You are on page 1of 84

Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia

5
Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI

616.979 2
Ind Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat
p Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak
Pedoman pelaksanaan pencegahan penularan HIV
Dan sifilis dari ibu ke anak bagi tenaga kesehatan.
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2014

ISBN 978-602-235-502-1

1. Judul I. HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS


II. SYPHILIS III. BACTERIAL INFECTIONS
IV. MOTHER CHILD RELATION

ii

PEDOMAN PPIA.indd 2 7/4/14 8:41 AM


KATA PENGANTAR

Puji Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan berkat dan
rahmat- Nya,telah selesai buku “Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan
HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak bagi Tenaga Kesehatan” . Penyusunan buku ini
melibatkan penanggung jawab program terkait di Kementerian kesehatan, organisasi
profesi, badan donor terkait dengan kesehatan ibu dan penanggulangan HIV-AIDS
di Indonesia dan fasilitas pemberi layanan kesehatan .

Buku disusun sebagai pedoman bagi tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan


dasar dan rujukan dalam pelaksanaan pencegahan penularan HIV dan sifilis pada
perempuan usia reproduksi, ibu hamil dan bayi baru lahir. Dengan adanya buku ini
diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada semua pihak terkait dalam
upaya pencegahan penularan infeksi HIV baru pada bayi baru lahir dan eliminasi
sifilis kongenital di Indonesia.

Dalam kesempatan ini saya sampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih


kepada tim penyusun dan semua pihak yang telah berkontribusi serta UNICEF
yang telah memfasilitasi dalam proses penyusunan buku ini.

Jakarta, Februari 2014


Direktur Bina Kesehatan Ibu
RIAN KESE
TE
EN

HA
KEM

TAN

Direktorat Jendral
Bina Gizi dan Kesehatan
Ibu dan Anak
A
RE

SI

UB
LIK IN D O N
E
P

dr. Gita Maya Koemara Sakti.MHA


NIP. 195706221985012001

iii

PEDOMAN PPIA.indd 3 7/4/14 8:41 AM


SAMBUTAN
DIREKTUR JENDERAL BINA GIZI DAN KESEHATAN IBU DAN ANAK

Dalam upaya menurunkan kematian ibu serta melahirkan generasi yang sehat
dan berkualitas yang merupakan tujuan pelayanan kesehatan ibu sebagimana
diamanatkan dalam UU Kesehatan, maka pelayanan antenatal yang berkualitas
merupakan bagian yang sangat penting dan akan memberikan kontribusi yang sangat
besar dalam mencapai tujuan tersebut. Sejauh ini, akses pelayanan antenatal sudah
cukup baik, data memperlihatkan cakupan pelayanan antenatal K1 sudah mencapai
95,7 % (SDKI 2012), namun kualitas pelayanan antenatal yang didapatkan ibu hamil
masih perlu mendapat perhatian . Seharusnya selama kehamilan ibu hamil harus
mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar termasuk deteksi kemungkinan
adanya penyakit/penyulit yang diderita ibu yang dapat berdampak negative terhadap
kesehatan ibu dan janinnya.
Salah satu penyakit yang harus dideteksi selama kehamilan adalah infeksi HIV dan
sifilis pada ibu hamil. Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV selama
kehamilan, saat persalinan dan menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan
dini, separuh dari anak yang terinfeksi HIV akan meninggal sebelum ulang tahun
kedua. Bila ibu hamil yang terinfeksi sifilis tidak diobati dengan adekuat, maka 67%
kehamilan akan berakhir dengan abortus, lahir mati atau sifilis congenital. Sifilis,
sebagaimana infeksi menular seksual (IMS) lainnya, meningkatkan penularan HIV
sebesar 3-5 kali.
Upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak, harus terintegrasi
antara layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) dan layanan
pencegahan sifilis kongenital dengan layanan kesehatan ibu dan anak (KIA) melalui
pelayanan antenatal terpadu baik di tingkat pelayanan dasar maupun rujukan. Agar
pelayanan yang terpadu ini dapat diterapkan secara menyeluruh di seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan, maka disusunlah Pedoman Pelaksanaan Pencegahan HIV
dan sifilis dari ibu Ke Anak yang terintegrasi dalam pelayanan KIA.
Pedoman ini disusun berdasarkan Pedoman PPIA nasional yang telah ada,
disesuaikan dengan kebijakan terkini terkait layanan HIV/AIDS, terintegrasi
dengan layanan KIA dan layanan IMS, serta akan memperkuat penerapan
layanan pencegahan, perawatan dan pengobatan HIV-IMS yang komprehensif dan
berkesinambungan (LKB). Pedoman tatalaksana ini akan melengkapi kebijakan dan
kepustakaan terkait PPIA yang telah ada, yang secara khusus diperuntukkan bagi
tenaga kesehatan baik tingkat dasar maupun rujukan untuk membantu kegiatan
layanan sehari-hari yang terintegrasi.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan Pedoman
tatalaksana ini dan semoga bermanfaat.

Jakarta, Februari 2014


Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA
TE
RIAN KESE
EN

HA
KEM

TAN

Direktorat Jendral
Bina Gizi dan Kesehatan
Ibu dan Anak
A

Dr. Anung Sugihantono, M.Kes


RE

SI

UB
LIK IN D O N
E
P

NIP. 196003201985021002

iv

PEDOMAN PPIA.indd 4 7/4/14 8:41 AM


SAMBUTAN

Infeksi Menular Seksual, menginfeksi lebih dari 1 juta orang setiap hari, atau sekitar
500 juta orang menderita empat (4) besar IMS yaitu chlamydia, gonorrhea, syphilis
dan trichomoniasis setiap tahun di seluruh dunia. Sedangkan Herpes genitalis
menginfeksi 530 juta orang dan lebih dari separuhnya yaitu wanita, terinfeksi HPV,
penyebab kanker leher rahim. Human Immunodeficiency Virus (HIV), salah satu IMS,
adalah retrovirus yang menginfeksi sel kekebalan tubuh sehingga menghancurkan
dan merusakkan fungsinya. Sistem kekebalan tubuh manusia yang menjadi makin
lemah membuat tubuh rentan terhadap infeksi lain serta percepatan perubahan
degenerasi tingkat seluler sehingga menimbulkan sindrom immunodefisiensi dapatan
(AIDS) dalam 10-15 tahun.
Epidemi HIV-AIDS di dunia menjadikannya masalah global, dan penularan tercepat
di Asia adalah Indonesia. Secara kasar dapat dikatakan bahwa setiap ditemukan
seorang penderita HIV, maka terdapat 10 penderita IMS dengan keluhan dan
penderita IMS tanpa keluhan 10 kali lipatnya. Penularan utamanya tentu saja
hubungan seksual tanpa pelindung, pemakaian bersama alat suntik atau transfusi
darah yang terkontaminasi, dan dari ibu ke bayi.
Prevalensi Sifilis dan HIV di antara ibu hamil belum diketahui secara luas di Indonesia,
sekalipun telah diketahui adanya bayi penderita HIV atau sifilis dan berbagai bentuk
IMS lainnya, dan keberadaan keduanya secara bersamaan menurunkan kualitas
hidup dan umur harapan hidup penderitanya.
Indonesia sebagai Negara berdaulat berupaya sungguh-sungguh membebaskan
generasi masa depan dari infeksi menular seksual termasuk HIV ini, dengan
memadukan berbagai upaya kesehatan secara komprehensif dan berkesinambungan,
makin produktif dan bebas stigma serta diskriminasi. Komitmen Pemerintah
Indonesia akan ketersediaan obat antiretroviral, telah diperluas secara strategis
untuk mempertahankan kualitas hidup rakyat Indonesia dan kebijakan urusan wajib
serta urusan bersama dengan pemerintah daerah dalam pengendalian IMS telah
ditetapkan melalui SE Dirjen PP dan PL Kemenkes RI.
Apresiasi yang setinggi-tingginya disampaikan bagi setiap orang yang telah
bersungguh-sungguh terlibat dalam penyusunan Pedoman Nasional Pelaksanaan
Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak. Semoga bermanfaat.

Jakarta, Februari 2014


Direktur Jenderal PP dan PL,
RIAN KESE
TE
EN

HA
KEM

TAN

Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit
dan
Penyehatan Lingkungan
A
RE

SI

UB
LIK IN D O N
E
P

Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama,


NIP. 195509031980121001

PEDOMAN PPIA.indd 5 7/4/14 8:41 AM


DAFTAR ISI

Kata Pengantar iii


Sambutan Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA iv
Sambutan Direktur Jenderal P2PL v
Daftar Isi vi
Daftar Bagan viii
Daftar Tabel ix
Daftar Boks x
Daftar Singkatan xi

I. Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Kebijakan 2
1.3 Tujuan 4
1.4 Sasaran 4
1.5 Target 5

II. Informasi Dasar tentang HIV dan Sifilis 6


2.1 HIV 6
2.1.1 Pengertian 6
2.1.2 Penularan HIV 7
2.1.3 Perjalanan Alamiah dan Stadium Infeksi HIV 9
2. 2 Sifilis 10
2.2.1 Pengertian 10
2.2.2 Penularan Sifilis 11
2.2.3 Perjalanan Alamiah Infeksi Sifilis 11

III. Kegiatan Komprehensif Pencegahan Penularan


HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 13
3.1 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi 13
3.1.1 Penyebarluasan Komunikasi, Informasi dan
Edukasi tentang Pencegahan Infeksi HIV 13
3.1.2 Tes HIV dan Konseling 13
3.1.3 Pencegahan Kehamilan yang Tidak
Direncanakan pada Perempuan dengan HIV 19
3.1.4 Pemberian ARV pada Ibu Hamil dengan
Infeksi HIV 20
3.1.5 Perencanaan Persalinan Aman bagi Ibu
dengan HIV 22
3.1.6 Penatalaksanaan Nifas bagi Ibu dengan HIV 23
3.1.7 Pemberian ARV dan Kotrimoksasol
Profilaksis pada Bayi 24
3.1.8 Diagnosis HIV pada Bayi 25
3.1.9 Pelayanan Imunisasi 26
3.1.10 Pemberian Nutrisi bagi Bayi dari Ibu
dengan HIV 27

vi

PEDOMAN PPIA.indd 6 7/4/14 8:41 AM


3.2 Pencegahan Penularan Sifilis dari Ibu ke Bayi 28
3.2.1 Diagnosis Sifilis pada Ibu Hamil 28
3.2.2 Terapi Sifilis pada Ibu Hamil 32
3.2.3 Diagnosis Sifilis Kongenital 33
3.2.4 Terapi pada Bayi dengan Sifilis Kongenital 34
3.3 Pencegahan Penularan Infeksi di Fasilitas Kesehatan 36
3.3.1 Pencegahan Umum 36
3.3.2 Tatalaksana Pasca Pajanan 36

IV. Jejaring, Alur Pelayanan, Peran dan Sistem Rujukan


PPIA dan Sifilis 40
4.1 Peran Tiap Pihak dalam Jejaring Pelayanan 40
4.2 Sistem Rujukan 43

V. Pencatatan dan Pelaporan 45

Daftar Pustaka 49
Lampiran 1 Tes HIV atas Inisiatif Petugas Kesehatan dan
Konseling (TIPK) 51
Lampiran 2 Kriteria Pemilihan Jenis Tes HIV 54
Lampiran 3 Jenis Antiretroviral yang Tersedia di Indonesia 55
Lampiran 4 Alternatif Pemberian/Pengganti ASI 56
Lampiran 5 Evaluasi dan Monitoring Pasien Sifilis dan
Penanganan Syok Anafilaksis 58
Lampiran 6 Formulir Registrasi IMS 61
Lampiran 7 Formulir Registrasi Layanan TIPK 63
Lampiran 8 Surat Pernyataan TIPK 64
Lampiran 9 Formulir Registrasi Layanan PPIA 65
Lampiran 10 Surat Persetujuan Profilaksis Pasca Pajanan 67
Lampiran 11 Kartu Ibu 68
Lampiran 12 Kohort Antenatal Care 70
Daftar Penyusun 71


vii

PEDOMAN PPIA.indd 7 7/4/14 8:41 AM


DAFTAR BAGAN

Bagan 1 Riwayat Perjalanan Alamiah Infeksi HIV dan AIDS


Bagan 2 Alur Layanan KIE tentang HIV dan Sifilis pada Wanita Usia Subur
Bagan 3 Alur Tes HIV-Sifilis atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan
Konseling
Bagan 4 Alur Tes HIV untuk Diagnosis dengan “Strategi Tiga Serial”
Bagan 5 Alur Pemberian ARV pada Ibu Hamil
Bagan 6 Pemberian Kotrimoksazol pada Bayi dari Ibu dengan HIV
Bagan 7 Alur Tes Serologis Sifilis Bila Tes Treponema dan Non Treponema
Tersedia
Bagan 8 Alur Tes Serologis Sifilis pada Ibu Hamil Bila Hanya Tersedia TP Rapid
Bagan 9 Alur Kegiatan PPIA Komprehensif
Bagan 10 Alur Rujukan Vertikal dan Horizontal Timbal-balik
Bagan 11 Alur Pelaporan

viii

PEDOMAN PPIA.indd 8 7/4/14 8:41 AM


DAFTAR TABEL

Tabel 1 Penentuan Status Epidemi HIV


Tabel 2 Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Tabel 3 Faktor Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Bayi
Tabel 4 Stadium Klinis Infeksi HIV Menurut WHO
Tabel 5 Manifestasi Klinis Sifilis Didapat dan Kongenital
Tabel 6 Pemberian Obat ARV pada Berbagai Situasi Klinis Ibu Hamil
Tabel 7 Efek Samping Obat dan Kontraindikasi Pemberian ARV
Tabel 8 Keuntungan dan Kerugian Jenis Persalinan
Tabel 9 Jadwal Kunjungan Pemeriksaan pada Bayi dari Ibu dengan HIV
Tabel 10 Terapi Sifilis pada Ibu Hamil
Tabel 11 Rekomendasi PPP HIV Berdasarkan Jenis Pajanan
Tabel 12 Peran Setiap Pihak pada Aktivitas PPIA dan Pencegahan Sifilis
Kongenital

ix

PEDOMAN PPIA.indd 9 7/4/14 8:41 AM


DAFTAR BOKS

Boks 1 Protokol pemberian terapi antiretroviral (ARV) untuk ibu hamil dengan
HIV
Boks 2 Kriteria pemberian paduan dua obat NRTI
Boks 3 Kriteria pemberian paduan dua obat NRTI + satu PI

PEDOMAN PPIA.indd 10 7/4/14 8:41 AM


Daftar Singkatan

AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome


ANC Antenatal Care
ARV Antiretroviral
ASI Air Susu Ibu
AZT/ZDV Zidovudin
BPM Bidan Praktek Mandiri
CD4 Cluster of Differentiation 4
d4T Stavudin
ddI Didanosin
EFV Efavirens
Fasyankes Fasilitas Pelayanan Kesehatan
FTC Emtricitabin
HIV Human Immunodeficiency Virus
IMS Infeksi Menular Seksual
KDS Kelompok Dukungan Sebaya
KTS Konseling dan Tes Secara Sukarela
KIA Kesehatan Ibu dan Anak
KIE Komunikasi, Informasi dan Edukasi
LKB Layanan Komprehensif Berkesinambungan
LPV/r Lopinavir/ritonavir
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
NNRTI Non NRTI
NRTI Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
NVF Nelfinavir
NVP Nevirapin
ODHA Orang dengan HIV/AIDS
PBK Perawatan Berbasis Komunitas
PBR Perawatan Berbasis Rumah
PCR Polymerase Chain Reaction
PDP Perawatan, Dukungan dan Pengobatan
Penasun Pengguna Narkoba Suntik

xi

PEDOMAN PPIA.indd 11 7/4/14 8:41 AM


PI Protease Inhibitor
PMTCT Prevention of Mother to Child Transmission
Polindes Pondok Bersalin Desa
Posyandes Pondok Pelayanan Desa
PPIA Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
PPP Profilaksis Pasca Pajanan
Pustu Puskesmas Pembantu
SQV Saquinavir
TB Tuberkulosis
3TC Lamivudin
TDF Tenovofir
TIPK Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan
Kesehatan dan Konseling
TPHA Treponema Pallidum Hemaglutination Antigen
WHO World Health Organization

xii

PEDOMAN PPIA.indd 12 7/4/14 8:41 AM


BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kasus HIV pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1987. Sampai dengan
tahun 2012, kasus HIV/AIDS telah tersebar di 345 dari 497 (69,4%) kabupaten/
kota di seluruh provinsi Indonesia. Jumlah kasus HIV baru setiap tahunnya telah
mencapai sekitar 20.000 kasus. Pada tahun 2012 tercatat 21.511 kasus baru, yang
57,1 % di antaranya berusia 20-39 tahun. Sumber penularan tertinggi (58,7%)
terjadi melalui hubungan seksual tidak aman pada pasangan heteroseksual. Pada
tahun 2012 tercatat kasus AIDS terbesar pada kelompok ibu rumah tangga (18,1%)
yang apabila hamil berpotensi menularkan infeksi HIV ke bayinya. Pada tahun 2012
pula, dari 43.624 ibu hamil yang melakukan konseling dan tes HIV terdapat 1.329
(3,05%) ibu dengan infeksi HIV.

Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV positif. Penularan tersebut
dapat terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan dan selama menyusui. Tanpa
pengobatan yang tepat dan dini, separuh dari anak yang terinfeksi HIV akan
meninggal sebelum ulang tahun kedua. Pencegahan penularan HIV dari ibu
ke anak (PPIA) atau Prevention of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT)
merupakan intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan tersebut.
Upaya ini diintegrasikan dengan upaya eliminasi sifilis kongenital, karena sifilis
dapat mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan pada ibu dan juga ditularkan
kepada bayi seperti halnya pada infeksi HIV.

Sifilis, sebagaimana infeksi menular seksual (IMS) lainnya, meningkatkan risiko


tertular HIV. Pada orang dengan HIV-AIDS (ODHA), sifilis meningkatkan daya infeksi
HIV. Berbagai penelitian di banyak negara melaporkan bahwa infeksi sifilis dapat
meningkatkan risiko penularan HIV sebesar 3-5 kali. Bila ibu hamil yang terinfeksi
sifilis tidak diobati dengan adekuat, maka 67% kehamilan akan berakhir dengan
abortus, lahir mati atau sifilis kongenital. Pencegahan penularan sifilis dari ibu ke bayi
dapat dilakukan dengan deteksi dini melalui skrining pada ibu hamil dan mengobati ibu
yang terinfeksi sifilis dan pasangannya. Secara umum upaya tersebut sangat efektif,
bahkan di daerah dengan prevalensi HIV yang sangat rendah.

Data sifilis pada ibu hamil masih terbatas. Pada tahun 2007 dilakukan skrining sifilis
dengan menggunakan rapid test di tiga propinsi yang mencakup empat kabupaten
dan kota di DKI Jakarta, Kalimantan Barat dan Jawa Barat. Skrining tersebut
dilakukan terhadap 2332 ibu hamil yang datang pada kunjungan pertama antenatal,
dengan 24 orang (1,45%) di antaranya terinfeksi sifilis. Analisis sementara dari data
rutin layanan IMS tahun 2010-2012 menunjukkan bahwa di antara 40.000 ibu hamil
yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), sebanyak 14.000 (35%)
di-tes sifilis. Di antara ibu hamil yang diperiksa ini, ditemukan 308 (2,2%) ibu hamil
dengan infeksi sifilis.

Kajian WHO di beberapa negara Asia Pasifik menunjukkan bahwa skrining sifilis
pada ibu hamil yang dilaksanakan bersamaan dengan PPIA dalam paket layanan
antenatal terpadu sangat cost-effective. Hal ini penting untuk mencapai tujuan
Program Nasional Pengendalian HIV-AIDS dan IMS serta mencapai target eliminasi

PEDOMAN PPIA.indd 1 7/4/14 8:41 AM


ganda HIV dan sifilis congenital. Upaya ini dilakukan melalui skrining pada ibu
hamil melalui tes HIV dan tes sifilis yang diikuti dengan pengobatan bila hasilnya
positif.

Saat ini jumlah fasilitas kesehatan yang memberikan layanan PPIA dan sifilis masih
sangat terbatas. Sampai tahun 2012 baru 105 fasyankes yang menyediakan
layanan PPIA, yaitu 93 rumah sakit dan 12 puskesmas (0,84% fasyankes di
Indonesia); sedangkan jumlah fasilitas yang memberikan layanan IMS, termasuk
skrining sifilis pada ibu hamil, juga masih terbatas, yaitu sebanyak 257 fasyankes1.
Dalam upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak, layanan PPIA
dan pencegahan sifilis kongenital diintegrasikan dengan layanan kesehatan ibu dan
anak (KIA), yaitu melalui pelayanan antenatal terpadu baik di tingkat pelayanan
dasar maupun rujukan. Buku pedoman ini memberikan acuan teknis bagi para
petugas kesehatan tentang pelaksanaan layanan antenatal terpadu dengan HIV-
AIDS dan sifilis dalam upaya tersebut.

1.2 Kebijakan

PPIA merupakan bagian dari rangkaian upaya pengendalian HIV dan AIDS. Tujuan
utamanya adalah agar bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HIV terbebaskan dari
HIV, serta ibu dan bayi tetap hidup dan sehat. Kebijakan umum PPIA sejalan
dengan kebijakan program nasional pengendalian HIV-AIDS dan IMS lainnya, serta
kebijakan program KIA. Layanan PPIA mempunyai sasaran, tujuan dan pendekatan
yang banyak persamaannya dengan upaya pencegahan sifilis kongenital, karena itu
kedua upaya ini diintegrasikan. Dalam menjangkau sasaran ibu hamil dan wanita usia
subur, layanan tersebut dilaksanakan melalui paket layanan kesehatan reproduksi,
khususnya layanan KIA, keluarga berencana (KB) dan kesehatan reproduksi remaja.

Berdasarkan tingkat prevalensi kasus HIV di suatu wilayah, terdapat tiga tingkatan
epidemi, yaitu:
1. Epidemi meluas (generalized epidemic): kasus HIV sudah menyebar di populasi
umum atau bila prevalensi infeksi HIV lebih dari 1% di antara ibu hamil.
2. Epidemi terkonsentrasi (concentrated epidemic): kasus HIV menyebar di
kalangan sub-populasi tertentu seperti kelompok laki-laki suka laki-laki (LSL),
pengguna narkoba suntik (penasun), pekerja seks dan pasangannya mencapai
prevalensi kasus HIV lebih dari 5% secara konsisten, sedangkan pada populasi
umum atau pada ibu hamil prevalensi kasus HIV tetap di bawah 1%.
3. Epidemi rendah (low epidemic): kasus HIV telah ada namun belum menyebar
luas (< 5%) pada sub-populasi tertentu. Infeksi HIV yang tercatat terbatas pada
sejumlah individu yang berperilaku risiko tinggi (LSL, penasun, pekerja seks dan
pasangannya) dan prevalensi kasus HIV di bawah 1% pada populasi umum dan
di bawah 5% pada sub-populasi tertentu.

1 Data laporan rutin Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

PEDOMAN PPIA.indd 2 7/4/14 8:41 AM


Tabel 1 menampilkan ringkasan untuk penentuan status epidemi HIV.
Tabel 1. Penentuan Status Epidemi HIV
Prevalensi kasus HV Prevalensi kasus
pada populasi umum HV pada populasi Status epidemi HIV
atau ibu hamil risiko tinggi
< 1% < 5% Rendah
< 1% > 5% Terkonsentrasi
> 1% (Biasanya > 5%) Meluas

Kebijakan untuk melakukan tes HIV didasarkan pada kategori epidemi tersebut
dan karena upaya pencegahan sifilis kongenital diintegrasikan, maka tes sifilis pun
mengikuti kebijakan yang sama.
1. Daerah epidemi meluas dan terkonsentrasi: tes HIV dan sifilis dilakukan untuk
semua ibu hamil bersamaan dengan pemeriksaan rutin lainnya pada layanan
antenatal terpadu, di setiap kunjungan, mulai kunjungan pertama (K1) hingga
menjelang persalinan.
2. Daerah epidemi rendah: tes HIV dan sifilis dilakukan untuk ibu hamil dengan
indikasi adanya perilaku berisiko, keluhan/gejala IMS atau infeksi
oportunistik (khususnya TB), bersama pemeriksaan rutin lainnya pada
layanan antenatal terpadu, di setiap kunjungan mulai kunjungan pertama (K1)
hingga menjelang persalinan.
Layanan antenatal terpadu yang berkualitas secara keseluruhan mencakup hal-hal
berikut.
1. Memberikan layanan/konseling kesehatan, termasuk gizi, agar kehamilan
berlangsung sehat.
2. Melakukan deteksi dini masalah, penyakit dan penyulit/komplikasi kehamilan
(termasuk tes HIV dan sifilis sesuai dengan tingkat endemisitas wilayah).
3. Menyiapkan persalinan yang bersih dan aman.
4. Merencanakan antisipasi dan persiapan dini untuk melakukan rujukan jika
terjadi komplikasi.
5. Melakukan penatalaksanaan kasus serta rujukan cepat dan tepat waktu bila
diperlukan.
6. Melibatkan ibu dan keluarganya terutama suami dalam menjaga kesehatan
dan gizi ibu hamil, menyiapkan persalinan dan kesiagaan bila terjadi penyulit/
komplikasi.

Komponen pemeriksaan antenatal terpadu adalah:


1. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan.
2. Ukur tekanan darah.
3. Nilai status gizi (ukur lingkar lengan atas/LiLA).
4. Ukur tinggi fundus uteri.
5. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin.
6. Skrining status imunisasi tetanus dan berikan imunisasi tetanus toksoid (TT) bila
diperlukan.
7. Beri tablet tambah darah (tablet zat besi).
8. Periksa laboratorium (rutin dan khusus) dengan memeriksa: i) golongan darah;
ii) kadar Hb; iii) kadar gula darah (bila diduga ada penyakit kencing manis); iv)

PEDOMAN PPIA.indd 3 7/4/14 8:41 AM


tes sifilis; v) tes HIV; vi) malaria (di daerah endemis malaria); vii) protein dalam
urin; viii) BTA (untuk tuberkulosis).
9. Tatalaksana/penanganan sesuai kondisi yang ditemukan.
10. Konseling.

Upaya PPIA dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan penanganan HIV


secara komprehensif berkesinambungan yang meliputi empat komponen (prong)
sebagai berikut.
1. Prong 1: pencegahan primer agar perempuan pada usia reproduksi tidak tertular
HIV.
2. Prong 2: pencegahan kehamilan yang tak direncanakan pada perempuan
pengidap HIV.
3. Prong 3: pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya.
4. Prong 4: pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu
dengan HIV beserta anak dan keluarganya.

Upaya pencegahan penularan sifilis dari ibu ke anak untuk mencapai eliminasi sifilis
kongenital dilakukan dengan kegiatan berikut.
1. Layanan antenatal terpadu bagi ibu hamil.
2. Skrining sifilis pada semua ibu hamil pada kunjungan pertama layanan
antenatal sampai menjelang persalinan, terutama yang belum pernah diskrining
sebelumnya.
3. Pengobatan semua ibu hamil yang positif sifilis segera setelah diperoleh hasil
tes positif.
4. Pengobatan semua pasangan ibu hamil yang positif sifilis.
5. Edukasi, konseling aktif dan promosi kondom untuk mencegah infeksi ulang.
6. Pengobatan semua bayi yang lahir dari ibu yang positif sifilis.
7. Pemeriksaan seksama dan perencanaan perawatan bagi bayi yang lahir dari
ibu yang positif sifilis.

Semua upaya tersebut di atas dilakukan di semua fasilitas pelayanan dasar dan
rujukan yang secara nasional dikoordinasikan oleh Kementerian Kesehatan.
Selanjutnya, upaya ini dijalankan oleh pemerintah daerah beserta jajarannya dengan
melibatkan institusi pelayanan kesehatan pemerintah, swasta, masyarakat sipil dan
lembaga swadaya masyarakat.

1.3 Tujuan

Buku Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak
ini disusun sebagai pedoman bagi tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan dasar
dan rujukan. Buku ini memberikan pedoman tentang pelaksanaan pencegahan
penularan HIV dan sifilis pada wanita usia reproduksi, ibu hamil dan bayi baru lahir.

1.4 Sasaran

Sasarannya adalah tenaga pelayanan kesehatan di tingkat layanan primer dan


rujukan. Tenaga kesehatan tersebut termasuk bidan, perawat, dokter umum, dokter
spesialis kebidanan dan kandungan, dokter spesialis anak serta tenaga kesehatan
terkait di pelayanan kesehatan dasar dan rujukan.

PEDOMAN PPIA.indd 4 7/4/14 8:41 AM


1.5 Target

Target upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu hamil ke bayi sebagai
berikut.
1. Semua ibu hamil di daerah epidemi meluas dan terkonsentrasi dilakukan tes
HIV dan sifilis pada kunjungan antenatal pertama sampai menjelang persalinan.
2. Semua ibu hamil di daerah epidemi rendah dengan indikasi adanya perilaku
berisiko, keluhan/gejala IMS atau infeksi oportunistik (khususnya TB), dilakukan
tes HIV dan sifilis pada kunjungan antenatal pertama sampai menjelang
persalinan.
3. Semua ibu hamil dengan HIV dan/atau sifilis mendapatkan terapi.
4. Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV dan/atau sifilis mendapatkan pemeriksaan
dan terapi.

PEDOMAN PPIA.indd 5 7/4/14 8:41 AM


BAB II. INFORMASI DASAR TENTANG HIV DAN SIFILIS

2.1 HIV

2.1.1 Pengertian
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus golongan RNA yang spesifik
menyerang sistem imun/kekebalan tubuh manusia. Penurunan sistem kekebalan
tubuh pada orang yang terinfeksi HIV memudahkan berbagai infeksi, sehingga
dapat menyebabkan timbulnya AIDS.

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala/tanda


klinis pada pengidap HIV akibat infeksi tumpangan (oportunistik) karena penurunan
sistem imun. Penderita HIV mudah terinfeksi berbagai penyakit karena imunitas
tubuh yang sangat lemah, sehingga tubuh gagal melawan kuman yang biasanya
tidak menimbulkan penyakit. Infeksi oportunistik ini dapat disebabkan oleh berbagai
virus, jamur, bakteri dan parasit serta dapat menyerang berbagai organ, antara
lain kulit, saluran cerna/usus, paru-paru dan otak. Berbagai jenis keganasan juga
mungkin timbul.

Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV akan berlanjut menjadi AIDS bila tidak diberi
pengobatan dengan antiretrovirus (ARV). Kecepatan perubahan dari infeksi HIV menjadi
AIDS, sangat tergantung pada jenis dan virulensi virus, status gizi serta cara penularan.
Dengan demikian infeksi HIV dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu: i) rapid progressor,
berlangsung 2-5 tahun; ii) average progressor, berlangsung 7-15 tahun; dan iii) slow
progressor, lebih dari 15 tahun.

Sel limfosit, CD4 dan Viral Load

Leukosit merupakan sel imun utama, di samping sel plasma, makrofag dan sel mast.
Sel limfosit adalah salah satu jenis leukosit (sel darah putih) di dalam darah dan
jaringan getah bening. Terdapat dua jenis limfosit, yaitu limfosit B, yang diproses
di bursa omentalis, dan limfosit T, yang diproses di kelenjar thymus. Limfosit B
adalah limfosit yang berperan penting pada respons imun humoral melalui aktivasi
produksi imun humoral, yaitu antibodi berupa imunoglobulin (Ig G, IgA, Ig M, Ig D
dan Ig E). Limfosit T berperan penting pada respons imun seluler, yaitu melalui
kemampuannya mengenali kuman patogen dan mengaktivasi imun seluler lainnya,
seperti fagosit serta limfosit B dan sel-sel pembunuh alami (fagosit, dll). Limfosit T
berfungsi menghancurkan sel yang terinfeksi kuman patogen. Limfosit T ini memiliki
kemampuan memori, evolusi, aktivasi dan replikasi cepat, serta bersifat sitotoksik
terhadap antigen guna mempertahankan kekebalan tubuh.

CD (cluster of differentiation) adalah reseptor tempat “melekat”-nya virus pada dinding


limfosit T. Pada infeksi HIV, virus dapat melekat pada reseptor CD4 atas bantuan
koreseptor CCR4 dan CXCR5. Limfosit T CD4 (atau disingkat CD4), merupakan
petunjuk untuk tingkat kerusakan sistem kekebalan tubuh karena pecah/rusaknya
limfosit T pada infeksi HIV. Nilai normal CD4 sekitar 8.000-15.000 sel/ml; bila jumlahnya
menurun drastis, berarti kekebalan tubuh sangat rendah, sehingga memungkinkan
berkembangnya infeksi oportunistik.

PEDOMAN PPIA.indd 6 7/4/14 8:41 AM


Viral load adalah kandungan atau jumlah virus dalam darah. Pada infeksi HIV, viral
load dapat diukur dengan alat tertentu, misalnya dengan tehnik PCR (polymerase
chain reaction). Semakin besar jumlah viral load pada penderita HIV, semakin besar
pula kemungkinan penularan HIV kepada orang lain.
2.1.2 Penularan HIV
Cara penularan HIV melalui alur sebagai berikut.
i) Cairan genital: cairan sperma dan cairan vagina pengidap HIV memiliki jumlah
virus yang tinggi dan cukup banyak untuk memungkinkan penularan, terlebih jika
disertai IMS lainnya. Karena itu semua hubungan seksual yang berisiko dapat
menularkan HIV, baik genital, oral maupun anal.
ii) Kontaminasi darah atau jaringan: penularan HIV dapat terjadi melalui
kontaminasi darah seperti transfusi darah dan produknya (plasma, trombosit)
dan transplantasi organ yang tercemar virus HIV atau melalui penggunaan
peralatan medis yang tidak steril, seperti suntikan yang tidak aman, misalnya
penggunaan alat suntik bersama pada penasun, tatto dan tindik tidak steril
iii) Perinatal: penularan dari ibu ke janin/bayi – penularan ke janin terjadi selama
kehamilan melalui plasenta yang terinfeksi; sedangkan ke bayi melalui darah
atau cairan genital saat persalinan dan melalui ASI pada masa laktasi.
Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Risiko penularan HIV dari ibu ke anak tanpa upaya pencegahan atau intervensi
berkisar antara 20-50% (Tabel 2). Dengan pelayanan pencegahan penularan HIV
dari ibu ke anak yang baik, risiko penularan dapat diturunkan menjadi kurang
dari 2%. Pada masa kehamilan, plasenta melindungi janin dari infeksi HIV; namun
bila terjadi peradangan, infeksi atau kerusakan barier plasenta, HIV bisa menembus
plasenta, sehingga terjadi penularan dari ibu ke anak. Penularan HIV dari ibu ke
anak lebih sering terjadi pada saat persalinan dan masa menyusui.

Tabel 2. Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak


Selama kehamilan 5-10 %
Saat persalinan 10-20 %
Selama menyusui (rata-rata 15%) 5-20 %
Risiko penularan keseluruhan 20 - 50%
Sumber: De Cock KM, Fowler MG, Mercier E, et al. JAMA 2000; 283:1175-82
Ada tiga faktor risiko penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu sebagai berikut.
i) Faktor ibu.
a. Kadar HIV dalam darah ibu (viral load): merupakan faktor yang paling
utama terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak: semakin tinggi kadarnya,
semakin besar kemungkinan penularannya, khususnya pada saat/menjelang
persalinan dan masa menyusui bayi.
b. Kadar CD4: ibu dengan kadar CD4 yang rendah, khususnya bila jumlah sel CD4
di bawah 350 sel/mm3, menunjukkan daya tahan tubuh yang rendah karena
banyak sel limfosit yang pecah/rusak. Kadar CD4 tidak selalu berbanding
terbalik dengan viral load. Pada fase awal keduanya bisa tinggi, sedangkan
pada fase lanjut keduanya bisa rendah kalau penderitanya mendapat terapi
anti-retrovirus (ARV).

PEDOMAN PPIA.indd 7 7/4/14 8:41 AM


c. Status gizi selama kehamilan: berat badan yang rendah serta kekurangan zat
gizi terutama protein, vitamin dan mineral selama kehamilan meningkatkan
risiko ibu untuk mengalami penyakit infeksi yang dapat meningkatkan kadar
HIV dalam darah ibu, sehingga menambah risiko penularan ke bayi.
d. Penyakit infeksi selama kehamilan: IMS, misalnya sifilis; infeksi organ reproduksi,
malaria dan tuberkulosis berisiko meningkatkan kadar HIV pada darah ibu,
sehingga risiko penularan HIV kepada bayi semakin besar.
e. Masalah pada payudara: misalnya puting lecet, mastitis dan abses pada payudara
akan meningkatkan risiko penularan HIV melalui pemberian ASI.
ii) Faktor bayi.
a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir: bayi prematur atau bayi
dengan berat lahir rendah lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan
kekebalan tubuh belum berkembang baik.
b. Periode pemberian ASI: risiko penularan melalui pemberian ASI bila tanpa
pengobatan berkisar antara 5-20%.
c. Adanya luka di mulut bayi: risiko penularan lebih besar ketika bayi diberi ASI.
iii) Faktor tindakan obstetrik.
Risiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak terjadi pada saat persalinan,
karena tekanan pada plasenta meningkat sehingga bisa menyebabkan terjadinya
hubungan antara darah ibu dan darah bayi. Selain itu, bayi terpapar darah dan
lendir ibu di jalan lahir. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan
HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah sebagai berikut.
a. Jenis persalinan: risiko penularan pada persalinan per vaginam lebih besar
daripada persalinan seksio sesaria; namun, seksio sesaria memberikan
banyak risiko lainnya untuk ibu.
b. Lama persalinan: semakin lama proses persalinan, risiko penularan HIV dari
ibu ke anak juga semakin tinggi, karena kontak antara bayi dengan darah/
lendir ibu semakin lama.
c. Ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum persalinan meningkatkan risiko
penularan hingga dua kali dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari empat
jam.
d. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forsep meningkatkan risiko
penularan HIV.

Tabel 3 merangkum faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi.

Tabel 3. Faktor Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Bayi


Faktor ibu Faktor bayi Faktor obstetrik
1. Kadar HIV/viral load 1. Prematuritas dan 1. Jenis persalinan
dalam darah berat lahir rendah 2. Lama persalinan
2. Kadar CD4 2. Lama menyusu, bila 3. Ketuban pecah dini
3. Status gizi selama tanpa pengobatan 4. Tindakan
kehamilan 3. Luka pada mulut episiotomi,
4. Penyakit infeksi selama bayi, jika bayi ekstraksi vakum
kehamilan menyusu dan forsep
5. Masalah payudara, jika
menyusui

PEDOMAN PPIA.indd 8 7/4/14 8:41 AM


2.1.3 Perjalanan Alamiah dan Stadium Infeksi HIV
Terdapat tiga fase perjalanan alamiah infeksi HIV (Bagan 1) sebagai berikut.
i) Fase I: masa jendela (window period) – tubuh sudah terinfeksi HIV, namun
pada pemeriksaan darahnya masih belum ditemukan antibodi anti-HIV. Pada
masa jendela yang biasanya berlangsung sekitar dua minggu sampai tiga bulan
sejak infeksi awal ini, penderita sangat mudah menularkan HIV kepada orang
lain. Sekitar 30-50% orang mengalami gejala infeksi akut berupa demam, nyeri
tenggorokan, pembesaran kelenjar getah bening, ruam kulit, nyeri sendi, sakit
kepala, bisa disertai batuk seperti gejala flu pada umumnya yang akan mereda dan
sembuh dengan atau tanpa pengobatan. Fase “flu-like syndrome” ini terjadi akibat
serokonversi dalam darah, saat replikasi virus terjadi sangat hebat pada infeksi
primer HIV.
ii) Fase II: masa laten yang bisa tanpa gejala/tanda (asimtomatik) hingga gejala
ringan. Tes darah terhadap HIV menunjukkan hasil yang positif, walaupun gejala
penyakit belum timbul. Penderita pada fase ini penderita tetap dapat menularkan
HIV kepada orang lain. Masa tanpa gejala rata-rata berlangsung selama 2-3
tahun; sedangkan masa dengan gejala ringan dapat berlangsung selama 5-8
tahun, ditandai oleh berbagai radang kulit seperti ketombe, folikulitis yang hilang-
timbul walaupun diobati.
iii) Fase III: masa AIDS merupakan fase terminal infeksi HIV dengan kekebalan tubuh
yang telah menurun drastis sehingga mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi
oportunistik, berupa peradangan berbagai mukosa, misalnya infeksi jamur di mulut,
kerongkongan dan paru-paru. Infeksi TB banyak ditemukan di paru-paru dan organ
lain di luar paru-paru. Sering ditemukan diare kronis dan penurunan berat badan
sampai lebih dari 10% dari berat awal.
Bagan 1 menunjukkan: i) Fase I, viral load (HIV dalam darah) sangat tinggi
sehingga penderita sangat infeksius, limfosit T CD4 menurun tajam saat viral load
mencapai puncak; ii) Fase II dengan viral load menurun dan relatif stabil, namun
limfosit T CD4 berangsur-angsur menurun; dan iii) Fase III dengan viral load makin
tinggi dan limfosit T CD4 mendekati nol sehingga terjadi gejala berkurangnya
daya tahan tubuh yang progresif dikuti dengan timbulnya penyakit, misalnya
tuberkulosis (TB), herpes zoster (HSV), oral hairy cell leukoplakia (OHL), oral
candidiasis (OC), Pneumocystic carinii pneumonia (PCP), cytomegalovirus
(CMV), popular pruritic eruption (PPE) dan Mycobacterium avium (MAC).

Bagan 1. Riwayat Perjalanan Alamiah Infeksi HIV dan AIDS


 

Sumber: Pedoman Nasional PPIA, Kementerian Kesehatan RI, 2013


Sumber: Pedoman Nasional PPIA, Kementerian Kesehatan RI, 2013
 

PEDOMAN PPIA.indd 9 7/4/14 8:41 AM


Stadium Klinis Infeksi HIV Menurut WHO
World Health Organization menyatakan stadium klinis infeksi HIV yang dapat
digunakan untuk memandu tatalaksana penderita HIV secara komprehensif
berkesinambungan jika tes cepat HIV (rapid test HIV) dengan metoda tiga reagen
secara serial (strategi tiga serial) menunjukkan hasil reaktif. Stadium klinis ini
berguna untuk memandu tatalaksana penderita HIV secara komprehensif dan
berkesinambungan (lihat Tabel 4).
Tabel 4. Stadium Klinis Infeksi HIV Menurut WHO
Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4
Asimptomatik Sakit ringan Sakit sedang Sakit berat (AIDS)
Berat Tidak ada Penurunan BB Penurunan BB > Sindroma wasting HIV
badan penurunan BB 5-10% 10%
(BB)
Gejala Tidak ada gejala • Luka di sekitar • Kandidiasis oral • Kandidiasis
atau hanya : bibir (keilitis atau vaginal esophageal
• Limfadenopati angularis) • Oral hairy • Herpes simpleks
generalisata • Ruam kulit yang leukoplakia ulseratif lebih dari satu
persisten gatal (seboroik • Diare, demam bulan
atau prurigo) yang tidak • Limfoma
• Herpes zoster diketahui • Sarkoma kaposi
dalam 5 tahun penyebabnya • Kanker serviks invasif
terakhir lebih dari satu • Retinitis
bulan cytomegalovirus

• ISPA berulang, • Infeksi bakterial • Pneumonia


misalnya yang berat pnemosistis
sinusitis atau (pneumoni, • TB ekstra-paru
otitis piomiositis, dll) • Abses otak
• Ulkus mulut • TB paru dalam toksoplasmosis
berulang satu tahun • Meningitis kriptokokus
terakhir • Encefalopati HIV
• TB • Gangguan fungsi
limfadenopati neurologis dan tidak
• Gingivitis/ oleh penyebab lain,
periodontitis sering kali membaik
ulseratif dengan ART
nekrotika akut

2.2 Sifilis

2.2.1 Pengertian
Sifilis adalah suatu infeksi menular seksual, yang disebabkan oleh bakteri
spirochaeta, yaitu Treponema pallidum. Selain sifilis, terdapat tiga jenis infeksi
lain pada manusia yang disebabkan oleh treponema, yaitu: non-venereal endemic
syphilis (telah dieradikasi), frambusia (T pertenue) dan pinta (T careteum di Amerika
Selatan). Sifilis secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sifilis kongenital
(ditularkan dari ibu ke janin selama dalam kandungan) dan sifilis yang didapat/
akuisita yang ditularkan melalui hubungan seks dan produk darah yang tercemar.

10

PEDOMAN PPIA.indd 10 7/4/14 8:41 AM


2.2.2 Penularan Sifilis
Cara penularan sifilis sama dengan penyakit IMS lainnya, yaitu umumnya melalui
hubungan seksual dengan pasangan yang mengidap sifilis, di samping penularan
dari ibu ke bayi. Penularan sifilis dari ibu ke bayi berlangsung melalui cara yang lebih
kurang sama seperti pada penularan infeksi HIV. Penularan ini terjadi pada masa
kehamilan, kontak saat persalinan dan kontak dengan lesi sifilis setelah persalinan.
Walaupun penularan dari ibu ke bayi dapat terjadi pada minggu ke-9 kehamilan,
namun biasanya penularan terjadi pada minggu ke-16 dan ke-28 kehamilan. Sifilis
pada ibu hamil yang tidak diobati dapat mengakibatkan keguguran, prematuritas,
bayi berat lahir rendah, lahir mati dan sifilis kongenital.

Risiko Penularan Sifilis dari Ibu ke Anak


Faktor risiko penularan sifilis dari ibu ke anak sebagai berikut.
i) Faktor ibu.
a. Adanya infeksi lain selama kehamilan, misalnya IMS (HIV, gonore, dll),
infeksi organ reproduksi, malaria dan tuberkulosis akan memperbesar risiko
penularan sifilis.
b. Penularan baru sifilis pada ibu hamil meningkatkan risiko penularan ke anak.
ii) Faktor tindakan obstetrik: berbeda dengan penularan infeksi HIV dari ibu ke
anak, risiko penularan sifilis pada masa kehamilan lebih besar dibandingkan
risiko pada saat persalinan karena bakteri dapat menembus barier darah
plasenta.

2.2.3 Perjalanan Alamiah Infeksi Sifilis


Sejak terinfeksi sifilis pertama kali, tubuh mengaktivasi sistem kekebalan sehingga
timbul antibodi anti-sifilis dalam 10-45 hari. Dengan demikian, window period
berlangsung dalam kurun waktu tersebut. Gejala fisik pertama infeksi sifilis dapat
diketahui 10-90 hari setelah terinfeksi, dengan rerata 21 hari. Munculnya lesi tunggal
(chancre) pertama kali menunjukkan mulainya stadium primer infeksi sifilis. Lesi/
luka tersebut biasanya kenyal keras, bulat, dengan dasar bersih dan tidak terasa
nyeri. Lesi bertahan selama 3-6 minggu dan sembuh sendiri dengan atau tanpa
diobati. Jika penderita tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat maka infeksi
akan berlanjut ke stadium sekunder.

Stadium sekunder ditandai dengan ruam kulit, yang dapat ditemukan pada satu atau
lebih bagian tubuh. Ruam tersebut tidak menimbulkan rasa gatal, tampak sebagai
bercak merah kotor atau coklat kemerahan di telapak tangan/kaki. Pada bagian
tubuh yang lain, ruam mungkin berbeda bentuk, sehingga dikira disebabkan oleh
penyakit lain. Gejala lainnya adalah demam, pembengkakan kelenjar getah bening,
radang tenggorokan, kerontokan rambut berkelompok, nyeri kepala, penurunan
berat badan, nyeri otot dan mudah lelah. Gejala tersebut akan hilang dengan
sendirinya, walaupun tanpa pengobatan. Tanpa pengobatan yang tepat, infeksi akan
berlanjut menjadi stadium laten/akhir.

Stadium laten dimulai ketika gejala primer dan sekunder menghilang. Tanpa
pengobatan, penderita tetap mengidap sifilis sekalipun tanpa gejala dan tanda klinis
apapun. Stadium laten ini dapat berlangsung bertahun-tahun. Sekitar 15% pengidap
sifilis yang tidak diobati berlanjut ke stadium akhir, sekitar 10-30 tahun sejak infeksi

11

PEDOMAN PPIA.indd 11 7/4/14 8:41 AM


pertama. Gejala stadium akhir sifilis meliputi kesulitan koordinasi gerakan otot,
kelumpuhan, mati rasa dan rasa tebal, kebutaan bertahap dan demensia. Akhirnya
bakteri akan merusak organ-organ dalam seperti otak, jaringan saraf, mata, jantung,
pembuluh darah, hati, tulang dan persendian sehingga dapat mengakibatkan
kematian. Tabel 5 menampilkan rangkuman manifestasi klinis infeksi sifilis.

Tabel 5. Manifestasi Klinis Sifilis Didapat dan Kongenital


Sifilis didapat
Stadium Manifestasi klinis Durasi
Primer Chancre/ulcus atau luka/
tukak, bersifat soliter, tidak 3 minggu
nyeri dengan batas yang tegas
dan adanya indurasi dengan
pembesaran kelenjar getah bening
(limfadenopati) regional.
Sekunder Bercak merah polimorfik biasanya di
telapak tangan/kaki, lesi mukokutan, 2-12 minggu
demam, malaise, limfadenopati
generalisata, kondiloma lata, patchy
alopecia, meningitis, sakit kepala,
uveitis, retinitis.
Laten dini Asimtomatik. Dini: <1
dan tahun;
laten lanjut Lanjut: ≥ 1
tahun
Tersier
- Gumma • Destruksi jaringan di organ/lokasi yang terinfeksi. 1–46 tahun
- Sifilis • Aneurisma aorta, regurgitasi aorta, stenosis osteum. 10–30 tahun
kardio- • Bervariasi dari asimtomatis sampai sakit kepala, vertigo, 2–20 tahun
vaskuler perubahan kepribadian, demensia, ataksia, pupil Argyll
- Robertson.
Neurosifilis
Sifilis kongenital
Dini 70% asimtomatis; infeksi fulminan dan Dari lahir sampai < 2 tahun
tersebar, lesi mukokutaneous, osteokondritis,
anemia, hepatosplenomegali, neurosifilis.
Lanjut Keratitis interstisial, limfadenopati, Persisten > 2 tahun setelah
hepatosplenomegali, kerusakan tulang, kelahiran
anemia, gigi Hutchinson, neurosifilis.

12

PEDOMAN PPIA.indd 12 7/4/14 8:41 AM


BAB III. KEGIATAN KOMPREHENSIF PENCEGAHAN PENULARAN HIV DAN
SIFILIS DARI IBU KE ANAK

Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dilaksanakan secara terintegrasi
dengan upaya pencegahan sifilis kongenital. Di bawah ini adalah kegiatan-kegiatan
untuk pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak.

3.1 Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Bayi

3.1.1 Penyebarluasan Komunikasi, Informasi dan Edukasi tentang


Pencegahan Infeksi HIV dan Sifilis
Kegiatan ini merupakan kegiatan penting yang dilaksanakan dalam upaya meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang HIV dan AIDS demi mencegah meluasnya penularan
infeksi HIV. Untuk upaya PPIA, Program Kesehatan Ibu/Reproduksi melakukan KIE
dengan sasaran wanita usia reproduksi, khususnya ibu hamil, calon pengantin, remaja
dan pasangan suami-isteri yang mengunjungi fasilitas pelayanan KIA, KB dan pelayanan
kesehatan peduli remaja. Di puskesmas, pemberian KIE tentang pencegahan penularan
HIV dan sifilis diintegrasikan dengan layanan KIA, KB, kesehatan peduli remaja, kelas
ibu hamil, kegiatan kelompok pendamping ibu; dan layanan IMS, tuberkulosis dan gizi
(Bagan 2).

Bagan 2. Alur layanan KIE tentang HIV dan sifilis pada wanita usia subur
  Wanita usia subur

Poli KIA Poli KB Poli Gizi Konseling remaja Poli IMS/TB Kelas Ibu hamil

Informasi, edukasi HIV dan AIDS termasuk PPIA dan sifilis kongenital

3.1.2 Tes HIV dan Konseling

Tes atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling (TIPK)


TIPK adalah tes HIV atas inisiatif pemberi pelayanan kesehatan dan konseling
kepada pasien untuk kepentingan kesehatan dan pengobatannya. TIPK dianjurkan
sebagai bagian dari standar pelayanan pada fasyankes. TIPK dilaksanakan dengan
memperhatikan dengan prinsip 3C (confidential, consent dan counseling); dan 2R
(recording-reporting dan referral).
Penawaran tes HIV dan sifilis pada ibu hamil dilakukan pada saat kunjungan antenatal
atau menjelang persalinan bersama pemeriksaan rutin lainnya. Bila ibu menolak
untuk diperiksa dengan tes HIV dan sifilis, maka ia diminta untuk menyatakan ketidak-
setujuannya secara tertulis . Apa pun pilihannya, ibu hamil tetap diberikan bantuan dan
tatalaksana klinis sesuai dengan kondisinya dan tetap dianjurkan untuk pemeriksaan
ulang seperti biasa. Pada kunjungan berikutnya, ibu hamil diberi penjelasan ulang
tentang pentingnya tes HIV dan sifilis demi keselamatan diri dan bayinya, terutama

13

PEDOMAN PPIA.indd 13 7/4/14 8:41 AM


di daerah epidemi tinggi dan terkonsentrasi HIV-AIDS. Bila ibu hamil tersebut belum
bisa diyakinkan, maka ia dapat dirujuk untuk mengikuti konseling yang lebih intensif
pada layanan konseling dan tes sukarela (KTS), bila ada. (Surat penolakan TIPK
dapat dilihat dilampiran 8)
Langkah-langkah TIPK (lihat Bagan 3 dan Lampiran 1) meliputi:
i) pemberian informasi sebelum tes;
ii) pengambilan darah;
iii) penyampaian hasil tes ; dan
iv) konseling.

Bagan 3. Alur Tes HIV-Sifilis atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan
Konseling
  Ibu Hamil

Bidan/dokter/klinik Puskesmas, rumah Polindes/Posksdes/ Poliklinik, BP, Ruang


praktek swasta sakit Pustu IMS, TB bersalin
 

 
Pelayanan ANC terpadu Poli KIA

1. Anamnesa
2. Pemeriksaan:
 Tinggi berat badan Kunjungan antenatal
 Ukur tekanan darah
Ukur lingkaran lengan
atas
 Ukur tinggi fundus uteri Penawaran tes HIV dan sifilis
bersamaan dengan pemeriksaan
 Denyut jantung janin
 Imunisasi TT laboratorium rutin lainnya (TIPK)
 Tablet Fe 90 tablet
 Tes lab: Hb, gol darah,
proteinuria, HIV ,sifilis dll
 Tata laksanan kasus
 Temu wicara dan Tidak setuju
konseling Setuju
3. Tatalaksana kasus

Rujuk ke Laboratorium Tawarkan kembali pada saat


kunjungan ulang ANC

Tes HIV dan Sifilis


Tetap menolak

HIV HIV Sifilis Sifilis


Negatif Perkenalkan KTS
Positif negatif Positif

Konseling Konseling   Konseling   Konseling  


setelah tes setelah  tes   setelah  tes   setelah  tes  

Rujuk Ibu • Terapi sifilis


hamil untuk Rujuk Ke Poli
IMS/BP • Anjuran terapi
mendapatkan
ARV bagi pasangan

i) Pemberian Informasi Sebelum Tes


Sebelum melakukan pemeriksaan laboratorium pada layanan antenatal terpadu,
termasuk tes HIV dan sifilis, petugas kesehatan wajib memberikan informasi yang
meliputi hal-hal berikut.

14

PEDOMAN PPIA.indd 14 7/4/14 8:41 AM


• Risiko penularan penyakit-penyakit tertentu, seperti TBC, malaria, hepatitis HIV
dan sifilis , dari ibu kepada bayinya selama kehamilan, saat persalinan dan
masa menyusui.
• Keuntungan diagnosis dini penyakit -penyakit tersebut atau penyakit lainnya
seperti hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal pada kehamilan bagi ibu dan
bayi yang akan dilahirkan. .
• Layanan yang tersedia dan pengobatan bagi pasien yang hasil tesnya positif,.
• Informasi bahwa hasil tes akan diperlakukan secara konfidensial; dan tidak akan
diungkapkan tanpa seijin pasien kepada orang lain selain petugas kesehatan
yang terkait langsung dengan perawatan pasien.
• Pasien mempunyai hak untuk menolak menjalani tes laboratorium rutin. Tes
akan dilakukan sesuai dengan standar prosedur yang berlaku, kecuali pasien
menggunakan hak tolaknya tersebut. Bila menolak, pasien perlu membuat
pernyataan tertulis.
• Penolakan untuk menjalani pemeriksaan laboratorium, tidak akan mempengaruhi
layanan selanjutnya bagi klien/ibu hamil.
• Kesempatan diberikan kepada pasien untuk mengajukan pertanyaan kepada
petugas kesehatan.

ii) Pengambilan Darah dan Tes HIV

Diagnosis HIV yang asimtomatik menggunakan strategi tiga serial (lihat Bagan
4) untuk daerah dengan prevalensi HIV di bawah 10%. Tiga reagen yang berbeda
sensitivitas, spesifisitas dan preparasi antigennya digunakan secara serial, sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 241/2006 tentang Standar Pelayanan
Laboratorium Kesehatan Pemeriksa HIV dan Infeksi Oportunistik. Pengambilan
darah untuk tes HIV – dilakukan sekaligus untuk tes lainnya – dilakukan oleh tenaga
medis dan/atau teknisi laboratorium yang terlatih. Bila tidak ada tenaga medis dan/
atau teknisi laboratorium maka tenaga kesehatan lain (bidan atau perawat terlatih)
dapat melakukannya. Cara pengambilan darah seperti biasa, mengikuti prosedur
standar.
Tes diagnostik HIV dapat dilakukan secara serologis dan virologis. Pemeriksaan
serologis dilakukan dengan metode rapid diagnostic test (RDT) atau Enzyme
Immuno Assay (EIA) yang menggunakan antibodi atau fraksi protein. Pemeriksaan
virus menggunakan metode PCR (polymerase chain reaction). Kriteria pemilihan
jenis tes HIV dijelaskan pada Lampiran 2.

15

PEDOMAN PPIA.indd 15 7/4/14 8:41 AM


Bagan 4. Alur Tes HIV untuk Diagnosis dengan "Strategi Tiga Serial"

Bagan 4. Alur tes HIV untuk diagnosis dengan “Strategi tiga serial”
 

Bersedia  di  tes  H IV  

Tes  A ntibodi  H IV      A 1  

Nonreaktif   Reaktif  

Tes  A ntibodi  H IV    A 2  

Nonreaktif   Reaktif  

Ulang  tes  H IV  
A1  dan  A 2  

Keduanya  
Hasil   Reaktif  
Tes  antibodi  H IV  
pengulangan  
Keduanya   Salah  satu   A3  
Reaktif  
Nonreaktif  

Nonreaktif   Reaktif  

A1  non     A1  (R)   A1  (NR)   A1  (NR)   A1  (+)   A1  (+)   A1  (+)  


  A1  (NR)   A2  (NR)   A2  (R)   A2  (+)  
reaktif   A2  (-­‐)   A2  (+)   A2  (+)  
A2  (NR)   A3  (NR)   A3  (NR)   A3  (+)  
A3  (+)   A3  (-­‐)   A3  (+)  
 

 
Berisiko   La

HIV  Negatif   Indeterminate   po


HIV  P ositifra  
Tidak     Ya    
n  
la
bo
                                rat
   Keputusan  klinis   ori
Keterangan: Yang dimaksud berisiko dalam tabel diatas adalah kelompok populasi u
Lapo
kunci (Pekerja seks, Pengguna Napza Suntik, Lelaki sek dengan lelaki, waria) m   dan
Pasien hepatitis, Ibu Hamil, Pasangan diskordan, Pasien TB, Pasien IMS, Warga
Lapo  
Binaan Pemasyarakatan

16

PEDOMAN PPIA.indd 16 7/4/14 8:41 AM


  Interpretasi Hasil Pemeriksaan Anti HIV

Hasil Positif:
• Bila hasil A1 reaktif, A2 reaktif dan A3 reaktif
Hasil Negatif:
• Bila hasil A1 non reaktif
• Bila hasil A1 reaktif tapi pada pengulangan A1 dan A2 non
reaktif
• Bila salah satu reaktif tapi tidak berisiko
Hasil Indeterminate:
• Bila dua hasil tes reaktif
• Bila hanya 1 tes reaktif tapi berisiko atau pasangan berisiko
 
 
Tindak Lanjut Pemeriksaan Anti HIV

Tindak lanjut hasil positif:


• Rujuk ke Pengobatan HIV
Tindak lanjut hasil negatif:
• Bila hasil negatif dan berisiko dianjurkan pemeriksaan ulang
minimum 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan dari pemeriksaan
pertama sampai satu tahun.
• Bila hasil negatif dan tidak berisiko dianjurkan perilaku hidup
sehat
Tindak lanjut hasil indeterminate:
• Tes perlu diulang dengan spesimen baru minimun setelah dua
minggu dari pemeriksaan yang pertama.
• Bila hasil tetap indeterminate, dilanjutkan dengan pemeriksaan
PCR.
• Bila sarana pemeriksaan PCR tidak memungkinkan, rapid tes
diulang 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari pemeriksaan yang
pertama. Bila sampai satu tahun hasil tetap “indeterminate” dan
faktor risiko rendah, hasil dapat dinyatakan sebagai negatif.
   

iii) Penyampaian Hasil Tes HIV

Petugas kesehatan perlu mengetahui hasil tes lebih dahulu sebelum


disampaikan kepada ibu hamil. Kesesuaian nama pasien perlu diperiksa, kemudian
semua hasil pemeriksaan disampaikan, di samping hasil tes HIV. Maksud dari nilai
hasil pemeriksaan dijelaskan, demikian pula tatalaksana yang akan dilakukan
sesuai dengan hasil pemeriksaan tersebut. Hasil pemeriksaan dicatat dalam rekam
medis; sedangkan formulir hasil pemeriksaan dapat diberikan kepada pasien,
sebagai haknya. Jika pasien menghendaki, formulir hasil pemeriksaan tersebut
dapat disimpan di fasyankes sebagai lampiran rekam medis pasien.

17

PEDOMAN PPIA.indd 17 7/4/14 8:41 AM


Pasien perlu diberi kesempatan bertanya tentang hasil pemeriksaan dan tatalaksana
yang hendak dilakukan. Konseling diberikan setelah pasien/ibu hamil memahami
hasil tes dan tatalaksana yang hendak dilakukan. Bila ada keraguan, pasien dirujuk.
iv) Konseling
Konseling wajib diberikan pada setiap pasien/ibu hamil yang telah diperiksa
spesimen darahnya untuk tes HIV dan sifilis. Konseling harus dilakukan secara
tatap muka individual.
Isi konseling pada ibu hamil, berdasarkan hasil tes, sebagai berikut.
i. Hasil tes HIV “non-reaktif” atau negatif:
• penjelasan tentang masa jendela/window period;
• pencegahan untuk tidak terinfeksi di kemudian hari;
• risiko penularan HIV dari ibu ke anak;
• konseling dan edukasi pasangan dan anjuran agar pasangan melakukan
tes HIV.
ii. Hasil tes HIV “reaktif” atau positif:
• Penjelasan mengenai aspek kerahasiaan
• penjelasan tentang rencana pemberian profilaksis kotrimoksasol atau terapi ARV,
kepatuhan minum obat serta dimana obat ART bisa didapat;
• pemberian informasi sehubungan dengan kehamilan, misalnya dukungan
gizi yang memadai untuk ibu hamil, termasuk pemenuhan kebutuhan zat
besi dan asam folat;
• rencana pilihan persalinan
• rencana pilihan tentang makanan bayi dan dukungan untuk melaksanakan
pilihannya;
• konseling hubungan seksual selama kehamilan (abstinensia, saling setia
atau menggunakan kondom secara benar dan konsisten);
• tes HIV bagi bayi
• tes HIV bagi pasangan;
• informasi tentang keberadaan orang kelompok dukungan sebaya ODHA
yang dapat dihubungi, nama dan nomor telepon klinik/rumah sakit rujukan
ODHA;
• rujukan bila perlu;
• kesepakatan tentang jadwal kunjungan lanjutan;
iii. Penjelasan mengenai hasil indeterminate (meragukan): tes perlu diulang dengan
spesimen baru setelah dua minggu, tiga bulan, enam bulan dan setahun. Bila
sampai satu tahun hasil tetap “indeterminate” dan faktor risiko rendah, hasil
dapat dinyatakan sebagai “non-reaktif”. Konseling diberikan seperti pada
penjelasan hasil tes non-reaktif dan reaktif.
Bila terdapat reaksi psikologis, misalnya pasien menolak hasil pemeriksaan atau
marah yang terkait dengan diagnosis HIV dan sifilis, maka diperlukan konseling
khusus. Pada keadaan ini, petugas kesehatan lebih baik mendengarkan dan
mengarahkan pencegahan penularan ke bayi serta tidak membuat keputusan untuk
pasien. Bila diperlukan, dapat ditawarkan rujukan untuk konseling kepada psikolog
atau konselor lain.

18

PEDOMAN PPIA.indd 18 7/4/14 8:41 AM


3.1.3 Pencegahan Kehamilan yang Tidak Direncanakan pada Perempuan
dengan HIV

Pada prinsipnya setiap perempuan perlu merencanakan kehamilannya, namun pada


perempuan dengan HIV perencanaan kehamilan harus dilakukan dengan lebih hati-
hati dan matang karena adanya risiko penularan HIV kepada bayinya.
Kondom merupakan cara terbaik untuk pencegahan penularan IMS, termasuk HIV dan
AIDS, bila digunakan secara disiplin, terus-menerus dan benar. Karena itu kondom harus
digunakan oleh semua pasangan, baik yang hanya satu maupun yang keduanya HIV
positif. Kondom tidak melindungi infeksi yang berasal dari ulkus/lesi pada selangkangan
yang tidak tertutup olehnya. Walaupun telah menggunakan kondom, perempuan dengan
HIV dianjurkan untuk menggunakan metoda kontrasepsi lain untuk pencegahan kehamilan
(perlindungan ganda).

Kegiatan yang dilakukan meliputi:


i) pencegahan dan penundaan kehamilan pada ibu dengan HIV melalui konseling
dan penyediaan sarana kontrasepsi yang aman dan efektif; dan
ii) perencanaan dan persiapan kehamilan yang tepat, jika ibu ingin hamil.
i) Pencegahan dan Penundaan Kehamilan pada Ibu dengan HIV
Penggunaan kontrasepsi harus segera dibicarakan dengan setiap perempuan dengan
HIV setelah diagnosisnya ditegakkan. Pilihan kontrasepsi berdasarkan urutan prioritas
untuk ibu dengan HIV adalah sebagai berikut.
1. Kontrasepsi mantap atau sterilisasi: dengan adanya risiko penularan HIV ke bayi,
bila ibu dengan HIV sudah memiliki jumlah anak yang cukup, dipertimbangkan
kontrasepsi mantap.
2. Kontrasepsi jangka panjang:
a. Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR): metoda ini disarankan bila risiko
IMS rendah dan pasangannya tidak berisiko IMS. Sebaiknya pemasangan
dilakukan segera setelah plasenta lahir, walaupun tidak tertutup kemungkinan
dipasang pada fase interval. Syarat-syarat pemasangan AKDR mengikuti
standar yang berlaku. Perlu perhatian khusus bila ada keluhan efek samping,
seperti nyeri dan perdarahan.
b. Hormonal (lihat Tabel 6):
i. Pil KB kombinasi: aman dan efektif untuk perempuan dengan HIV yang
tidak dalam terapi obat ARV dan obat lain yang dapat meningkatkan
enzim hati. ARV dapat menurunkan efektivitas pil KB kombinasi.
ii. Pil progesteron: direkomendasikan bagi perempuan dengan HIV yang
tidak dalam terapi obat ARV, karena ARV menurunkan efektivitas pil
progesteron.
iii. Suntik progesteron jangka panjang: DMPA dapat digunakan bagi
perempuan dengan HIV yang diberi ART tanpa kehilangan efektivitas
kontrasepsi. Metabolisme DMPA tidak dipengaruhi oleh obat ARV dan
tetap dapat diberikan dengan interval 12 minggu.
iv. Implan progesteron: implan etonorgestrel adalah kontrasepsi yang amat
efektif dan aman pada perempuan dengan HIV yang tidak dalam terapi
obat ARV.

19

PEDOMAN PPIA.indd 19 7/4/14 8:41 AM


Hormon estrogen mempunyai efek menurunkan efektivitas ARV. Progesteron
mempunyai efek sedikit meningkatkan efektivitas ARV. Namun, sebaiknya tetap
diperhatikan pada pengguna polifarmasi (misalnya perempuan HIV dengan
tuberkulosis), karena semua kontrasepsi hormonal dimetabolisme di hati, demikian
juga ARV. Penggunaan keduanya dalam jangka panjang memperberat fungsi hati.

ii) Perencanaan Kehamilan


Bila perempuan dengan HIV dan pasangannya memutuskan ingin punya anak,
maka kehamilan perlu direncanakan dengan matang. Persyaratan mencakup aspek
medis dan aspek sosial sebagai berikut.
Aspek medis meliputi hal-hal sebagai berikut.
i. Viral load tidak terdeteksi: bila viral load sudah tidak terdeteksi, maka
kemungkinan penularan HIV dari ibu ke bayi rendah.
ii. Kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm3: kadar CD4 yang tinggi merupakan tanda
bahwa kekebalan tubuh ibu cukup baik dan layak untuk hamil. Dengan kadar
CD4 kurang dari 350 sel/mm3 maka ibu akan rentan terhadap infeksi sekunder
yang akan membahayakan ibu dan dan janin di masa kehamilannya.
Aspek sosial mencakup hal-hal di bawah ini.
i. Perencanaan kehamilan oleh pasangan: kedua belah pihak (laki-laki dan
perempuan) benar-benar memahami risiko dan konsekuensi kehamilan,
persalinan dan aspek pengasuhan anak.
ii. Kesepakatan/persetujuan dari keluarga: untuk menghindari penelantaran
pengasuhan anak di kemudian hari akibat keterbatasan orang tua yang
menderita HIV, perlu dipertimbangkan adanya persetujuan keluarga agar
bersedia mengasuh anak tersebut apabila terjadi kendala pada orang tuanya.
Persiapan perempuan dengan HIV yang ingin hamil seperti berikut.
i. Pemeriksaan kadar CD4 dan viral load, untuk mengetahui apakah sudah layak
untuk hamil.
ii. Bila VL tidak terdeteksi atau kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm3, sanggama tanpa
kontrasepsi dapat dilakukan, terutama pada masa subur.
iii. Bila kadar CD4 masih kurang dari 350 sel/mm3, minum ARV secara teratur dan
disiplin minimal selama enam bulan dan tetap menggunakan kondom selama
sanggama.
Persiapan pasangan dari perempuan dengan HIV yang ingin hamil:
i. Bila dipastikan serologis HIV non-reaktif (negatif), maka kapan pun boleh
sanggama tanpa kondom, setelah pihak perempuan dipastikan layak untuk
hamil.
ii. Apabila serologis reaktif (positif), perlu dilakukan pemeriksaan viral load, untuk
mengetahui risiko penularan.
iii. Apabila VL tidak terdeteksi sanggama tanpa kontrasepsi dapat dilakukan pada
masa subur pasangan.
iv. Apabila VL masih terdeteksi atau kadar CD4 kurang dari 350 sel/mm3, maka
sebaiknya rencana kehamilan ditunda dulu.

3.1.4 Pemberian ARV pada Ibu Hamil dengan Infeksi HIV


Merujuk pada pedoman muktahir, semua ibu hamil dengan HIV diberi terapi ARV,
tanpa harus memeriksakan jumlah CD4 dan viral load terlebih dahulu, karena

20

PEDOMAN PPIA.indd 20 7/4/14 8:41 AM


kehamilan itu sendiri merupakan indikasi pemberian ARV yang dilanjutkan seumur
hidup (lihat Bagan 5). Pemeriksaan CD4 dilakukan untuk memantau pengobatan –
bukan sebagai acuan untuk memulai terapi.
Bagan 5. Alur Pemberian ARV pada Ibu Hamil
  Ibu hamil

HIV non-reaktif HIV reaktif

Mulai terapi ARV tanpa memandang


umur kehamilan, jumlah CD4 dan
stadium klinis

Untuk memulai terapi ARV perlu dipertimbangkan hal-hal Klinik  berikut:


Swasta  
i) persiapan klien secara fisik/mental untuk menjalani terapi melalui edukasi pra-
pemberian ARV; dan  stadiu  
ii) bila terdapat infeksi oportunistik, maka infeksi tersebut perlu diobati terlebih
 
dahulu. Terapi ARV baru bisa diberikan setelah infeksi  kloportunistik diobati dan
stabil (kira-kira setelah dua minggu sampai dua bulan pengobatan).
iii) Profilaksis kotrimoksazol diberikannis.  
pada   stadium klinis 2, 3, 4 dan atau CD4 <
200. Untuk mencegah PCP, Toksoplasma, infeksi bacterial (pneumonia, diare)
dan berguna juga untuk mencegah malaria pada daerah endemis;
iv) pada ibu hamil dengan tuberkulosis: OAT selalu diberikan mendahului ARV
sampai kondisi klinis pasien memungkinkan (kira-kira dua minggu sampai dua
bulan) dengan fungsi hati baik untuk memulai terapi ARV.
Syarat pemberian ARV pada ibu hamil dikenal dengan singkatan SADAR, yaitu
sebagai berikut.
1. Siap: menerima ARV, mengetahui dengan benar efek ARV terhadap infeksi HIV.
2. Adherence: kepatuhan minum obat.
3. Disiplin: minum obat dan kontrol ke dokter.
4. Aktif: menanyakan dan berdiskusi dengan dokter mengenai terapi.
5. Rajin: memeriksakan diri jika timbul keluhan.
Boks 1. Protokol pemberian terapi antiretroviral (ARV) untuk ibu hamil dengan HIV
 Secara umum, yang direkomendasikan untuk ibu hamil HIV positif adalah terapi
menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI + 1 NNRTI). Perlu dihindari penggunaan
“triple nuke” (3 NRTI).
 Paduan obat ARV Kombinasi Dosis Tetap / Fixed Dose Combination (FDC): TDF
(300mg) + 3TC (300mg) + EFV (600mg).
 Untuk ibu yang status HIV-nya diketahui sebelum kehamilan dan sudah mendapatkan
ARV, maka ARV tetap diteruskan dengan paduan obat yang sama seperti saat
sebelum hamil.
 Untuk ibu hamil yang status HIV diketahui saat kehamilan, segera diberikan ARV tanpa
melihat umur kehamilan, berapapun nilai CD4 dan stadium klinisnya.
 Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui dalam persalinan, segera diberikan
ARV. Pilihan Paduan obat ARV sama dengan ibu hamil dengan HIV lainnya. Informasi
lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8, serta Lampiran 3.

21

PEDOMAN PPIA.indd 21 7/4/14 8:41 AM


Tabel 6. Pemberian Obat ARV pada Ibu Hamil
No Kondisi Rekomendasi pengobatan
1 • ODHA hamil, segera • TDF(300mg) + 3TC (300mg) + EFV (600mg)
terapi ARV
• ODHA datang pada Alternatif:
masa persalinan dan • AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + NVP
belum mendapat (1x200mg, setelah 2 minggu 2x200mg)
terapi ARV, lakukan • TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (2x150mg) +
tes, bila hasil reaktif NVP (2x200mg)
berikan ARV • AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + EFV
(1x600mg)
2 ODHA sedang • Lanjutkan dengan ARV yang sama selama dan
menggunakan ARV dan sesudah persalinan
kemudian hamil
3 ODHA hamil dengan • TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (1x300mg) +
hepatitis B yang EFV (1x600mg) atau
memerlukan terapi • TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (2x150mg) +
NVP (2x200mg)
4 ODHA hamil dengan • Bila OAT sudah diberikan, maka dilanjutkan. Bila
tuberkulosis aktif belum diberikan, maka OAT diberikan terlebih
dahulu sebelum pemberian ARV.
• Rejimen untuk ibu bila OAT sudah diberikan dan
tuberkulosis telah stabil: TDF + 3TC + EFV
Keterangan: AZT/ZDV: zidovudin; 3TC: lamivudin; FTC: emtricitabin; NVP: nevirapin;
EFV: efavirens; TDF: tenovofir

Tabel 7. Efek Samping Obat dan Kontraindikasi Pemberian ARV


Nama Efek samping/efek toksik Kontraindikasi
obat
AZT • Anemia (makin lama pajanan makin berat, • Alergi obat
namun reversibel) • Hb < 7 g/dL
• Mual, sakit kepala, mialgia, insomnia • Netropenia (<750
sel/mm3)
• Disfungsi hati dan
ginjal berat
NVP • Hepatotoksik (perlu observasi klinis dalam • Alergi terhadap
12 minggu pertama) benzodiazepin
• Ruam kulit • Disfungsi hati
TDF • Nefrotoksik (perlu observasi klinis selama 6 • Disfungsi ginjal
bulan pertama)

3.1.5 Perencanaan Persalinan Aman bagi Ibu dengan HIV


Tujuan persalinan aman bagi ibu dengan HIV adalah menurunkan risiko penularan HIV
dari ibu ke bayi, serta risiko terhadap ibu, tim penolong (medis/non-medis) dan pasien
lainnya. Persalinan melalui bedah sesar berisiko lebih kecil untuk penularan terhadap

22

PEDOMAN PPIA.indd 22 7/4/14 8:41 AM


bayi, namun menambah risiko lainnya untuk ibu. Risiko penularan pada persalinan per
vaginam dapat diperkecil dan cukup aman bila ibu mendapat pengobatan ARV selama
setidaknya enam bulan dan/atau viral load kurang dari 1000 kopi/mm3 pada minggu ke-
36. Tabel 8 menampilkan keuntungan dan kerugian kedua jenis persalinan.

Tabel 8. Keuntungan dan Kerugian Jenis Persalinan


Metode Keuntungan Kerugian
persalinan
Per 1. Mudah dilakukan di sarana Risiko penularan pada bayi relatif
vaginam kesehatan yang terbatas tinggi 10-20% , kecuali ibu telah
2. Masa pemulihan pasca minum ARV teratur ≥ 6 bulan atau
persalinan singkat diketahui kadar viral load < 1000
3. Biaya rendah kopi/mm3 pada minggu ke-36
Seksio 1. Risiko penularan yang 1. Lama perawatan bagi ibu lebih
sesarea rendah (2-4%) atau panjang.
elektif dapat mengurangi risiko 2. Perlu sarana dan fasilitas
penularan sampai 50-66% pendukung yang lebih memadai
2. Terencana pada minggu 3. Risiko komplikasi selama operasi
ke-38 dan pasca operasi lebih tinggi
4. Ada risiko komplikasi anestesi
5. Biaya lebih mahal

Hal-hal berikut perlu diperhatikan dalam memberikan pertolongan persalinan yang


optimal pada ibu
dengan HIV.
1. Pelaksanaan persalinan, baik melalui seksio sesarea maupun per vaginam,
perlu memperhatikan kondisi fisik ibu dan indikasi obstetrik.
2. Ibu hamil dengan HIV harus mendapatkan informasi sehubungan dengan
keputusannya untuk menjalani persalinan per vaginam ataupun melalui seksio
sesarea.
3. Tindakan menolong persalinan ibu dengan HIV, baik per vaginam maupun
seksio sesarea harus memperhatikan kewaspadaan umum yang berlaku untuk
semua persalinan.

Persalinan untuk ibu dengan HIV, baik per vaginam maupun seksio sesarea dapat
dilakukan di semua fasilitas kesehatan yang mampu tanpa memerlukan alat pelindung
diri khusus, selama fasilitas tersebut melakukan prosedur kewaspadaan standar.

3.1.6 Penatalaksanaan Nifas bagi Ibu dengan HIV


Perawatan nifas bagi ibu dengan HIV pada dasarnya sama dengan perawatan nifas
pada ibu nifas normal. Terdapat beberapa hal berikut yang perlu diperhatikan.
• Bagi ibu yang memilih tidak menyusui dapat dilakukan penghentian produksi ASI.
• Pengobatan, perawatan dan dukungan secara berkelanjutan diberikan, di samping
tata laksana infeksi oportunistik terhadap pengidap HIV/AIDS dan dukungan
edukasi nutrisi.
• Pelayanan kontrasepsi pasca persalinan diutamakan agar tidak terjadi kehamilan
yang tidak terencana dan membahayakan ibu dan janin yang dikandungnya.

23

PEDOMAN PPIA.indd 23 7/4/14 8:41 AM


• Edukasi kepada ibu tentang cara membuang bahan yang berpotensi menimbulkan
infeksi, seperti lokia dan pembalut yang penuh dengan darah.
3.1.7 Pemberian ARV dan Kotrimoksasol Profilaksis pada Bayi
Pemberian ARV pada bayi mengikuti Pedoman HIV pada Anak (2013). Sejak ARV
dimulai, diperlukan kepatuhan terhadap aturan pemberian obat setiap hari, karena
ketidakpatuhan merupakan penyebab utama kegagalan pengobatan. Persiapan
amat penting dilakukan sebelum memulai pemberian ARV, yaitu persiapan pengasuh
bayi dan faktor yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan.
Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV, baik yang diberi ASI eksklusif maupun susu
formula, harus diberi zidovudin sejak hari pertama (umur 12 jam), selama enam
minggu.
Dosis zidovudin/AZT:
• Bayi cukup bulan: 4 mg/kg BB/12 jam selama enam minggu.
• Bayi prematur < 30 minggu: 2 mg/kg BB tiap 12 jam selama empat minggu,
kemudian 2 mg/kg BB tiap delapan jam selama dua minggu.
• Bayi prematur 30-35 minggu: 2 mg/kg BB tiap 12 jam selama dua minggu pertama,
kemudian 2 mg/kg BB tiap delapan jam selama dua minggu diikuti 4 mg/kg BB/12
jam selama dua minggu.

Bila pada minggu keenam, bila diagnosis HIV belum dapat disingkirkan, maka
diperlukan pemberian kotrimoksasol profilaksis sampai usia 12 bulan atau sampai
dinyatakan HIV negative / non-reaktif. Keluarga pasien harus diberitahu bahwa
kotrimoksazol tidak mengobati dan menyembuhkan infeksi HIV tetapi mencegah
infeksi yang umum terjadi pada bayi yang terpajan HIV.

Profilaksis kotrimoksazol dapat dihentikan pada bayi yang terpajan HIV


sesudah dipastikan TIDAK  tertular  HIV (setelah  ada  hasil  laboratorium
baik PCR  maupun antibodi pada usia sesuai). Pada anak umur 1 sampai 5 tahun
yang terinfeksi HIV, cotrimoksazol profilaksis dihentikan jika CD4 >25%.

24

PEDOMAN PPIA.indd 24 7/4/14 8:41 AM


Bagan 6. Pemberian Kotrimoksasol pada Bayi dari Ibu dengan HIV
  Bayi dari ibu dengan HIV
 

Mulai kotrimoksasol 4-6 mg/kg BB, 1x/hari pada usia 6


minggu dan lanjutkan hingga diagnosis HIV disingkirkan
   

Lanjutkan kotrimoksasol
Tes virologi HIV di usia 6-8 minggu Tidak tersedia hingga usia 12 bulan; atau
    hentikan bila diagnosis HIV
dengan cara lain
menunjukkan hasil negatif
Tersedia    

Positif Negatif
   
Konse Konse
ling   HIV
Tata laksana Hentikan
ling   kotrimoksasol,
HIV  
pada bayi/anak kecuali bila mendapat ASI
HIV  
positif      
positi
KKons f  
3.1.8 Diagnosis
eling   HIV padaKKon Bayi
HIV   trimester ketiga,
Mulai kehamilan seling  antibodi dari ibu – termasuk antibodi terhadap
positif secara pasif kepada janin, dan dapat terdeteksi sampai anak
HIV – ditransfer HIV  
berumur  18 bulan.
onseli Oleh karena itu, pemeriksaan serologis HIV pada anak kurang dari
positi
18 bulan dapat
ng   menunjukkan hasil reaktif, walaupun anak tersebut tidak terinfeksi HIV.
Diagnosis HIV pada bayi dan fonsel
anak dapat menggunakan uji virologi dan serologi.
HIV   ing  
positif  
Uji Virologi HIV  
Uji virologi digunakan untuk positi
menegakkan diagnosis klinik, yang biasanya dilakukan
setelah bayi berumur enam f   minggu dan dianjurkan untuk mendiagnosis bayi
berumur kurang dari 18 bulan.
1. Uji virologi yang dianjurkan: PCR DNA pada sampel darah lengkap (whole
blood) atau dried blood spot (DBS), PCR HIV RNA (viral load) pada plasma.
2. Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa dengan
uji virologi pada umur 4-6 minggu atau sesegera mungkin.
3. Pada  bayi dengan pemeriksaan virologi pertama yang hasilnya positif, maka terapi
ARV harus segera dimulai. Pada saat yang sama dilakukan pengambilan sampel
darah kedua untuk pemeriksaan uji virologi kedua. Hasil pemeriksaan virologi
kedua harus segera diberikan kepada tempat pelayanan, maksimal dalam
empat minggu kemudian. Hasil positif harus segera diikuti dengan di mulainya
terapi ARV

25

PEDOMAN PPIA.indd 25 7/4/14 8:41 AM


Uji Serologi
Uji serologi pada anak umur kurang dari 18 bulan digunakan sebagai uji untuk
menentukan adanya paparan/pajanan HIV selama kehamilan dan persalinan,
sedangkan pada anak umur lebih dari 18 bulan digunakan sebagai uji diagnostik.
1. Anak umur kurang dari 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum
diuji virologi, dianjurkan untuk diuji serologi pada umur sembilan bulan. Bila
hasilnya positif, maka harus segera diikuti uji virologi untuk identifikasi kasus
yang memerlukan terapi ARV. Jika uji serologi positif dan uji virologi belum
tersedia, perlu dilakukan pemantauan klinis ketat dan uji serologi ulang pada
usia 18 bulan.
2. Anak umur kurang dari 18 bulan dengan gejala infeksi HIV, uji serologi harus
dilakukan dan jika positif diikuti uji virologi.
3. Anak umur kurang dari 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh infeksi
HIV, namun uji virologi tidak dapat dilakukan,  maka diagnosis ditegakkan dengan
menggunakan algoritme diagnosis presumtif.
4. Pada anak umur kurang dari 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur
diagnostik awal dilakukan tanpa perlu menghentikan pemberian ASI.
5. Anak umur 18 bulan ke atas memakai cara yang sama dengan tes HIV pada orang
dewasa. Perhatian khusus diberikan untuk anak yang masih mendapat ASI
pada usia ini, karena tes HIV baru dapat ditafsirkan dengan baik bila ASI sudah
dihentikan selama lebih dari enam minggu. Pada usia lebih dari 18 bulan, ASI
bukan lagi sumber nutrisi utama, oleh karena itu cukup aman bila ibu diminta
untuk menghentikan ASI sebelum dilakukan tindakan untuk diagnosis HIV.

• Uji virologi dianjurkan untuk mendiagnosis bayi berumur kurang dari 18 bulan,
yang biasanya dimulai setelah bayi berumur enam minggu.
• Uji serologi pada anak umur lebih dari 18 bulan digunakan sebagai uji diagnostik.
• Anak umur 18 bulan ke atas memakai cara yang sama dengan tes HIV pada orang
dewasa.

3.1.9 Pelayanan Imunisasi


Prinsip umum semua vaksinasi tetap diberikan seperti pada bayi lainnya, termasuk
memberikan vaksin hidup (BCG, polio oral, campak), kecuali bila terdapat gejala
klinis infeksi HIV. Jadwal pemberian imunisasi mengikuti buku KIA terbaru. Tidak
boleh ada pelabelan HIV, namun kewaspadaan standar tetap dilakukan. Tabel 9
merangkum jadwal kunjungan pemeriksaan pada bayi dari ibu HIV positif.

Tabel 9. Jadwal Kunjungan Pemeriksaan pada Bayi dari Ibu dengan HIV
Keterangan 6-48 3-7 8-28 6 mg 2 bln 3 bln 4 bln 6 bln 9 bln 12 18
jam hari hari bln bln
(KN1) (KN2) (KN3)
Evaluasi klinis V V V V V V V V V V V

Berat badan V V V V V V V V V V V
Panjang badan V V V V V V V V V

26

PEDOMAN PPIA.indd 26 7/4/14 8:41 AM


Keterangan 6-48 3-7 8-28 6 mg 2 bln 3 bln 4 bln 6 bln 9 bln 12 18
jam hari hari bln bln
(KN1) (KN2) (KN3)
Pemberian SF/ ASI SF/ SF/ SF/ SF/ SF/ SF/ SF/ASI+ SF/ Makanan
makanan ASI ASI ASI ASI ASI ASI Makan- ASI+ keluarga
an Makan-
padat an
padat
ARV profilaksis V V V V
Profilaksis V V V V V V V
PCP dengan
kotrimoksasol
Imunisasi Hep B OPV DPT- DPT- DPT- Camp DPT-
BCG HB HB- HB ak HB -
- Hib Hib - Hib Hib
OPV OPV OPV

LABORATORIUM
Hb dan leukosit V V
CD4 Dilakukan bila pasien terbukti terinfeksi HIV atau ada tanda terinfeksi HIV
PCR RNA DNA Dilakukan bila pasien mampu, paling dini pada usia 6 minggu 
Serologi HIV V V

3.1.10 Pemberian Nutrisi bagi Bayi dari Ibu dengan HIV


Pemberian nutrisi yang dianjurkan bagi bayi yang belum diketahui status HIV-nya
sebagai berikut.
1. Konseling pemilihan makanan bayi yang terkait risiko penularan HIV diberikan
sejak sebelum persalinan.
2. Pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh ibu/keluarga setelah mendapat
informasi dan konseling secara lengkap. Pilihan apapun yang diambil seorang
ibu haruslah didukung.
3. Pilihan yang diambil haruslah antara ASI saja atau susu formula saja (bukan
mixed feeding).
4. Sangat tidak dianjurkan untuk mencampur ASI dengan susu formula,
karena memiliki risiko tertinggi untuk terjadinya penularan virus HIV kepada
bayi. Hal ini karena susu formula adalah benda asing yang dapat menimbulkan
perubahan mukosa dinding usus dan mempermudah masuknya virus HIV yang
ada dalam ASI ke aliran darah bayi.
5. Ibu dengan HIV boleh memberikan susu formula bagi bayinya yang HIV
negatif atau tidak diketahui status HIV-nya, jika SELURUH syarat AFASS
(affordable/terjangkau, feasible/mampu laksana, acceptable/dapat diterima,
sustainable/berkesinambungan dan safe/aman) dapat dipenuhi. Pemenuhan
syarat AFASS ditandai dengan adanya: i) rumah tangga dan masyarakat yang
memiliki jaminan atas akses air bersih dan sanitasi yang baik; ii) ibu atau
keluarganya sepenuhnya mampu menyediakan susu formula dalam jumlah
cukup untuk mendukung tumbuh kembang anak; iii) ibu atau keluarganya
mampu menyiapkan susu formula dengan bersih dan dengan frekuensi yang
cukup, sehingga bayi aman dan terhindar dari diare dan malnutrisi; iv) ibu atau
keluarganya dapat memenuhi kebutuhan susu formula secara terus-menerus

27

PEDOMAN PPIA.indd 27 7/4/14 8:41 AM


sampai bayi berusia 6 bulan; v) keluarga mampu memberikan dukungan dalam
proses pemberian susu formula yang baik; dan vi) ibu atau keluarganya dapat
mengakses pelayanan kesehatan yang komprehensif bagi bayinya.
6. Bila syarat-syarat pada Butir 5 terpenuhi maka susu formula dapat diberikan
dengan cara penyiapan yang baik (lihat Lampiran 4). Di negara berkembang,
syarat tersebut sulit dipenuhi, karena itu WHO menganjurkan pemberian ASI,
yang cukup aman selama ibu mendapat terapi ARV secara teratur dan
benar.
7. Untuk melakukan penghentian ASI, (setelah syarat pada Butir 5 terpenuhi)
bayi dapat secara total diberi susu formula, sehingga produksi ASI akan
terhenti secara berangsur. Sementara menunggu terhentinya produksi ASI,
untuk menghindari terjadinya mastitis pada payudara ibu, ASI diperah dengan
frekuensi yang dikurangi secara bertahap hingga produksi ASI berhenti. ASI
perah tersebut tidak diberikan kepada bayi.
8. Pada bayi yang diberi ASI, bila setelah enam bulan syarat-syarat pada Butir 5
belum dapat terpenuhi maka ASI tetap dapat diberikan dengan cara diperah dan
dipanaskan (heat-treated) dan diberikan dengan menggunakan gelas kaca atau
gelas/botol plastik No 5 (PP/Polypropilen), sementara bayi mulai mendapat
makanan pendamping seperti biasa (lihat Lampiran 4). Pada usia 12 bulan
ASI harus dihentikan dan makanan keluarga diberikan sebagai sumber nutrisi
utama.

Jika bayi telah diketahui HIV positif: i) ibu sangat dianjurkan untuk memberikan ASI
eksklusif sampai bayi berumur enam bulan; ii) mulai usia enam bulan, bayi diberikan
makanan pendamping ASI dan ASI tetap dilanjutkan sampai anak berumur dua
tahun.

3.2 Pencegahan Penularan Sifilis dari Ibu ke Bayi

Tatalaksana sifilis pada ibu hamil sebagai berikut.


i) Setiap ibu hamil wajib mendapat pelayanan antenatal terpadu sesuai dengan
pedoman.
ii) Pada kunjungan pertama pelayanan antenatal terpadu dilakukan tes darah
secara inklusif, termasuk tes HIV dan sifilis yang sebaiknya dilakukan sebelum
usia kehamilan 16 minggu.
iii) Skrining tetap dilakukan sekalipun kunjungan pertama melewati 16 minggu, dan
dilakukan tata sesuai dengan pedoman.
iv) Setiap ibu hamil yang tes serologi positif (dengan metode apapun) harus diterapi
untuk mencegah sifilis kongenital
v) Obati pasangan seksual perempuan/ibu hamil seropositif tersebut.

3.2.1 Diagnosis Sifilis pada Ibu Hamil


Tes serologi sifilis terdiri atas dua jenis, yaitu tes non-treponema dan treponema.
Umumnya pemeriksaan tes sifilis dilakukan dalam dua langkah. Pertama, tes non-
treponema, yaitu RPR (rapid plasma reagin/rapid test) atau VDLR (venereal diseases
research labotory). Jika hasil tes reaktif (positif), selanjutnya dilakukan konfirmasi
dengan tes treponema, yaitu TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination Assay),
TP-PA (Treponema pallidum particle agglutination assay), FTA-ABS (fluorescent
treponemal antibody absorption) dan TP rapid (Treponema palidum).

28

PEDOMAN PPIA.indd 28 7/4/14 8:41 AM


Tes non-treponema mendeteksi imunoglobulin yang merupakan antibodi terhadap
bahan-bahan lipid dari sel-sel T. pallidum yang hancur. Antibodi ini dapat timbul
sebagai reaksi terhadap infeksi treponema, namun dapat juga timbul pada berbagai
kondisi lain, yaitu pada infeksi akut (misalnya: infeksi virus akut) dan penyakit kronis
(misalnya: penyakit otoimun kronis). Karena itu, tes ini bersifat non-spesifik, dan bisa
menunjukkan hasil positif palsu. Tes seperti ini dipakai untuk mendeteksi infeksi
dan reinfeksi yang bersifat aktif, serta memantau keberhasilan terapi. Karena tes
non-spesifik ini jauh lebih murah dibandingkan tes spesifik treponema, maka tes ini
sering dipakai untuk skrining. Jika tes non-spesifik menunjukkan hasil reaktif (positif),
selanjutnya dilakukan konfirmasi dengan tes spesifik treponema.
Tes treponema lebih bersifat spesifik terhadap Treponema. Tes ini mendeteksi antibodi
yang bersifat spesifik terhadap Treponema, karena itu jarang memberikan hasil positif
palsu. Tes ini dapat menunjukkan hasil positif/reaktif seumur hidup, walaupun
terapi sifilis telah berhasil. Tes jenis ini tidak dapat digunakan untuk membedakan
antara infeksi aktif dan infeksi yang telah diterapi secara adekuat. Tes treponemal
hanya menunjukkan bahwa seseorang pernah terinfeksi treponema, namun tidak
dapat menunjukkan apakah seseorang sedang mengalami infeksi aktif.
Saat ini telah tersedia rapid test syphilis atau TP rapid; merupakan tes treponema
yang lebih sederhana, cepat, menggunakan darah lengkap, hanya memerlukan
sedikit pelatihan petugas dan tidak memerlukan peralatan dan penyimpanan khusus.
Penggunaannya sangat mudah dan memberikan hasil dalam waktu yang relatif singkat
(10-15 menit). Jika dibandingkan dengan TPHA atau TPPA, sensitivitas rapid test ini
berkisar antara 85-98%, dan spesifisitasnya berkisar antara 93-98%. TP rapid tidak
hanya digunakan sebagai tes konfirmasi tetapi dapat digunakan untuk skrining sifilis di
tempat layanan, walaupun seperti tes treponema lainnya, tes ini tidak dapat digunakan
untuk memantau efektivitas pengobatan atau membedakan antara infeksi aktif dan
infeksi yang telah diterapi adekuat.
Idealnya pemeriksaan non treponema harus diikuti dengan pemeriksaan spesifik
treponema, akan tetapi tidak semua tes ini tersedia di fasilitas kesehatan, mungkin hanya
tersedia RPR saja, atau TP rapid saja, atau TPHA saja. Karena ada risiko penularan
pada bayinya yang dapat bermanifestasi sebagai sifilis kongenital, semua ibu hamil
dengan hasil tes non treponema positif atau treponema positif harus segera diobati.
Di fasilitas pelayanan kesehatan dasar, jika RPR atau TPHA tidak tersedia, TP rapid
dapat digunakan untuk skrining sifilis ibu hamil . Jika mengunakan TP Rapid dan
hasilnya positif, bila memungkinkan rujuk ibu hamil ke fasilitas pelayanan dengan
laboratorium yang lebih lengkap untuk diperiksa titer RPR, bila tidak memungkinkan
maka terapi sifilis pada ibu hamil dapat langsung diberikan. Satu dosis benzatin
penisilin 2,4 juta unit saja sudah dapat mencegah penularan infeksi pada janin. Pada
fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih lengkap TP rapid dapat dikombinasi dengan
tes lain, misalnya RPR dan TPHA.
Seperti halnya tes HIV, tes sifilis juga mempunyai awal masa jendela, sehingga
hasil negatif pada tes sifilis belum tentu menyatakan seseorang bebas dari sifilis.
Karena itu, tes pada ibu hamil perlu diulang kembali pada saat sebelum melahirkan
terutama ibu hamil didaerah prevanlesi tinggi sifilis atau ibu hamil berisiko tinggi
IMS. Tes pada saat sebelum melahirkan dapat mendeteksi infeksi ulang, khususnya
pada ibu hamil yang pasangannya tidak diobati atau belum pernah dilakukan tes
sebelumnya.

29

PEDOMAN PPIA.indd 29 7/4/14 8:41 AM


Bagan alur tes serologis sifilis dengan mengunakan tes non treponema dan tes
treponema dan tes yang hanya mengunakan TP rapid dapat dilihat di bawah ini

Bagan 7. Alur Tes Serologis Sifilis bila Tes Treponema dan Non Treponema Tersedia
  Serum Plasma

RPR/VDRL

Reaktif Non-reaktif

TP rapid Bukan sifilis

Reaktif Non-reaktif

RPR titer
Ulangi RPR dan TP rapid 1 bulan kemudian

RPR (+) RPR (+) RPR (-)


1:2 atau 1:4 ≥1:8 TP rapid (+) TP rapid (-) TP rapid (-)

Dini
Lanjut Aktif/dini Positif palsu Bukan sifilis

n    

Terapi ifi  

is  

Evaluasi bulan ke: 3, 6, 9, 12, 18, 24

Hasil tes non-treponemal (RPR atau VDRL) masih bisa negatif (non-reaktif) sampai
empat minggu sejak pertama kali muncul lesi primer. Tes ini dapat diulang 1-3
bulan kemudian pada pasien yang dicurigai sifilis dengan hasil RPR atau VDRL
negatif.
Hasil positif tes RPR/VDRL perlu dikonfirmasi dengan TPHA/TP-PA/TP rapid.
• Jika hasil tes konfirmasi: non-reaktif, maka dianggap positif palsu dan tidak
perlu diterapi namun perlu dites ulang 1-3 bulan kemudian.
• Jika hasil tes konfirmasi: reaktif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan RPR

30

PEDOMAN PPIA.indd 30 7/4/14 8:41 AM


kuantitatif untuk menentukan titer, sehingga dapat diketahui apakah sifilis aktif
atau laten, serta untuk memantau respons pengobatan.
• Jika RPR reaktif, TP rapid reaktif dan terdapat riwayat terapi dalam tiga bulan
terakhir dan berapapun titernya, anamnesis tidak ada ulkus baru, pasien tidak
perlu diterapi. Pasien diobservasi dan di tes ulang tiga bulan kemudian.
- Jika titer RPR tetap atau turun, tidak perlu diterapi lagi dan tes ulang tiga
bulan kemudian
- Jika RPR tidak reaktif atau reaktif rendah (serofast), pasien dinyatakan
sembuh
- Jika titer naik, berikan terapi sebagai infeksi baru/sifilis aktif
• Jika RPR reaktif, TP rapid reaktif dan tidak ada riwayat terapi dalam tiga bulan
terakhir bila:
- Titer RPR < 1:4 (1:2 dan 1:4) dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagai
sifilis laten lanjut dan dievaluasi tiga bulan kemudian.
- Titer > 1:8 dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagai sifilis aktif dan
dievaluasi tiga bulan kemudian
Evaluasi terhadap titer RPR dilakukan tiga bulan setelah terapi:
- Jika titer RPR turun dua tahap (misalnya dari 1:64 menjadi 1:16) atau lebih,
terapi dianggap berhasil. Ulangi evaluasi setiap tiga bulan di tahun pertama
dan setiap enam bulan di tahun kedua untuk mendeteksi infeksi baru.
- Jika titer tidak turun dua tahap, maka dilakukan evaluasi kemungkinan
reinfeksi atau sifilis laten.

Bagan 8. Alur Tes Serologis Sifilis pada Ibu Hamil bila Hanya Tersedia TP Rapid

  Darah lengkap
lengkap

TP Rapid

Reaktif Non Reaktif

Pernah diterapi atau Sifilis aktif Bukan


Bukan Sifilis
sifilis

Tidak perlu
Terapi Benzatin Penisiliin Terapi

Pada fasilitas kesehatan yang tidak mempunyai peralatan laboratorium lengkap,


pemeriksaan sifilis pada ibu hamil dapat mengunakan TP rapid.
Hasil TP rapid :
• reaktif : seperti telah disebutkan di atas tes treponema tidak dapat
digunakan untuk membedakan antara infeksi aktif dan infeksi yang telah
diterapi secara adekuat. Namun risiko penularan pada bayi yang dapat

31

PEDOMAN PPIA.indd 31 7/4/14 8:41 AM


bermanifestasi sebagai sifilis kongenital, semua ibu hamil dengan hasil TP
rapid positif harus segera diobati.
• Non reaktif : tidak perlu terapi
Konseling setelah tes
Seperti halnya tes HIV, pemberian konseling setelah tes diberikan pada ibu hamil,
berdasarkan hasil tes, sebagai berikut.
1. Hasil tes sifilis “non-reaktif” atau negatif:
• penjelasan tentang masa jendela/window period
• pencegahan untuk tidak terinfeksi di kemudian hari
2. Hasil tes sifilis “reaktif” atau positif:
• Penjelasan mengenai aspek kerahasiaan
• penjelasan tentang rencana pemberian obat benzatin benzyl penisilin
• pemberian informasi sehubungan dengan kehamilan, misalnya dukungan
gizi yang memadai untuk ibu hamil, termasuk pemenuhan kebutuhan zat
besi dan asam folat;
• konseling hubungan seksual selama kehamilan (abstinensia, saling setia
atau menggunakan kondom secara benar dan konsisten);
• pemberian informasi bahwa pasangan harus diobati
• kesepakatan tentang jadwal kunjungan lanjutan
Pada Fasyankes yang tidak memiliki fasilitas pemeriksaan serologi yang
lengkap, jika salah satu hasil tes sifilis positif (baik dengan RPR atau TPHA atau
TP rapid), ibu dapat langsung diobati dengan Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta
IU, injeksi IM dosis tunggal tanpa perlu konfirmasi dengan tes lain.

3.2.2 Terapi Sifilis pada Ibu Hamil


Setiap ibu hamil yang tes serologi positif (dengan metoda apa-pun) minimal
diobati dengan suntikan 2,4 juta IU benzatin benzyl penicilin IM pada saat itu. Bila
memungkinkan diberikan 3 dosis dengan selang waktu 1 minggu, sehingga dosis
total 7,2 juta unit. Terapi sifilis pada ibu hamil dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Terapi sifilis pada ibu hamil

Stadium Terapi sifilis pada ibu hamil Alternatif bagi yang alergi
penisilin
Sifilis Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta Eritromisin 4 x 500 mg oral / hari
primer dan IU, injeksi IM dosis tunggal selama 30 hari
sekunder
Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta Eritromisin, 4 X 500 mg oral /hari
Sifilis laten IU, injeksi IM, satu kali/minggu minimal selama 30 hari.
selama 3 minggu berturut-turut.
Catatan:
• Bila di fasilitas pelayanan kesehatan tidak di temukan obat Benzatin benzyl
penicillin dan yang ada hanya Procain benzyl penicillin, untuk terapi sifilis

32

PEDOMAN PPIA.indd 32 7/4/14 8:41 AM


dosis Procain benzyl penicillin 600.000 IU setiap hari selama minimal 30 hari
berturut turut, pasien mendapatkan dosis total 18 juta IU.
• Sebaiknya mengunakan injeksi benzathin benzylpenicillin, karena prokain
benzyl penicillin bersifat short acting (24 Jam) dan penyuntikan selama
minimal 30 hari berturut turut dapat menyebabkan drop out pengobatan.
• Sebelum injeksi benzathin benzylpenicillin atau procain benzyl penicillin perlu
dilakukan uji penisilin terlebih dulu untuk memastikan pasien tidak alergi
terhadap penisilin.
• azitromisin dan ceftriakson tidak direkomendasikan pada terapi ibu hamil sifilis
karena meningkatkan resistensi
• Eritromisin hanya diberikan pada ibu hamil sifilis bila memang tidak ada pilihan
obat lain

3.2.3 Diagnosis Sifilis Kongenital


Untuk mendiagnosis sifilis kongenital pada bayi di bawah 15 bulan tidak mudah.
Tes serologi dengan dasar Ig G tidak bermanfaat, karena adanya transfer pasif
antibodi ibu. Tes treponema tidak dianjurkan. Sifilis kongenital kemungkinan
asimtomatis pada lebih dari 50 % kasus, terutama pada minggu pertama kehidupan.
Biasanya gejala muncul pada bulan pertama tetapi manifestasi klinis baru terlihat
sampai tahun kedua kehidupan. Karena itu, definisi alternatif yang disarankan untuk
mendiagnosis kasus sifilis kongenital sebagai berikut.
1. Bayi yang dilahirkan dari ibu sifilis, dengan titer serologi minimal empat kali
lebih tinggi dari titer ibunya, atau tetap positif selama empat bulan setelah lahir.
Bila titer negatif, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan liquor. Pada ibu yang
terinfeksi sifilis perlu dilakukan pemeriksaan rontgen untuk melihat kelainan
tulang dan fungsi hati janin saat di dalam kandungan.
2. Anak dalam usia dua tahun pertama dengan bukti klinis sifilis (setidaknya
dua manifestasi klinis) dan serologi positif, lahir dari seorang ibu yang tidak
diketahui status serologisnya. Manifestasi klinisnya pembengkakan sendi, pilek,
bula/gelembung di kulit, hepatosplenomegali, ikterik, anemia dan perubahan
radiologis tulang panjang.
3. Bayi dilahirkan mati dari ibu sifilis yang tidak diobati atau tidak diobati adekuat,
meliputi:
• tidak ada dokumentasi tentang pengobatan;
• diobati kurang dari empat minggu sebelum persalinan;
• tidak mengunakan penisilin untuk pengobatan;
• tidak menyesuaikan pengobatan sesuai dengan tahapan sifilis.

33

PEDOMAN PPIA.indd 33 7/4/14 8:41 AM


Bagan 9 merangkum alur kegiatan PPIA komprehensif untuk ibu dan bayi.
Bagan 9. Alur Kegiatan PPIA Komprehensif
  Cegah penularan HIV dan sifilis: Informasi, KIE
Perempuan usia reproduktif HIV dan AIDS termasuk PPIA dan sifilis congenital, tes HIV
dan sifilis  

HIV dan sifilis positif HIV dan sifilis negatif

Perempuan HIV dan sifilis positif


Cegah kehamilan tak dikehendaki dan perencanaan
kehamilan: kontrasepsi dan ARV  

Hamil Tidak hamil


Perempuan hamil HIV dan sifilis
positif Cegah penularan HIV dan sifilis dari Ibu ke bayi:
Layanan ANC terpadu, terapi ARV ibu, persalinan aman,
pemberian nutrisi pada bayi, terapi ARV dan kotrimoksazol
profilaksis pada bayi, pemeriksaan HIV dan sifilis pada
bayi, terapi sifilis pada ibu dan bayi  

Bayi HIV dan sifilis Bayi HIV dan sifilis


positif negatif  

Dukungan psikososial dan keperawatan bagi


ibu, bayi dan keluarga

3.2.4 Terapi pada Bayi dengan Sifilis Kongenital


Tatalaksana pada bayi dengan sifilis kongenital sebagai berikut.
BAYI dengan KLINIS Anjuran Terapi Anjuran Evaluasi
TERBUKTI/KEMUNGKI
NAN
BESAR sifilis congenital
dan:
- Pemeriksaan fisis - Anjuran terapi: Aqueous
- Analisis cairan
sesuai sifilis kongenital crystalline penicillin G 100.000-
serebrospinal:
- Titer serologi 150.000 unit /Kg/hari, injeksi IV
VDRL,protein,dan
nontreponema 50.000 unit/kg/dosis IV setiap
hitung sel
kuantitati lebih tinggi 12 jam dalam 7 hari pertama
- C o m p l e t e b l o o d
sampai 4X lipat titer ibu dilanjutkan dengan setiap 8 jam
count, differential
- Hasil positif pada selama total 10 hari atau;
count, platelet count
p e m e r i k s a a n - Procain penicillin G 50,000 unit/
- Tes lain sesuai
mikroskopis lapangan kg/dosis, injeksi IM sekali suntik
indikasi klinis:
gelap dari cairan tubuh perhari selama 10 hari
Ro tulang panjang,
Ro toraks
Catatan : Bila ada pengobatan yang
Tes fungsi hati, USG
tidak diberikan lebih dari satu hari,
cranial, Pemeriksaan
maka pengobatan diulang dari awal.
oftalmologi, Respons
pendengaran

34

PEDOMAN PPIA.indd 34 7/4/14 8:41 AM


BAYI dengan KLINIS Anjuran terapi Anjuran Evaluasi
NORMAL dan titer
Serologi nontreponema
kuantitatif SAMA Atau
tidak melebihi 4X lipat
titer ibu
- Ibu belum - Aqueous crystalline - Analisis cairan
diobati,pengobatan penicillin G 100,000–150,000 serebro spinal:
tidak adekuat, tidak unit/kg/hari,injeksi IV 50,000 VDRL,protein,dan
ada catatan pernah di unit/kg/dosisIV setiap 12 jam hitun gsel
obati dalam usia 7 haripertama days - Complete blood
- Ibu diobati dengan dilanjutkan degan setiap 8 jam count, differential
eritromisin atau obat selama total 10 hari ATAU count, Platelet count
bukan penisilin lain - Procaine penicillin G 50,000 - Ro tulang panjang
- Ibu di obati kurang unit/kg/dosis, injeksi IM
dari 4minggu sebelum sekali suntik
partus per hari selama 10 hari
- Benzathine penicillin G
50,000 unit/kg/dosis IM
sekali suntik

BAYI dengan KLINIS Anjuran terapi Anjuran Evaluasi


NORMAL dan titer Serologi
nontreponema kuantitatif
SAMA Atau tidak melebihi
4X lipat titer ibu
- IBU sudah diobati saat - Benzathine penicillin - Tidak ada
hamil,pengobatan adekuat G 50,000 unit/kg/
sesuai stadium,diobati dosis IM sekali suntik
lebih dari 4 minggu - Pendapat lain:
sebelum partus Tidak mengobati bayi,
- Tidak ada bukti ibu tetapi pengamatan
mengalami relaps atau ketat serologi bayi
reinfeksi bila si ibu titer serologi
nontreponema
menurun 4X lipat
sesudah terapi
adekuat untuk sifilis
dini atau tetap stabil
atau rendah pada sifilis
lanjut

- IBU pengobatan adekuat - Tidak perlu terapi - Tidak ada


sebelum hamil - Dapat diberikan terapi
- IBU titer serologi benzathine penicillin
nontreponema tetap G 50,000 units/kg/
rendah dan stabil, dosis IM sekali suntik,
sebelum dan selama terutama bila follow-up
kehamilan atau saat partus meragukan
(VDRL<1:2;RPR<1:4)

35

PEDOMAN PPIA.indd 35 7/4/14 8:41 AM


3.3 Pencegahan Penularan Infeksi di Fasilitas Kesehatan

3.3.1 Pencegahan Umum


Tindakan pencegahan umum adalah upaya penerapan prosedur standar untuk
pengendalian infeksi di sarana pelayanan kesehatan dengan fokus mengurangi
risiko infeksi pada petugas kesehatan, pasien dan masyarakat.
Prinsip utama Prosedur Kewaspadaan Standar pelayanan kesehatan adalah
memutus mata rantai transmisi infeksi. Kewaspadaan standar meliputi :
1. Kebersihan tangan
2. Pemakaian alat pelindung diri
3. Pengelolaan limbah dan benda tajam
4. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai
5. Pengelolaan lingkungan
6. Pengelolaan Linen
7. Penempatan pasien
8. Etika Batuk/ Kebersihan pernafasan
9. Praktek Penyuntikan yang aman
10. Praktek Pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal punksi
11. Perlindungan dan kesehatan karyawan
3.3.2 Tatalaksana Pasca Pajanan
Risiko terpajan infeksi HIV melalui tusukan jarum atau cara lainnya dapat terjadi
pada lingkungan dengan sarana pencegahan terbatas dan angka pajanan infeksi
HIV cukup tinggi. Tatalaksana pasca pajanan dan ketersediaan profilaksis pasca
pajanan (PPP) dapat mengurangi risiko penularan HIV di tempat kerja pada petugas
kesehatan dan dapat meningkatkan motivasi petugas kesehatan untuk bekerja
dengan orang yang terinfeksi HIV.
Pertolongan Pertama Pasca Pajanan
Tujuan pertolongan pertama ini adalah untuk mengurangi waktu kontak dengan
darah, cairan tubuh dari sumber pajanan dan untuk membersihkan dan dekontaminasi
tempat pajanan.
Jika terjadi luka pada kulit setelah pajanan dengan jarum atau benda tajam,
dianjurkan untuk mengikuti petunjuk berikut:
i. Jangan memijat, memencet atau menggosok daerah luka.
ii. Cuci segera dengan sabun atau larutan disinfektan ringan yang tidak mengiritasi
kulit, yaitu chlorhexidine gluconat.
iii. Jika tidak ada air yang mengalir, bersihkan daerah luka dengan gel atau larutan
pembersih tangan lainnya.
iv. Jangan menggunakan larutan disinfektan yang sangat kuat, seperti iodium,
untuk membersihkan daerah luka karena dapat mengiritasi dan memperburuk
daerah luka.
Jika terkena percikan darah atau cairan tubuh, dianjurkan untuk mengikuti petunjuk
berikut.
i. Jika percikan mengenai kulit yang utuh:
• cucilah segera daerah yang terpajan dengan air mengalir;
• jika tidak ada air yang mengalir, bersihkan daerah tersebut dengan gel atau

36

PEDOMAN PPIA.indd 36 7/4/14 8:41 AM


larutan pembersih tangan lainnya;
• jangan menggunakan larutan disinfektan yang sangat kuat.
ii. Jika percikan tersebut mengenai mata, lakukan hal sebagai berikut:
• basuhlah mata yang terpajan dengan air mengalir (irigasi), dengan posisi
kepala miring kearah mata yang terpercik;
• jika orang yang terpajan menggunakan lensa kontak, mintalah ia
melepaskannya sebelum membasuh mata;
• jangan menggunakan sabun atau disinfektan di mata.
iii. Jika percikan tersebut mengenai mulut, lakukan hal sebagai berikut:
• buang (ludahkan) cairan di mulut dengan segera dan kumur-kumur dengan
menggunakan air atau larutan garam faali, dan buang kembali. Ulangi
tindakan ini beberapa kali;
• jangan menggunakan sabun atau desinfektan di mulut.
Setelah melakukan pertolongan pertama, orang terpajan harus melaporkan
kejadian tersebut kepada petugas yang berwenang, yaitu atasan langsung, Komite
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) atau Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3.) Laporan tersebut sangat penting untuk menentukan langkah berikutnya.

Langkah Dasar Tatalaksana Klinis PPP HIV


Langkah-langkah tatalaksana klinis PPP HIV meliputi: i) penetapan pemenuhan syarat
untuk PPP HIV; ii) konseling dan penyerahan surat persetujuan (informed consent);
iii) pemberian obat-obatan untuk PPP HIV; iv) evaluasi laboratorium; v) pencatatan; vi)
tindak-lanjut dan dukungan.
Penetapan Pemenuhan Syarat untuk PPP HIV
Evaluasi pemenuhan syarat untuk PPP HIV meliputi penilaian berikut.
i) Waktu terpajan: PPP harus diberikan secepat mungkin setelah pajanan, dalam
4 jam pertama dan tidak boleh lebih dari 72 jam setelah terpajan.
ii) Status HIV orang terpajan: bila orang yang terpajan sudah terinfeksi HIV,
maka PPP tidak boleh diberikan walaupun konseling tentang cara mencegah
penularan lebih lanjut tetap diberikan.
iii) Jenis dan risiko pajanan (KP) : pajanan harus dikaji lebih rinci untuk menentukan
risiko penularan, misalnya pajanan pada membran mukosa (melalui pajanan
seksual atau percikan ke mata, hidung atau rongga mulut), atau kulit yang tidak
utuh (melalui tusukan perkutaneus atau abrasi kulit) terhadap cairan tubuh
yang potensial infeksius dari sumber terinfeksi HIV atau yang tidak diketahui
statusnya dalam menentukan pemberian PPP HIV. Algoritma penilaian risiko
dapat digunakan untuk membantu proses penentuan pemenuhan syarat.
iv) Status HIV sumber pajanan (KS).

Pemberian Obat-obatan untuk PPP


Obat ARV untuk PPP diberikan selama 28 hari. Efek samping yang paling sering
dilaporkan adalah mual dan lelah. Karena itu, selain obat ARV diberikan juga obat
yang dapat meringankan efek samping, misalnya obat untuk mengurangi mual dan
sakit kepala (jika diberikan zidovudin). Untuk mengurangi efek samping, penderita
dianjurkan untuk meminum obat bersama makanan.

37

PEDOMAN PPIA.indd 37 7/4/14 8:41 AM


Tabel 11. Rekomendasi PPP HIV Berdasarkan Jenis Pajanan
Jenis Sumber pajanan HIV positif Sumber pajanan tidak
pajanan diketahui status HIVnya
Per Tawarkan paduan 2-obat ARVb Pertimbangkan prevalensi
kutaneus: populasi atau subkelompok
Lebih berata
Per Tawarkan paduan 2-obat ARVb Jangan tawarkan PPP
kutaneus:
Kurang
beratc
Seksual Tawarkan paduan 2-obat ARVb Pertimbangkan prevalensi
populasi atau sub kelompok
Percikand: Tawarkan paduan 2-obat ARVb Pertimbangkan prevalensi
Lebih berate populasi atau subkelompok
Percikan: PPP tidak dianjurkan, tetapi Jangan tawarkan PPP
Kurang beratf paduan 2-obat ARV dapat diberikan
berdasarkan permintaan

Keterangan:
Status HIV negatif: Jangan tawarkan PPP jika tidak ada risiko bahwa sumber pajanan
berada dalam periode jendela. Periode jendela adalah periode dimana orang yang baru
terinfeksi HIV tidak cukup menghasilkan antibodi HIV untuk memberikan hasilpositif
pada kebanyakan tes HIV yang standar. Sehingga tes HIV yang dilakukan pada periode
tersebut memberikan hasil negatif, tetapi pada saat itu virus berkembang di dalam tubuh
dan dapat ditularkan kepada orang lain. Untuk HIV, periode jendela berlangsung kurang
lebih 22 hari.
a. Meliputi lesi akibat jarum berlubang besar, tusukan yang dalam dan kontak
dengan darah yang kelihatan pada alat tersebut atau jarum yang digunakan
di arteri atau vena.
b. Jika sumber pajanan HIV positif telah diketahui atau diduga resisten terhadap
terapi antiretroviral zatau jika prevalensi resistensi ARV di masyarakat lebih
dari 15%, paduan 3-obat (2 NRTI ditambah 1 PI) harus ditawarkan. (Perlu
diketahui, sampai saat ini prevalensi resistensi ARV di masyarakat di
Indonesia masih <5%)
c. Meliputi lesi dengan jarum berlubang kecil atau jarum padat dan lesi
superfisial.
d. Meliputi pajanan pada membran mukosa non-genital atau kulit yang tidak
utuh.
e. Meliputi pajanan terhadap darah atau semen yang berjumlah banyak.
f. Meliputi pajanan terhadap sedikit darah atau semen atau cairan yang kurang
infeksius (seperti cairan serebrospinal)

38

PEDOMAN PPIA.indd 38 7/4/14 8:41 AM


Paduan 2-obat ARV yang dianjurkan untuk Profilaksis Pasca Pajanan HIV :
Tenofovir (TDF) + lamivudine (emtricitabine) (3TC/FTC) atau
Zidovudine (AZT) + lamivudine (3TC)
Dosis : TDF : 1 x sehari 1 tablet @300mg
FTC : 1 x sehari 1 tablet @200mg
AZT : 2 x sehari 1 tablet @300mg
3TC : 2 x sehari 1 tablet @150mg
Jika menggunakan paduan 3-obat ARV, maka ditambahkan Lopinavir/ritonavir
(LPV/r)
Dosis LPV/r: 2 x sehari 2 tablet @200mg/50mg

Konseling untuk PPP HIV

Orang yang terpajan harus mendapat konseling tentang aspek spesifik PPP,
idealnya pada saat mereka melaporkan kejadian pajanan. Konseling harus meliputi
informasi tentang pentingnya kepatuhan dalam pengobatan dan kemungkinan efek
samping serta nasehat tentang risiko penularan. Orang yang sudah menerima
informasi tentang PPP – syarat, risiko dan manfaat – akan dapat memberikan
surat persetujuan (lihat Lampiran 13).

Evaluasi Laboratorium

Pemeriksaan tes HIV dengan tes cepat– yang memberikan hasil dalam 1 jam –
merupakan pilihan utama baik untuk orang terpajan maupun sumber pajanan. Tes
HIV RNA (viral load) biasanya memberikan hasil prediksi positif (positive predictive
value) yang buruk, terutama pada orang yang asimtomatis dan baru terpajan, karena
itu tes tersebut tidak digunakan pada PPP HIV.

Pencatatan

Setiap layanan PPP harus didokumentasikan dengan menggunakan pencatatan


standar (Lampiran 7). Di tingkat pelayanan, dicatat antara lain kapan dan bagaimana
terjadinya pajanan, serta identifikasi keselamatan dan kemungkinan tindakan
pencegahan. Sangatlah penting untuk menjaga kerahasiaan data klien.

Follow-up dan Dukungan

Tes HIV berikutnya bagi orang terpajan dilakukan 4-6 minggu setelah pajanan, tetapi
pada umumnya belum cukup waktu untuk mendiagnosis serokonversi. Dengan
demikian dianjurkan untuk melakukan tes HIV 3-6 bulan setelah pajanan.

39

PEDOMAN PPIA.indd 39 7/4/14 8:41 AM


BAB IV. JEJARING, ALUR PELAYANAN, PERAN DAN SISTEM RUJUKAN
PPIA DAN SIFILIS

Seperti halnya layanan kesehatan lain, layanan PPIA dan sifilis pada layanan
antenatal merupakan bagian dari layanan komprehensif dan berkesinambungan
(LKB).

4.1 Peran Tiap Pihak Dalam Jejaring Pelayanan

Di fasilitas pelayanan kesehatan, pelayanan PPIA dan pencegahan sifilis kongenital


dijalankan oleh rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu, polindes/posyandes,
bidan desa serta bidan praktek mandiri (lihat Tabel 12). Di tingkat masyarakat,
pelayanan PPIA dijalankan oleh keluarga terdekat, kelompok dukungan sebaya
(KDS) ODHA, kader kesehatan, organisasi masyarakat ataupun lembaga swadaya
masyarakat (LSM), dengan dukungan pemerintah setempat ataupun swasta.

Rumah Sakit Rujukan ODHA

Sesuai dengan SK Menteri Kesehatan No. 451/XII/2012 sudah terdaftar sebanyak


358 rumah sakit (RS) rujukan ODHA, yaitu RS yang sudah ditunjuk sebagai RS
pemberi layanan ARV. RS yang telah ditetapkan sebagai RS rujukan ODHA wajib
memberikan pelayanan kesehatan komprehensif bagi ODHA di rumah sakit berupa
pelayanan perawatan, dukungan dan pengobatan termasuk di dalamnya: VCT,
ARV, PPIA, perawatan terhadap infeksi oportunistik dan pelayanan penunjang. RS
yang belum ditetapkan sebagai RS rujukan ODHA dilarang menolak pengobatan
dan perawatan ODHA. Dalam hal RS tidak mampu memberikan pengobatan dan
perawatan, ODHA dirujuk ke RS lain yang mampu. Pengobatan ARV dimulai di
rumah sakit dan dapat dilanjutkan di puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya.

Puskesmas

Puskesmas dikelompokkan dalam beberapa tingkat sesuai dengan kemampuan


tenaga dan kelengkapan sarana/prasarana sebagai berikut. Font diseragamkan
• Puskesmas Tipe 1: mampu melakukan promosi, komunikasi, informasi dan
edukasi terintegrasi pada layanan yang ada di puskesmas untuk HIV dan
mampu memberikan layanan IMS.
• Puskesmas Tipe 2: mampu melakukan promosi, KIE, upaya preventif HIV dan
IMS, serta mampu melakukan tes HIV dan membangun jejaring dengan layanan
PDP untuk akses perawatan.
• Puskesmas Tipe 3 dengan perawatan: mampu melakukan pelayanan seperti
pada Tipe 2 dan mampu memulai atau melanjutkan pengobatan HIV, serta
memiliki jejaring dengan rumah sakit rujukan ARV.
Layanan Satelit ARV

Layanan satelit ARV adalah layanan yang diadakan atas dasar kebutuhan ODHA
agar dapat menggunakan layanan ARV di tempat yang dekat dengan tempat
tinggalnya. Hal ini akan mengurangi beban ODHA dalam masa pengobatan. Layanan
satelit ARV terdiri atas RS pemerintah, RS swasta, puskesmas maupun klinik yang

40

PEDOMAN PPIA.indd 40 7/4/14 8:41 AM


merupakan jejaring dari RS rujukan ODHA. ODHA dapat melakukan pengambilan
ARV di layanan satelit setelah memulai pengobatan di RS rujukan. Pasien terlebih
dahulu dinilai dalam hal kepatuhan minum obat dan adanya kemungkinan reaksi
pengobatan yang disebabkan pemakaian ARV pada awal pengobatan.

RS rujukan ODHA dan fasyankes yang mempunyai kemampuan setara dapat


melakukan semua jenis pelayanan, seperti diuraikan dalam aktivitas 1-10 pada Tabel
12. Puskesmas Tipe 2 dan 3 diharapkan mampu memberikan layanan satelit dalam
jejaring pelayanan PPIA, dalam arti dapat melakukan semua aktifitas sesuai dengan
tingkatnya, tes HIV dan sifilis, serta mampu melanjutkan pemberian ARV dan terapi
sifilis dengan dukungan RS rujukan. Puskesmas Tipe 1 berperan sebagai satelit
yang belum mampu melakukan tes HIV dan sifilis, sehingga perannya lebih ke arah
edukasi, konseling, layanan KIA dasar, layanan terkait IMS dan rujukan.

Ketiga tipe puskesmas dan fasyankes yang berada dalam bimbingannya, seperti
pustu dan polindes, berperan dalam menemukan secara dini ibu hamil berisiko yang
mengidap HIV, sifilis dan IMS lainnya, sehingga mampu menganjurkan mereka
untuk melakukan tes HIV dan sifilis di samping pemeriksaan laboratorium rutin
lainnya. Bagi fasyankes yang mempunyai kemampuan terbatas, tes HIV dan sifilis
dapat dilakukan di fasyankes terdekat yang mampu melakukannya melalui rujukan
kasus. Kader kesehatan dan masyarakat dapat berperan sebagai pendukung upaya
pemerintah dalam upaya PPIA dan pencegahan sifilis kongenital.

41

PEDOMAN PPIA.indd 41 7/4/14 8:41 AM


Tabel 12. Peran Setiap Pihak pada Aktivitas PPIA dan Pencegahan Sifilis
Kongenital
Keluarga
Kader
BPM/Pustu/ terdekat,
Rumah Puskesmas/ kesehatan,
No Aktifitas Polindes/ kelompok
sakit klinik ormas dan
Poskesdes dukungan
LSM
sebaya (KDS)
1 KIE V V V V V
2 a. a. Konseling V V V Memobilisasi ibu hamil untuk KTS
pra dan di fasilitas kesehatan atau mobile-
pasca tes HIV V V - KTS
dan sifilis
b. b. Tes HIV
dan sifilis
Bila tak Rujuk
mampu,
rujuk
3 Layanan Keluarga V V V Edukasi Edukasi
Berencana
4 Persiapan V V V - Mengajak - Kegiatan
kehamilan pasangan penyuluhan
5 Layanan antenatal       ibu hamil PPIA;
untuk pendampingan
· Pemberian ARV V V - terlibat aktif ibu hamil
dan terapi sifilis selama dengan HIV
    Bila tak Rujuk masa - Perawatan
mampu, dan bantu kehamilan, berbasis
rujuk pemantauan persalinan rumah
· Infeksi Edukasi, Edukasi, Edukasi, dan nifas (keluarga)
oportunistik diagnosis diagnosis deteksi - Perawatan
pada infeksi HIV dan tata dan tata dini dan berbasis
(IMS, malaria, laksana laksana pemantauan masyarakat
tuberkulosis)
6 Persalinan aman      
· Perencanaan V V V
dan konseling

· Per vaginam V V V
· Bedah sesar V - -
7 Pemberian V V V Edukasi pada ibu dan keluarga
makanan bayi serta pendampingan pemberian
pada ibu dengan makanan bayi
HIV
8 Dukungan medis V V V - Dampingan (kunjungan rumah,
lanjutan pada Pemantauan bantuan ekonomi)
masa nifas tata laksana - Mengaktifkan support group
lanjutan perempuan HIV

9 Dukungan V V V Menjadi teman/sahabat,


psikososial menghilangkan stigma dan
diskriminasi
10 Catatan khusus PKMRS, Dukungan Penilaian - Layanan rujukan ke puskesmas
kunjungan terintegrasi perilaku atau RS untuk diagnosis, tata
rumah, KIA/KB dan terhadap ibu laksana dan dukungan medis
edukasi menerima hamil yang lanjutan
masyarakat rujukan LSM/ berkunjung - Pelatihan kader masyarakat
KDS tentang PPIA

42

PEDOMAN PPIA.indd 42 7/4/14 8:41 AM


4.2 Sistem Rujukan

Sistem rujukan PPIA dan sifilis mengikuti tata rujukan yang berlaku vertikal dan
horisontal menurut alur rujukan timbal-balik dari masyarakat ke fasilitas layanan
kesehatan primer, sekunder, tersier dan sebaliknya (Bagan 10). Rumah sakit di tingkat
kabupaten/kota menjadi pusat rujukan layanan komprehensif berkesinambungan
(LKB). Pusat rujukan LKB didorong untuk membangun koordinasi dan kolaborasi dari
berbagai pihak yang berkepentingan, termasuk pelayanan klinik, komunitas ODHA
dan keluarganya.

Bagan 10. Alur rujukan vertikal dan horisontal timbal-balik

RS  rujukan  sekunder  (Pusat/  


Provinsi):  Tatalaksana kasus
komplikasi dan layanan sub
spesialistik

RS  rujukan  pertama  (Pusat  


LKB):   Layanan
komprehensif dan fungsi
koordinasi

Puskesmas  ,  RS  pratama,  RS  


kelas  D

Bidan desa/bidan praktek


mandiri/pustu/polindes/
poskesdes
Bidan desa/bidan praktek mandiri/pustu/polindes/poskesdes dapat melakukan
rujukan ke puskesmas atau langsung ke rumah sakit kabupaten/kota dalam keadaan
emergensi. Sebaliknya, mereka dapat menerima rujukan balik dari puskesmas/
rumah sakit untuk membantu melakukan pemantauan kepatuhan minum obat ARV
dan layanan konseling terkait PPIA dan sifilis.

Puskesmas, rumah sakit pratama dan rumah sakit kelas D dapat melakukan rujukan
ke rumah sakit kabupaten/kota atau langsung ke rumah sakit propinsi dalam
keadaan emergensi. Rumah sakit rujukan tingkat kabupaten/kota dan propinsi
wajib melakukan komunikasi dan rujukan kembali ke puskesmas dan jaringannya
untuk tatalaksana kasus secara komprehensif berkelanjutan.

43

PEDOMAN PPIA.indd 43 7/4/14 8:41 AM


Rumah sakit kabupaten/kota dapat melakukan rujukan ke rumah sakit Propinsi.
Rumah sakit rujukan tingkat propinsi wajib melakukan komunikasi dan rujukan
kembali ke rumah sakit kabupaten/kota untuk tatalaksana kasus secara komprehensif
berkelanjutan.

44

PEDOMAN PPIA.indd 44 7/4/14 8:41 AM


BAB V. PENCATATAN DAN PELAPORAN

Dalam melakukan pencatatan dan pelaporan, diupayakan untuk menggunakan formulir


yang telah yang telah tersedia. Pencatatan dan pelaporan PPIA dan sifilis dilaksanakan
secara berjenjang ke layanan strata di atasnya, sebagai berikut (lihat Bagan 10).
Hasil layanan PPIA dan sifilis pada ibu hamil di unit pelayanan kesehatan dicatat pada
Kartu Ibu dan Kohort Ibu, formulir Registrasi layanan IMS, formulir registrasi layanan
TIPK dan formulir registrasi layanan PPIA ( lihat lampiran 6-9 dan lampiran 11-12 )
PENCATATAN
1. Pencatatan di Tingkat Puskesmas :
• Hasil pelayanan antenatal terpadu termasuk HIV dan sifilis di catat di kartu ibu.
• Formulir registrasi layanan TIPK di isi oleh pemberi layanan
• Formulir resitrasi layanan IMS diisi oleh pemberi layanan
• Formulir registrasi layanan PPIA hanya diisi bila ibu hamil positif HIV.
Pengelola IMS/petugas yang di tunjuk akan mengisi formulir registrasi
layanan PPIA dengan memindahkan data hasil pelayanan dari kartu ibu.
Data layanan bayi yang lahir dari ibu HIV di formulir registrasi layanan PPIA
diisi oleh petugas pemberi layanan (RS /Puskesmas)
2. Pencatatan di Tingkat Rumah Sakit
• Hasil pelayanan antenatal di catat rekam medis.
• formulir registrasi layanan TIPK diisi oleh pemberi layanan
• Formulir registrasi IMS diisi oleh pemberi layanan
• Formulir registrasi PPIA hanya diisi bila ibu hamil positif HIV. Pengelola PPIA
/ petugas yang ditunjuk akan mengisi formulir registrasi layanan PPIA dengan
memindahkan data hasil pelayanan dari rekam medis ibu. Data layanan bayi
yang lahir dari ibu HIV di formulir registrasi layanan PPIA diisi oleh petugas
pemberi layanan
3. Pencatatan di fasilitas pelayanan kesehatan mandiri di sesuaikan dengan strata
fasyankes tersebut (RS/Puskesmas)
PELAPORAN
1. Pelaporan Tingkat Puskesmas
• Bidan/petugas KIA di polindes/poskesdes, pustu/kelurahan dan bidan
praktek mandiri /klinik swasta akan melaporkan hasil pelayanan antenatal
terpadu ke bidan koordinator Puskesmas . Bidan koordinator Puskesmas
akan merekapitulasi data dan melaporkan hasil pelayanan ANC terpadu
melalui format yang tersedia (F1-F6) . Bidan koordinator akan berbagi data
dengan Pengelola program IMS/P2/Petugas yang ditunjuk
• Pengelola program IMS/P2/Petugas yang ditunjuk akan merekapitulasi
data layanan HIV dan sifilis pada ibu hamil yang berasal dari formulir
registrasi layanan IMS, formulir regitrasi layanan TIPK, formulir registrasi
layanan PPIA dan melakukan input data ke dalam format pelaporan yang
sudah tersedia /aplikasi SIHA (Sistem Informasi HIV dan AIDS)
2. Pelaporan Tingkat Kabupaten/Kota:
• Pengelola program IMS/P2/Petugas yang ditunjuk akan merekapitulasi
data layanan HIV dan Sifilis pada ibu hamil dari fasyankes di seluruh wilayah
kabupaten/kota dan melakukan input data ke dalam format pelaporan yang

45

PEDOMAN PPIA.indd 45 7/4/14 8:41 AM


sudah tersedia/aplikasi SIHA dan membagi data dengan pengelola KIA.
• Pengelola KIA akan merekapitulasi hasil pelayanan ANC terpadu di seluruh
wilayah Kabupaten/Kota dan melakukan input data melalui melalui format
yang telah tersedia (F1-F6)
3. Pelaporan Tingkat Provinsi:
• Pengelola program IMS/P2/Petugas yang ditunjuk akan merekapitulasi
laporan data layanan HIV dan Sifilis pada ibu hamil dari seluruh wilayah
kabupaten/kota dan melakukan input data ke dalam format pelaporan yang
sudah tersedia/aplikasi SIHA dan membagi data dengan pengelola KIA.
• Pengelola KIA akan merekapitulasi hasil pelayanan ANC terpadu dari
seluruh wilayah Kabupaten/Kota dan melakukan input data melalui melalui
format yang telah tersedia (F1-F6).
Pelaporan hasil pelayanan PPIA dan sifilis dilakukan setiap bulan, dengan ketentuan:
• dari puskesmas ke kabupaten/kota paling lambat tanggal 5.
• dari kabupaten/kota ke provinsi paling lambat tanggal 10.
• dari provinsi ke pusat paling lambat tanggal 15.
Bagan 11. Alur Pelaporan
Ditjen P2 PL cq Ditjen Bina Gizi
Direktur P2M dan dan KIA cq Dit
Ditjen BUK cq Dit Bina Kesehatan
BUK Rujukan Ibu
F1-F6

Pengelola Program
Rumah
Rumah Pengelola Program
KIA Provinsi
sakitprov
sakit IMS/P2 Provinsi
prov
SIHA
Alur pelaporan F1-F6

RS Pengelola Program Pengelola Program


Kabupat IMS/P2 Kab/Kota KIA Kab/Kota
en/Kota
SIHA
F1,F6
Koordinasi
SIHA
Pengelola Program Bidan
Bidan
IMS/P2 Puskesmas Koordinator
Koordinator
Berbagi data: Puskesmas
Puskesmas
Data bumil, bumil HIV dan sifilis,
bayi HIV dan sifilis

BPS/Klinik Bidan Bidan Poli KIA


Swasta Pustu/kelurahan Polindes/Poskesd Puskesmas
es

46

PEDOMAN PPIA.indd 46 7/4/14 8:41 AM


Indikator Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke anak yang harus dilaporkan
adalah sebagai berikut:
1. % ibu hamil yang datang ke pelayanan antenatal (K1)
adalah jumlah ibu hamil yang pertama kali mendapat pelayanan antenatal
oleh tenaga kesehatan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu dibagi
dengan jumlah sasaran ibu hamil di suatu wilayah kerja dalam satu tahun kali
100%
2. % ibu hamil dengan riwayat tes HIV positif
adalah jumlah ibu hamil dengan riwayat tes HIV positif yang datang ke pelayanan
antenatal dibagi dengan jumlah ibu hamil yang datang ke ANC (K1) kali 100%
3. % ibu hamil yang ditawarkan tes HIV
adalah jumlah ibu hamil yang datang pada saat kunjungan antenatal sampai
menjelang persalinan yang ditawarkan pemeriksaan HIV dibagi dengan jumlah
ibu hamil yang datang ke ANC kali 100%
4. % ibu hamil dilakukan tes HIV
Adalah jumlah ibu hamil yang dites HIV dibagi dengan jumlah ibu hamil yang
ditawarkan tes HIV kali 100%
5. % ibu hamil dengan hasil tes HIV positif
Adalah jumlah ibu hamil dengan hasil tes positif HIV dibagi dengan jumlah ibu
hamil yang diperiksa HIV kali 100%
6. % ibu hamil dengan hasil tes HIV positif mendapatkan ART
Adalah jumlah ibu hamil positif HIV mendapatkan ARV dibagi dengan jumlah ibu
hamil yang HIV positif kali 100%
7. % ibu HIV bersalin secara pervaginam
Adalah jumlah ibu hamil HIV yang bersalin secara pervaginam ditolong oleh
tenaga kesehatan dibagi dengan jumlah ibu hamil HIV kali 100%.
8. % ibu HIV bersalin secara per abdominam
Adalah jumlah ibu hamil HIV yang bersalin secara per abdominam ditolong oleh
tenaga kesehatan di bagi dengan jumlah ibu hamil HIV kali 100%.
9. % bayi yang diberikan ARV profilaksis
jumlah bayi yang lahir dari ibu dengan HIV mendapatkan ARV profilaksis dibagi
dengan jumlah bayi lahir hidup dari ibu dengan HIV kali 100%
10. % bayi yang diberikan kotrimoksasol profilaksis
adalah jumlah bayi yang lahir dari ibu dengan HIV mendapatkan Cotrimoxazol
profilaksis dibagi dengan jumlah bayi lahir hidup dari ibu dengan HIV kali 100%
11. % pasangan ibu hamil dengan HIV positif yang dites HIV
adalah jumlah pasangan ibu hamil dengan HIV yang diberi konseling dan tes
HIV dibagi dengan jumlah ibu hamil dengan HIV kali 100%
12. % bayi dengan HIV Positif (PCR)
Adalah bayi yang lahir dari ibu dengan HIV yang di tes HIV dengan metode
PCR dengan hasil tes HIV positif dibagi dengan jumlah bayi lahir hidup dari ibu
dengan HIV positif kali 100%
13. % anak dengan HIV positif (18 bulan)
Adalah jumlah anak yang di tes HIV dengan rapid test (setelah usia 18 bulan)
dengan hasil tes HIV positif dibagi dengan jumlah bayi lahir hidup dari ibu
dengan HIV positif kali 100%

47

PEDOMAN PPIA.indd 47 7/4/14 8:41 AM


Indikator Pencegahan Penularan Sifilis dari Ibu ke Anak yang harus dilaporkan
adalah sebagai berikut:
1. % Ibu hamil yang ditawarkan tes Sifilis
adalah jumlah ibu hamil yang datang pada saat kunjungan antenatal sampai
menjelang persalinan yang ditawarkan pemeriksaan sifilis dengan jumlah
ibu hamil yang datang ke ANC kali 100%
2. % ibu hamil dilakukan tes sifilis
adalah jumlah ibu hamil yang di tes sifilis dibagi dengan jumlah ibu hamil
yang ditawarkan tes sifilis kali 100%
3. % ibu hamil dengan tes sifilis positif
adalah jumlah ibu hamil dengan hasil tes sifilis positif dibagi dengan jumlah
ibu hamil yang di tes sifilis kali 100%
4. % ibu hamil dengan tes sifilis positif yang diobati
Adalah jumlah ibu hamil sifilis positif yang mendapatkan pengobatan dibagi
dengan jumlah ibu hamil sifilis positif kali 100%
5. % anak dengan dengan kongenital sifilis
Adalah jumlah anak yang lahir dari ibu sifilis positif yang menderita sifilis
kongenital dibagi dengan jumlah bayi lahir hidup dari ibu sifilis kali 100%
6. % pasangan ibu hamil dengan sifilis positif yang diobati
Adalah jumlah pasangan ibu hamil dengan sifilis positif yang diberi konseling
dan tes sifilis dibagi dengan jumlah ibu hamil dengan sifilis kali 100%

48

PEDOMAN PPIA.indd 48 7/4/14 8:41 AM


Daftar Pustaka

1. Dewan Pertimbangan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indoensia. Panduan etika


dan profesi obstetri dan ginekologi di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia, 2011.
2. Departemen Kesehatan RI, Direktrorak Bina Pelayanan Medik. Keputusan Menteri
Kesehatan RI. No. 241/Menkes/SK/IV/2006. Standar pelayanan laboratorium kesehatan
pemeriksa HIV dan infeksi oportunis. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2006.
3. WHO. The Global Elimination of congenital syphilis Rationale and Strategy For Action.
Genewa : WHO, 2007
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia-WHO. Pedoman eliminasi sifilis kongenital
melalui skrining pada ibu hamil. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2009.
5. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Kementerian
Kesehatan RI. Pedoman Nasional Manajemen Program HIV dan AIDS. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI, 2010
6. Kementerian Kesehatan RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial.
Pedoman teknis pelayanan kesehatan dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2010.
7. Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Bina Kesehatan Masyarakat. Pedoman pelayanan
antenatal terpadu. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2010.
8. Kementerian Kesehatan RI-Ikatan Dokter Anak Indonesia-WHO. Buku saku. Pelayanan
kesehatan anak di rumah sakit. Pedoman bagi rumah sakit rujukan tingkat pertama di
kabupaten/kota. Jakarta: WHO, Indonesia, 2008.
9. Kementerian Kesehatan RI. Modul pelatihan kelas dokter. Pencegahan penularan HIV dari
ibu ke anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2011.
10. Kementerian Kesehatan RI. Modul Pelatihan. Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja
(PKPR) bagi tenaga kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2011
11. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2011
12. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman penerapan layanan komprehensif HIV-IMS
berkesinambungan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2012.
13. Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk teknis pengisian form manual pencatatan program
pengendalian HIV/AIDS dan IMS. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2012
14. Kementerian Kesehatan RI. Tes HIV dan konseling atas inisiasi petugas kesehatan.
Pelatihan bagi petugas kesehatan. Pedoman penerapan. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI, 2011.
15. WHO. Guidelines on HIV and infant feeding 2010. Principles and recommedations for
infant feeding in the context of HIV and a summary of evidence. Geneva: WHO, 2010
16. WHO Regional Office for South-east Asia. Management of sexually transmitted infections.
Regional guidelines. New Delhi: WHO SEARO, 2011.
17. WHO-Unicef. Infant and young child feeding counselling: an integrated course. Geneva:
WHO, 2006.
18. WHO. Antiretroviral therapy for HIV infection in infants and children: towards universal
access. Recommendation for a public health approach, 2010 revision. Geneva: WHO,
2010.
19. WHO. Antiretroviral drugs for treating pregnant women and preventing HIV infection in
infants. Recommendation for a public health approcah, 2010 revision. Geneva: WHO, 2010.
20. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Tata Laksana Sifilis untuk Pengendalian Sifilis di
Puskesmas. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2013.
21. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Bina Pelayanan Medik. Keputusan Menteri
Kesehatan RI. No. 369/Menkes/SK/III/2007. Standar Profesi Bidan. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI, 2007.

49

PEDOMAN PPIA.indd 49 7/4/14 8:41 AM


22. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Bina Pelayanan Medik. Peraturan Menteri Kesehatan
RI. No. 2052/Menkes/Per/X/2011. Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI, 2011.
23. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Bina Pelayanan Medik. Peraturan Menteri
Kesehatan RI. No. 269/Menkes/Per/III/2008. Rekam Medis. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI, 2008.
24. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Bina Pelayanan Medik. Peraturan Menteri
Kesehatan RI. No. 290/Menkes/Per/III/2008. Persetujuan Tindakan kedokteran. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI, 2008
25. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Bina Pelayanan Medik. Peraturan Menteri
Kesehatan RI. No. 1464/Menkes/Per/X/2010. Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2010.
26. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Bina Pelayanan Medik. Peraturan Menteri
Kesehatan RI. No. HK.02.02/Menkes/148/I/2010. Izin dan Penyelenggaraan Praktik
Perawat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2010.
27. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Bina Pelayanan Medik. Peraturan Menteri
Kesehatan RI. No. 411/Menkes/Per/III/2010. Laboratorium Klinik. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI, 2010.
28. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Bina Pelayanan Medik. Peraturan Menteri
Kesehatan RI. No. 1438/Menkes/Per/X/2010. Standar Pelayanan Kedokteran. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI, 2010.
29. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Bina Pelayanan Medik. Peraturan Menteri
Kesehatan RI. No. 028/Menkes/Per/I/2011. Klinik. Jakarta: Departemen Kesehatan RI,
2011.
30. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Bina Pelayanan Medik. Peraturan Menteri
Kesehatan RI. No. 01 tahun 2012. Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2012.
31. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Bina Pelayanan Medik. Peraturan Menteri
Kesehatan RI. No. 36 tahun 2012. Rahasia Kedokteran. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI, 2012.
32. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Bina Pelayanan Medik. Peraturan Menteri
Kesehatan RI. No. 37 tahun 2012. Penyelenggaraan Laboratorium Pusat Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2012.
33. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Bina Pelayanan Medik. Peraturan Menteri
Kesehatan RI. No. 21 tahun 2013. Penanggulanagn HIV dan AIDS. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI, 2013.
34. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Bina Pelayanan Medik. Keputusan Menteri
Kesehatan RI. No. 1190/Menkes/SK/X/2004. Pemberian Gratis Obat Ainti Tuberkulosis
(OAT) dan Obat Anti Retro Viral (ARV) untuk HIV/AIDS. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI, 2004.
35. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Bina Pelayanan Medik. Keputusan Menteri
Kesehatan RI. No. 296/Menkes/SK/III/2004. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2004.
36. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Bina Gizi dan KIA. Surat Edaran Menteri Kesehatan
No. GK/Menkes/001/I/ 2013. Layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak,
Jakarta: Kementerian Kesehatan, 2013
37. Departemen Kesehatan RI, Buku Pedoman HIV pada Anak. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI, 2013

50

PEDOMAN PPIA.indd 50 7/4/14 8:41 AM


Lampiran 1. TES HIV ATAS INISIATIF PETUGAS KESEHATAN DAN KONSELING (TIPK)

51

PEDOMAN PPIA.indd 51 7/4/14 8:41 AM


Prinsip tes HIV dan Konseling dalam PPIA

1. Rahasia/konfidensialitas (Permenkes 269, Tahun 2008 tentang Rekam


Medis).
• Semua informasi pasien tercatat dalam rekam medis, disimpan secara
rahasia demi kepentingan pasien sesuai dengan ketentuan.
• Informasi hanya dibagi dengan petugas kesehatan medis dan non-medis
yang terlibat langsung menangani dan hanya atas dasar kepentingan medis
serta tidak untuk diperbincangkan secara luas.
• Semua catatan medis disimpan dalam tempat yang aman sesuai ketentuan.
• Isi catatan medis adalah milik pasien, sekalipun berkasnya milik fasilitas layanan
kesehatan, sehingga konfidensialitas merupakan hak pasien
2. Persetujuan setelah mendapat informasi (informed consent) – Permenkes
290, Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran dan Kepmenkes
241, Tahun 2006 tentang Standar Pelayanan Laboratorium HIV dan Infeksi
Oportunistik.
• Mendapatkan informasi medis adalah hak pasien.
• Informasi diberikan secara mudah dan sederhana, menjelaskan maksud,
keuntungan dan kerugian pemeriksaan penunjang diagnosis.
• Menegaskan pemahaman mengenai proses dan cara tes HIV yang sama
seperti pemeriksaan laboratorium darah lainnya dan demi kepentingan
pasien.
• Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
• Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan setelah pasien
mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran
dilakukan. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus
memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam
risiko tinggi dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
• Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau
keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan
kedokteran yang akan dilakukan. Penolakan tindakan kedokteran harus
dilakukan secara tertulis.
• Menghargai keputusan klien mengenai persetujuan pemeriksaan
laboratorium.
3. Konseling.
• Konseling adalah proses komunikasi petugas kesehatan dengan pasien
untuk menjelaskan pentingnya tes HIV, namun keputusan tetap ada pada
pasien.
• Konseling HIV dapat diberikan oleh semua tenaga kesehatan.
• Informasi sebelum tes bersifat informatif secara singkat dan sederhana
dapat dilakukan secara individu/pasangan/berkelompok.
• Konseling kepada ibu hamil setelah tes dapat bersifat individual atau
pasangan.
• Konseling untuk ibu hamil yang hasil tes-nya negatif (non-reaktif) dapat
dilakukan secara individu atau pasangan oleh semua tenaga kesehatan dan
bila perlu dirujuk kepada tim PDP (perawatan, dukungan dan pengobatan).
• Konseling untuk ibu hamil HIV yang hasilnya tesnya positif (reaktif) diberikan

52

PEDOMAN PPIA.indd 52 7/4/14 8:41 AM


oleh tenaga kesehatan yang menginisiasi atau bila perlu dirujuk kepada tim
PDP atau konselor.
4. Refereral.
Persyaratan penting lainya bagi penerapan TIPK adalah tersedianya rujukan
ke fasilitas layanan pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan bagi
pasien termasuk ibu hamil dengan HIV.
5. Pencatatan dan pelaporan.
Hasil pelayanan PPIA harus dicatat dan dilaporkan dengan menjamin
kerahasiaan.
Proses Pengambilan Darah untuk Pemeriksaan Laboratorium Termasuk Tes HIV
Hal ini diatur oleh Permenkes No 411, Tahun 2010 tentang Laboratorium Klinik,
Permenkes No 37 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Laboratorium Pusat
Kesehatan Masyarakat dan Permenkes No 21 tentang penanggulangan HIV dan
AIDS.
1. Pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium dilakukan sesuai dengan
standar profesional pengambilan darah.
2. Petugas laboratorium harus melakukan kaidah praktik laboratorium yang
benar, menjaga mutu pemeriksaan dan kerahasiaan pasien serta menghindari
kesalahan teknis/manusia/administratif.
3. Pemeriksaan darah dilakukan seperti tercantum dalam permintaan tertulis,
mengikuti strategi kebijakan nasional, termasuk untuk tes HIV untuk diagnosis.
4. Di fasilitas yang lengkap, hasil pemeriksaan termasuk tes HIV harus diverifikasi
oleh dokter patologi klinis, dokter terlatih atau dokter penanggung-jawab
laboratorium.
5. Pastikan seluruh hasil pemeriksaan laboratorium telah dilakukan dengan tepat,
dicatat dan didokumentasikan dengan baik dengan kesesuaian kode nomor
pengenal permintaan, sampel darah, jenis pemeriksaan yang dimintakan serta
hasil pemeriksaannya termasuk HIV dan IMS.
6. Seluruh hasil pemeriksaan laboratorium diberikan dalam amplop tertutup
(bersegel) kepada pasien/keluarganya untuk diserahkan kepada yang
memintakan pemeriksaan laboratorium tersebut, baik dokter, bidan, perawat
atau konselor fasyankes sesuai dengan ketentuan.
7. Tes HIV untuk diagnosis dilakukan oleh tenaga medis atau teknisi laboratorium
terlatih. Dalam hal tidak ada tenaga medis dan atau teknisi laboratorium bidan
atau perawat terlatih dapat melakukan tes HIV.
8. Bidan atau perawat terlatih yang dapat melakukan tes HIV seperti disebutkan
pada No 7, harus ditunjuk dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan
dengan rekomendasi dari Kepala Balai Laboratorium Kesehatan setempat.

53

PEDOMAN PPIA.indd 53 7/4/14 8:41 AM


Lampiran 2. KRITERIA PEMILIHAN JENIS TES HIV

Kriteria pemilihan jenis tes HIV sebagai berikut.


1. Reagensia yang dipilih untuk dipakai pada tiap strategi pemeriksaan didasarkan
pada sensitivitas dan spesifisitas tiap jenis reagensia.
2. Reagensia yang dipakai pada pemeriksaan pertama adalah reagensia yang
memiliki sensitivitas tertinggi, ≥ 99 %; sedangkan reagensia yang dipakai
pada pemeriksaan kedua memiliki spesifisitas ≥ 98% serta lebih tinggi dari
reagensia pertama; dan reagensia yang dipakai pada pemeriksaan ketiga
memiliki spesifisitas ≥ 99% serta lebih tinggi dari reagensia kedua.
3. Reagensia pertama, kedua dan ketiga yang dipakai pada strategi ini harus
memiliki asal antigen dan/atau prinsip tes yang berbeda.
4. Kombinasi yang dapat dipakai adalah kombinasi dengan jumlah hasil
pemeriksaan yang indeterminate (meragukan) atau tidak sesuai (discordant)
pada ketiga pemeriksaan ≥ 5 %.
5. Sensitivitas dan spesifisitas adalah hasil evaluasi Laboratorium Rujukan
Nasional. Reagen yang digunakan harus sudah teregistrasi di Ditjen Binfar dan
Alkes.
6. Tes mudah dilakukan, petugas laboratorium mampu menggunakan tes tersebut
dan kondisi infrastruktur memadai.
7. Tersedianya sampel yang akan dikerjakan, misalnya serum, plasma, whole
blood, dried blood spot (DBS), atau cairan tubuh lainnya.
8. Ketersediaan kontrol tes; bila ada kit yang menyediakan kontrol tes akan lebih
baik.
9. Jumlah tes dalam tiap kit.
10. Masa kadaluarsa tiap kit: masa kadaluarsa yang lebih panjang akan lebih dipilih
dibandingkan dengan masa kadaluarsa yang singkat.
11. Kemungkinan yang terjadi selama penyimpanan dan penanganan selama
pengiriman.
12. Ketersediaan sumber daya: perlu disesuaikan dengan ketersediaan biaya,
tempat penyimpanan dan waktu yang diperlukan sampai reagen diterima.
13. Waktu yang dibutuhkan dalam setiap tes: jika diperlukan hasil yang cepat dalam
pemeriksaan dan hanya sedikit sampel yang diperiksa, maka metode rapid test
menjadi pilihan, tetapi jika sampel yang diperiksa banyak, maka metode EIA
menjadi pilihan.

54

PEDOMAN PPIA.indd 54 7/4/14 8:41 AM


Lampiran 3. JENIS ANTIRETROVIRAL YANG TERSEDIA DI INDONESIA
Golongan Nama Singkatan Nama dagang Sediaan
generik
Nucleoside Zidovudin AZT, ZDV Retrovir, Zidovex, Kapsul/tablet 300 mg;
reverse Reviral kapsul 100 mg
transcriptase
inhibitor (NRTI) Lamivudin 3TC Epivir, Lamivox, Tablet 150 mg; larutan 10
Hiviral mg/ml; tablet 150 mg
Stavudin d4T Zerit, Stavex Kapsul 30 mg, 40 mg

Didanosin ddI Videx Tablet kunyah 100 mg


Non nucleoside Nevirapin NVP Viramune, Tablet 200 mg
reverse Nevirex
transcriptase Efavirens EFV Stocrin, Efavir Tablet 600 mg
inhibitor (NNRTI)
Protease inhibitor Nelfinavir NVF Viracept, Nelvex Tablet 250 mg
(PI)
Lopinavir/ LPV/r Alluvia, Kaletra Tablet: 200mg lopinavir, 50
ritonavir mg ritonavir

Saquinavir SQV Tablet 200 mg, 500 mg

Koformulasi AZT dan 3TC Combivir, AZT 300 mg + 3TC 150 mg


Zidovex-L, Duviral
AZT, 3TC Zidovex-LN • AZT 300 mg + 3TC 150
dan NVP mg + NVP 200 mg
Triviral • AZT 300 mg + 3TC 150
mg + NVP 200 mg

Beberapa sifat farmakologi ARV


Zidovudin (AZT, ZDV)
1. Cepat diserap sepenuhnya dengan diminum.
2. Dampak zidovudin pada prenatal dan neonatal masih dalam batas kewajaran.
3. Terjadi anemia ringan, namun biasanya sembuh ketika pengobatan selesai.
4. Dapat diminum dengan atau tanpa makan terlebih dahulu.
Nevirapin (NVP)
1. Cepat diserap sepenuhnya dengan diminum dan dapat melewati sawar plasenta
dengan cepat.
2. Paruh umur yang panjang menguntungkan sang bayi.
3. Dapat diminum dengan atau tanpa makan terlebih dahulu.
Lamivudin (3TC)
1. Cepat diserap sepenuhnya dengan diminum.
2. Dapat diminum dengan obat lainnya yang mengobati gejala yang mirip dengan
HIV.
3. Dapat diminum dengan atau tanpa makan terlebih dahulu.

55

PEDOMAN PPIA.indd 55 7/4/14 8:41 AM


Lampiran 4. ALTERNATIF PEMBERIAN/PENGGANTI ASI

A. ASI Perah Dipanaskan


Memanaskan ASI dapat membebaskannya dari HIV aktif, selain tetap aman, bergizi,
mudah diperoleh dan memberikan perlindungan terhadap infeksi. Proses pemanasan
ASI menurunkan beberapa faktor pelindung, namun faktor pelindung tersebut tetap
ada. Memerah kemudian menyimpan dan memanaskan ASI sebelum diberikan
dapat bermanfaat selama masa risiko tinggi, misalnya pada bayi berat lahir rendah
atau bayi prematur, selama episode mastitis atau sariawan pada bayi, dan selama
proses pemberhentian menyusui secara langsung, atau untuk menambah zat-zat
gizi terhadap makanan lain setelah bayi berumur lebih dari enam bulan.
Ibu dengan HIV dapat mempertimbangkan untuk memberikan ASI peras yang
dipanaskan pada situasi berikut:
 Jika bayi: berat lahir rendah, sakit, atau tidak bisa menyusui.
 Jika ibu sakit, sementara waktu tidak dapat menyusui, atau sedang mengalami
masalah pada payudara (misalnya mastitis, puting lecet/luka).
 Bayi dalam masa persiapan penyapihan.
 ARV untuk sementara waktu tidak tersedia.
Ada dua metode sederhana, yaitu:
1. Pemanasan ASI dengan cara cepat (flash-heating).
Letakkan ASI perah pada wadah terbuka yang berbahan gelas di dalam panci
yang sudah berisi air dan panaskan panci di atas api sampai air mendidih.
Matikan api bila air sudah mendidih, angkat segera ASI perah dari panci. Tutup
dan biarkan ASI berangsur-angsur menjadi dingin.
1. Pasteurisasi cara Pretoria.
Rebus air dalam wadah (panci) sampai mendidih dan angkat panci, matikan
apinya. Letakan ASI perah dalam tempat yang berbahan gelas, tutup, kemudian
letakkan dalam air panas yang sudah dididihkan tersebut selama 20 menit, lalu
angkat dan biarkan dingin.
Pada prinsipnya kedua metode tersebut adalah sama, akan tetapi pada metode
kedua ibu perlu mengetahui dan mematuhi secara tepat waktu yang diperlukan
untuk meletakkan ASI perah dalam air panas yang sudah dididihkan, yaitu selama
20 menit, jadi diperlukan alat bantu berupa jam (jam tangan atau jam dinding). Untuk
ibu-ibu yang kesulitan mematuhi waktu karena tidak mempunyai jam tangan/dinding,
maka dipilih metode pertama.
Faktor penting untuk memberikan ASI perah yang dipanaskan secara aman adalah:
1. Akses air bersih yang ada secara terus-menerus.
2. Bahan bakar yang cukup.
3. Penghasilan yang tetap yang dapat dikontrol oleh ibu.
4. Kulkas Jika ARV untuk sementara waktu tidak tersedia.
B. Disusui oleh Ibu Lain yang Tidak Terinfeksi HIV/ASI Donor
Syarat disusui oleh ibu lain yang tidak terinfeksi HIV /ASI donor:
1. Ada permintaan ibu kandung atau keluarga bayi yang bersangkutan.
2. Identitas dan alamat pendonor ASI diketahui dengan jelas oleh ibu/keluarga bayi
penerima ASI.
3. Persetujuan dari pendonor ASI setelah mengetahui identitas bayi yang diberi ASI.

56

PEDOMAN PPIA.indd 56 7/4/14 8:41 AM


4. Pendonor ASI dalam kondisi kesehatan baik dan tidak mempunyai indikasi
medis yang menjadi kontraindikasi pemberian ASI.
5. ASI tidak diperjualbelikan.

C. Susu Formula Pabrikan


Persiapan pemberian susu formula pabrikan untuk makanan pengganti adalah
sebagai berikut.
1. Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun. Pastikan semua peralatan (gelas,
sendok, gelas pengukur) sudah dicuci bersih dan kering.
2. Air direbus hingga mendidih seluruh permukaanya selama setidaknya 1-2 detik.
3. Gelas pengukur digunakan untuk mengukur jumlah air yang diperlukan dan
sendok susu dalam kemasan susu formula digunakan untuk mengambil dan
mengukur jumlah susu formula. Untuk satu sendok susu formula dibutuhkan 30
ml air.
4. Jumlah susu formula yang diperlukan disiapkan, lalu ditambahkan air mendidih.
5. Susu disiapkan hanya untuk sekali minum, kecuali bila tersedia kulkas.
6. Susu formula diberikan kepada bayi dengan menggunakan cangkir. Susu yang
tersisa tidak diminumkan kepada bayi.
7. Setelah selesai, semua peralatan dicuci dengan bersih dan disimpan di wadah
tertutup.
Tabel 1. Perkiraan Jumlah Susu Formula untuk Bayi
Usia bayi Frekuensi minum per hari Volume susu formula tiap kali minum
0-1 bulan 8 60 ml (bertahap, dimulai dari 30 ml)
1-2 bulan 7 90 ml
2-4 bulan 6 120 ml
4-6 bulan 6 150 ml

Informasi lebih lengkap dapat ditemukan dalam materi pelatihan “Infant and young
child feeding counselling: An integrated course”, dan di “WHO Guideline on the Safe
Preparation of Infant Formula”.

57

PEDOMAN PPIA.indd 57 7/4/14 8:41 AM


Lampiran 5. EVALUASI DAN MONITORING PASIEN SIFILIS DAN
PENANGANAN SYOK ANAFILAKSIS

Evaluasi dan Monitoring Pasien Sifilis


Pasien dengan sifilis dini dan telah diterapi dengan adekuat harus dievaluasi secara
klinis dan serologis satu bulan setelah terapi, dan tiap 3 bulan selama satu tahun
pertama (bulan ke-1, 3, 6, 9, 12) dan setiap enam bulan di tahun kedua (bulan ke-18
dan -24).
Tes TPHA dan titer RPR harus dilakukan pada:
• Satu bulan setelah terapi, titer RPR diperlukan untuk mengevaluasi keberhasilan
terapi dan mendeteksi infeksi ulang (reinfeksi). Terapi dianggap berhasil jika
titer RPR turun dua tahap (misal dari 1:32 menjadi 1:8). Jika titer tidak turun atau
malah naik, kemungkinan terjadi reinfeksi dan ulangi terapi.
• Tiga, enam dan 12 bulan setelah terapi. Jika titer RPR tetap sama atau bahkan
turun, terapi dianggap berhasil. Pasien cukup diobservasi. Jika titer RPR
meningkat, obati pasien sebagai infeksi baru dan ulangi terapi.
Pada semua stadium, ulangi terapi jika terdapat: i) gejala klinis sifilis; ii) peningkatan
titer RPR (misalnya dari 1:4 menjadi 1:8).
Semua pasangan seks pasien sifilis perlu diskrining sifilis

Penanganan Syok Anafilaksis


Semua pasien sifilis harus diterapi dengan injeksi benzatin benzylpenicillin, kecuali
jika terdapat riwayat reaksi alergi terhadap antibiotik golongan penisilin (anafilaksis,
angioderma, urtikaria, bronkospasme) atau jika timbul reaksi pada tes alergi penisilin
(skin test).
Dalam anamnesis, petugas kesehatan harus menanyakan riwayat alergi terhadap
antibiotik golongan penisilin. Beberapa pertanyaan lebih lanjut untuk menggali
riwayat alergi:
• Reaksi alergi terhadap obat tersebut terjadi saat usia pasien berapa?
• Bagaimana bentuk reaksi alerginya?
• Berapa lama reaksi alergi timbul setelah terapi dimulai?
• Bagaimana cara pemberian terapi (injeksi atau per oral atau lainnya)?
• Obat lain apa saja yang juga digunakan saat itu?
• Apa yang terjadi setelah terapi dengan penisilin dihentikan?
• Apakah pasien pernah menggunakan antibiotik lain dalam golongan yang
sama (misalnya: amoksisilin, ampisilin atau sefalosporin) dan, jika pernah,
apakah timbul reaksi alergi juga?
Reaksi alergi berupa anafilaksis, angioderma, urtikaria, bercak merah yang gatal,
dan bronkospasme merupakan reaksi yang spesifik sebagai tanda alergi. Tanda
klinis eritema makopapular, gangguan gastrointestinal atau reaksi lain tidak bersifat
prediktif terhadap alergi.
Perlu diperhatikan agar tidak memberikan terapi penisilin jika pasien sedang:
• menderita penyakit akut (gejala seperti flu, pilek);
• mengalami gangguan kulit – bercak merah yang gatal;
• mengalami sesak nafas dengan wheezing (mengi)/tanda-tanda asma.

58

PEDOMAN PPIA.indd 58 7/4/14 8:41 AM


Tes Kulit untuk Mendeteksi Reaksi Alergi/Skin Test
Untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya reaksi anafilaksis, dapat dilakukan tes
kulit. Cara melaksanakan tes kulit sebagai berikut.
1. Larutkan bubuk benzatin benzyl penicilin 2,4 juta IU dengan 10 cc aqua bidest.
2. Ambil satu cc larutan, menggunakan spuit yang biasa digunakan untuk tes
mantoux.
3. Buang isi spuit, sampai tersisa 0,2 cc saja di dalam spuit.
4. Suntikkan secara intradermal.
5. Beri tanda/lingkari daerah yang disuntik.
6. Tunggu 15 menit, lihat apakah ada peningkatan diameter pembengkakan kulit.
7. Jika terjadi peningkatan pembengkakan lebih dari 3 mm, dapat diinterpretasikan
bahwa pasien alergi terhadap penisilin.
Tes kulit ini sebaiknya dilakukan setiap akan memberikan terapi injeksi benzatin
benzylpenisilin.
Semua tempat layanan kesehatan yang memberikan terapi antibiotik apapun
(tidak terbatas hanya penisilin) dengan injeksi intramuskular, perlu menyiapkan
peralatan kedaruratan medik yang memadai untuk menangani reaksi alergi atau
syok anafilaksis secara adekuat.
Peralatan dan obat-obatan esensial yang disediakan untuk penanganan syok
anafilaksis adalah:
• Aqueous adrenaline (epinephrine) pengenceran 1:1000 untuk injeksi.
• Antihistamine injeksi dan per oral (misalnya difenhidramin dan klorfeniramin).
• Hidrokortison injeksi.
• Ambu bag untuk ventilasi.
• Tabung dan selang oksigen.
Tanda-tanda reaksi anafilaksis:
• Syok: tekanan darah sangat rendah, denyut nadi cepat dan lemah, kesulitan
bernafas.
• Kemerahan yang gatal pada kulit (rash).
Pasien yang benar-benar alergi terhadap penisilin dapat mengalami syok pada saat menjalani skin test.
Petugas harus sudah siap menangani syok pada saat melakukan skin test.

Desensitisasi
Bila hasil uji kulit positif, berarti pasien alergi terhadap Penisilin. Desensitisasi dapat
dilakukan pada ibu hamil. Desentisisasi dapat dilakukan secara oral maupun intra
vena, meskipun kedua cara ini belum pernah dibandingkan, desentisasi secara oral
di anggap lebih aman dan mudah dilakukan. Desensitisasi tidak boleh dilakukan di
Puskesmas, harus dilakukan di rumah sakit karena dapat terjadi reaksi alergi yang
serius, sehingga harus selalu tersedia adrenalin dan sarana resusitasi.
Desensitisasi dilakukan dalam waktu singkat, berdasarkan peningkatan dosis
secara cepat, misalnya setiap 15 menit, diawali dengan dosis yang diencerkan
dan diakhiri dengan pengenceran yang sama dengan yang akan digunakan untuk
pengobatan. Biasanya dapat diselesaikan dalam waktu 4-12 jam setelah pemberian
dosis pertama. Setelah desensitisasi, pasien harus tetap diberikan penisilin selama
masa pengobatan.

59

PEDOMAN PPIA.indd 59 7/4/14 8:41 AM


Riwayat nekrolisis epidermis akibat obat (misalnya sindrom Steven-Jonhson dan
variannya) merupakan kontra indikasi absolut untuk desensitisasi. Bila timbul reaksi
yang tidak mengancam jiwa, dapat diberikan obat antihistamin oral, misalnya
setirizin 10 mg.
Tabel di bawah ini menunjukkan contoh tentang cara desensitisasi
Tahap Waktu Dosis
1 0 menit 100 U oral (Penisilin V)
2 15 menit 220 U per oral
3 30 menit 400 U per oral
4 45 menit 800 U per oral
5 1 jam 1.600 U per oral
6 1 jam 15 menit 3.200 U per oral
7 1 jam 30 menit 6.400 U per oral
8 1 jam 45 menit 12.800 U per oral
9 2 jam 25.000 U per per oral
10 2 jam 15 menit 50.000 U per oral
11 2 jam 30 menit 100.000 U per oral
12 2 jam 45 menit 200.000 Uper oral
13 3 jam 400 U per oral
14 3 jam 15 menit 200.000 U subkutan (penisilin G)
15 3 jam 30 menit 400.000 U subkutan
16 3 jam 45 menit 800.000 U subkutan
17 4 jam 1000.000 U intramuskular

60

PEDOMAN PPIA.indd 60 7/4/14 8:41 AM


Lampiran 6. Formulir Registrasi Layanan IMS

61

PEDOMAN PPIA.indd 61 7/4/14 8:41 AM


62

PEDOMAN PPIA.indd 62 7/4/14 8:41 AM


Lampiran 7. Formulir Registrasi Layanan TIPK

FORMULIR REGISTRASI LAYANAN TIPK

63

PEDOMAN PPIA.indd 63 7/4/14 8:41 AM


Lampiran 8. Surat Pernyataan TIPK

SURAT PERNYATAAN TIPK

Saya yang bertanda tangan dibawah ini setelah menerima penjelasan yang
diberikan atas prosedur dan pemeriksaan yang akan dilakukan dan tahu segala
akibat yang mungkin timbul dari tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
saya, serta telah diberikan penjelasan dengan baik, maka saya menyatakan :

Tidak Bersedia dilakukan tindakan medis untuk :


............................................................................

Demikian surat ini saya tanda tangani tanpa paksaan dari pihak manapun

…………………,……………………….
Mengetahui,
Petugas Kesehatan Yang memberi pernyataan

(…………………………) (……………………………)

64

PEDOMAN PPIA.indd 64 7/4/14 8:41 AM


Lampiran 9 . Formulir Registrasi Layanan PPIA

FORMULIR REGISTRASI LAYANAN PPIA

65

PEDOMAN PPIA.indd 65 7/4/14 8:42 AM


FORMULIR REGISTRASI
LAYANAN PPIA

66

PEDOMAN PPIA.indd 66 7/4/14 8:42 AM


Lampiran 10. SURAT PERSETUJUAN PROFILAKSIS PASCA PAJANAN
SURAT PERSETUJUAN

Nama : ………………………………. Nomor ID : ………………………..

Saya mengerti bahwa saya telah terpajan bahan yang mungkin berisiko terjadi transmisi HIV.
Saya telah diberikan informasi di bawah ini yang berkaitan dengan penggunaan profilaksis
pasca pajanan :

  Manfaat dan risiko mendapatkan profilaksis pasca pajanan

  Penggunaan profilaksis pasca pajanan selama kehamilan

Risiko minum obat profilaksis pasca pajanan jika saya telah menderita HIV sebelum
 
pajanan ini

  Bahwa profilaksis pasca pajanan tidak menjamin mencegah transmisi HIV

  Kemungkinan efek samping obat profilaksis pasca pajanan

Manfaat tes HIV: sekarang dan kemudian setelah tiga dan enam bulan dan Tes
 
darah lain yang dianjurkan
Bahwa lamanya profilaksis pasca pajanan pada umumnya adalah empat minggu
  dan saya dapat menghentikan obat setiap saat, meskipun hal ini akan mengurangi
efektifitasnya
  Pentingnya minum obat dengan dosis yang tepat dan pada waktu yang tepat pula

Pentingnya memperhatikan kewaspadaan standar untuk mencegah transmisi HIV


  (seperti menggunakan kondom dan tidak berbagi jarum suntik/ sharing needle)
selama enam bulan mendatang

Tidak melakukan donasi darah, cairan mani atau jaringan tubuh selama enam bulan
 
mendatang
[untuk tenaga kesehatan:] perlu melakukan kegiatan praktek kerja yang aman
 
selama enam bulan mendatang
Saya telah mengerti informasi ini dan telah diberikan kesempatan untuk bertanya dan telah
menerima jawaban yang memuaskan

Saya dengan sukarela setuju dengan profilaksis pasca pajanan

Saya tidak setuju dengan profilaksis pasca pajanan

Nama…………………………………………..Tanda tangan………………

Tanggal: ………………………………………

Saya memastikan bahwa saya telah memberikan informasi tentang profilaksis pasca pajanan
seperti tertera di atas

Nama………………………………………Tanda tangan…………………

Pekerjaan………………………………….Tanggal: ……..….……………

67

PEDOMAN PPIA.indd 67 7/4/14 8:42 AM


68
Lampiran 11 . Kartu Ibu
Lampiran 12. Kartu ibu

PERSALINAN TANGGAL JAM Usia Kehamilan : Minggu minggu Lembar KIA - 2


Kala I Aktif Usia HPHT : Minggu minggu

PEDOMAN PPIA.indd 68
KARTU IBU
Kala II Keadaan Ibu : hidup / mati _____________
Bayi Lahir Keadaan Bayi : hidup / mati Puskesmas : _____________________________________________________
Plasenta Lahir Berat bayi : gram
Perdarahan Kala IV 2 jam Postpartum : cc NO. IBU : _____________________________________________________
puncak kepala belakang kepala lintang/oblique menumbung NAMA LENGKAP : _____________________________________________________
Presentasi
bokong dahi muka kaki campuran
NAMA SUAMI/ KELUARGA : _____________________________________________________
rumah polindes pustu puskesmas RB RSIA RS RS ODHA
Tempat : TANGGAL LAHIR : _____________________________ UMUR ___________________
keluarga dukun bidan dr. spesialis dr lainnya tidak ada
Penolong : ALAMAT DOMISILI : _____________________________ RT/RW ___________________
Normal Vacum Forceps Sectio Caesaria
Cara Persalinan : DESA : _____________________________ KEC. ___________________
Injeksi Oksitosin Peregangan tali pusat Masase Fundus Uteri
Manajemen Aktif Kala III : KABUPATEN : _____________________________ PROP. ___________________
IMD : < 1 jam/> 1jam Menggunakan Partograf Catat di Buku KIA
Pelayanan : PENDIDIKAN : _____________________________ AGAMA ___________________
ART*** : Obat Anti Malaria*** : Obat Anti TB*** :
Integrasi Program : PEKERJAAN IBU : _____________________________ TGL REGISTER ____________

ARV profilaksis pada bayi baru lahir : PEKERJAAN SUAMI : _____________________________


Komplikasi : Distosia HDK PPP infeksi lainnya

Dirujuk ke : puskesmas RB RSIA RS lainnya tidak dirujuk Posyandu : Jamkesmas : Ya / Tidak


Keadaan Tiba : hidup / mati Keadaan Pulang : hidup / mati Nama Kader : Gol. Darah : A/B/AB/O
Alamat Bersalin : Nama Dukun : Telp./ HP :
PEMERIKSAAN PNC RIWAYAT OBSTETRIK PEMERIKSAAN BIDAN
Tanda Vital Pelayanan Integrasi Program Komplikasi** Dirujuk ke** Keadaan Gravida : Tanggal Periksa : BB sblm hamil : kg
Hari Partus : Tanggal HPHT : TB : cm
Tanggal
ke/KF

RS

RB

Fe
PPP
PKM

Anti
HDK
Abortus : Taksiran Persalinan :

Foto
Buku KIA : Memiliki

Vit. A*
Infeksi
(H/M)

Lainnya
Lainnya

Suhu ©
Pula ng

ART +/-

Catat di
RSIA/RSB

Buku KIA*
(tab/botol)
Tiba (H/M)

Malaria***
Anti TB***
Thorax(+/-
Hidup : Persalinan Sebelumnya : Tdk Memiliki

TD (mmHg)
1 2/3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Riwayat Komplikasi Kebidanan :
Penyakit kronis dan alergi :

RENCANA PERSALINAN
Tanggal Penolong Tempat Pendamping transportasi Pendonor
1 2 3 4 5 6

KUNJUNGAN NIFAS (KF) :


KF 1 : 6 Jam - 3 hari METODE KONTRASEPSI : RENCANA PELAKSANAAN
KF 2 : 4 - 28 hari
KF 3 : 29 - 42 hari 25 26 27
*: MAL Penolong : Tempat : Pendamping : Transportasi :
Calon donor darah :
!"#$%&"'&()$*&%+%&, KONDOM 1. Keluarga 6. Lain-lain 1. Rumah 6. RSIA 1. Suami 1. Suami
X Jika tidak PIL 2. Dukun 7. Tidak ada 2. Poskesdes 7. RS 2. Keluarga 2. Keluarga 1. Suami
** : SUNTIK 3. Bidan 3. Pustu 8. RS Odha 3. Teman 3. Teman 2. Keluarga
Tulis ! pada salah satu kolom AKDR 4. Dr. Umum 4. Puskesmas 4. Tetangga 4. Lain-lain 3. Teman
*** : IMPLANT 5. Dr. Spesialis 5. RB 5. Lain-lain 5. Tidak ada 4. Lain-lain
Tulis nama obat yang diberikan MOW 6. Tidak ada 5. Tidak ada
MOP
Hal. 3 Hal. 1

7/4/14 8:42 AM
ANTE NATAL CARE

PEDOMAN PPIA.indd 69
Pemeriksaaan Laboratorium Integrasi Program

Register Pelayanan Kecacingan


Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Pencegahan Malaria dalam TB dalam Pencegahan IMS Pencegahan Hepatitis
Ibu Bayi Periksa Hb dalam
Anak (PPIA) Kehamilan Kehamilan dalam Kehamilan dalam Kehamilan
Kehamilan
No.

Sifilis (+/-)

Gula Darah

Status Imunisaisi TT
HBsAg (+/-)

PAP
Tanggal Anamnesis

ART

KIA*

(+/-)
6)

3)
Terapi

BB (kg)
Dahak*

Pretein Uria (+/-)


ACT***

HIV (+)

Thalasemia (+/-)
Hepatitis

Status Gizi
Hasil (+)
Hasil (+)

Presentasi
Obat***

Diperiksa
Diperiksa

Kelambu

LILA (cm)
TBC (+/-)

Cara Masuk
TFU (cm)
Diberikan
Diperiksa

Dilakukan*

Injeksi TT*

Kepala thd
TBJ (gram)
Jumlah Janin
Obat Kina/

Mikroskopis

2)
4)

Trimester ke
TD (mmHg)
Hasil (gr/dl)
Anemia (+/-)
Ankylostoma

1)
Mendapatkan
Hasil Tes (+)

DJJ (x/menit)
Malaria (+/-)

Berinsektisida
Diperiksa IMS

Dilakukan Tes

Fe (tab/botol)

5)
Catat di Buku
Diperiksa RDT/

Refleks Patella
Hasil Tes HIV +

Usia Kehamilan
Ditawarkan Tes

Datang dengan
Hasil Tes Darah
1 2 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 35 36 37 39 40 41 39 40 39 40 41 39 40

Risiko Terdeteksi Pertama Kali Oleh** Komplikasi** Dirujuk Ke** Keadaan


*: ** : *** :

: Jika ya/ Tulis pada Tulis nama obat yang


diberikan No. Tanggal Keterangan
dilakukan salah

RS

RB

KPD

HDK

Kader
DSOG

Bidan

Pasien
Dukun
x : Jika tidak satu kolom

Infeksi

Dokter
Abortus
Lain-lain
Lain-lain

Perawat

Keluarga
Tiba (H/M)

RSIA/RSB
Pulang (H/)

Puskesmas

Masyarakat
Perdarahan
1) Cara Masuk : 3) Kepala Terhadap PAP :
APS : Atas Permintaan sendiri Masuk : M 1 2 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 64

Dr : Rujukan dokter 1
Belum Masuk : BM
Bd : Rujukan bidan 2
4) Presentasi :
Dn : Rukun Dukun KP : Kepala 3

Pol : Rujukan Polindes BS : Bokong/Sungsang 4

Pst : Rujukan Pustu LLO : Letak Lintang/Obligue 5

Pks : Rujukan Puskesmas 5) Jumlah Janin : 6

RB : Rujukan Rumah Bersalian 7


T/G : Tunggal/Ganda
RSIA : Rujukan RS Ibu dan Anak 8
6) Status Imunisasi :
9
2) Status Gizi T1,T2,T3,T4,T5

LILA < 23,5 cm : KEK (K) 7) Gula darah puasa : Obat TB : Obat ARV : Obat MALARIA : Hal. 2

LILA > 23,5 cm : Normal (N) + : > 140 mg/dl R : Rifampisin Z : Pyrazinamid ZDV : TC : ART : Artesunat KIN : Kina

- : < 140 mg/dl H : INH E : Etahmbutol NVP : AMO : Amodiakuin

69

7/4/14 8:42 AM
Keadaan Pulang (H/M)

69
Keadaan Tiba (H/M)

68
Lembar KIA - 4

Kegiatan Rujukan

Hal. ___
Lain-lain

67
Fasilitas Keshatan***
RS

66
RSIA/RSB

65
RB

64
Puskesmas

63
Lain-lain

62
KPD

61
Komplikasi***
Infeksi

60
Perdarahan

59

Z : Pyrazinamid
Abortus

E : Etahmbutol
58
:

HDK

57
Non Nakes

56
Terdeteksi
Oleh***
Risiko
TAHUN

Nakes

55
Ibu Hamil Hasil Tes (+)
Pencegahan

54
Hepatitis

Kehamilan
dalam

Ibu Hamil diperiksa Hepatitis

53
Terapi
Pencegahan

52
IMS dalam
Kehamilan

Ibu Hamil Hasil Tes (+)

51
Ibu Hamil diperiksa IMS 50

Ibu Hamil Hasil Tes (+)


49
Kecacingan

Kehamilan
dalam

Ibu Hamil diperiksa Ankylostoma


48
47
TB dalam Kehamilan

Obat**
46

Ibu Hamil Hasil (+)


45

Ibu Hamil diperiksa Dahak


44

Ibu Hamil mendapatkan Kina/ ACT


Pencegahan Malaria Dalam Kehamilan
Integrasi Program

43

Mikroskopis
Ibu Hamil Malaria
(+)
42

RDT
(PMDK)

41

Mikroskopis
Ibu Hamil diperiksa
darah Malaria
40

RDT

Obat TB :
39

Ibu Hamil diberikan kelambu

H
R
Persalinan
38

Perabdominam
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)

Ibu Hamil HIV (+) (SC)


:

Persalinan
37

Pervaginam

Ibu Hamil Mendapat ART


36

Hasil Tes HIV (+)


35

Ibu Hamil dites HIV


34
32

Ibu Hamil ditawarkan Tes


:

nama obat yang diberikan


:

31

Ibu Hamil Datang dengan HIV (+)


BULAN
BIDAN
DESA

HBsAg (+/-)
30

Sifilis (+/-)
29
Laboratorium

Thalasemia (+/-)
28

Gula Darah
27

Pretein Urin (+/-)


26

*** :

Tulis

Hb (gr/dl)
25

Fe (tab/botol)
24
Pelayanan

Tulis ! pada salah satu kolom


23

Catat di buku KIA*

Injeksi TT*
22

Status Imunisaisi TT 2)
21

Konseling*
20

Presentasi 1)
19
:

** :

Jumlah Janin (T/G)


18

TBJ (gr)
17
Bayi

Kepala thd PAP (M/BM)


16
KECAMATAN
KABUPATEN

DJJ (x/menit)
PROPINSI

15

: Jika ya/dilakukan

Refleks Patella (+/-)


14

: Jika tidak

Status Gizi (M/N)


13

LILA (cm)
12
Lampiran 12. Kohort Antenatal Care

Pemeriksaan

11

TFU (cm)
*:

X
!

TD (mmHg)
10
9

Tinggi Badan (cm)


Ibu

BB (kg)
7
Anamnesis

2) Status Imunisasi :

T0, T1, T2, T3, T4, T5


6

Trimester ke
5

Usia Kehamilan
4

Jamkesmas*
3
KOHORT ANTE NATAL CARE

Nama Ibu
Register
Lampiran 13. Kohort Antenatal

: Letak Lintang/Obligue
: Bokong/Sungsang
No. Ibu

: Kepala
:

1) Presentasi :
PUSKESMAS

TELP/FAX

Tanggal
ALAMAT

LLO
BS
KP

70

PEDOMAN PPIA.indd 70 7/4/14 8:42 AM


DAFTAR PENYUSUN

Pelindung :
dr. Anung Sugihantono, M.Kes
Pengarah :
dr. Gita Maya Koemara Sakti, MHA
Penanggung Jawab :
dr. Lukas C Hermawan, M.Kes
Editor:
dr. Milwiyandia, MARS
Tim Penyusun :
dr. Fransisca Handy , SpA
dr. Ardi Kaptiningsih, MPH
Prof. dr. Sjaiful Fahmi Daili, SpKK(K);
Dr. dr. Wresti Indriatmi, SpKK(K),M.Epid;
dr. Siti Nadia Tarmidzi, M.Epid
dr. Sri Widyastuti
dr. Lukman HL, MBA
dr. Ekarini Aryasatiani, SpOG (K)
dr. Muh Ilhamy, SpOG (K)
dr. Dyani Kusumowhardani, SpA
dr. Asti Praborini, SpA
dr. Rima Damayanti
dr. Helen Dewi Prameswari
dr. Beatricia Iswari
dr. Karina Widowati
Kontributor
Dr. dr. Ali Sungkar, SpOG(K) dr. Ernawati Atmaningtyas
dr. Carmelia Basri dr. Eva Dian Kurniawati
dr. Wira Hartiti dr. Marina Wangsadinata
drg. Lili Tantijati Nenny Sukameni
dr. Nanda Agus P dr. Ratnasari Kurniasih
Dhefi Ratnawati, S.Gz dr. Fadhlina
dr. Endang Budi Hastuti Masnawati
dr. Bayu Yuniarti Sri Amelia
dr. Nurhalina Afriana dr. Inti Mujiati
dr. Trijoko Yudopuspito, MSc.PH dr. Savaart Hutagalung
dr. Indri Oktaria Sukmaputri Ida Ayu Citarasmi
dr. Lia Meiliyana Dr. Devi Fariani
dr. Rivani Noor Chofifah
dr. Supinah

71

PEDOMAN PPIA.indd 71 7/4/14 8:42 AM


PEDOMAN PPIA.indd 71 7/4/14 8:42 AM

You might also like