditempat terbuka,
dengan mengenakan biaya tertentu dalam bentuk penjualan karcis pada penonton,
‘penumpang gratis’ diharapkan tidak terjadi namun, ketika suara musik melampaui ruangan,
maka warga sekitar menjadi ‘penumpang gratis’.

Jika suatu barang memiliki daya saing yang tinggi, barang tersebut dipergunakan
secara perorangan. Apabila daya saing rendah, barang tersebut dapat dimanfaatkan secara
bersama-sama. Sebagai contoh, taman umum daya saingnya rendah, sedangkan alat
‘walkman’ daya saingnya tinggi.

Secara umum, barang publik memiliki tingkat excludability dan daya saing rendah. Ini
berarti bahwa jika barang itu diproduksi, barang tersebut dapat dipergunakan banyak orang,
seperti pertahanan nasional. Barang publik ini dimanfaatkan oleh banyak orang, sehingga
umumnya dibiayai dari dana publik.

Barang swasta adalah barang-barang yang punya excludibility dan daya saing tinggi.
Orang-orang yang memanfaatkannya jelas, sehingga mudah dikenakan biaya, dan masalah
‘penumpang gratis’ dapat dihindari. Pada kenyataannya, sebagian besar barang termasuk
dalam jenis ini.

Barang yang excludable, tetapi daya saingnya rendah disebut toll goods. Barang ini
bisa digunakan bersama-sama, namun orang yang memanfaatkannya tetap dikenai biaya,
seperti jalan tol. Banyak orang yang bisa menggunakannya secara bersamaan, tetapi setiap
orang yang melewatinya harus membayar uang tol. Barang atau pelayanan yang bisa
dimanfaatkan secara bersama-sama cendrung membutuhkan investasi dalam skala besar,
sehingga organisasi sektor publik mampu berinvestasi untuk membangun pelayanan
semacam itu. Dalam kasus sistem Build-Operate-Transfer, orgaanisasi sektor publik
melakukan investasi yang diperlukan, dan organisasi swasta menjalankannya dengan
mengenakan biaya pada pemakaian.

Barang yang berdaya saing tinggi, tetapi non-excludable, disebut common pool
goods. Contohnya adalah pengadaan air disebuah desa meskipun termasuk barang yang
non-excludable, namun penggunaan secara berlebihan akan mengurangi kesempatan
Excludability Rendah Excludability Tinggi
Persaingan Rendah Barang publik (biaya sektor Barang Toll (campuran biaya
publik) publik dan swasta)

Persaingan Tinggi Common pool goods (biaya Barang swasta (biaya swasta)
sektor publik)

Bagi orang lain untuk menggunakannya. Air berkarakter non-excludable, sehingga tidak
dapat dipungut bayaran dan dibutuhkan dana publik.

Untuk meningkatkan peluang pendanaan sektor swasta, ada beberapacara untuk


menaikkan tingkat excludability suatu barang atau pelayanan:

a. Perubahan teknologi;Misalnya;Pencegahan penyakit malaria dengan menggunakan


insektisida yang disemprotkan dari udara adalah barang publik,karena jumlah vektor
secara keseluruhan berkurang untuk kepentingan semua orang. Dengan
diperkenalkannya prophylaxis dalam bentuk tablet,orang terpaksa membayar demi
melindungi dirinya dari penyakit, sehingga prophylaxis menjadi barang swasta.
b. Diberlakukanya hak milik secara lebih ketat, sehingga ‘penumpang gratis’dapat
dikurangi.

Penyedia pelayanan
Barang atau pelayanan yang dibiayai secara publik dapat dikontrakkan kepada sektor swasta
(misalnya, sekolah pemerintaah menerima pembayaran dari orang tua murid dalam bentuk ongkos
pemakai pelayanan ). Sektor swasta mempunyai kecenderungan lebih efisien dan efektif,karena:

a. Sektor swasta memiliki fleksibelitasdalam pengelolaaan sumber daya, sehingga


perubahan permintaan pasar ditangani.
b. Persaingan pelayanan mendorong lebih baiknya mutu pelayanan dengan harga yang
lebih murah bagi pelanggan.

Kepentingan pelanggan tidak selamanya harus dipenuhi oleh pelayanan swasta. Ada
beberapa pengecualian dalam hal ini, yaitu:

1. Pelanggan tidak mampu menilai mutu pelayanan. Jika hal ini terjadi, sektor publik
harus menetapkan sejumlah standar mutu untuk melindungi konsumen.
2. Tidak terjadi persaingan antara para pemberi pelayanan. Jika terjadi monopoli secara
alamiah ( karena kecilnya pasar atau diperlukannya investasi yang besar untuk
memasuki pasar), maka sektor swasta kurang mendapat insentif untuk beroperasi
secara efisien. Ini berarti bahwa sektor swasta tidak harus lebih efisien dari pada
sektor publik. Ini berarti pula bahwa intervensi publik sekali lagi dibutuhkan untuk
menjamin terpenuhinya standar harga, mutu dan persaingan.
3. Terdapat faktor luar yang negatif yang mempengaruhi pelayanan. Contoh paling
umum dari pengaruh faktor luar adalah polusi. Jika pemberian suatu pelayanan atau
produk mempunyai dampak (positif atau negatif) terhadap orang lain yang bukan
produsen ataupun konsumen barang atau pelayanan itu, maka itulah yang disebut
faktor luar. Apabila faktor luar itu negatif, seperti polusi, maka pemerintah harus
mengintervensi untuk menghilangkan faktor tersebut, atau paling tidak menjamin
bahwa orang-orang yang terkena dampaknya diberi ganti rugi yang pantas.

Dalam kasus semacam ini, pemerintah harus menimbang antara biaya relatif dan
manfaat dari mengontrol pemberian pelayanan/barang oleh sektor swasta atau langsung
diberikan oleh sektor publik. Misalnya, dalam kasus dimana mutu pelayanan sulit diukur,
kerap kali akan lebih murah jika pemerintah memberikan sendiri pelayanan itu dari pada
memonitori pengadaannya oleh sektor swasta.

Alternatif lain adalah pelayanan disediakan oleh suatu organisasi kolektif, seperti sistem
pengamanan lingkungan. Jika pelayanan dialokasikan secara adil deminkepentingan
organisasi kolektif, maka manejemen biasanya melakukan sendiri. Pada umumnya,
organisasi kolektif akan berperan sesuai dengan keperluan anggotanya, sehingga tidak
dibutuhkan kebijakan eksternal untuk menjamin dilakukannya distribusi dan persaingan
yang adil.

Lembaga-lembaga semacam organisasi kolektif atau lembaga lainnya yang mewakili


pihak-pihak yang berkepentingan, memberikan kontribusinya dengan cara lain, misalnya
menetapkan standar dan mmbuat organisasi publik lebih andal dalam memenuhi kebutuhan
pelanggan.

Selayaknya, pemberian pelayanan membutuhkan semacam pengatur kemitraan antara


sektor swasta, sektor publik, dan organisasi kolektif. Sifat huungan ini tergantung antara lain
pada sifat dari monitoring pemberian pelayanan, tingkat persaingan di pasar anatar para
pemberi pelayanan, dan kekuatan lobi konsumen.
Perubahan Kelembagaan
Salah satu penentu utama dari interrelasi ini adalah sikap orang yang bekerja
disektor publik. Agar sebuah lembaga pemerintah terbuka terhadap saran-saran dari
lembaga yang mewakili konsumen, atau bersedia mempertimbangkan pengalihan ke sektor
swasta, suatu perubahan persepsi atau paradigma baru perlu dilakukan. Melakukan peran
baru dan tidak pasti lembaga mereka merupakan hal yang sulit. Ketidakmampuan untuk
memahami cara baru dalam mengerjakan sesuatu disebut kebutuhan paradigma.

Langkah pertama dalam mengatasi kebutaan paradigma adalah mencari apa yang
bisa dilakukan untuk mengubah cara kerja. Setelah itu, penting embuat visi yang jelas
tentang ke mana organisasi akan diarahkan. Keadaan didorong oleh lingkungan yang
dipimpin oleh seorang pemimpin visioner, dimana terdapat suatu tim terpadu yang bervisi
sama, dan visi itu menyentuh semua orang dalam organisasi.

2.4.3 Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) memberikan prioritas yang tinggi terhadap
berbagai reformasi penyelenggaraan pemerintah secara menyeluruh, manajemen sektor
publik yang lebih mantap, pembinaan kelembagaan, dan pemberantasan korupsi.

Masyarakat juga memberikan dukungan yang kuat terhadap pelaksanaan reformasi


penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah telah mengambil beberapa insiatif untuk
memperbaiki penyelenggaraan pemerintah, yaitu : (a) refpormasi hukum dan yudikatif
termasuk pembentukan komisi ombudsman untuk menanggapi masalah korupsi dan
pembentukan komisi reformasi hukum, (b) perumusan strategi reformasi pegawai negeri
sipil ,(c) rancangan undang undang untuk memantapkan manajemen keuangan pemerintah,
(d)pembentukan komisi anti korupsi, dan (e) pembentukan kemitraan bagi pembaruan tata
pemerintahan di indonesia ysng didukung oleh UNDP, Bank dunia, dan ADB.

Demikian pula, dalam bidang pengadaan barang dan jasa, pemerintah telah
menerbitkan keputusan presiden nomor 61 tahun 2004 tentang pedoman pelaksanaan
pengadan barang dan jasa instansi pemerintah, sebagai penyempurnaan dari aturan dan
prosedur sebelumnya, yaitu kepres 80 tahun 2003. Peraturan peraturan tersebut
merupakan implementasi dari UU No 9 tahun 1995 tentang usaha kecil, UU No 5 tahun 2000
tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat, UU No 28 tahun
1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi dan
Nepotisme; semuanya ditunjukan untuk mengatur pengguna barang/jasa dan penyedia
barang/jasa sesuai dengan tugas, fungsi, hak, dan kewajiban serta peranan masing masing
pihak dalam proses pengadaan barang/ jasa yang dibutuhkan instansi pemerintah.
Tujuannya adalah untuk memperoleh barang/jasa yang dibutuhkan instansi
pemerintah dalam jumlah yang cukup, dengan kualitas dan harga yang dapat dipertanggung
jawabkan, serta dalam waktu dan tempat tertentu secara efektif dan efisien menurut
ketentuan dan tata cara yang berlaku.

Keppres No 61 tahun 2004 telah mengatur dengan tegas dengan jelas mengenai
prosedur penggandaan barang/jasa termasuk pembinaan dan pengawasannya. Peranan
asosiasi dunia usaha yang telah mengenal dan mengerti tentang pentingnya manajemen
usaha yang propesional perlu dioptimalkan. Asosiasi dunia usaha perlu berpartisipasi secara
aktif dan bertanggung jawab dalam pembanggunan.

2.5 ETIKA PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK


Sekarang terlepas dari praktek bisinis, etika bisnis adalah bagimana tindakan atau
perbuatan bisa dikategorikan sebagai etis atau tidak etis. Dalam banyak pembahasan
tentang teori etika, para ahli filosofi umumnya menitik beratkan pada etika secara umum
dari pada etika dari suatu kelompok kecil, misalnya profei dan bidang pekerjaan tertentu.
Berbagai tulisan yang dibuat oleh para ahli filsafat sering dijadikan acuan atau pedoman
untuk memahami rasionalisasi suatu sikap dan perbuatan yang disebut etis. Berikut adalah
pemikiran para ahli filsafat seperti Socrates, Hume, Jhon Locke, dan Kant tentang etika :

 Socrates mencoba membangun suatu dasar rasional atas sikap atau perbuatan yang
disebut etis. Teori etika Socrates ini didasarkan pada pengetahuan dan menekankan
pada peran dari pengetahuan tersebut dalam menyediakan pedoman praktis
tentang perbuatan etis seseorang. Socrates mengatakan bahwa semua pengetahuan
(knowledge) dari seorang itu sebelumnya bersifat baik dan menjungjung nilai-nilai
kebajikan. Tanpa didukung oleh pengetahuan, seseorang tidak mungkin mampu
melakukan perbuatan-perbuatan yang berbudi luhur.
 Selanjutnya Hume menjelaskan teori etika berdasarkan pendekatan empiris. Dia
tidak menekankan pada pertanyaan apa yang boleh dilakukan pada seseorang atau
mengapa seseorang boleh melakukan sesuatu. Hume menekankan pada makna
berbagai istilah yang sering dijadikan dasar untuk menilai etika seperti ought
(diizinkn), virtue(kebajikan), dan moral (aspek moral). Selanjutnya, Hume
mengemukakan gagasan bahwa sebenarnya perilaku etis ini dapat dimunculkan
dengan beberapa alasan, seperti: perasaan sebagai manusia, perasaan pribadi, atau
keinginan untuk berbuat baik. Hume berpendapat bahwa perilaku seseorang
(personal merit) yang beretika sebenarnya mempunyai beberapa nilai kualitas
karakter dan kepribadian yang bermanfaat dan diterima baik oleh orang lain maupun
oleh dirinya sendiri.
 Sementara John beraguen bahwa kebenaran, perilaku etis, dan prinsip moral
seseorang sebenarnya tidak dibawa sejak lahir. Berbagai pedoman etika bisa
diperoleh melaui suatu presepsi dan konsepsi. Teori yang dikemukakan John Locke
ini hanya didasarkan atas analisis logis dan tidak membutuhkan pembuktian.
 Selanjutnya John Locke menegmukakan bhwa hukum (law) merupakan sebuah
kriteria untuk memutuskan apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk. Terdapat
tiga tipe dari hukum ini, yaitu divine law (hukum yang berkaitan dengan Ketuhanan),
civil law (hukum atau norma yang berlaku di masyarakat), dan law of opinion and
reputation (hukum yang berhubungan dengan opini dan reputasi).
 Kant melihat perilaku etis dari sisi yang berbeda. Tindakan moral seseorang sudah
seharusnya dilakukan. Hal ini tidak didasari bahwa seseorang itu senang atau sukses,
tetapi hanya pada tugas yang secara individual memang sudah harus dilakukan. Kant
juga mengemukakan pentingnya standar formal sebagai pedoman umum untuk
menilai perilaku seseorang. Namun Kant tidak sependapat bahwa perilaku etis ini
dibentuk dari suatu tekanan (hukum) yang disertai hukuman tertenu.

Jadi etika umum ini menekankan pada berbagai pendoman individual yang mampu
mengarahkan perilaku seseorang. Dalam menyikapi fenomena pro-kontra terhadap
suatu perbuatan, pengkategorian perilaku etis sebaiknya berpedoman pada etik umum
ini. Dengan demikian, opini sekuler yang justru memicu perdebatan tidak muncul tanpa
pernah ada kompromi dan konsensus. Pedoman tersebut anatar (1) pengetahuan (2)
kesadaran akan hidup bermasyarakat (3) respek terhadap divine law, (4) memahami
bahwa suatu pekerjaan mebutuhkan pertanggungjawaban, dan (5) menyadari bahwa
norma dari perilaku etis yang diakui masyarakat berlaku untuk semua jenis pekerjaan
apapun.
2.6 KEDUDUKAN DAN PERAN PEMERINTAH DALAM MEMPERBAIKI KUALITAS
PELAYANAN PUBLIK
Seluruh masyarakat mempunyai hak yang sama atas jaminan sosial dan ekonomi dari
pemerintahan sebagai konsekuensi langsung atas pembayaran pajak yang telah dipenuhi.
Pemerintah diharapkan bisa mendorong organisasi-organisasi penyedia layanan publik,
seperti lembaga pendidikan, kesehatan, transportasi, listrik, dan PDAM untuk memenuhi
kualitas pelayanan publik secara terus menerus.

Kebijakan dan regulasi yang ditetapkan pemerintah bisa berimbas pada bidang yang lain.
Saat harga BBM dinaikan, kenaikan harga jasa transportasi akan terjadi. Jika tarif listrik
dinaikan, maka kenaikan biaya pendidikan dan kesehatan harus ditanggung masyarakat.
Dengan struktur biaya yang berubah, kenaikan harga bahan-bahan kebutuhan pokok pun
tidak bisa dihindari. Kenaikan harga yang tidak bisa dihindari hanya bisa diimbangi dengan
peningkatan kualitas manfaat pelayanan publik.

Pemerintah mempunyai pernan menetukan kualitas tingkat kehidupan masyarakat


secara individual. Di beberapa negara, kualitas pelayanan publik ditingkatkan dalam rangka
melindungi dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Ditahun 1998, pemerintah Inggris
merumuskan Public Service Agrements sebagai kesepakatan pelayanan publi. Di Australia,
upaya memperbaiki kualitas pelayanan publik ini dilakukan oleh komisi industri ( The
Industry Commision ) dengan monitoring kinerja semua organisasi penyedia layanan publik.
Jadi, para wajib pajak berhak menerima imbalan pelayanan publik yang memuaskan.

Peningkatan kualitas pelayanan publik dapat diperbaiki melaui perbaikan manajemen


kualitas jasa, yakni upaya meminimasi kesenjangan antara tingkat layanan dengan harapan
konsumen. Dalam rangka memperbaiki kualitas layanan ini, manajemen meningkatkan
teknik manajemen yang mampu memenuhi kebutuhan konsumen.

Kinerja merupakan konsep multidimensionsional. Ukuran kinerja bagi pelayanan publik


tidak hanya bersifat keuangan. Keinerja organisasi layanan publik harus diukur dari
outcomenya, karena outcome (hasil) merupakan variabel kinerja yang mewakili misi
organisasi dan aktivitas operasional, baik aspek keuangan dan nonkeuangan.

Selanjutnya, monitoring kinerja perlu dilakukan untuk mengevaluasi pelayanan publik


dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Monitoring kinerja yang berkelanjutan biasanya
digunakan untuk mengidentifikasi apakah tingkat kualitas layanan publik sudah lebih baik
dari pada sebelumnya, dan membantu peningkatan efisiensi dan efektivitas layanan publik
itu sendiri. Langkah-langkah penting dalam monitoring kinerja organisasi layanan publik
dapat dirinci sebagai berikut: (1) mengembangkan indikator kinerja yang menggambarkan
pencapaian tujuan organisasi (2) memaparkan hasil pencapaian tujuan berdasarkan
indikator kinerja di atas, dan (3) mengidentifikasi apakah kegiatan pelayanan sudah efektif
dan efisien sebagai dasar pengusulan program perbaikan kualitas pelayanan.

You might also like